Seledri memandangi ponselnya dengan ragu. Ada panggilan masuk berdering sedari tadi. Satu atau dua kali mungkin tidak begitu masalah atau hanya sekedar penipuan melalui panggilan telepon seperti yang pernah ia alami. Panggilan ketiga, Seledri memutuskan untuk menjawab meski ragu. Ia memasang telinganya dengan baik untuk mendengar seluruh kalimat yang diucapakan wanita dari seberang.
Tinggal di tempat dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa Ibu tentu sangat tidak mudah, belum lagi bila sang lawan bicara mulai menambahkan sedikit dialek khas dari wilayah tertentu.
Menjadi mahasiswa asing di negeri tirai bambu mempunyai kesan tersendiri bagi gadis berambut panjang itu.
“Halo, dengan Seledri Anggun Pratama?”
Deg! Jantung Seledri memacu. Sebuah suara yang ia kenal.
“Iya, saya Seledri,” jawabnya dengan sedikit ragu.
“Besok pagi jam sepuluh, Anda harus menemui saya di Gedung Internasional lantai tiga, ada yang harus saya sampaikan, jangan sampai terlambat.” Tanpa basa-basi, lawan bicara itu langsung mengutarakan maksud menelepon gadis itu.
Seledri menyanggupinya setelah sesaat melihat jadwal kuliahnya.
Raut wajah yang tadinya sangat gembira setelah bertemu dengan Mala berubah drastis. Seledri melangkahkan kakinya masuk ke dalam MRT. Ia baru saja pulang setelah mengunjungi temannya di Universitas Tianjin. Tentu saja sangat bahagia bisa bertemu dengan teman sesama negara kita di negeri orang atau istilah kerennya satu bahasa, satu bangsa, satu tumpah darah.
Universitas Pengobatan Tiongkok adalah tempat kuliah Seledri. Universitas itu memiliki dua kampus yang berlokasi berbeda. Seledri menempati kampus baru yang terletak sangat jauh dari wilayah perkotaan. Dari pusat kota ia perlu menempuh setidaknya enam station MRT kemudian melanjutkannya dengan bus selama empat puluh menit.
Gadis itu sama dengan mahasiswa lainnya yang sedang menunggu bus dengan momor satu enam dua. Seandainya ini bukan malam hari, mungkin gadis itu bisa saja melewatkan bus yang akan datang. Setiap setengah sampai satu jam kemudian biasanya akan ada bus lainnya, sayangnya ini adalah bus terakhir yang menuju ke wilayah kampusnya. Sesuai dugaannya akan ada ‘perang’ di dalam bus nantinya. Berdesak-desakkan di dalam sudah menjadi hal biasa buat mereka. Ia hanya punya dua pilihan, berdesak-desakkan atau memilih taxi rental dengan membayar tiga kali lipat dari ongkos bus.
Singkat cerita, perjalanan empat puluh menit itu berakhir. Ia berjalan masuk menuju gedung asrama bernomor lima puluh enam. Dengan langkah yang malas, ia menuju kamar asramanya yang terletak di lantai tiga. Tiga satu lima, sebuah nomor yang menandakan kepemilikan.
Perlahan ia memasukan kunci dan membuka kamarnya.
“Aish! Kenapa aku harus memikirkan perkataan Li Laoshi?” ia berdecak kesal dengan dirinya sendiri. Seledri yakin, sebab panggilan dari guru itu adalah pertanda yang buruk.
***
Hari pun berlalu, ia sudah bersiap-siap menemui Li Laoshi sesuai janjinya kemarin. Seledri berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya memegang gagang pintu. Perlahan ia membuka pintu ruangan itu. Seledri berusaha tersenyum memasuki ruangan itu, senyum paksa yang memeperlihatkan barisan gigi yang rapi dan bersih.
“Zhou Laoshi, bisakah Anda mengatakan di mana Li Laoshi?”
“Seledri Pratama? Aiya, silakan langsung ke sana dan duduk dulu. Nanti Li Laoshi datang kalau sudah selesai dengan urusannya ya.”
“Duduk saja,” kata Li Laoshi begitu melihat Seledri hendak berdiri dari kursi itu.
Li Laoshi lalu menuju meja kerjanya, memosisikan duduknya dengan nyaman lalu mengambil sebuah berkas dari laci mejanya.
“Saya menerima sebuah laporan. Seledri … ah, Wang Shi Li. Saya harap Anda menjawab dengan jujur. Apa Anda mengambil kerja paruh waktu sebagai seorang guru Bahasa Inggris?” tanya Li Laoshi dengan penuh selidik.
Seledri diam sesaat, pikirannya kosong. Sama sekali tidak pernah terlintas akhirnya ia akan ketahuan. Selama ini ia benar-benar menutup rapat-rapat rahasia itu. Kini satu nama yang terlintas dalam pikirannya, Alfa.
“I-iya,” jawabnya. Wajah Seledri tertunduk. Ia tidak berani menatap wajah Li Laoshi.
“Saya tidak akan bertele-tele. Anda ke sini dengan visa pelajar dan Anda sudah tahu bahwa Anda sama sekali tidak diijinkan untuk bekerja. Jadi, mengapa Anda melakukannya?”
“Maafkan saya,” ucap Seledri dengan segera. Ia tidak bisa mengelak ataupun memberi penjelasan lain. Tindakannya benar-benar salah.
“Bagaimana kalau pihak lain yang mendapati kasus ini? ini adalah perbuatan ilegal, Anda bisa dideportasi. Saya anggap ini adalah teguran pertama dan terakhir. Sekali lagi Anda melanggar, maka beasiswa Anda akan kami cabut dan Anda boleh kembali ke Negara asal Anda.”
“Saya mengerti.” Setelah semua urusannya selesai, Seledri pamit dengan sopan dan keluar dari ruangan itu dengan wajah sedih. Ia sadar ada hal lain juga yang harus ia lakukan. Bila ia sudah ketahuan, maka ia juga perlu menemui pemilik sekolah tempatnya mengajar.
Seledri melangkahkan kakinya ke tempat itu. Tempat di mana ia biasa mengajar anak kecil.
“Anda pasti sudah tahu kenapa kami memanggil.”
“Iya, ada seseorang yang melaporkannya.”
“Maaf, kami tidak bisa memperkerjakan Anda lagi, terlalu bahaya untuk kami dan juga Anda. Ini, ambil ini sebagai pesangon. Terima kasih telah berbagi ilmu.”
“Terima kasih, saya permisi.” Lagi, ia dengan sopan meninggalkan ruangan. Rasanya hari ini begitu berat.
“Wang Laoshi, sudah mau pulang? Kan, baru aja sampainya,” tanya seorang Ibu dari salah satu murid di sana.
“Aku sedikit ada urusan hari ini.”
“Aiya, Wang Laoshi ini sangat sibuk ya, pasti banyak kerjaan.”
Seledri hanya tersenyum tanpa menjawab lebih jauh, dengan ramah, ia berpamitan dengan Ibu itu.
Hati Seledri sedikit sakit membayangkan ia tidak akan lagi kembali ke tempat itu. Jelas saja, itu adalah hari terakhir baginya menginjakkan kaki. Ia masih memegang uang dalam amplop pemberian sang pemilik sekolah. Dilihatnya sendu lalu ia masukkan dalam tasnya.
MRT begitu ramai, ia bahkan harus berdiri dan berpegangan di sana. Sekarang bukan hal yang baru lagi di Tiongkok untuk melihat banyak turis asing. Pendidikan adalah salah satu faktor terbesarnya. Banyak mahasiswa dari luar yang sangat tertarik untuk belajar di sana. Kebudayaan dan bahasa tentunya menjadi salah satu hal yang sangat menarik. Lalu bagaimana dengan Seledri?
Seledri masuk melalui penjaringan seleksi penerima beasiswa, walau hanya menerima beasiswa parsial, ia berani melangkahkan kaki dan terbang ke sana.
Tahun pertama baginya adalah neraka. Tanpa bekal bahasa yang mumpuni, ia terkadang kalang kabut saat berbicara dengan penduduk lokal. Untungnya, program beasiswa yang diberikan itu mengcover satu tahun penuh untuk pemantapan bahasa mandarin, yang artinya ia punya waktu satu tahun untuk benar-benar mempelajari bahasa di sana tanpa perlu memusingkan bagaimana caranya bertahan hidup.
“Enggak usah dipikiran ayo ikut aku, pasar malam,” ajak Claire. Ini Claire, teman sekelas Seledri yang sangat baik. Ia juga menjadi salah satu tempat kepercayaan untuk bercerita apapun.
Seledri meneguk gelas berisi cola itu dengan malas. Ia sama sekali tidak bersemangat.
“Oke,” jawab Seledri lalu merangkul temannya dan langsung menuju Line tiga MRT, mereka menuju wilayah Bijiangdao.
Tentu saja pasar malam yang mereka sebutkan bukanlah pasar malam sungguhan, itu hanyalah sebuah istilah yang mereka buat. Bijiangdao adalah salah satu wilayah perbelanjaan Kota Tianjin.
Mata mereka tertuju pada toko kecil yang ada di sana. Bagaimana tidak? Di tengah megahnya bagunan lain yang menjulang tinggi, toko itu terlihat sangat berbeda sendiri.
“Aku mau melihat-lihat,” kata Claire sambil membuka pintu toko itu. Warna merah mendominasi tempat itu. Patung dari keramik kecil menghiasi tempat ini sebagai jualan utama mereka. Bisa ditebak, ini adalah sebuah toko cendera mata.
"Hm ... menarik."
Seledri dan Claire lalu masuk dan melihat-lihat, siapa tahu kan ada benda yang menarik perhatian mereka. Tempat yang terasa aneh namun akan sayang bila dilewatkan begitu saja. Seledri lalu tertarik pada sebuah benda yang terletak di sudut ruangan. Usang, itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadannya.“Nona, apa nona mencari sesuatu yang istimewa?” tawar seorang nenek padanya. Nenek itu lalu memberikan sebuah benda di tangan Seledri. “Ini akan sangat membantumu.”“Tapi ….” Seledri belum selesai dengan kalimatnya. Suara nenek itu bagai sihir yang mengontrol jiwanya untuk mengambil cermin dari tangan sang nenek.“Anggap ini hadiah, gunakan ini saat kamu membutuhkannya.”“Seledri, hei!” celetuk Claire sambil menepuk bahunya. “Kamu bicara dengan siapa? Apa ini? apa kau ingin membeli cermin ini?”“I-ini ….” Seledri juga bingung dengan apa yang dipe
Pelajaran itu selesai. Meskipun ia sangat ingin keluar, ia memastikan Ke Laoshi terlebih dahulu keluar dari kelas. Sungguh akan tidak sopan bila keluar terlebih dahulu dari sang guru, bukan? Setelah Ke Laoshi meninggalkan kelas, murid-murid itu segera menuju kantin ataupun kembali ke asrama untuk beristirahat.Sama halnya dengan murid yang menguras energy saat berpikir, tentu Seledri akan terlebih dahulu menuju kantin untuk mengisi perutnya. Ia sudah berada dalam barisan mahasiswa kelaparan di sana. Pada jam makan siang seperti ini tentu kantin akan padat sekali. Banyak juga dari mereka yang akhirnya memutuskan untuk membungkusnya saja dan memakannya di kamar masing-masing.Seledri mengambil nampan dan piring, magkuk, sumpit dan juga sendok. Ia mulai memilih makanan di kantinnya. Biasanya ia akan menghabiskan setidaknya sepuluh sampai lima belas kuai untuk sekali makan. Ia benar-benar berhemat sekarang. Delapan kuai cukup baginya untuk mendapat menu yang terbilan
“Wang Shi Li … Wang Shi Li ….”Seledri mulai terbiasa sedikit untuk mendengar bisik-bisik suara yang terus memanggil namanya. Meskipun awalnya ia ketakutan, ia berusaha untuk tidak terlalu memedulikannya.Hadapi ketakutanmu, mungkin itulah yang ada di dalam kepala gadis itu. Dua hari telah berlalu setelah kejadian itu. Ia sangat yakin itu adalah panggilan dari cermin tua yang ia beli di sebuah toko kecil di wilayah Bijiangdao. Ia mengingat-ingat kembali kejadian itu dan menangkap sesuatu yang aneh. Sejak awal ia sama sekali tidak berniat membeli benda aneh nan mahal itu.“Aku terhipnotis?”“Wang Shi ….”“Hentikan!” teriaknya, “tak bisakah kau berhenti memanggilku? Aku sedang belajar!” Rasa marah Seledri sudah memuncak, ia membutuhkan konsentrasi dibanding rasa takut dengan benda aneh itu. Ujian akhir semester tengah di depan mata. Ia harus mempersiapkannya dengan baik.
Sang surya menyapa dengan santainya. Musim dingin telah datang. Kini, menggunakan padding adalah kewajiban. Salju memang belum menyapa, namun hawa dingin semakin terasa. Seledri bangun dengan malas. Ia memiliki kuliah pagi di gedung F. Rasanya, ingin sekali bolos saja. Seledri bukanlah mahasiswa yang begitu bodoh, ia cukup pintar di kelasnya hanya saja tidak cukup untuk menjaminnya lulus begitu saja dalam setiap mata kuliah, terlebih lagi dengan bahasa yang digunakan.Mandi pagi dan sore hari adalah kebiasaan orang Indonesia. Seledri tidak mengikuti kebiasaan itu pagi ini. terlalu malas dan juga ia sedikit terlambat. Ia hanya menyikat gigi dan mencuci muka, kemudian mengganti pakaian dan menggunakan skincare. Deodorant? Nope! Di musim seperti ini ketiak akan lebih jinak dan tidak mengeluarkan bau apapun.Gedung asrama dan gedung F hanya butuh sepuluh hingga lima belas menit dengan berjalan kaki.Seledri berjalan santai sambil membawa tote bagnya. Ia jug
Seledri meninggalkan ruang ujian dengan bersemangat. Senyumnya secerah matahari di musim panas. Ia lalu berjalan menuju lift untuk ke lantai satu. Ia mempercepat langkahnya tatkala lift itu hendak tertutup.Sayangnya, ia terlambat beberapa detik. Bisa saja orang di dalam lift menahan lift tertutup. Sayanganya, mereka bukanlah orang yang bisa diajak kerjasama. Seledri masih tersenyum, baginya mengerjakan soal ujian dengan sangat mudah masih cukup membuatnya bergembira.“Dari tadi senyum-seyum mulu.” Suara Alfa mengagetkannya. Seledri mengubah ekspresi riangnya menjadi datar.“Karena senyum bisa membuat luka sedikit tertutupi,” balasnya cuek. “Ah, aku mau lewat tangga saja,” imbuhnya lagi sambil berjalan ke sisi kanan lift dan mulai menuruni anak tangga. Ia seperti menghindari Alfa.“Ayo jalan bersama. Aku juga akan lewat tangga saja. ini hanya di lantai empat, menuruni tangga sepertinya bisa membakar sedikit lemak.
Seledri lalu membuka lemari pakaian dan melihat-lihat ada hal bagus apa yang bisa ia gandakan dari sana. “Oh iya aku lupa kalau aku tidak punya apa-apa.” Ia tersenyum kecut dalam batinnya. “Claire? Aku rasa ia punya sesuatu yang mahal.” Seledri segera berlari menuju gedung sebelah. Gedung asrama milik Claire. Tuk tu tuk …. Claire membuka pintu dengan malasnya. Wajah kusutnya cukup menjelaskan bahwa kedatangan Seledri benar-benar menganggunya. “Apa yang kamu inginkan?” “Claire, bolehkah aku meminjam perhiasanmu sebentar? Aku akan mengembalikannya dengan segera.” Calire menyipitkan matanya. “Kamu tidak sedang berusaha menipuku, kan?” tanyanya penuh selidik. “Shi Li apa kamu dalam masalah? Kamu butuh uang? Aku bisa meminjamkanmu.” “Tidak, aku hanya membutuhkan perhiasanmu em …” Seledri menghentikan kalimatnya. Ia harus menemukan alasan yang tepat untuk meminjam benda mahal itu. “Aku ingin membuat desain perhiasan. Aku perl
Seledri dan Nina lalu membuat masakan untuk makan malam mereka berempat. Awal desember yang dingin sangat tepat rasanya bila memakan makanan dari kampung halaman. Bukan berarti makanan di Tiongkok tidak enak, hanya saja terkadang ada masanya rasa rindu dengan cita rasa masakan negeri sendiri.Nina lalu memasukan hasil opor ayam ke dalam mangkuk yang besar. Aroma khas bumbu itu membuat saliva Seledri ingin segera meluncur dengan lancangnya.“Tahan keinginanmu, Sel. Sebentar lagi kok kita akan makan bersama,” ledek Nina yang melihat wajah lucu Seledri saat memandang opor ayam itu. “Betewe tadi ikannya kamu beli di mana?”“Oh, di toko kecil yang dekat asrama anak lokal. Di sana lebih lengkap.”“Jauh juga belinya.”“Kan naik sepeda. Tapi anginnya semiriwiiigggg ….”“Iyalah, musim dingin begini. Orang gila siapa yang mau naik sepeda, yang ada masuk angin. Tapi betewe terima
Seledri menutup pintu asramanya dan segera kembali membantu Nina mencuci piring.“Apa ada pernyataan cinta?” tanya Nina dengan jahilnya.“Kak … lama-lama kamu aku usir juga.”“U … aku takut sekali. Ah, setelah ini a ku mau ijin sama penjaga asrama untuk nginap di kamarmu. Aku tidak mungkin balik jam segini.”“Tidak usah minta ijin juga tidak apa-apa kok. Aku sering melihat mahasiswa asing di sini berkeliaran, lagi pula kamu juga mahasiswa universitas ini.”“Ya tetap saja, peraturan adalah peraturan. Aku tidak ingin di masa depan kamu mendapat kesulitan karena aku. Aku turun sebentar ke lantai satu, ya. Ini sisa panci saja kok. Hehehe.”Nina lalu turun menuju lantai satu dan menemui dua penjaga di sana. Ada dua orang di sana, satu adalah Bibi penjaga dan yang satunya seperti penjaga keamanan.Sementara Nina berada di sana, Seledri mencerna kembali kata-kata Alfa.