Tenggelam dalam pemikirannya, Jia tidak menyadari akan kehadiran seseorang. "Nona?" Bingung orang itu yang diketahui merupakan pelayan, Wanita paruh baya itu bernama Margaret."Huft!" Membuang nafas kasar Jia sadar seketika Margaret memanggilnya, tanpa mengubah posisinya. Ia menatap Margaret yang terlihat membawa sebuah gaun beludru merah di tangannya, berdecak dalam hati Jia bangkit.Tanpa berkata apapun ia yakin jika gaun itu di sediakan Revandro, yah mengingat hanya Pria itu yang mampu bersikap perhatian. Berarti Vier sudah pergi, kan? Tapi walau begitu ia tidak ingin mengenakan gaun itu."Jangan bilang jika aku harus memakai gaun itu?" Ungkap Jia dengan satu jari telujuk yang mengarah pada gaun di tangan Maragaret."Iya. Bos sendiri yang memilihkan gaun ini untuk Nona," Balas Margaret dengan seutas senyum kecil."Aku tidak mau, lagipula aku tidak suka pesta-""Tidak Nona, maksud Bos mengirim gaun ini untuk di pakai makan malam. Bos ingin makan berdua dengan Anda," Jelas Margaret y
Setelah beberapa saat berjalan, Jia akhirnya sampai di tempat makan. Tempat Revandro menunggunya, ia kemudian duduk berhadapan dengan Revandro.Beberapa detik hanya terdengar dentingan alat makan yang saling beradu. Keheningan terjadi, Jia tampaknya enggan untuk membuka suara. Dan sepertinya, Revandro juga bersikap acuh tak acuh.Tapi bukan tak mungkin jika Revandro terus melirik Jia lewat ekor matanya, mengawasi ekpresi Perempuan di depannya yang datar.Jelas saja ekpresi Jia tidak bersahabat dan masam, lagipula siapa juga yang mau di lihat secara intens saat makan? Dari tatapan Revandro, Jia tahu jika Pria itu tengah menganggumi parasnya. Ditambah lagi, aura yang ia keluarkan adalah aura khas keturunan Hernso. Membuat Jia menjadi sangat berbeda di mata Revandro.Detik berikutnya, Revandro melepas pandangannnya dari Jia. Meminum winenya sekali teguk, sebelum kembali menatap Perempuan itu. "Ada yang ingin kau katakan?" Tanya Revandro saat Jia balas menatapnya."Apa kau tidak akan mele
Jia menaikan satu alisnya tak kala mendengar intonasi nada Revandro yang berubah, menjadi lebih tenang dan terkesan dingin."Bangkit dari dudukmu, sebelum aku menyeretmu dengan paksa." Lanjut Revandro dengan tatapan tajam.Jia memiringkan kepalanya sebentar, memperhatikan lamat-lamat Pria di depannya. Berpikir apakah Vier mengambil alih? Tidak, Pria di depannya masih Revandro. Karena jika itu Vier, Dia mungkin sudah menyeretnya dengan kasar.Kesal, ia tidak berniat bergeming dari tempatnya hingga Revandro berkata. "Ketika aku menyeretmu, jangan salahkan aku jika lenganmu putus dari tanganmu. Aku tidak bercanda!" Ancamnya.Membuang nafas kasar, Jia bangkit dari duduknya. Menghadiahkan senyum palsu singkat sebelum mengangkat tangannya dengan satu jari tengah yang di acungkan, lalu mengumpati Revandro. "Shit! My middle finger like you!" Kemudian melangkah lebar mendahului Revandro yang tersenyum kecil, terlihat jelas menahan tawanya.****"Kau mau membawaku kemana?" Tanya Jia yang berjal
"Karena aku tidak sama dengan mereka!" Dengan lantang, "Bagaimana bisa kau berharap jika aku akan mengormatimu sama seperti mereka? Disaat kau tahu sendiri yang kuinginkan bukanlah perlindungan dari kekuasaanmu, tapi kebebasan!" Sambungnya.Tangan yang mengepal erat, Jia menunjukan emosi bahwa ia tengah tidak baik-baik saja saat ini. Amarah seakan membakar seluruh akal sehatnya, Dia. Jia, meluapkan emosinya.Sedangkan Revandro? Pria tertegun sejenak, sebelum akhirnya kembali tertawa namun bukan tawa jahat. Tapi sebuah tawa yang terdengar lirih, Pria itu memandang Jia lama. "Huftt! Padahal aku sudah berusaha menekannya, tapi ungkapanmu barusan benar-benar membuatku kehilangan kendali atas kesadaranku. Sungguh luar biasa,"Jia mengerutkan keningnya, mencerna arti dari setiap kata yang terucap dari mulut Pria di depannya. Hingga di detik berikutnya retina mata Pria di depannya berubah, sorot mata yang sangat jelas diingat Jia.Vier, Dia mengambil alih Revandro."Lama tidak jumpa little g
"Anggaplah aku gila karena saat itu memberimu kesempatan untuk menjamah tubuhku, namun kali ini... tidak, tidak lagi. Kejadian itu tak mungkin ku ulang lagi," Jawab Jia dengan gelengan kepala pelan, menjawab perkataan Vier yang keterlaluan.Apa Vier pikir jika dirinya semurah itu sampai harus rela di sentuh kembali oleh Pria itu?"Aku tidak peduli, aku ingin menyentuhmu seperti saat itu. Kali ingin biarkan aku melakukannya dengan benar,"Dada Jia sontak naik-turun mendengar penuturan Pria di depannya, napasnya memburu dengan mata tajam yang menyorot pada Vier. Tangannya bahkan mengepal erat, tidak peduli dengan luka yang baru saja ia terima. Sedangkan Vier? Pria itu bingung, entah mengapa ia tidak suka dengan reaksi Jia yang terlihat penuh amarah di depannya. Mengenyahkan pemikirannya, Vier kembali berucap. "Ayalah Jia sayang, kau menginginkan sentuhanku bukan? Itulah sebabnya waktu itu kau memberiku kesempatan, Kau mendambakan tubuh ini bukan? Kau juga-"Bukk!Melayangkan satu boge
'SIAL! SIAL! SIAL!!'Entah sudah berapa kali Jia mengumpat dalam hati.Ia mengumpati Pria sialan di depannya, yang asik menciptakan huruf demi huruf pada lengannya. Yah tak lupa juga mengumpati dirinya sendiri karena tidak bisa melawan, dan lamah bersikap patuh seperti ini. Ia yakin, di hadapan Vier ia tak ada bedanya dengan seekor kelinci yang tak berdaya di hadapan singa. Merindingnya belum juga hilang, matanya memejam erat. Ingin menangis rasanya, tapi sekuat tenaga ia menahannya. Karena jujur saja ia tidak ingin Pria atasnya ini merasa menang, juga sebagai pertahanan satu-satunya agar tidak dianggap lemah dan berakir tewas di tangan Vier.Ketika duri menggores kulitnya, rasanya sangat sakit bahkan lebih sakit daripada tertusuk jarum. Tapi ketahuilah, rasa sakit itu bahkan bukan apa-apa jika berniat menghancurkan pertahanannya. Ia harus menahannya, sedikit lagi. Sebentar lagi, Vier akan menyelesaikan kegiatan tidak warasnya.Dan benar saja..."Selesai," ucap Vier setelah menyelesa
Jia memandang Revandro tajam, namun akhirnya menyerah. Dengan enggan, ia mengikuti pria itu keluar dari ruangan menyeramkan yang dipenuhi darah dan foto-foto mengerikan.Mereka berjalan dalam keheningan menuju sebuah ruangan yang lebih terang. Ruangan itu tampak seperti klinik pribadi—bersih, steril, namun tetap memiliki nuansa gelap khas Revandro. Jia duduk di kursi yang Revandro tunjukkan, memandangi pria itu yang menyiapkan peralatan medis."Kenapa repot-repot mengobatiku?" Jia akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar namun penuh rasa curiga. "Bukankah kau senang menyakitiku?"Revandro berhenti sejenak, lalu menoleh padanya dengan senyum tipis di wajahnya. "Ada batasnya, Jia. Aku tidak ingin kau hancur... setidaknya belum. Kau masih punya peran besar dalam hidupku."Jia memutar matanya, merasa muak dengan sikap misterius pria itu. “Peran besar? Sebut saja aku bonekamu, selesai urusan.”Revandro tidak menjawab, hanya melanjutkan membersihkan luka di tangan Jia dengan gerakan yang
Ia berhenti sejenak, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Jia. “… kau akan selalu kembali padaku. Seperti sekarang.”Jia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, merasa darahnya mendidih. “Kau tidak memiliki kendali penuh atasku. Aku bisa pergi kapan saja.”Senyuman Revandro memudar, tatapannya berubah dingin. “Jangan coba-coba, Jia. Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”Jia menatap pria itu, matanya penuh api. “Kenapa tidak? Apa karena aku ini hanya mainan bagimu? Sebuah tantangan yang harus kau kalahkan?”Revandro tersenyum tipis, tapi kini tidak ada kehangatan di balik senyuman itu. “Lebih dari itu, sayang. Kau bukan hanya mainan atau tantangan. Kau adalah kunci.”“Kunci untuk apa?” tanya Jia cepat, merasa dadanya berdebar lebih keras.Revandro tidak langsung menjawab, seolah mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati. “Kunci untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekuasaan atau uang. Sesuatu yang akan membuat seluruh dunia tunduk pada kam
Jia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Revandro. Matanya mencari-cari tanda ketulusan di wajahnya, tetapi hanya menemukan ketegangan yang tidak biasa. Dia tahu Revandro serius, tetapi pertanyaannya adalah—seberapa jauh dia akan pergi demi melindunginya?"Bagaimanapun caranya?" Jia mengulangi, suaranya terdengar dingin. "Apa itu berarti membunuh lebih banyak orang lagi, Revandro?"Pria itu memutar kepalanya untuk menatapnya langsung. Matanya gelap, penuh dengan sesuatu yang sulit diuraikan. "Jika itu yang diperlukan, ya," jawabnya tanpa ragu.Jia menarik napas dalam, lalu memalingkan wajahnya ke jendela, melihat bayangan kota yang berlalu cepat. Dia tahu Revandro bukan orang biasa. Dia tahu pria itu hidup di dunia yang keras dan penuh darah, tetapi mendengarnya mengatakan hal itu dengan begitu tenang membuat dadanya sesak.“Bagaimana aku bisa percaya padamu?” Jia akhirnya bertanya, nadanya penuh dengan kebimbangan. “Setiap langkah yang kau ambil selalu menciptakan lebih banyak musuh.
Jia duduk diam di tempatnya, menatap cangkir di tangannya yang mulai mendingin. Kata-kata Revandro tadi terus terngiang di kepalanya, seperti sebuah melodi yang enggan berhenti. "Kau adalah seseorang yang kubutuhkan." Kalimat itu, meskipun terkesan sederhana, membawa makna yang lebih besar daripada yang ia ingin akui.Namun, pikirannya terusik oleh nama Sila. Wanita itu selalu menjadi teka-teki baginya—terlalu licik, terlalu pintar bermain peran, dan terlalu sering berada di orbit Revandro. Jia tahu bahwa Sila tidak hanya bekerja untuk Revandro, tapi ada sesuatu yang lebih rumit di antara mereka, sesuatu yang sulit diabaikan.Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan ragu.“Nona Jia, Tuan Revandro meminta Anda untuk bersiap. Dia ingin Anda menemaninya malam ini.”Jia menatap pelayan itu dengan kening berkerut. “Malam ini? Ke mana?”“Maaf, saya tidak diberi tahu lebih banyak. Tapi dia meminta Anda mengenakan sesuatu yang formal.”Mata Jia menyipit. Fo
Setelah pria misterius itu pergi, suasana di ruangan tetap tegang. Sila memilih keluar lebih dulu, memberikan waktu bagi Jia dan Revandro untuk berdiskusi. Namun, bukannya langsung membahas pesan Alexander, Revandro melangkah mendekati Jia, senyum yang tadinya dingin perlahan melembut.“Jia,” katanya pelan, memecah kesunyian.Jia menoleh, ekspresinya masih mengeras oleh ketegangan yang baru saja terjadi. “Apa lagi?” jawabnya tanpa banyak basa-basi.Namun, alih-alih menjawab, Revandro mengulurkan tangannya, menyentuh lembut wajah Jia, ibu jarinya menyapu pelan di pipinya yang merona samar karena emosi. Jia mematung, hatinya berdebar meski ia mencoba mengabaikannya.“Kau baik-baik saja?” tanya Revandro, suaranya lebih lembut dari yang biasanya.Jia menepis tangannya dengan lembut, tapi tidak benar-benar menghindar. “Aku bukan anak kecil, Rev. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Revandro tertawa kecil, rendah, penuh rasa sayang yang sulit ia sembunyikan. “Aku tahu kau bisa. Tapi, tetap sa
Jia menatap pintu yang masih berayun perlahan, seolah bisa menelusuri bayangan pria itu di balik kegelapan. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya menegang, seakan marah pada dirinya sendiri karena membiarkan pria itu pergi begitu saja.Revandro, yang berdiri tidak jauh darinya, memiringkan kepalanya dan mengamati raut wajah Jia. “Ada apa?” tanyanya tenang, tapi matanya memancarkan keingintahuan yang tajam.Jia menoleh, tatapan dinginnya kini mengarah langsung pada Revandro. “Kau membiarkannya pergi. Itu kesalahan besar.”Revandro hanya mengangkat bahunya, seraya berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan dan mengambil segelas minuman. “Mungkin. Tapi apa gunanya menahannya kalau kita tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dimainkan?”“Tapi kita kehilangan kesempatan untuk menginterogasinya!” Jia mendekat, nada suaranya meninggi, penuh frustrasi. “Dia tahu sesuatu. Dan simbol itu… Aku tahu dari mana asalnya.”Revandro meneguk minumannya perlahan, tidak sedikit pun terpengaruh
Pria itu melangkah maju, mengesampingkan semua orang yang berada di ruangan. Suara langkah kakinya yang berat membuat setiap orang terdiam, seakan mengikuti irama yang ditentukannya. Jia tetap berdiri tegak, matanya tidak pernah lepas dari pria tersebut. Ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa waspada, meskipun ia telah menghadapi banyak bahaya sebelumnya.Revandro yang sejak tadi diam, kini menatap pria itu dengan penuh perhatian. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada kilatan tertentu di matanya—sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. "Jadi, kamu adalah orang yang memimpin permainan ini," kata Revandro dengan suara yang dalam, penuh tantangan.Pria itu berhenti beberapa langkah di depan Jia dan Revandro, tatapannya tajam dan seolah menilai mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia mengenakan jas hitam yang rapi, dengan dasi yang diikat sempurna, namun ada aura gelap yang mengelilinginya, membuat setiap orang di ruangan merasa terintimidasi."Begitu mudah untuk mengena
Malam semakin larut saat mereka tiba di lokasi yang telah mereka tentukan. Tempat itu terletak di pinggir kota, di sebuah kawasan yang jarang dilalui. Bangunan besar yang terbengkalai berdiri di sana, seolah menyembunyikan banyak rahasia di balik dinding-dindingnya yang kusam. Dari luar, tampak sunyi dan gelap, namun Jia tahu persis apa yang sedang menunggu di dalam.Jia memandang gedung itu, otaknya bekerja cepat, memikirkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Ada banyak hal yang bisa salah malam ini. Tetapi, dia sudah tidak punya pilihan lagi. Tidak ada ruang untuk keraguan.Revandro yang berdiri di sebelahnya, menatap gedung yang sama dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya, yang biasanya penuh dengan kecerdasan tajam dan sikap yang penuh perhitungan, kini tampak lebih dalam, seolah menyembunyikan pemikiran yang tak terungkap. Dia tahu ini bukan hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari itu.“Jia,” suara Revandro memecah kehen
Jia merasakan atmosfer di ruangan itu semakin tebal dengan ketegangan yang tak terucapkan. Setiap detik terasa semakin mendesak, dan meskipun mereka sedang duduk di sekitar meja yang sama, dia bisa merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya, Revandro, dan Agatha. Setiap gerakan mereka seakan berirama dengan sebuah permainan catur yang rumit—di mana setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati, dan setiap pengkhianatan bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga.Agatha, yang sedari tadi berdiri diam, akhirnya memecah keheningan itu. "Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Kalian menganggap aku terlalu ambisius atau mungkin tidak cukup dapat dipercaya. Tapi ini bukan tentang kalian, atau aku. Ini tentang bertahan hidup. Ini tentang memastikan kita tidak menjadi sasaran berikutnya."Jia menatap Agatha dengan tajam, tetapi tidak berkata-kata. Ia sudah cukup mendengar kata-kata manis yang keluar dari bibir wanita itu. Namun, ada sesuatu dalam nada Agatha yang membuatnya berhe
Di luar, malam semakin larut, namun ketegangan di dalam ruangan masih terasa pekat. Jia dan Revandro bergerak cepat, seolah ada sesuatu yang melesat di antara mereka, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pertemuan ini. Rencana mereka sudah diatur dengan rapi, namun masih ada satu hal yang menggantung di udara: bagaimana menghadapinya jika musuh benar-benar menyerang."Jia," suara Revandro terdengar di belakangnya saat mereka berjalan menuju pintu utama mansion, "Kita akan menghadapi mereka dengan cara kita sendiri. Kita tak akan bermain aman."Jia berhenti sejenak, menatap Revandro dengan ekspresi serius, namun ada kekuatan dalam tatapannya. "Aku tahu, dan aku siap. Tapi ingat, kita harus memastikan kita tetap di depan mereka. Tak ada ruang untuk kesalahan."Revandro tersenyum, namun ada sesuatu yang lebih dalam pada senyumnya itu. "Kamu selalu membuatku terkesan, Jia."Namun, sebelum mereka dapat melangkah lebih jauh, sebuah suara datang dari pintu belakang, membuat mereka berh
Jia dan Revandro berdiri dalam keheningan, atmosfer di ruangan itu tegang dengan ancaman yang baru saja dilontarkan. Semua yang terjadi dalam beberapa detik terakhir seolah menciptakan lonjakan adrenalin, namun ada ketenangan yang muncul setelahnya. Jia merasa perasaan asing menghantamnya—perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak hanya amarah terhadap ancaman pria itu, tetapi juga keteguhan hati yang baru tumbuh dalam dirinya.Revandro memandangnya, tatapannya penuh perhitungan. "Kau tahu, Jia... aku tidak ingin melibatkanmu dalam hal ini. Tapi kita tidak bisa mundur. Ini sudah lebih dari sekadar permainan."Jia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang penuh kebanggaan dan tekad. "Aku tidak mundur, Revandro. Aku sudah cukup jauh terlibat. Jika mereka ingin menyerangmu, mereka harus melawan kita. Aku tidak akan biarkan mereka merusak apa yang kita bangun."Revandro tersenyum tipis, sesuatu yang lebih lembut kali ini, meski di balik senyuman itu ada keseriusan yang