Share

3. Karena Kamu Istimewa

Pelajaran itu selesai. Meskipun ia sangat ingin keluar,  ia memastikan Ke Laoshi terlebih dahulu keluar dari kelas. Sungguh akan tidak sopan bila keluar terlebih dahulu dari sang guru, bukan? Setelah Ke Laoshi meninggalkan kelas, murid-murid itu segera menuju kantin ataupun kembali ke asrama untuk beristirahat.

Sama halnya dengan murid yang menguras energy saat berpikir, tentu Seledri akan terlebih dahulu menuju kantin untuk mengisi perutnya. Ia sudah berada dalam barisan mahasiswa kelaparan di sana. Pada jam makan siang seperti ini tentu kantin akan padat sekali. Banyak juga dari mereka yang akhirnya memutuskan untuk membungkusnya saja dan memakannya di kamar masing-masing.

Seledri mengambil nampan dan piring, magkuk, sumpit dan juga sendok. Ia mulai memilih makanan di kantinnya. Biasanya ia akan menghabiskan setidaknya sepuluh sampai lima belas kuai untuk sekali makan. Ia benar-benar berhemat sekarang. Delapan kuai cukup baginya untuk mendapat menu yang terbilang enak.

“Waow, kamu mengambil sedikit. Boleh aku duduk di sini?” Suara Alfa yang khas mengagetkannya yang sedang fokus menyumpit brokoli. Alfa lalu menaruh tas dan duduk di sana.

“Alfa ….”

Alfa mengambil posisi dan berhadapan dengan Seledri, mereka makan siang bersama.

“Bagaimana di tahun kedua? Lebih enak mana, kelas bahasa atau jurusan?” tanyanya membukapembicaraan. Bukan hal yang mudah untuk mengajak gadis itubercerita.

“Bahasalah,” jawabnya kesal. Ia sedang mencurigai pemuda di depannya ini. “Apa benar Alfa yang membocorkan rahasiaku? Tapi apa motifnya?”

“Alfa …,” panggilnya sedikit ragu.

“Ya?”

“Ah, tidak. Tidak ada apa-apa.”

“Lanjutkan makannya, apa kamu sedang diet? Sedikit sekali tidak seperti biasanya. Biasanya itu masih ada lagi tambahan daging di sini dan juga buah.”

“Waow, apa kamu memerhatikanku? Itu bukan urusanmu, lagi pula ada seseorang yang diam-diam melaporkan pekerjaanku. Sekarang aku harus berhemat untuk hidup,” sindir Seledri.

“Maksudnya?” tanya Alfa kebingungan.

“Aku sudah selesai,” ucap Seledri kemudian menaruh nampan yang berisi perlengkapan makan di tempat yang sudah disediakan. Ia kemudian berjalan dan kembali menuju asrama.

“Shi li ….”

Samar-samar, Seledri mendengar namanya dipanggil. Sebuah bisikan pelan namun sangat nyata. Suara itu tidak jauh namun juga tidak begitu jelas.

“Wang Shi li ….”

Lagi dan lagi, panggilan itu membuatnya bergidik. Apa ini halusinasi ataukah ia sedang bermimpi?

“Wang Shi Li!” Suara itu semakin jelas dan keras.

Seledri terkejut dan bangun dari tidurnya. Itu adalah tidur siang yang singkat dengan akhir yang sedikit menegangkan. Ia mengambil gelas berisi air dan meminumnya.

Ddrdrdtttddrrtttt

Sebuah panggilan video masuk. Ah, sungguh tidak enak sekali mengangkatnya dalam keadaan sepeerti ini.

“Halo, wah … rupanya kamu baru bangun?” tanya gadis di seberang.

“Aku tidur sebentar tadi. Bagaimana kabarmu Ica?” tanyanya sambil mengucek mata. Seledri masih mengumpulkan nyawanya untu kmenyapa Ica melalui panggilan video.

“Baik. Waow, Seledri kamu sangat berkeringat. Aku pikir di sana sudah menjelang musim dingin. Apa kamu sama sekali tidak merasa kedinginan?”

“Tentu. Aku hanya baru saja bermimpi buruk. Kamu menghubungiku pasti ada sesuatu, kan? Ayo katakan pada kakak.”

Merica Anggraini, atau yang disapa Ica adalah adik sepanti Seledri. Entah kebetulan atau takdir, nama keduanya seperti bumbu dapur. Mereka adalah teman sebaya dan juga saudara. Ya, saudara dalam satu nasib, terlahir sebagai anak yang dititipkan di panti asuhan yang sama.

“A, itu … Kak, apa Kakak sedang bersama seseorang?”

“Kamu bercanda? Aku sendirian di kamar ini.”

Ica mengucekmatanya kembali, ia harap tadi itu hanya kesalahan optiksaja.

“Ah, benar, aku hanya salah lihat. Jadi, bagaimana kuliahmu? Apa di sana menyenangkan? Sudah satu setengah tahun dan kamu tidak pernah pulang. Kami di sini merindukanmu.”

“Aku juga.”

Bukannya tak rindu, ongkos pulang pergi ke Indonesia bisa mencapai sepuluh juta untuk bolak balik, dari pada membuang uang untuk tiket pesawat, akan jauh lebih baik bila uang itu digunakan untuk hal lain. Seledri memilih untuk mengirimkannya pada Ibu panti untuk digunakan sebagai dana tambahan.

Selesai bertemu kangen melalui video call, Seledri memutuskan untuk mandi. Langkahnyatiba-tiba terhenti saat melihat cahaya yang besar keluar dari cermin yang dibelinya kemarin. Ini bukan mimpi, Seledri sudah meyakinkannya dengan mencubit lengannya.

Sedikit takut dan ragu, Seledri mendekati cermin itu mengambilnya lalu melihatnya.

“Pelanggaran ilegal.” Sebuah kalimat singkat yang terucap dari sana.

“Apa ini?” tanggap seledri kebingungan. “Cermin itu berbicara padaku? Bayanganku berbicara padaku?”

“Berbohong pada dewan universitas.”

“Bekerja tanpa  visa pekerja.”

“Mengatakan bahwa baik-baik saja.”

“Kau sedang tidak baik-baik saja, akuilah itu Wang Shi Li.”

Seledri membuang kaca itu dari hadapannya dan berlari sekencang-kencangnya keluar dari kamarnya. Ini bukan mimpi, cermin itu memang berbicara dengannya. Ia lalu menuju lantai empat untuk menemui Claire.

Dukdukduk, ia mengetuk pintu kamar Claire dengan sangat kencang.

“Seledri, ada apa? Apa kamu dikejar seseorang?” tanya Claire sambil memperhatikan keadaan di luar lalu menarik Seledri masuk ke dalam kamarnya.

“Cermin itu … ia berbicara padaku, kali ini kamu harus percaya padaku.”

Claire hanya tersenyum lalu memberi segelas air pada gadis itu. “Minum dulu.”

“Claire … aku tahu ini gila, AKU SANGAT YAKIN DENGAN APA YANG AKU LIHAT DAN DENGAR!”

Claire masih tersenyum. Ia lalu mendekat dan memegang dua pipi Seledri dan menenangkannya. “Dengar, kamu hanya bermimpi buruk. Wajah bangun tidurmu itu sudah cukup membuktikannya.”

Seledri menarik tangan Claire dan membawanya ke kamarnya. “Ayo kita buktikan!”

Mereka menuruni tangga dengan cepat dan mendekati kamar Seledri.

“Aku membuang cermin tadi di atas tempat tidur, seingatku sebelum aku berlari ke kamarmu.”

Claire tertawa geli. Ia lalu menggengaam cermin itu di tangannya seraya berkata, “Oke, sekarang semua semakin jelas. lihat ini, cermin ini yang kamu cari, ‘kan? Benda ini malah duduk manis sedari tadi di atas meja riasmu.”

“Tidak mungkin, aku sangat yakin membuangnya ke arah sana.”

“Oh My God, hentikan itu Shi Li. Aku mulai muak dengan semua ocehanmu. Sudahya, tidurlah kembali dan nikmatilah harimu. Aku akan kembali ke kamarku, bye.” Claire lalu meninggalkan Seledri di sana dan kembali ke kamarnya.

“Mungkin aku memang hanya bermimpi.” Seledri berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ia tak ingin berpikir yang tidak-tidak. Ia lalu menuju dapur dan meminum segelas air. “Aish, aku sudah minum tadi di kamar Claire, kenapa aku minum lagi? Ini hanya haus mata.”

Seledri lalu memutuskan melanjutkan tidur siangnya yang terganggu. Ia memejamkan mata kembali, lebih tepatnya memaksakan matanya agar tertutup.

“Shi Li … kau tidak bermimpi. Aku nyata.”

Seledri bangkit dari ranjangnya. Ia mencari asal suarai tu. Apa benar itu dari cermin seperti kejadian sebelumnya?

“Aku adalah cermin, cermin adalah aku.”

“Jadi, apa maumu?” Meski takut, Seledri mencoba menjawab suara itu.

“Aku akan membantumu.”

“Kenapa kau harus membantuku?”

“Karena kau istimewa Shi Li, kau adalah Tuanku.”

Seledri terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa sekarang. Hal ini terlalu halu untuk menjadi kenyataan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status