Jia memandang Revandro tajam, namun akhirnya menyerah. Dengan enggan, ia mengikuti pria itu keluar dari ruangan menyeramkan yang dipenuhi darah dan foto-foto mengerikan.Mereka berjalan dalam keheningan menuju sebuah ruangan yang lebih terang. Ruangan itu tampak seperti klinik pribadi—bersih, steril, namun tetap memiliki nuansa gelap khas Revandro. Jia duduk di kursi yang Revandro tunjukkan, memandangi pria itu yang menyiapkan peralatan medis."Kenapa repot-repot mengobatiku?" Jia akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar namun penuh rasa curiga. "Bukankah kau senang menyakitiku?"Revandro berhenti sejenak, lalu menoleh padanya dengan senyum tipis di wajahnya. "Ada batasnya, Jia. Aku tidak ingin kau hancur... setidaknya belum. Kau masih punya peran besar dalam hidupku."Jia memutar matanya, merasa muak dengan sikap misterius pria itu. “Peran besar? Sebut saja aku bonekamu, selesai urusan.”Revandro tidak menjawab, hanya melanjutkan membersihkan luka di tangan Jia dengan gerakan yang
Ia berhenti sejenak, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Jia. “… kau akan selalu kembali padaku. Seperti sekarang.”Jia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, merasa darahnya mendidih. “Kau tidak memiliki kendali penuh atasku. Aku bisa pergi kapan saja.”Senyuman Revandro memudar, tatapannya berubah dingin. “Jangan coba-coba, Jia. Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”Jia menatap pria itu, matanya penuh api. “Kenapa tidak? Apa karena aku ini hanya mainan bagimu? Sebuah tantangan yang harus kau kalahkan?”Revandro tersenyum tipis, tapi kini tidak ada kehangatan di balik senyuman itu. “Lebih dari itu, sayang. Kau bukan hanya mainan atau tantangan. Kau adalah kunci.”“Kunci untuk apa?” tanya Jia cepat, merasa dadanya berdebar lebih keras.Revandro tidak langsung menjawab, seolah mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati. “Kunci untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekuasaan atau uang. Sesuatu yang akan membuat seluruh dunia tunduk pada kam
Revandro hanya tersenyum tipis, seolah kata-kata Jia tidak mengganggunya sama sekali. Ia mendekat lagi, membuat Jia mundur secara refleks hingga punggungnya menyentuh dinding. Dengan satu tangan, Revandro menyandarkan dirinya di dinding, memblokir jalan keluar."Jia," bisiknya rendah, mata gelapnya menatap dalam ke matanya, "apakah kau benar-benar percaya bahwa setelah semua ini, kau masih bisa keluar begitu saja? Aku sudah menandai jalan hidupmu sejak pertama kali kita bertemu."Jia menelan ludah, jantungnya berpacu lebih cepat dari yang ia inginkan. "Aku tidak percaya pada permainan psikologismu ini," ia berusaha terdengar tegar, tapi suaranya sedikit bergetar. "Kau tidak bisa begitu saja mengendalikan setiap orang di sekitarmu hanya karena kau punya kekuasaan."Revandro mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, membiarkan napasnya hangat di pipi Jia. "Tapi itulah kenyataannya, bukan? Kekuasaan adalah segalanya, Jia. Dan kau, suka atau tidak, berada dalam lingkaran kekuasaanku sek
Jia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya terpancing lebih jauh. “Kalau begitu, kenapa kau tidak langsung mengatakan saja apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar, tetapi matanya tetap tajam.Revandro memperhatikan Jia sejenak, lalu perlahan mengulurkan tangannya, mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa Jia untuk menatap langsung ke dalam matanya. “Apa kau benar-benar ingin tahu jawabannya?”Jia menepis tangannya dengan kasar, menjauhkan dirinya dari sentuhan pria itu. “Jangan sentuh aku,” bisiknya dengan dingin. “Aku di sini bukan untuk menjadi boneka dalam permainanmu.”Revandro menurunkan tangannya dengan senyum kecil di bibirnya. “Permainan?” Ia tertawa kecil, langkahnya tenang namun mengintimidasi saat mendekati Jia lagi. “Ini bukan permainan, Jia. Ini adalah kenyataan—kenyataan di mana aku yang memegang kendali. Dan kau, entah kau menyukainya atau tidak, sudah terlibat di dalamnya.”
Setelah kejadian itu, Revandro menempatkannya di kamar hotel. Namun, bukankah adalah sebuah kesempatan?Jia berdiri di tepi balkon hotel, memandang ke luar dengan gelisah. Jalan di bawah tampak kosong, tetapi dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi rasa takut yang lebih besar adalah tertangkap kembali oleh Revandro.Dia meraih kain panjang dari dalam kamar, membentuk tali darurat. Dengan hati-hati, Jia memanjat keluar jendela, berharap tali itu cukup kuat untuk menurunkannya ke bawah. Tali itu bergetar di tangannya, sementara di dalam, Revandro dan anak buahnya mungkin sudah menyadari bahwa dia mencoba melarikan diri.Baru beberapa meter turun, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Jia menahan napas, tapi tahu dia tidak punya waktu. "Jia!" suara Revandro terdengar dari dalam kamar, marah dan penuh amarah. Jia mengabaikannya, menggenggam tali lebih erat dan terus menuruni dinding.Namun, tali itu mulai robek. Dengan cepat, tali terlepas,
"Sudah cukup, Jia," kata Revandro dengan nada tajam, menariknya hingga tubuh Jia berbalik dan kini berada di hadapannya. "Kau tak perlu melukai dirimu lebih jauh."Jia menatap tajam ke arah Revandro, mencoba melepaskan diri dari genggamannya. "Lepaskan aku," desisnya."Aku tidak bisa," jawab Revandro tenang, meski ada sedikit kemarahan yang membayang di matanya. "Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi."Jia meronta, mencoba menarik lengannya. "Aku bukan milikmu!" teriaknya marah. "Kau tidak punya hak atas diriku!"Revandro menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. “Ini bukan tentang siapa yang punya hak atas siapa. Ini tentang keselamatanmu, Jia.”Jia tertawa sinis, “Keselamatan? Dari siapa? Dari dunia luar? Atau dari dirimu?”Tatapan Revandro mengeras. "Dunia di luar sana jauh lebih berbahaya dari yang kau pikirkan, dan aku adalah satu-satunya yang bisa menjagamu."“Aku bisa menjaga diriku sendiri,” jawab Jia cepat, napasnya masih terengah-engah.“Benarkah? Kau pikir kau bi
Jia berusaha keras mengatur napasnya, kepalanya sedikit berputar karena perjuangannya melawan Revandro yang nyaris sia-sia. Tangan Revandro masih mencengkeram lengannya erat, seolah tidak ingin memberinya sedikit pun celah untuk melarikan diri lagi.“Kau benar-benar tak akan membiarkanku pergi?” tanya Jia dengan suara serak, tatapannya menusuk namun di baliknya ada sedikit kepasrahan yang mulai muncul.“Kau tahu jawabannya,” jawab Revandro, suaranya rendah namun bergetar dengan intensitas. “Selama kau masih menjadi incaranku, aku tidak akan pernah melepaskanmu.”“Kenapa?” Jia bertanya, suaranya lebih bergetar. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Revandro? Kau bisa mendapatkan apa saja, siapa saja, tapi kenapa harus aku?”Tatapan Revandro semakin tajam, dia mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Jia. “Kau berbeda, Jia,” katanya dingin. “Kau menolak tunduk, menolak menyerah. Dan itu yang membuatmu berbahaya... dan menarik.”“Aku bukan permainanmu,” Jia berusaha meneg
Ketegangan di antara Jia dan Revandro semakin terasa. Udara seakan berhenti mengalir di antara mereka, sementara mata mereka saling mengunci, penuh dengan emosi yang tak terucapkan. Jia mencoba menenangkan napasnya yang masih tersengal, tubuhnya dipenuhi keletihan, namun tekadnya tak goyah.“Kau tahu ini tidak akan berhasil, Revandro,” suara Jia terdengar rendah namun penuh dengan ketegasan yang sulit ditawar. “Kau tidak bisa terus memaksaku bertahan di sini. Cepat atau lambat, aku akan pergi.”Revandro menatapnya, wajahnya tak berubah, tetap datar dan dingin. Namun, dalam nada suaranya, ada ketegangan yang terpendam. “Kau tidak mengerti, Jia. Ini bukan tentang apa yang kau inginkan. Ini soal bertahan hidup.”Jia mendengus, kesal dengan jawaban yang selalu sama. “Bertahan hidup? Apa ini caramu? Memaksa seseorang tinggal di bawah kendalimu? Apa itu yang kau anggap sebagai hidup?”“Ini dunia yang kita jalani,” balas Revandro cepat, nadanya lebih tajam dari sebelumnya. “Tidak ada tempat