“Wang Shi Li … Wang Shi Li ….”
Seledri mulai terbiasa sedikit untuk mendengar bisik-bisik suara yang terus memanggil namanya. Meskipun awalnya ia ketakutan, ia berusaha untuk tidak terlalu memedulikannya.
Hadapi ketakutanmu, mungkin itulah yang ada di dalam kepala gadis itu. Dua hari telah berlalu setelah kejadian itu. Ia sangat yakin itu adalah panggilan dari cermin tua yang ia beli di sebuah toko kecil di wilayah Bijiangdao. Ia mengingat-ingat kembali kejadian itu dan menangkap sesuatu yang aneh. Sejak awal ia sama sekali tidak berniat membeli benda aneh nan mahal itu.
“Aku terhipnotis?”
“Wang Shi ….”
“Hentikan!” teriaknya, “tak bisakah kau berhenti memanggilku? Aku sedang belajar!” Rasa marah Seledri sudah memuncak, ia membutuhkan konsentrasi dibanding rasa takut dengan benda aneh itu. Ujian akhir semester tengah di depan mata. Ia harus mempersiapkannya dengan baik.
Hingga setengah jam berlalu, ia tidak mendengar suara itu memanggil namanya lagi. Bahkan hingga selesai belajar, makan dan mandi.
“Benar … ini hanya hayalanku saja. selama ini, suara itu tidak ada. Rasa takutku yang membuat suara itu terlihat nyata.”
Seledri mengambil cermin itu lagi dan memandanginya. Rasa penasaran dengan cermin itu masih ada.
“Cermin … sungguh aku tidak mengerti semua hal ini. apa ini mimpi atau tidak ….” Katanya sambil memasang wajah datar. Ia memandangi wajahnya dari pantulan itu, sebelum akhirnya menyadari pantulannya ter-senyum. “Kau bercanda … lama-lama aku bisa gila seperti ini. Setelah suara apa lagi kini?” tanya Seledri dengan senyum sinis.
“Aku bisa membantumu.”
“Omong kosong.”
Satu menit kemudian ia baru menyadari perkataannya dibalas cermin itu.
“Apa kau bilang? Membantuku?”
“Ya!”
Seledri perlu membuktikan perkataan cermin yang yakini hanya halusinasinya saja.
“Oke, setelah ini aku akan bangun dan tahu kalau semua ini hanyalah mimpi,” ucapnya pelan. ia lalu membawa cermin itu ke meja belajarnya lalu membuka sebuah lembaran tugas yang belum ia isi sama sekali. “Nah, kalau bisa, tunjukan! Aku ingin melihat bagaimana kau membantuku.
Cermin itu memancarkan cahaya yang menyilaukan. Seledri menutup matanya. Ia lalu melihat ke arah kertas tugasnya. Masih kosong.
“Omong kosong, apa yang aku harapkan dari benda itu.” Ia melemparkan cermin itu ke kasur. Matanya lalu kembali terarah ke kertas itu yang perlahan terisi degan tulisan yang bermunculan. “Waow … aku suka ini. Oh iya, ini hanya sebuah mimpi, begitu aku bangun maka semuanya akan hilang. Good job cermin, kau mempermainkanku dalam mimpiku.”
Seledri terus mengoceh sendiri tentang ketidak percayaannya hingga sebuah panggilan masuk dalam ponselnya.
“Shi Li … apa aku boleh ke kamarmu? Buku tentang pengetahuan herbal milikku apa sudah selesai kau pinjam? Boleh aku mengambilnya kembali?”
“Oh Tentu, maaf Beatrice aku lupa mengembalikannya. Aku akan ke sana, kau tak usah repot ke kamarku, oke.”
Seledri lalu mengambil salah satu buku dari meja belajarnya kemudian berjalan secepat mungkin menuju lantai enam. Ini adalah hal yang kurang sopan. Bagaimana mungkin ia meminjam buku terlalu lama. Ia berjalan cepat hingga salah memijakkan kaki pada anak tangga.
Bruk!
“Awh!” ringisnya. Ia menahan sakit.
Ia tetap melanjutkan jalan hingga ke kamar Beatrice.
“Shi Li, kamu baik-baik saja?” kenapa dengan lutut dan sikumu?” tanya Beatrice khawatir .
“Aku jatuh di sana, hehehe,” jawab Seledri masih bisa tersenyum. “Tunggu! Aku terjatuh? Sakit? Ini bukan mimpi?”
Beatrice dibuat bingung dengan pertanyaan Seledri.
“I-iya, ini bukan mimpi. Oh, jangan katakan padaku kamu mengira kamu sedang bermimpi.”
“Apa ini nyata?”
“Masuklah,” kata Beatrice. Ia menarik tangan Seledri dan membawanya masuk. “Ada apa denganmu? Kau terlihat bingung.”
“Ini bukumu, maaf ya aku terlambat mengembalikannya.”
“Tidak masalah, nah sekarang katakan padaku apa yang terjadi padamu.”
“Aku baik-baik saja, aku hanya sedang bangun tidur dan aku belum sepenuhnya sadar tapi aku tidak yakin.”
“Apa panggilan teleponku membangunkanmu, Oh Shi Li maafkan aku ….”
“Tidak, tidak. Aku yakin aku sedang melakukan sesuatu sebelum itu.” Seledri terdiam sesaat sebelum akhirnya meninggalkan Beatrice dan kembali ke kamarnya. Ia terus menepuk-nepuk pipinya sambil berkata, “ini mimpi? Atau kenyataan? Ah ini hanya mimpi. Tidak, aku bisa merasakan sakit.”
Ia lalu bergegas menuju meja belajarnya dan melihat kertas tugasnya.
“Ini bukan mimpi … cermin itu benar-benar menjawab tugasku.”
Seledri lalu mencari keberadaan cermin itu.
“Apa kau bisa membantuku lagi?”
“Tentu.”
“Aaaaaa!!!!”
Seledri ingin berteriak lebih kencang, ia tidak percaya apa yang dialaminya sekarang. Tidak ada alasan menganggap itu hanyalah mimpi, ini nyata dan benar-benar terjadi. Seledri mulai memikirkan bantuan seperti apa yang bisa ia minta pada cermin itu.
Ia mengecek kembali jawaban yang diberikan oleh cermin itu pada lembaran tugasnya.
“Waow, aku pikir mungkin saja ini jawaban asal-asalan, tapi sepertinya ini benar … aku akan memeriksanya.”
Seledri lalu menuliskan sebuah operasi penjumlahan sederhana empat tambah dua kali lima.
Ia lalu melakukan hal yang sama pada soal itu. Ia menunggu sesaat jawaban yang akan muncul nantinya.
Empat belas. Itu adalah jawaban yang tepat.
“Waow, ia bahkan tahu peraturan matematika.”
Seledri tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, ia mengambil semua buku dan juga tugas-tugas yang belum ia sempat kerjakan dan memperlihatkannya ke dalam cermin. “Dengan begini aku bisa tidur dengan nyenyak setiap malam. Aku tidak perlu mengerjakan tugas-tugas itu dengan berpikir keras.”
“Huahaha, setidaknya satu lagi masalahku teratasi. Aku berharap ini memang bukan mimpi. Baiklah aku akan tidur dan bangun lagi dengan begitu aku akan semakin yakin dengan kenyataan ini.”
Seledri memutuskan untuk tidur. Ia juga sempat membersihkan luka yang didapatinya di tangga. Entah gadis itu masih memikirkan semua ini hanyalah hayalan atau tidak. Rasanya cermin itu terlalu ajaib untuk menjadi nyata. Kalau memang bisa seperti itu, alangkah bagus lagi bila ia meminta menjadi orang kaya.
Seledri berusaha memejamkan matanya.
“Ah, sial aku sudah terlalu lama tidur siang tadi. Tunggu, aku sedikit bingung sekarang. Apa aku masih berada di dunia mimpi atau nyata. What? Ada apa denganku?”
Kruk kruk kruk … perut gadis itu berbunyi meminta diisi dengan makanan. Hal yang wajar mengingat ia memang sedari tadi belum memakan apapun.
Seledri menuju ricecooker dan mengambil nasi di sana. Ia hanya akan makan nasi kecap. Ia terlalu malas untuk memasak ataupun membeli lauk yang sudah jadi di kantinnya. Di saat dingin seperti ini, duduk dengan tenang dalam kamar adalah pilihan yang terbaik.
Kesenangan sesaat tentang keajaiban cermin itu berlalu begitu saja. Ada hal lain yang menjadi perhatiannya. Lalu setelah ini apa? Apa dengan tugas yang selesai itu akan menyelesaikan masalah keuangannya? Ia membutuhkan uang untuk bertahan hidup dua bulan setelah ini.
Seledri tidak bisa bersantai. Ia harus segera menemukan alternatif lain untuk mendapatkan uang bagaimanapun caranya.
Ia melirik sesaat lagi ke arah tumpukan tugas itu.
“Jasa mengerjakan tugas?” ucapnya pelan disetai senyum penuh kelicikan.
Seledri pernah mendengar dan melihat hal semacam itu di internet. Tentu saja itu sebuah jasa yang tidak disaranakan. Seperti kegiatan ilegal yang sangat berbahaya bila ketahuan. Tapi apa bedanya dengan membantu orang lain menyontek? Toh, sama saja. Apalagi, ini menguntungkan keduanya tanpa merasa balas budi. Ini adalah soal uang. Bisnis is bisnis.
Sang surya menyapa dengan santainya. Musim dingin telah datang. Kini, menggunakan padding adalah kewajiban. Salju memang belum menyapa, namun hawa dingin semakin terasa. Seledri bangun dengan malas. Ia memiliki kuliah pagi di gedung F. Rasanya, ingin sekali bolos saja. Seledri bukanlah mahasiswa yang begitu bodoh, ia cukup pintar di kelasnya hanya saja tidak cukup untuk menjaminnya lulus begitu saja dalam setiap mata kuliah, terlebih lagi dengan bahasa yang digunakan.Mandi pagi dan sore hari adalah kebiasaan orang Indonesia. Seledri tidak mengikuti kebiasaan itu pagi ini. terlalu malas dan juga ia sedikit terlambat. Ia hanya menyikat gigi dan mencuci muka, kemudian mengganti pakaian dan menggunakan skincare. Deodorant? Nope! Di musim seperti ini ketiak akan lebih jinak dan tidak mengeluarkan bau apapun.Gedung asrama dan gedung F hanya butuh sepuluh hingga lima belas menit dengan berjalan kaki.Seledri berjalan santai sambil membawa tote bagnya. Ia jug
Seledri meninggalkan ruang ujian dengan bersemangat. Senyumnya secerah matahari di musim panas. Ia lalu berjalan menuju lift untuk ke lantai satu. Ia mempercepat langkahnya tatkala lift itu hendak tertutup.Sayangnya, ia terlambat beberapa detik. Bisa saja orang di dalam lift menahan lift tertutup. Sayanganya, mereka bukanlah orang yang bisa diajak kerjasama. Seledri masih tersenyum, baginya mengerjakan soal ujian dengan sangat mudah masih cukup membuatnya bergembira.“Dari tadi senyum-seyum mulu.” Suara Alfa mengagetkannya. Seledri mengubah ekspresi riangnya menjadi datar.“Karena senyum bisa membuat luka sedikit tertutupi,” balasnya cuek. “Ah, aku mau lewat tangga saja,” imbuhnya lagi sambil berjalan ke sisi kanan lift dan mulai menuruni anak tangga. Ia seperti menghindari Alfa.“Ayo jalan bersama. Aku juga akan lewat tangga saja. ini hanya di lantai empat, menuruni tangga sepertinya bisa membakar sedikit lemak.
Seledri lalu membuka lemari pakaian dan melihat-lihat ada hal bagus apa yang bisa ia gandakan dari sana. “Oh iya aku lupa kalau aku tidak punya apa-apa.” Ia tersenyum kecut dalam batinnya. “Claire? Aku rasa ia punya sesuatu yang mahal.” Seledri segera berlari menuju gedung sebelah. Gedung asrama milik Claire. Tuk tu tuk …. Claire membuka pintu dengan malasnya. Wajah kusutnya cukup menjelaskan bahwa kedatangan Seledri benar-benar menganggunya. “Apa yang kamu inginkan?” “Claire, bolehkah aku meminjam perhiasanmu sebentar? Aku akan mengembalikannya dengan segera.” Calire menyipitkan matanya. “Kamu tidak sedang berusaha menipuku, kan?” tanyanya penuh selidik. “Shi Li apa kamu dalam masalah? Kamu butuh uang? Aku bisa meminjamkanmu.” “Tidak, aku hanya membutuhkan perhiasanmu em …” Seledri menghentikan kalimatnya. Ia harus menemukan alasan yang tepat untuk meminjam benda mahal itu. “Aku ingin membuat desain perhiasan. Aku perl
Seledri dan Nina lalu membuat masakan untuk makan malam mereka berempat. Awal desember yang dingin sangat tepat rasanya bila memakan makanan dari kampung halaman. Bukan berarti makanan di Tiongkok tidak enak, hanya saja terkadang ada masanya rasa rindu dengan cita rasa masakan negeri sendiri.Nina lalu memasukan hasil opor ayam ke dalam mangkuk yang besar. Aroma khas bumbu itu membuat saliva Seledri ingin segera meluncur dengan lancangnya.“Tahan keinginanmu, Sel. Sebentar lagi kok kita akan makan bersama,” ledek Nina yang melihat wajah lucu Seledri saat memandang opor ayam itu. “Betewe tadi ikannya kamu beli di mana?”“Oh, di toko kecil yang dekat asrama anak lokal. Di sana lebih lengkap.”“Jauh juga belinya.”“Kan naik sepeda. Tapi anginnya semiriwiiigggg ….”“Iyalah, musim dingin begini. Orang gila siapa yang mau naik sepeda, yang ada masuk angin. Tapi betewe terima
Seledri menutup pintu asramanya dan segera kembali membantu Nina mencuci piring.“Apa ada pernyataan cinta?” tanya Nina dengan jahilnya.“Kak … lama-lama kamu aku usir juga.”“U … aku takut sekali. Ah, setelah ini a ku mau ijin sama penjaga asrama untuk nginap di kamarmu. Aku tidak mungkin balik jam segini.”“Tidak usah minta ijin juga tidak apa-apa kok. Aku sering melihat mahasiswa asing di sini berkeliaran, lagi pula kamu juga mahasiswa universitas ini.”“Ya tetap saja, peraturan adalah peraturan. Aku tidak ingin di masa depan kamu mendapat kesulitan karena aku. Aku turun sebentar ke lantai satu, ya. Ini sisa panci saja kok. Hehehe.”Nina lalu turun menuju lantai satu dan menemui dua penjaga di sana. Ada dua orang di sana, satu adalah Bibi penjaga dan yang satunya seperti penjaga keamanan.Sementara Nina berada di sana, Seledri mencerna kembali kata-kata Alfa.
Seledri dan Ica sudah sampai di depan kamar Ica. Mereka segera masuk.“Aku akan membantumu menyiapkan tempat tidurmu. Kamu bisa mandi terlebih dahulu.”Ica menyetujuinya. Tubuhnya memang sudah lengket setelah perjalanan yang panjang. Ica lalu mengambil pakaian dan perlengkapan mandi dari kopernya lalu masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya, sementara itu Seledri memasang seprei, sarung bantal, dan merapikan menghilangkan sedikit debu yang ada di kamar Ica.“Aku ingin anak itu.” Seledri mendengar sebuah bisikan tepat di telinganya. “Ya, anak yang kau panggil Ica. Aku ingin jiwa anak itu.”Seledri terkejut mendengar bisikan itu. “Apa maksud suara itu? Apa ia menginginkan Ica? Untuk apa?”“Sel …” panggil Ica pelan.“Ah, iya.” Seledri sedikit terkejut saat kedatangan Ica dari kamar mandi.“Kamu kenapa? Apa kamu baik-baik saja?”
Kelas dimulai setelah Wang Laoshi memasuki ruangan. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ia mengadakan kuis hari ini. Terlihat sangat jelas dari ekspresi mahasiswa itu mereka mengutuki Wang Laoshi dalam bahasa mereka masing-masing yang tentu saja tidak dimengerti oleh sang guru. Sarah juga terkejut, namun kemudian ia memasang kembali wajah datar.Seledri panik, sangat panik. Hari ini adalah hari kegagalannya yang lain. Setelah berpuas menggunakan cermin ajaib untuk urusan sekolahnya, ia harus mandiri sekarang. Tumbal, ya sebuah tumbal yang sangat tidak bisa ia berikan untuk mengganti itu semua. Mana mungkin sebuah cermin meminta jiwa atau sejenisnya.Sarah lalu mengambil perannya sebagai ketua kelas seperti biasa dan membagikan lembaran soal itu. Ia berhenti sedikit lama di meja Seledri dan menatapnya. Sebuah tatapan ajakan lomba ‘mari kita buktikan nilai siapa yang tinggi kali ini’.Seledri sudah bulat pada pendiriannya, ia menja
Malam berlalu, hari itu Seledri tidur di kamar Ica dan memastikan sahabatnya baik-baik saja. cermin yang muncul secara misterius semalam sudah cukup membuatnya takut akan terjadi sesuatu pada Ica.“Wang Shi Li …”Seledri terkejut saat mendengar namanya dipanggil lagi. Lebih terkejut lagi saat ia melihat Ica berdiri di sana. Tatapan kosong dan juga memegang cermin di dadanya. Sebuah pemandangan yang sangat tidak diinginkan.“Ica, buang cermin itu sekarang!” teriak Seledri.“Aku adalah cermin dan cermin adalah aku.”“Tidak Ica, kau adalah sahabatku dan aku tidak akan membiarkan cermin itu mengambilmu.”“Aku adalah cermin dan cermin adalah aku.”Seledri mendekati Ica dan berusaha menyadarkannya. Tangannya ditepis dengan mudah. Tubuh Seledri terpental.“Uhuk!” Seledri berusaha bangkit. Ia tidak peduli apapun yang terjadi. Ia tidak akan membiarkan Ica dia