Pelajaran itu selesai. Meskipun ia sangat ingin keluar, ia memastikan Ke Laoshi terlebih dahulu keluar dari kelas. Sungguh akan tidak sopan bila keluar terlebih dahulu dari sang guru, bukan? Setelah Ke Laoshi meninggalkan kelas, murid-murid itu segera menuju kantin ataupun kembali ke asrama untuk beristirahat.
Sama halnya dengan murid yang menguras energy saat berpikir, tentu Seledri akan terlebih dahulu menuju kantin untuk mengisi perutnya. Ia sudah berada dalam barisan mahasiswa kelaparan di sana. Pada jam makan siang seperti ini tentu kantin akan padat sekali. Banyak juga dari mereka yang akhirnya memutuskan untuk membungkusnya saja dan memakannya di kamar masing-masing.
Seledri mengambil nampan dan piring, magkuk, sumpit dan juga sendok. Ia mulai memilih makanan di kantinnya. Biasanya ia akan menghabiskan setidaknya sepuluh sampai lima belas kuai untuk sekali makan. Ia benar-benar berhemat sekarang. Delapan kuai cukup baginya untuk mendapat menu yang terbilang enak.
“Waow, kamu mengambil sedikit. Boleh aku duduk di sini?” Suara Alfa yang khas mengagetkannya yang sedang fokus menyumpit brokoli. Alfa lalu menaruh tas dan duduk di sana.
“Alfa ….”
Alfa mengambil posisi dan berhadapan dengan Seledri, mereka makan siang bersama.
“Bagaimana di tahun kedua? Lebih enak mana, kelas bahasa atau jurusan?” tanyanya membukapembicaraan. Bukan hal yang mudah untuk mengajak gadis itubercerita.
“Bahasalah,” jawabnya kesal. Ia sedang mencurigai pemuda di depannya ini. “Apa benar Alfa yang membocorkan rahasiaku? Tapi apa motifnya?”
“Alfa …,” panggilnya sedikit ragu.
“Ya?”
“Ah, tidak. Tidak ada apa-apa.”
“Lanjutkan makannya, apa kamu sedang diet? Sedikit sekali tidak seperti biasanya. Biasanya itu masih ada lagi tambahan daging di sini dan juga buah.”
“Waow, apa kamu memerhatikanku? Itu bukan urusanmu, lagi pula ada seseorang yang diam-diam melaporkan pekerjaanku. Sekarang aku harus berhemat untuk hidup,” sindir Seledri.
“Maksudnya?” tanya Alfa kebingungan.
“Aku sudah selesai,” ucap Seledri kemudian menaruh nampan yang berisi perlengkapan makan di tempat yang sudah disediakan. Ia kemudian berjalan dan kembali menuju asrama.
“Shi li ….”
Samar-samar, Seledri mendengar namanya dipanggil. Sebuah bisikan pelan namun sangat nyata. Suara itu tidak jauh namun juga tidak begitu jelas.
“Wang Shi li ….”
Lagi dan lagi, panggilan itu membuatnya bergidik. Apa ini halusinasi ataukah ia sedang bermimpi?
“Wang Shi Li!” Suara itu semakin jelas dan keras.
Seledri terkejut dan bangun dari tidurnya. Itu adalah tidur siang yang singkat dengan akhir yang sedikit menegangkan. Ia mengambil gelas berisi air dan meminumnya.
Ddrdrdtttddrrtttt
Sebuah panggilan video masuk. Ah, sungguh tidak enak sekali mengangkatnya dalam keadaan sepeerti ini.
“Halo, wah … rupanya kamu baru bangun?” tanya gadis di seberang.
“Aku tidur sebentar tadi. Bagaimana kabarmu Ica?” tanyanya sambil mengucek mata. Seledri masih mengumpulkan nyawanya untu kmenyapa Ica melalui panggilan video.
“Baik. Waow, Seledri kamu sangat berkeringat. Aku pikir di sana sudah menjelang musim dingin. Apa kamu sama sekali tidak merasa kedinginan?”
“Tentu. Aku hanya baru saja bermimpi buruk. Kamu menghubungiku pasti ada sesuatu, kan? Ayo katakan pada kakak.”
Merica Anggraini, atau yang disapa Ica adalah adik sepanti Seledri. Entah kebetulan atau takdir, nama keduanya seperti bumbu dapur. Mereka adalah teman sebaya dan juga saudara. Ya, saudara dalam satu nasib, terlahir sebagai anak yang dititipkan di panti asuhan yang sama.
“A, itu … Kak, apa Kakak sedang bersama seseorang?”
“Kamu bercanda? Aku sendirian di kamar ini.”
Ica mengucekmatanya kembali, ia harap tadi itu hanya kesalahan optiksaja.
“Ah, benar, aku hanya salah lihat. Jadi, bagaimana kuliahmu? Apa di sana menyenangkan? Sudah satu setengah tahun dan kamu tidak pernah pulang. Kami di sini merindukanmu.”
“Aku juga.”
Bukannya tak rindu, ongkos pulang pergi ke Indonesia bisa mencapai sepuluh juta untuk bolak balik, dari pada membuang uang untuk tiket pesawat, akan jauh lebih baik bila uang itu digunakan untuk hal lain. Seledri memilih untuk mengirimkannya pada Ibu panti untuk digunakan sebagai dana tambahan.
Selesai bertemu kangen melalui video call, Seledri memutuskan untuk mandi. Langkahnyatiba-tiba terhenti saat melihat cahaya yang besar keluar dari cermin yang dibelinya kemarin. Ini bukan mimpi, Seledri sudah meyakinkannya dengan mencubit lengannya.
Sedikit takut dan ragu, Seledri mendekati cermin itu mengambilnya lalu melihatnya.
“Pelanggaran ilegal.” Sebuah kalimat singkat yang terucap dari sana.
“Apa ini?” tanggap seledri kebingungan. “Cermin itu berbicara padaku? Bayanganku berbicara padaku?”
“Berbohong pada dewan universitas.”
“Bekerja tanpa visa pekerja.”
“Mengatakan bahwa baik-baik saja.”
“Kau sedang tidak baik-baik saja, akuilah itu Wang Shi Li.”
Seledri membuang kaca itu dari hadapannya dan berlari sekencang-kencangnya keluar dari kamarnya. Ini bukan mimpi, cermin itu memang berbicara dengannya. Ia lalu menuju lantai empat untuk menemui Claire.
Dukdukduk, ia mengetuk pintu kamar Claire dengan sangat kencang.
“Seledri, ada apa? Apa kamu dikejar seseorang?” tanya Claire sambil memperhatikan keadaan di luar lalu menarik Seledri masuk ke dalam kamarnya.
“Cermin itu … ia berbicara padaku, kali ini kamu harus percaya padaku.”
Claire hanya tersenyum lalu memberi segelas air pada gadis itu. “Minum dulu.”
“Claire … aku tahu ini gila, AKU SANGAT YAKIN DENGAN APA YANG AKU LIHAT DAN DENGAR!”
Claire masih tersenyum. Ia lalu mendekat dan memegang dua pipi Seledri dan menenangkannya. “Dengar, kamu hanya bermimpi buruk. Wajah bangun tidurmu itu sudah cukup membuktikannya.”
Seledri menarik tangan Claire dan membawanya ke kamarnya. “Ayo kita buktikan!”
Mereka menuruni tangga dengan cepat dan mendekati kamar Seledri.
“Aku membuang cermin tadi di atas tempat tidur, seingatku sebelum aku berlari ke kamarmu.”
Claire tertawa geli. Ia lalu menggengaam cermin itu di tangannya seraya berkata, “Oke, sekarang semua semakin jelas. lihat ini, cermin ini yang kamu cari, ‘kan? Benda ini malah duduk manis sedari tadi di atas meja riasmu.”
“Tidak mungkin, aku sangat yakin membuangnya ke arah sana.”
“Oh My God, hentikan itu Shi Li. Aku mulai muak dengan semua ocehanmu. Sudahya, tidurlah kembali dan nikmatilah harimu. Aku akan kembali ke kamarku, bye.” Claire lalu meninggalkan Seledri di sana dan kembali ke kamarnya.
“Mungkin aku memang hanya bermimpi.” Seledri berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ia tak ingin berpikir yang tidak-tidak. Ia lalu menuju dapur dan meminum segelas air. “Aish, aku sudah minum tadi di kamar Claire, kenapa aku minum lagi? Ini hanya haus mata.”
Seledri lalu memutuskan melanjutkan tidur siangnya yang terganggu. Ia memejamkan mata kembali, lebih tepatnya memaksakan matanya agar tertutup.
“Shi Li … kau tidak bermimpi. Aku nyata.”
Seledri bangkit dari ranjangnya. Ia mencari asal suarai tu. Apa benar itu dari cermin seperti kejadian sebelumnya?
“Aku adalah cermin, cermin adalah aku.”
“Jadi, apa maumu?” Meski takut, Seledri mencoba menjawab suara itu.
“Aku akan membantumu.”
“Kenapa kau harus membantuku?”
“Karena kau istimewa Shi Li, kau adalah Tuanku.”
Seledri terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa sekarang. Hal ini terlalu halu untuk menjadi kenyataan.
“Wang Shi Li … Wang Shi Li ….”Seledri mulai terbiasa sedikit untuk mendengar bisik-bisik suara yang terus memanggil namanya. Meskipun awalnya ia ketakutan, ia berusaha untuk tidak terlalu memedulikannya.Hadapi ketakutanmu, mungkin itulah yang ada di dalam kepala gadis itu. Dua hari telah berlalu setelah kejadian itu. Ia sangat yakin itu adalah panggilan dari cermin tua yang ia beli di sebuah toko kecil di wilayah Bijiangdao. Ia mengingat-ingat kembali kejadian itu dan menangkap sesuatu yang aneh. Sejak awal ia sama sekali tidak berniat membeli benda aneh nan mahal itu.“Aku terhipnotis?”“Wang Shi ….”“Hentikan!” teriaknya, “tak bisakah kau berhenti memanggilku? Aku sedang belajar!” Rasa marah Seledri sudah memuncak, ia membutuhkan konsentrasi dibanding rasa takut dengan benda aneh itu. Ujian akhir semester tengah di depan mata. Ia harus mempersiapkannya dengan baik.
Sang surya menyapa dengan santainya. Musim dingin telah datang. Kini, menggunakan padding adalah kewajiban. Salju memang belum menyapa, namun hawa dingin semakin terasa. Seledri bangun dengan malas. Ia memiliki kuliah pagi di gedung F. Rasanya, ingin sekali bolos saja. Seledri bukanlah mahasiswa yang begitu bodoh, ia cukup pintar di kelasnya hanya saja tidak cukup untuk menjaminnya lulus begitu saja dalam setiap mata kuliah, terlebih lagi dengan bahasa yang digunakan.Mandi pagi dan sore hari adalah kebiasaan orang Indonesia. Seledri tidak mengikuti kebiasaan itu pagi ini. terlalu malas dan juga ia sedikit terlambat. Ia hanya menyikat gigi dan mencuci muka, kemudian mengganti pakaian dan menggunakan skincare. Deodorant? Nope! Di musim seperti ini ketiak akan lebih jinak dan tidak mengeluarkan bau apapun.Gedung asrama dan gedung F hanya butuh sepuluh hingga lima belas menit dengan berjalan kaki.Seledri berjalan santai sambil membawa tote bagnya. Ia jug
Seledri meninggalkan ruang ujian dengan bersemangat. Senyumnya secerah matahari di musim panas. Ia lalu berjalan menuju lift untuk ke lantai satu. Ia mempercepat langkahnya tatkala lift itu hendak tertutup.Sayangnya, ia terlambat beberapa detik. Bisa saja orang di dalam lift menahan lift tertutup. Sayanganya, mereka bukanlah orang yang bisa diajak kerjasama. Seledri masih tersenyum, baginya mengerjakan soal ujian dengan sangat mudah masih cukup membuatnya bergembira.“Dari tadi senyum-seyum mulu.” Suara Alfa mengagetkannya. Seledri mengubah ekspresi riangnya menjadi datar.“Karena senyum bisa membuat luka sedikit tertutupi,” balasnya cuek. “Ah, aku mau lewat tangga saja,” imbuhnya lagi sambil berjalan ke sisi kanan lift dan mulai menuruni anak tangga. Ia seperti menghindari Alfa.“Ayo jalan bersama. Aku juga akan lewat tangga saja. ini hanya di lantai empat, menuruni tangga sepertinya bisa membakar sedikit lemak.
Seledri lalu membuka lemari pakaian dan melihat-lihat ada hal bagus apa yang bisa ia gandakan dari sana. “Oh iya aku lupa kalau aku tidak punya apa-apa.” Ia tersenyum kecut dalam batinnya. “Claire? Aku rasa ia punya sesuatu yang mahal.” Seledri segera berlari menuju gedung sebelah. Gedung asrama milik Claire. Tuk tu tuk …. Claire membuka pintu dengan malasnya. Wajah kusutnya cukup menjelaskan bahwa kedatangan Seledri benar-benar menganggunya. “Apa yang kamu inginkan?” “Claire, bolehkah aku meminjam perhiasanmu sebentar? Aku akan mengembalikannya dengan segera.” Calire menyipitkan matanya. “Kamu tidak sedang berusaha menipuku, kan?” tanyanya penuh selidik. “Shi Li apa kamu dalam masalah? Kamu butuh uang? Aku bisa meminjamkanmu.” “Tidak, aku hanya membutuhkan perhiasanmu em …” Seledri menghentikan kalimatnya. Ia harus menemukan alasan yang tepat untuk meminjam benda mahal itu. “Aku ingin membuat desain perhiasan. Aku perl
Seledri dan Nina lalu membuat masakan untuk makan malam mereka berempat. Awal desember yang dingin sangat tepat rasanya bila memakan makanan dari kampung halaman. Bukan berarti makanan di Tiongkok tidak enak, hanya saja terkadang ada masanya rasa rindu dengan cita rasa masakan negeri sendiri.Nina lalu memasukan hasil opor ayam ke dalam mangkuk yang besar. Aroma khas bumbu itu membuat saliva Seledri ingin segera meluncur dengan lancangnya.“Tahan keinginanmu, Sel. Sebentar lagi kok kita akan makan bersama,” ledek Nina yang melihat wajah lucu Seledri saat memandang opor ayam itu. “Betewe tadi ikannya kamu beli di mana?”“Oh, di toko kecil yang dekat asrama anak lokal. Di sana lebih lengkap.”“Jauh juga belinya.”“Kan naik sepeda. Tapi anginnya semiriwiiigggg ….”“Iyalah, musim dingin begini. Orang gila siapa yang mau naik sepeda, yang ada masuk angin. Tapi betewe terima
Seledri menutup pintu asramanya dan segera kembali membantu Nina mencuci piring.“Apa ada pernyataan cinta?” tanya Nina dengan jahilnya.“Kak … lama-lama kamu aku usir juga.”“U … aku takut sekali. Ah, setelah ini a ku mau ijin sama penjaga asrama untuk nginap di kamarmu. Aku tidak mungkin balik jam segini.”“Tidak usah minta ijin juga tidak apa-apa kok. Aku sering melihat mahasiswa asing di sini berkeliaran, lagi pula kamu juga mahasiswa universitas ini.”“Ya tetap saja, peraturan adalah peraturan. Aku tidak ingin di masa depan kamu mendapat kesulitan karena aku. Aku turun sebentar ke lantai satu, ya. Ini sisa panci saja kok. Hehehe.”Nina lalu turun menuju lantai satu dan menemui dua penjaga di sana. Ada dua orang di sana, satu adalah Bibi penjaga dan yang satunya seperti penjaga keamanan.Sementara Nina berada di sana, Seledri mencerna kembali kata-kata Alfa.
Seledri dan Ica sudah sampai di depan kamar Ica. Mereka segera masuk.“Aku akan membantumu menyiapkan tempat tidurmu. Kamu bisa mandi terlebih dahulu.”Ica menyetujuinya. Tubuhnya memang sudah lengket setelah perjalanan yang panjang. Ica lalu mengambil pakaian dan perlengkapan mandi dari kopernya lalu masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya, sementara itu Seledri memasang seprei, sarung bantal, dan merapikan menghilangkan sedikit debu yang ada di kamar Ica.“Aku ingin anak itu.” Seledri mendengar sebuah bisikan tepat di telinganya. “Ya, anak yang kau panggil Ica. Aku ingin jiwa anak itu.”Seledri terkejut mendengar bisikan itu. “Apa maksud suara itu? Apa ia menginginkan Ica? Untuk apa?”“Sel …” panggil Ica pelan.“Ah, iya.” Seledri sedikit terkejut saat kedatangan Ica dari kamar mandi.“Kamu kenapa? Apa kamu baik-baik saja?”
Kelas dimulai setelah Wang Laoshi memasuki ruangan. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ia mengadakan kuis hari ini. Terlihat sangat jelas dari ekspresi mahasiswa itu mereka mengutuki Wang Laoshi dalam bahasa mereka masing-masing yang tentu saja tidak dimengerti oleh sang guru. Sarah juga terkejut, namun kemudian ia memasang kembali wajah datar.Seledri panik, sangat panik. Hari ini adalah hari kegagalannya yang lain. Setelah berpuas menggunakan cermin ajaib untuk urusan sekolahnya, ia harus mandiri sekarang. Tumbal, ya sebuah tumbal yang sangat tidak bisa ia berikan untuk mengganti itu semua. Mana mungkin sebuah cermin meminta jiwa atau sejenisnya.Sarah lalu mengambil perannya sebagai ketua kelas seperti biasa dan membagikan lembaran soal itu. Ia berhenti sedikit lama di meja Seledri dan menatapnya. Sebuah tatapan ajakan lomba ‘mari kita buktikan nilai siapa yang tinggi kali ini’.Seledri sudah bulat pada pendiriannya, ia menja