Perkiraan Jia bahwa Revandro akan menusuknya nyatanya salah, Pria itu malah dengan lancangnya menempelkan bibir pada bibirnya. Hanya sebatas menempel, tidak lebih.
Jia menatap dalam Revandro begitupun sebaliknya, meski Jia tahu apa yang di lakukan Revandro keterlaluan. Tapi masalahnya ia tidak menolak, hanya diam. "Sebenarnya apa yang kau inginkan sayang? Kau tahu aku mampu memberi apapun yang kau inginkan, tapi diantara itu semua. Mengapa, mengapa harus kebebasan?" Ucap Revandro yang menghentikan aksinya. Dengan lembut ia menyapu wajah Jia, pelan dan lembut penuh dengan kasih sayang. Seakan sosok kejam beberapa saat yang lalu tidak pernah ada, "Minta yang lain ya?" Sambung Revandro. Jia mengangkat satu alisnya, walau enggan. Tapi sebenarnya Jia pernah memikirkan hal yang selain kebebasan, 'Taman bermain' dari dulu itu selalu menjadi harapan Jia. Revandro melihat harapan dalam retina mata Jia, ia kemudian beranjak dari atas tubuh Jia dan memposisikan Jia menjadi duduk. "Aku tahu ada yang kau inginkan? Jadi bisa calon Suamimu tahu apa itu?" Tanya Revandro dengan lembut, berusaha untuk memancing Jia. "Sayang..." Jia membuang nafas kasar, rasanya malu jika mengakui dirinya ingin pergi ke taman bermain. Tapi... "Taman bermain." Cicitnya sangat amat pelan namun masih bisa di dengar dengan jelas oleh Revandro. Tanpa sadar Jia menautkan kedua tangannya, merasa bahwa ada sedikit dari harga dirinya yang hancur. Revandro tersenyum kecil, "Baiklah, mau pergi sekarang?" Jia sontak menatap Revandro dengan binar di matanya, seolah Dia baru saja kembali hidup. Revandro kemudian bangkit dari duduknya, berdiri dengan mengulurkan tangan kepada Jia. Menatap uluran tangan dari Revandro, untuk sesaat ia menjadi ragu namun sesaat kemudian ia menggapai uluran tangan tersebut. Membuat Revandro tersenyum penuh arti. Berjalan bergandengan tangan, membuat beberapa mata tertuju pada keduanya. Revandro berjalan dengan wajah datarnya, sedangkan Jia... entahlah, ia juga tidak peduli dengan pandangan orang kepadanya. "Apa kau gugup?" Tanya Revandro. "Tidak. Kenapa?" Jawab Jia dengan santainya. Revandro untuk kesekian kalinya tersenyum penuh arti, menatap wanita di sampingnya yang berjalan dengan dagu yang terangkat. "Kamu ingin sesuatu lagi?" Berusaha untuk mengisi suasana kosong, Jia untuk beberapa saat mengerutkan keningnya. Sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya pelan, tanda bahwa tidak ada lagi yang ia inginkan. Ya, setidaknya untuk saat ini. Beberapa saat menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di salah satu taman bermain terbesar di kota. Tapi ada yang aneh. "Renvandro," "Ya?" "Mengapa tidak ada orang? Bukankah ini bukan hari libur?" "Memang, tapi aku menyewa satu taman ini." Deg! Secara otomatis Jia menatap Pria di sampingnya dengan pandangan terkejut, maksudnya keinginannya, kan. Baru ia sampaikan beberapa menit yang lalu, lantas mengapa Revandro bisa mengosongkan taman dalam waktu singkat itu? Luar biasa! "Terima kasih atas pujiannya, sayang." Kata-kata tiba-tiba Revandro sontak membuat Jia mendelikkan matanya, merasa Pria dingin di sampingnya tengah dalam kondisi kepercayaan yang tinggi. Sehingga membuat Jia yakin, jika ada orang lain yang mndengarnya. Ia yakin jika orang itu mungkin akan mengalami serangan jantung. "Jia," "Hmm?" "Apa kau tahu siapa itu Pria tua yang berbicara denganmu beberapa saat yang lalu?" Untuk beberapa saat Jia terdiam, sebelum akhirnya memutuskan untuk menganggukan kepalanya. Tak peduli lagi dengan pendirian awalnya. "Terima kasih atas kejujuranmu sayang, aku jadi semakin menyukaimu." Jia terkekeh pelan, langkahnya pun terhenti sesaat ia melihat beberapa balon yang sepertinya sengaja di tinggalkan pemiliknya. Menatap lama, membuat Jia tidak menyadari bahwa dirinya tengah diincar seseorang dari jarak yang jauh. Menyadari hal itu, Revandro segera menarik Jia berlari. Dan benar saja... DOR! DOR! DOR! Pembakan beruntun dilepaskan, keadaan yang tenang perlahan berubah menjadi bising akibat baku tembak antara anak buah Revandro dan orang-orang tak di kenal. Masuk kesebuah toilet, Jia menatap Revandro yang mengeluarkan senjata api dari saku jasnya. "Bukankah aku merepotkan?" Tanya Jia di tengah situasi yang menenganggkan. Revandro menatap Jia, lalu tersenyum kecil. "Entahlah, aku masih belum yakin." Jawab Revandro. Jia mengepalkan tangannya, sampai... "Mereka berlari ke arah sini." "Apa kau yakin?" "Diamlah mereka bisa dengar!" Percakapan singkat itu, menjadi bukti bahwa ada orang-orang bodoh yang mengikuti mereka. Mengintip melalui bilik, mata Jia memicing tajam. Seolah tengah mencari tahu dari mana asal para bedebah itu muncul, ya... segala pergerakan Jia tak lepas dari mata Revandro. Untuk sesaat Revandro mulai berpikir, membandingkan Jia dengan orang normal yang pada umumnya akan panik mendapati situasi ini. Tapi Jia nampaknya begitu tenang, seolah telah terbiasa dengan situasi ini. Jia tahu Revandro curiga, tapi semua pemikirannya untuk bersembunyi seketika hilang saat menyadari adanya sebuah tato pada leher ketiga Pria bersenjata di depan bilik mereka. Lambang tulip itu... "Shit!" BRAK! BHUK! Dengan kecepatan Jia keluar dari bilik toilet, melayangkan beberapa bogumen mentah. Sehingga ketiga orang tersebut tersungkur karena terkejut dan tak siap mendapat serangan mendadak, saat itu salah satu dari mereka berusaha menembak Jia. Namun tindakannya kalah cepat dari Revandro, membuat dirinya tewas seketika. Satu dari kedua yang masih hidup nampak pingsan, sedangkan yang satu lagi nampak tengah Jia hancurkan wajahnya dengan tangan yang mengepal. "Jia hentikan, Dia sudah mati." Kata Revandro berusaha untuk menyadarkan Jia, yang sepertinya tak menyadari apa yang Wanita itu lakukan. "Jia... " "SIAL MENYINGKIRLAH!!!" Pekik Jia saat tangan Revandro berada di pundaknya. "MENYIKIRLAH SIALAN! MENYINGKIRLAH!" Sambungnya. Revandro menarik kasar Jia, menyeretnya keluar dari toilet. Sebelum akhirnya melepaskannya di depan para anak buahnya, Jia nampak bangkit dan ingin kembali kedalam toilet. Tapi Revandro nampak mendorongnya hingga tersungkur, beberapa kali Revandro melakukannya hingga... Plak! Wajah Jia sontak tertoleh kesamping saking kuatnya tamparan Revandro, suasana penasaran dari para bawahan langsung berganti menjadi rasa kasihan. Jia mengepalkan tangannya, dengan berderai air mata. Bukan karena sakit ditampar Revandro, tapi karena ketidakberdayaan dirinya dalam menguasai emosinya. Revandro mendekat, membelai pipinya yang basah karena air mata. Mengangkat dagunya pelan, menghadap matanya. "Semuanya akan baik-baik saja Jia, jangan menangis jika air mata itu bukan berasal dariku." Jia tersenyum kecil, sungguh kejam perkataan yang seharusnya menghibur dan menenangkannya malah terdengar seperti sebuah aturan bahwa dirinya hanya boleh menangis karena Pria itu. PLAK! Sepertinya... keadaan kembali suram saat Jia menampar Revandro, yah walau sepertinya tamparan itu tidak begitu berdampak pada Revandro. "Itu untuk tamparanmu yang tadi, brengsek!" Kata Jia sebelum akhirnya berjalan maju, membela kerumunan anak buah Revandro di depannya. Pergi dari tempat itu, dengan pandangan yang sulit di artikan dari Revandro. "Tuan?" "Bereskan kekacauan ini, selidiki siapa dalang dibalik ini semua. Setelahnya akan kuurus sendiri para tikus itu." Perintah Revandro dingin. Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka...Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka sudah dipastikan target itu tidak akan mati dengan mudah, atau bisa dibilang disiksa sampai mati.Berjalan masuk kesebuah cafe, semua mata tertuju padanya. Oleh karena penampilannya yang bersimbah darah, membuat atensi teralih padanya. Sampai kedatangan Revandro dengan para anak buahnya mengusir mereka semua dengan paksa, hingga tersisalah Jia dan dirinya yang saling menatap."Pulang," ucap Revandro tajam, yang tak ditanggapi oleh Jia. "Baby pulanglah-""Kalau aku tidak mau?!" Balas Jia dengan sorot seakan tengah menantang lawannya.Mengepalkan tangannya erat, Jia melihat Revandro berusaha menahan amarah karena balasan dari mulutnya. Tersenyum remeh, Jia berkata... "Jangan kau pikir patuhku beberapa saat yang lalu, membuatmu lupa akan perilakumu!" Sambungnya.Atmosfer berubah, jelas perkataan Jia memancing sisi lain Revandro muncul. Hingga sorot amarah dari matanya berubah menjadi tenang, namun ketenangan itu bukanlah sesuatu hal yang baik di
Revandro tak dapat menahannya lagi, jujur saja mendapat tatapan sayu dari Wanita di depannya membuat dirinya tenggelam dalam kabut gairah. Membalikan tubuhnya, Revandro terlihat berjalan menuju lemarinya. Namun seakan tahu apa yang akan dilakukan Revandro, Jia sontak menahan tangan Pria itu."Mau kemana?" Tanya Jia berbasa-basi."Tentu saja mau mengambil sesuatu yang dapat membuatmu puas nantinya."Wow perkataan yang sangat absurd, akhirnya Revandro menunjukan sifat buayanya juga ya. Jia jadi bertanya-tanya, apakah memang benar jika semua Pria itu sama saja?"Hentikan, aku tidak membutuhkan kepuasan. Jadi tolong hentikan apapun yang ingin kau lakukan,"Revandro tersenyum kecil, "bagaimana jika aku tidak mau mendengarmu hmm?""Kau ingin memaksakan kehendakmu?""Bagaimana ya, soalnya dramamu beberapa saat yang lalu sedikit memancingku. Bukankah kau harus bertanggung jawab padaku?"Deg!Sial! Sepertinya Jia tengah melihat senjata yang berbalik menyerangnya, bibir Jia menjadi kelu karena
Deg!Perkataan Jia sontak membuat Vier mengerutkan keningnya, jika apa yang di katakan Wanita di depannya adalah benar. Maka, Vier seharusnya harus berpikir kembali atas niatnya untuk mrmbunuh wanita di depannya."Aku tidak peduli dengan hidupku, jika kau ingin tahu." Lanjut Jia dengan suara rendah.Tidak peduli pada hidup ya? Benarkah?Pendar kedua mata Jia menghangat, wanita itu memandang Vier dengan tatapan mata teduh. Melihat itu, tiba-tiba Vier meremang. Ada perasaan aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya, merasakan perasaan yang tidak pernah ia dapati oleh semua calon korbannya sebelum-sebelumnya. Dari awal ia melihat Jia, Vier menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dari wanita di depannya. Makanya, Vier tertarik mengamati Jia beberapa hari terakhir ini.Tunggu! Jadi sebenarnya yang mengawasi Jia selama ini bukan Revandro? Maksudnya Vier yang berdiam di dalam tubuh Revandro? Luar biasa.Fakta luar biasa lain, yang Jia temukan."Apa hidupmu benar-benar semenyedihkan itu? Hingga
Kepala Jia menoleh ke kanan-kiri, untuk menemukan keberadaan jendela. Tapi sayangnya ia tidak menemukannya, yang benar saja!"Ini kamar atau sel penjara?!" Geram Jia yang menyadari ketidakberadaan jendela di kamar besar dan luas itu.Memilih ke ranjang, Jia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Menatap lurus kedepan, Dia akan dikurung di sini sampai kapan? Bukankah Revandro berjanji padanya untuk mebebaskan setiap tindakannya saat bersama Pria itu? Lantas saat ini mengapa dirinya malah dikurung? Jia tidak paham dengan apa yang di pikirkan Revandro saat ini.Sampai...Ceklek!Kepala Jia tertoleh saat pintu di depannya terbuka, memperlihatkan Revandro dengan tatapan yang sulit diartikan.Menyingkirkan pertanyaan tentang arti tatapan Revandro, Jia bangkit dan berjalan mendekat kepada Pria itu. "Dimana tasku?" Tanyanya dengan sorot penuh amarah. "Dan apa maksudmu mengunciku di sini?" Lanjutnya.Pria di depannya tersenyum, tunggu dulu! Jia mengenal senyuman itu, "Kamu bukan Revandro." Ungka
Jia memegangi kedua dagunya yang terasa sakit akibat cengkraman kuat Vier, napasnya masih memburu. Ekor matanya melirim tajam Vier di depannya, sebenarnya. Ia masih tidak paham mengapa sisi lain dari Revandro melakukan ini padanya, berbeda dari Revandro ia tidak bisa mengerti apa motif dan tujuan Pria di depannya ini."Apa maumu sebenarnya?" Tanya Jia pada akhirnya."Mauku?" Kedua alis Vier terangkat, "untuk saat ini, aku mau kau menjadi milikku."Jia masih tidak mengerti, tapi yang jelas sisi lain dari Revandro ini memang sudah tidak waras.Mengetahui adanya kearoganan dan keegoisan pada perkataan Pria di depannya, Jia kembali teringat tentang beberapa banyaknya kasus pembunhan yang terjadi belakangan ini. Kasus pembunuhan yang membunuh korbannya secara sadis, sebelum akhirnya membunuhnya. Dikatakan pelaku itu adalah orang yang sama karena di temukan beberapa keunikan sama persis pada setiap korbannya, yap! Sepertinya itu bukan Revandro, tapi sisinya yang lain ini.Bagus! Sekarang i
Vier untuk beberapa saat menatap Jia, dirinya kembali terseum menyeringai. Mendekat pada Jia, membelai surai rambut Perempuan itu dengan lembut."Jadilah patuh sayang, maka akan kukembalikan kesadaran Revandro padamu." Pergi, mengunci pintu kamar itu. Lagi!Prang! Kekesalan Jia ia lampiaskan pada barang di sekitarnya, tak peduli harga barang itu yang yang dapat membeli satu buah apartemen mewah.Tidak! Jia tidak ingin keduanya, baik Revandro maupun sisi lainnya. Vier! Ia tidak mengharapkan keduanya, meski rasanya Revandro lebih baik dari sisinya."Aku harus melarikan diri dari sini!"***Ruang eksekusi | 08.30 PMSaat ini Revandro berada di ruangan pelampiasannya, ya... sejak kemunculan Vier Revandro memilih untuk menenangkan diri di ruangan tepat jeritan dan permohonan terjadi.Sebenarnya terlahir dengan darah Maxio tidak pernah menjadi keinginan Revandro, meski kekuatan dan kekuasaan mudah ia dapatkan karena keluarganya. Jika boleh memilih kembali, Revandro memilih untuk menjadi o
Tenggelam dalam pemikirannya, Jia tidak menyadari akan kehadiran seseorang. "Nona?" Bingung orang itu yang diketahui merupakan pelayan, Wanita paruh baya itu bernama Margaret."Huft!" Membuang nafas kasar Jia sadar seketika Margaret memanggilnya, tanpa mengubah posisinya. Ia menatap Margaret yang terlihat membawa sebuah gaun beludru merah di tangannya, berdecak dalam hati Jia bangkit.Tanpa berkata apapun ia yakin jika gaun itu di sediakan Revandro, yah mengingat hanya Pria itu yang mampu bersikap perhatian. Berarti Vier sudah pergi, kan? Tapi walau begitu ia tidak ingin mengenakan gaun itu."Jangan bilang jika aku harus memakai gaun itu?" Ungkap Jia dengan satu jari telujuk yang mengarah pada gaun di tangan Maragaret."Iya. Bos sendiri yang memilihkan gaun ini untuk Nona," Balas Margaret dengan seutas senyum kecil."Aku tidak mau, lagipula aku tidak suka pesta-""Tidak Nona, maksud Bos mengirim gaun ini untuk di pakai makan malam. Bos ingin makan berdua dengan Anda," Jelas Margaret y
Setelah beberapa saat berjalan, Jia akhirnya sampai di tempat makan. Tempat Revandro menunggunya, ia kemudian duduk berhadapan dengan Revandro.Beberapa detik hanya terdengar dentingan alat makan yang saling beradu. Keheningan terjadi, Jia tampaknya enggan untuk membuka suara. Dan sepertinya, Revandro juga bersikap acuh tak acuh.Tapi bukan tak mungkin jika Revandro terus melirik Jia lewat ekor matanya, mengawasi ekpresi Perempuan di depannya yang datar.Jelas saja ekpresi Jia tidak bersahabat dan masam, lagipula siapa juga yang mau di lihat secara intens saat makan? Dari tatapan Revandro, Jia tahu jika Pria itu tengah menganggumi parasnya. Ditambah lagi, aura yang ia keluarkan adalah aura khas keturunan Hernso. Membuat Jia menjadi sangat berbeda di mata Revandro.Detik berikutnya, Revandro melepas pandangannnya dari Jia. Meminum winenya sekali teguk, sebelum kembali menatap Perempuan itu. "Ada yang ingin kau katakan?" Tanya Revandro saat Jia balas menatapnya."Apa kau tidak akan mele
Jia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Revandro. Matanya mencari-cari tanda ketulusan di wajahnya, tetapi hanya menemukan ketegangan yang tidak biasa. Dia tahu Revandro serius, tetapi pertanyaannya adalah—seberapa jauh dia akan pergi demi melindunginya?"Bagaimanapun caranya?" Jia mengulangi, suaranya terdengar dingin. "Apa itu berarti membunuh lebih banyak orang lagi, Revandro?"Pria itu memutar kepalanya untuk menatapnya langsung. Matanya gelap, penuh dengan sesuatu yang sulit diuraikan. "Jika itu yang diperlukan, ya," jawabnya tanpa ragu.Jia menarik napas dalam, lalu memalingkan wajahnya ke jendela, melihat bayangan kota yang berlalu cepat. Dia tahu Revandro bukan orang biasa. Dia tahu pria itu hidup di dunia yang keras dan penuh darah, tetapi mendengarnya mengatakan hal itu dengan begitu tenang membuat dadanya sesak.“Bagaimana aku bisa percaya padamu?” Jia akhirnya bertanya, nadanya penuh dengan kebimbangan. “Setiap langkah yang kau ambil selalu menciptakan lebih banyak musuh.
Jia duduk diam di tempatnya, menatap cangkir di tangannya yang mulai mendingin. Kata-kata Revandro tadi terus terngiang di kepalanya, seperti sebuah melodi yang enggan berhenti. "Kau adalah seseorang yang kubutuhkan." Kalimat itu, meskipun terkesan sederhana, membawa makna yang lebih besar daripada yang ia ingin akui.Namun, pikirannya terusik oleh nama Sila. Wanita itu selalu menjadi teka-teki baginya—terlalu licik, terlalu pintar bermain peran, dan terlalu sering berada di orbit Revandro. Jia tahu bahwa Sila tidak hanya bekerja untuk Revandro, tapi ada sesuatu yang lebih rumit di antara mereka, sesuatu yang sulit diabaikan.Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan ragu.“Nona Jia, Tuan Revandro meminta Anda untuk bersiap. Dia ingin Anda menemaninya malam ini.”Jia menatap pelayan itu dengan kening berkerut. “Malam ini? Ke mana?”“Maaf, saya tidak diberi tahu lebih banyak. Tapi dia meminta Anda mengenakan sesuatu yang formal.”Mata Jia menyipit. Fo
Setelah pria misterius itu pergi, suasana di ruangan tetap tegang. Sila memilih keluar lebih dulu, memberikan waktu bagi Jia dan Revandro untuk berdiskusi. Namun, bukannya langsung membahas pesan Alexander, Revandro melangkah mendekati Jia, senyum yang tadinya dingin perlahan melembut.“Jia,” katanya pelan, memecah kesunyian.Jia menoleh, ekspresinya masih mengeras oleh ketegangan yang baru saja terjadi. “Apa lagi?” jawabnya tanpa banyak basa-basi.Namun, alih-alih menjawab, Revandro mengulurkan tangannya, menyentuh lembut wajah Jia, ibu jarinya menyapu pelan di pipinya yang merona samar karena emosi. Jia mematung, hatinya berdebar meski ia mencoba mengabaikannya.“Kau baik-baik saja?” tanya Revandro, suaranya lebih lembut dari yang biasanya.Jia menepis tangannya dengan lembut, tapi tidak benar-benar menghindar. “Aku bukan anak kecil, Rev. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Revandro tertawa kecil, rendah, penuh rasa sayang yang sulit ia sembunyikan. “Aku tahu kau bisa. Tapi, tetap sa
Jia menatap pintu yang masih berayun perlahan, seolah bisa menelusuri bayangan pria itu di balik kegelapan. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya menegang, seakan marah pada dirinya sendiri karena membiarkan pria itu pergi begitu saja.Revandro, yang berdiri tidak jauh darinya, memiringkan kepalanya dan mengamati raut wajah Jia. “Ada apa?” tanyanya tenang, tapi matanya memancarkan keingintahuan yang tajam.Jia menoleh, tatapan dinginnya kini mengarah langsung pada Revandro. “Kau membiarkannya pergi. Itu kesalahan besar.”Revandro hanya mengangkat bahunya, seraya berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan dan mengambil segelas minuman. “Mungkin. Tapi apa gunanya menahannya kalau kita tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dimainkan?”“Tapi kita kehilangan kesempatan untuk menginterogasinya!” Jia mendekat, nada suaranya meninggi, penuh frustrasi. “Dia tahu sesuatu. Dan simbol itu… Aku tahu dari mana asalnya.”Revandro meneguk minumannya perlahan, tidak sedikit pun terpengaruh
Pria itu melangkah maju, mengesampingkan semua orang yang berada di ruangan. Suara langkah kakinya yang berat membuat setiap orang terdiam, seakan mengikuti irama yang ditentukannya. Jia tetap berdiri tegak, matanya tidak pernah lepas dari pria tersebut. Ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa waspada, meskipun ia telah menghadapi banyak bahaya sebelumnya.Revandro yang sejak tadi diam, kini menatap pria itu dengan penuh perhatian. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada kilatan tertentu di matanya—sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. "Jadi, kamu adalah orang yang memimpin permainan ini," kata Revandro dengan suara yang dalam, penuh tantangan.Pria itu berhenti beberapa langkah di depan Jia dan Revandro, tatapannya tajam dan seolah menilai mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia mengenakan jas hitam yang rapi, dengan dasi yang diikat sempurna, namun ada aura gelap yang mengelilinginya, membuat setiap orang di ruangan merasa terintimidasi."Begitu mudah untuk mengena
Malam semakin larut saat mereka tiba di lokasi yang telah mereka tentukan. Tempat itu terletak di pinggir kota, di sebuah kawasan yang jarang dilalui. Bangunan besar yang terbengkalai berdiri di sana, seolah menyembunyikan banyak rahasia di balik dinding-dindingnya yang kusam. Dari luar, tampak sunyi dan gelap, namun Jia tahu persis apa yang sedang menunggu di dalam.Jia memandang gedung itu, otaknya bekerja cepat, memikirkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Ada banyak hal yang bisa salah malam ini. Tetapi, dia sudah tidak punya pilihan lagi. Tidak ada ruang untuk keraguan.Revandro yang berdiri di sebelahnya, menatap gedung yang sama dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya, yang biasanya penuh dengan kecerdasan tajam dan sikap yang penuh perhitungan, kini tampak lebih dalam, seolah menyembunyikan pemikiran yang tak terungkap. Dia tahu ini bukan hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari itu.“Jia,” suara Revandro memecah kehen
Jia merasakan atmosfer di ruangan itu semakin tebal dengan ketegangan yang tak terucapkan. Setiap detik terasa semakin mendesak, dan meskipun mereka sedang duduk di sekitar meja yang sama, dia bisa merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya, Revandro, dan Agatha. Setiap gerakan mereka seakan berirama dengan sebuah permainan catur yang rumit—di mana setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati, dan setiap pengkhianatan bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga.Agatha, yang sedari tadi berdiri diam, akhirnya memecah keheningan itu. "Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Kalian menganggap aku terlalu ambisius atau mungkin tidak cukup dapat dipercaya. Tapi ini bukan tentang kalian, atau aku. Ini tentang bertahan hidup. Ini tentang memastikan kita tidak menjadi sasaran berikutnya."Jia menatap Agatha dengan tajam, tetapi tidak berkata-kata. Ia sudah cukup mendengar kata-kata manis yang keluar dari bibir wanita itu. Namun, ada sesuatu dalam nada Agatha yang membuatnya berhe
Di luar, malam semakin larut, namun ketegangan di dalam ruangan masih terasa pekat. Jia dan Revandro bergerak cepat, seolah ada sesuatu yang melesat di antara mereka, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pertemuan ini. Rencana mereka sudah diatur dengan rapi, namun masih ada satu hal yang menggantung di udara: bagaimana menghadapinya jika musuh benar-benar menyerang."Jia," suara Revandro terdengar di belakangnya saat mereka berjalan menuju pintu utama mansion, "Kita akan menghadapi mereka dengan cara kita sendiri. Kita tak akan bermain aman."Jia berhenti sejenak, menatap Revandro dengan ekspresi serius, namun ada kekuatan dalam tatapannya. "Aku tahu, dan aku siap. Tapi ingat, kita harus memastikan kita tetap di depan mereka. Tak ada ruang untuk kesalahan."Revandro tersenyum, namun ada sesuatu yang lebih dalam pada senyumnya itu. "Kamu selalu membuatku terkesan, Jia."Namun, sebelum mereka dapat melangkah lebih jauh, sebuah suara datang dari pintu belakang, membuat mereka berh
Jia dan Revandro berdiri dalam keheningan, atmosfer di ruangan itu tegang dengan ancaman yang baru saja dilontarkan. Semua yang terjadi dalam beberapa detik terakhir seolah menciptakan lonjakan adrenalin, namun ada ketenangan yang muncul setelahnya. Jia merasa perasaan asing menghantamnya—perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak hanya amarah terhadap ancaman pria itu, tetapi juga keteguhan hati yang baru tumbuh dalam dirinya.Revandro memandangnya, tatapannya penuh perhitungan. "Kau tahu, Jia... aku tidak ingin melibatkanmu dalam hal ini. Tapi kita tidak bisa mundur. Ini sudah lebih dari sekadar permainan."Jia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang penuh kebanggaan dan tekad. "Aku tidak mundur, Revandro. Aku sudah cukup jauh terlibat. Jika mereka ingin menyerangmu, mereka harus melawan kita. Aku tidak akan biarkan mereka merusak apa yang kita bangun."Revandro tersenyum tipis, sesuatu yang lebih lembut kali ini, meski di balik senyuman itu ada keseriusan yang