PRANG!
"Dad, apa kau sedang bercanda?" Ucap Jia dengan nada kesal, sesaat setelah mengetahui semua kartu kreditnya di bekukan oleh sang Ayah. Bahkan namanya di blacklist di beberapa tempat yang menjadi kekuasaan saya Ayah. Farold Hernso, menatap fokus layar komputer di depannya tanpa memedulikan Jia. Sejujurnya ia tak ingin melakukan hal itu pada Jia, tapi kelakuan Jia yang semena-mena membuat ia harus melakukannya demi membatasi pergerakan Jia. "Dad! Ayolah jangan mengacuhkanku, aku paham apa yang kulakukan kemarin salah. Tapi kau tahu, kan. Jika aku hanya ingin bebas, aku ingin hidup normal Dad!" Jelas Jia dengan penuh penekanan. Farold membuang nafas, ia pun melepas kacamatanya dan menatap Jia intens. Sebelum berkata, "Kau tahu apa yang barusan kau katakan Jia?" "Ya, aku tahu. Maksudku-" "Kau adalah anak seorang Mafia Jia, dan pemikiranmu sama sekali tidak bisa di wujudkan. Kita hidup dalam bahaya, tidak akan pernah tenang karena banyak musuh mengintai kita setiap saat. Jadi enyahkan pemikiranmu itu, dan belajarlah untuk memimpin kelompok." Jelas Farold dengan memotong perkataan Jia. "Tapi aku tidak ingin memimpin kelompok!" "Kau harus!" "Kenapa harus aku Dad, apa kau tidak memiliki cukup orang yang kau latih agar layak untuk-" "Karena dalam tubuhmu mengalir darahku!" Potong Farold lagi, dimana kata itu membuat Jia menggeram marah sebelum akhirnya keluar dari ruangan kerja sang Daddy. Dengan perasaan kesal Jia kembali ke kamarnya, bahkan sang Mommy dilewatinya begitu saja. Karena rasanya ia muak dengan semua orang yang sangat patuh dengan perkataan Daddy, seakan perkataannya akan menjadi dosa jika di langgar. Memuakan! Jia tahu semua usaha yang ia lakukan tidak akan pernah berhasil, usaha untuk hidup normal hanyalah bahan candaan untuk semua orang yang terlibat dengan dengan Daddy. "Memimpin kelompok? Itu tidak akan pernah terjadi Dad!" Kata Jia dengan penuh tekad, seraya menatap keluar jendela kamarnya. Karena sejujurnya ia sudah memiliki rencana untuk kabur dari sang Daddy, rencana yang tidak ada seorang, pun. Yang tahu, membuat keyakinannya untuk hidup normal semakin kuat. Menutup tirai jendela, Jia membaringkan tubuhnya di atas kasur queen size miliknya. Terlelap dengan pemikiran panjang dan rumit, 30 menit berselang ... Ceklek! Pintu terbuka memperlihatkan Farold yang berjalan mendekati Jia yang tertidur pulas, duduk di samping ranjang ia membelai pelan kepala Jia penuh sayang. "Maafkan Daddy nak, tapi semua Daddy lakukan untuk keselamatanmu. Daddy juga ingin hidup normal tapi sayangnya itu tidak bisa, sekali lagi maafkan Daddy." Cup! "Mimpi indah." Sambung Farold dengan mengecup singkat ujung kepala Jia, sebelum keluar dari kamar. Tanpa menyadari bahwa Jia telah sepenuhnya sadar, ketika merasakan pergerakan pada kepalanya. Sesaat setelah pintu tertutup, perlahan kelopak mata Jia terbuka. Menatap langit-langit kamarnya, tak pernah menyangka jika Daddynya akan datang meminta maaf. Namun meski itu terdengar tulus, Jia masih saja kecewa. Meminta maaf adalah satu dari banyak hal yang ia harapkan dari Daddynya yang dingin dan terkesan arogan, tapi meminta maaf saat dirinya tertidur adalah sesuatu yang tak ia inginkan. 'Pengecut' tentu saja kata itu yang cocok untuk Daddynya yang tak pernah menunjukan secara langsung kecintaannya pada dirinya, sampai ia pun benci pada Daddynya meski tahu sikap lembut sang Daddy. Beberapa saat merenung, membuat Jia tanpa sadar meneteskan air matanya. Sebelum akhirnya kembali menutup matanya, yang kali ini ia tertidur dengan perasaan campur aduk. Keesokan harinya, Jia terbangun oleh suara ketukan pintu. Yang di ketahuinya adalah sang Mommy, dengan nampan makan di tangannya. Seperti biasa! Memuakan. "Masuk." Ucap Jia, kemudian pintu terbuka seperti apa yang ia pikirkan. "Jia ini sarapanmu sayang, Mommy-" "Taruh di meja, dan keluar." Potong Jia tanpa memedulikan perasaan Mommynya yang mungkin saja bisa terluka, anggaplah Jia adalah anak tak tahu terima kasih. Tapi satu hal yang perlu diketahui, bahwa sikap Mommynya tidaklah seperti yang terlihat. "Nak, Daddymu berbicara dengan Mommy semalam. Hari ini akan ada pengiriman barang di dermaga, Daddy katanya ingin tahu apakah kau bisa ikut dengannya?" "Apa Daddy tidak memberi tahu Mommy apa yang ku katakan padanya semalam? Aku hidup normal, yang berarti semua urusan mengenai pekerjaan Daddy tidak berhubungan denganku. Jadi Mom, keluar!" Tekannya pada akhir kalimatnya, yang membuat Mommynya keluar. Rose Smith, tidak! Rose Harnso, Mommy Jia yang berasal dari salah satu keluarga Mafia yang di bantai sang Daddy. Jia penasaran, bagaimana bisa Mommynya jatuh cinta pada sosok Pria yang telah membunuh keluarganya dengan begitu sadis. Sampai baru ingin memasuki kamar mandi, pintu terbuka dengan keras. Brak! "Jia! Apa yang kau lakukan pada Mommymu?" Pekik Farold dengan suara penuh amarahnya, setelah melihat istrinya yang keluar dari kamar Jia dengan menahan tangis. Jia yang ingin memasuki kamar mandi di urungkannya, berbalik dan menghadap Daddynya yang terlihat jelas sedang marah. Tapi ia sudah terbiasa, sehingga ia tidak merasa takut meski Daddynya menekannya dengan aura penuh intimidasi miliknya. "Memangnya apa yang kulakukan?" "JIA!" "APA!" Plak! "Luar biasa aku tidak tahu dimana letak kesalahanku dan Daddy sudah menamparku, seperti sebelumnya. Daddy selalu bertindak gegebah jika itu menyangkut Mommy!" Pekik Jia dengan suara yang melengking tinggi, sampai terdengar oleh beberapa orang yang lewat. Farold meredam amarahnya, ia mendekati Jia dan menarik pergelangan tangannya. Menyeretnya keluar dari kamar, turun ke lantai satu dengan paksa. Dimana aksinya itu membuat beberapa orang di rumah itu menatapnya dengan berbagai pandangan, namun mereka sudah cukup terbiasa melihat pemandangan kasar sang Tuan pada sang Putri yang nampaknya tidak pernah jera. "Pegang senjatanya Jia!" Ucap Farold yang menyerahkan senjata api miliknya pada Jia, namun malah di tepis oleh Jia. "Jia!" "Aku tidak mau, jangan memaksaku!" "Pegang atau masuk ke penjara bawah tanah!" Jia mengepalkan tangannya erat, saat ini semua anak buah Daddy menatapnya. Menunggu langkah yang akan ia ambil, Jia tidak ingin memegang pistol yang di sodorkan Daddynya. Tapi jika ia tidak melakukannya, maka rencananya untuk kabur dari rumah bisa gagal jika ia terkurung di penjara bawah tanah. "Baiklah, sekarang ikut Daddy ke penjara-" "Sial! Berikan pistolnya." Farold menatap Jia, untuk sesaat ia tidak mempercayai pendengarannya. Di detik berikutnya pistol pada tangannya telah berpindah pada tangan Jia, membuat semua orang menatapnya tak percaya. Masalahnya Jia memegang pistol dengan biasa, "sudah ku pegang, lalu apa?" Tanya Jia tanpa memandang Daddynya. "Arahkan di mana saja, lalu tembak." "Apa?! Bagaimana jika aku melukai-" "Tembak Jia!" Potong Farold yang seakan tak peduli jika Jia melukai seseorang, yah... Begitupun dengan para bawahannya yang seakan pasrah jika diri mereka tertembak. Jia membuang nafas, kalau boleh jujur ini bukan pertama kalinya Jia memegang senjata. Ia cukup ahli dalam senjata api, tapi fakta bahwa dirinya berlatih tanpa di ketahui Daddynya membuat dirinya di perlakukan layaknya seorang pemula. Ia tidak ingin mengungkapkan jati dirinya yang mahir dalam senjata api, tapi ia juga tidak ingin melukai seseorang hanya karena rahasia yang tak ingin di ungkapnya. "Jia!" DOR! DOR! DOR! Terpana, kaget, dan berbagai ekspresi kekaguman lainnya di layangkan semua orang teemasuk Daddynya, yang menatap Jia dengan pandangan tak percayanya. Pasalnya Jia menembak 3 balon lampu di rumah itu dengan tepat, "Jia kau bisa menembak?" Jia diam... "Jujur pada Daddy, Jia?!" Jia membuang muka, "Cih, bukan urusanmu Dad." Lalu pergi dari tempat itu dengan melepar asal pistol yang sedari tadi ia pegang.Rahasia Jia telah terungkap, Jia tahu mulai hari ini tidak akan mudah. Daddynya pasti cepat atau lambat akan menyibukkannya dengan urusan organisasi, dan itu tidak boleh terjadi. Dengan memandang langit pada langit pada balkon kamarnya Jia berucap, "maaf Dad, tapi aku ingin bebas." Dan benar saja, malamnya Jia bersiap untuk kabur. Ia tahu, Daddynya sedang tidak berada di rumah, begitupun sang Mommy. Hanya ada beberapa penjaga, dan itu bukan masalah besar untuknya karena Daddynya meninggalkan kunci gerbang padanya. 'Maaf menghianati kepercayaanmu Dad.' Batin Jia yang saat ini telah keluar dari kediaman Hernso. Berdiam diri pada salah satu hotel kecil, menunggu makanan yang belum tiba. Memutuskan untuk mengecek secara langsung, Jia keluar dari kamarnya. Deg! "Apa yang terjadi–" "Tolong." Ucap pelan seorang Pria yang berdiri tepat di depan kamarnya, tapi bukan itu masalahnya. Tubuh Pria itu penuh dengan darah, sangat banyak hingga ia bisa melihat jejak sepanjang lorong darinya
Deg!Jia terpaku di tempatnya saat peluru melesat dari pistolnya, menembus bahu Pria di depannya. Revandro tertembak, darah mengucur keluar tapi Revandro tidak berekspresi apapun."BASTARD SIALAN, APA KAU SUDAH TIDAK WARAS?!" Maki Jia yang mendekati Revandro, mengecek kedalaman luka tembak di bahu Pria itu.Melupakan niat awalanya, Jia bangkit turun dari kasur dan mengambil kotak putih di samping pintu masuk. Yang ia yakini jika itu adalah kotak P3K, kemudian mengobati Revandro yang telah duduk di ujung kasur.Sepanjang Jia mengobati Revandro, ia menyadari tatapan Revandro padanya. Rasa tidak nyaman memang di rasakannya, tapi ia memilih untuk fokus pada kegiatannya. Bahkan membiarkan Pria itu mengelus kepalanya, entahlah. Ia tidak mengerti mengapa dirinya masih bisa berbaik hati mengobati luka Revandro lagi, padahal bukan kesalahannya jika Pria yang berstatus sebagai penculiknya ini terluka."Kau pandai mengobati." Ucap Revandro pada akhirnya membuka suara."Memang, dan itulah yang ku
"Oh, dulu aku pernah membaca sebuah surat kabar. Dimana orang di surat kabar itu mirip dengan Anda, Anda tahu? Orang itu adalah seorang PEMBUNUH! Dia juga sadis, sayang dia belum di tangkap sampai saat ini." Jelas Jia dengn menekankan kata 'pembunuh' pada kalimatnya.Hal itu tentu saja membuat Frans curiga pada wanita di depannya, tapi ekpresi Jia membuat ia mau tidak mau harus percaya jika Wanita di depannya memang tidak tahu siapa dirinya."Ya, sepertinya orang-orang juga menyebut saya mirip dengan seseorang. Mungkin orang yang Anda bilanglah mirip dengan saya," Balas Frans berusaha santai."Oh ya? Hmm bisa kupahami, tapi Gilbert. Eh, apa tidak masalah kupanggil nama saja? Anda, kan. Lebih tua dari saya?""Tidak masalah,""Emm, Aku tahu ini tidak sopan. Tapi ada apa dengan bekas luka di wajah Anda?" Tanya Jia yang sudah pasti berusaha mempermainkan Frans, ia ingin tahu seberapa hebat Pria di depannya mengarang cerita.Frans terkejut untuk beberapa saat, meski rada keterkejutan itu t
Perkiraan Jia bahwa Revandro akan menusuknya nyatanya salah, Pria itu malah dengan lancangnya menempelkan bibir pada bibirnya. Hanya sebatas menempel, tidak lebih. Jia menatap dalam Revandro begitupun sebaliknya, meski Jia tahu apa yang di lakukan Revandro keterlaluan. Tapi masalahnya ia tidak menolak, hanya diam. "Sebenarnya apa yang kau inginkan sayang? Kau tahu aku mampu memberi apapun yang kau inginkan, tapi diantara itu semua. Mengapa, mengapa harus kebebasan?" Ucap Revandro yang menghentikan aksinya. Dengan lembut ia menyapu wajah Jia, pelan dan lembut penuh dengan kasih sayang. Seakan sosok kejam beberapa saat yang lalu tidak pernah ada, "Minta yang lain ya?" Sambung Revandro. Jia mengangkat satu alisnya, walau enggan. Tapi sebenarnya Jia pernah memikirkan hal yang selain kebebasan, 'Taman bermain' dari dulu itu selalu menjadi harapan Jia.Revandro melihat harapan dalam retina mata Jia, ia kemudian beranjak dari atas tubuh Jia dan memposisikan Jia menjadi duduk. "Aku tahu
Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka sudah dipastikan target itu tidak akan mati dengan mudah, atau bisa dibilang disiksa sampai mati.Berjalan masuk kesebuah cafe, semua mata tertuju padanya. Oleh karena penampilannya yang bersimbah darah, membuat atensi teralih padanya. Sampai kedatangan Revandro dengan para anak buahnya mengusir mereka semua dengan paksa, hingga tersisalah Jia dan dirinya yang saling menatap."Pulang," ucap Revandro tajam, yang tak ditanggapi oleh Jia. "Baby pulanglah-""Kalau aku tidak mau?!" Balas Jia dengan sorot seakan tengah menantang lawannya.Mengepalkan tangannya erat, Jia melihat Revandro berusaha menahan amarah karena balasan dari mulutnya. Tersenyum remeh, Jia berkata... "Jangan kau pikir patuhku beberapa saat yang lalu, membuatmu lupa akan perilakumu!" Sambungnya.Atmosfer berubah, jelas perkataan Jia memancing sisi lain Revandro muncul. Hingga sorot amarah dari matanya berubah menjadi tenang, namun ketenangan itu bukanlah sesuatu hal yang baik di
Revandro tak dapat menahannya lagi, jujur saja mendapat tatapan sayu dari Wanita di depannya membuat dirinya tenggelam dalam kabut gairah. Membalikan tubuhnya, Revandro terlihat berjalan menuju lemarinya. Namun seakan tahu apa yang akan dilakukan Revandro, Jia sontak menahan tangan Pria itu."Mau kemana?" Tanya Jia berbasa-basi."Tentu saja mau mengambil sesuatu yang dapat membuatmu puas nantinya."Wow perkataan yang sangat absurd, akhirnya Revandro menunjukan sifat buayanya juga ya. Jia jadi bertanya-tanya, apakah memang benar jika semua Pria itu sama saja?"Hentikan, aku tidak membutuhkan kepuasan. Jadi tolong hentikan apapun yang ingin kau lakukan,"Revandro tersenyum kecil, "bagaimana jika aku tidak mau mendengarmu hmm?""Kau ingin memaksakan kehendakmu?""Bagaimana ya, soalnya dramamu beberapa saat yang lalu sedikit memancingku. Bukankah kau harus bertanggung jawab padaku?"Deg!Sial! Sepertinya Jia tengah melihat senjata yang berbalik menyerangnya, bibir Jia menjadi kelu karena
Deg!Perkataan Jia sontak membuat Vier mengerutkan keningnya, jika apa yang di katakan Wanita di depannya adalah benar. Maka, Vier seharusnya harus berpikir kembali atas niatnya untuk mrmbunuh wanita di depannya."Aku tidak peduli dengan hidupku, jika kau ingin tahu." Lanjut Jia dengan suara rendah.Tidak peduli pada hidup ya? Benarkah?Pendar kedua mata Jia menghangat, wanita itu memandang Vier dengan tatapan mata teduh. Melihat itu, tiba-tiba Vier meremang. Ada perasaan aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya, merasakan perasaan yang tidak pernah ia dapati oleh semua calon korbannya sebelum-sebelumnya. Dari awal ia melihat Jia, Vier menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dari wanita di depannya. Makanya, Vier tertarik mengamati Jia beberapa hari terakhir ini.Tunggu! Jadi sebenarnya yang mengawasi Jia selama ini bukan Revandro? Maksudnya Vier yang berdiam di dalam tubuh Revandro? Luar biasa.Fakta luar biasa lain, yang Jia temukan."Apa hidupmu benar-benar semenyedihkan itu? Hingga
Kepala Jia menoleh ke kanan-kiri, untuk menemukan keberadaan jendela. Tapi sayangnya ia tidak menemukannya, yang benar saja!"Ini kamar atau sel penjara?!" Geram Jia yang menyadari ketidakberadaan jendela di kamar besar dan luas itu.Memilih ke ranjang, Jia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Menatap lurus kedepan, Dia akan dikurung di sini sampai kapan? Bukankah Revandro berjanji padanya untuk mebebaskan setiap tindakannya saat bersama Pria itu? Lantas saat ini mengapa dirinya malah dikurung? Jia tidak paham dengan apa yang di pikirkan Revandro saat ini.Sampai...Ceklek!Kepala Jia tertoleh saat pintu di depannya terbuka, memperlihatkan Revandro dengan tatapan yang sulit diartikan.Menyingkirkan pertanyaan tentang arti tatapan Revandro, Jia bangkit dan berjalan mendekat kepada Pria itu. "Dimana tasku?" Tanyanya dengan sorot penuh amarah. "Dan apa maksudmu mengunciku di sini?" Lanjutnya.Pria di depannya tersenyum, tunggu dulu! Jia mengenal senyuman itu, "Kamu bukan Revandro." Ungka