Ia berhenti sejenak, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Jia. “… kau akan selalu kembali padaku. Seperti sekarang.”Jia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, merasa darahnya mendidih. “Kau tidak memiliki kendali penuh atasku. Aku bisa pergi kapan saja.”Senyuman Revandro memudar, tatapannya berubah dingin. “Jangan coba-coba, Jia. Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”Jia menatap pria itu, matanya penuh api. “Kenapa tidak? Apa karena aku ini hanya mainan bagimu? Sebuah tantangan yang harus kau kalahkan?”Revandro tersenyum tipis, tapi kini tidak ada kehangatan di balik senyuman itu. “Lebih dari itu, sayang. Kau bukan hanya mainan atau tantangan. Kau adalah kunci.”“Kunci untuk apa?” tanya Jia cepat, merasa dadanya berdebar lebih keras.Revandro tidak langsung menjawab, seolah mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati. “Kunci untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekuasaan atau uang. Sesuatu yang akan membuat seluruh dunia tunduk pada kam
Revandro hanya tersenyum tipis, seolah kata-kata Jia tidak mengganggunya sama sekali. Ia mendekat lagi, membuat Jia mundur secara refleks hingga punggungnya menyentuh dinding. Dengan satu tangan, Revandro menyandarkan dirinya di dinding, memblokir jalan keluar."Jia," bisiknya rendah, mata gelapnya menatap dalam ke matanya, "apakah kau benar-benar percaya bahwa setelah semua ini, kau masih bisa keluar begitu saja? Aku sudah menandai jalan hidupmu sejak pertama kali kita bertemu."Jia menelan ludah, jantungnya berpacu lebih cepat dari yang ia inginkan. "Aku tidak percaya pada permainan psikologismu ini," ia berusaha terdengar tegar, tapi suaranya sedikit bergetar. "Kau tidak bisa begitu saja mengendalikan setiap orang di sekitarmu hanya karena kau punya kekuasaan."Revandro mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, membiarkan napasnya hangat di pipi Jia. "Tapi itulah kenyataannya, bukan? Kekuasaan adalah segalanya, Jia. Dan kau, suka atau tidak, berada dalam lingkaran kekuasaanku sek
Jia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya terpancing lebih jauh. “Kalau begitu, kenapa kau tidak langsung mengatakan saja apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar, tetapi matanya tetap tajam.Revandro memperhatikan Jia sejenak, lalu perlahan mengulurkan tangannya, mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa Jia untuk menatap langsung ke dalam matanya. “Apa kau benar-benar ingin tahu jawabannya?”Jia menepis tangannya dengan kasar, menjauhkan dirinya dari sentuhan pria itu. “Jangan sentuh aku,” bisiknya dengan dingin. “Aku di sini bukan untuk menjadi boneka dalam permainanmu.”Revandro menurunkan tangannya dengan senyum kecil di bibirnya. “Permainan?” Ia tertawa kecil, langkahnya tenang namun mengintimidasi saat mendekati Jia lagi. “Ini bukan permainan, Jia. Ini adalah kenyataan—kenyataan di mana aku yang memegang kendali. Dan kau, entah kau menyukainya atau tidak, sudah terlibat di dalamnya.”
Setelah kejadian itu, Revandro menempatkannya di kamar hotel. Namun, bukankah adalah sebuah kesempatan?Jia berdiri di tepi balkon hotel, memandang ke luar dengan gelisah. Jalan di bawah tampak kosong, tetapi dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi rasa takut yang lebih besar adalah tertangkap kembali oleh Revandro.Dia meraih kain panjang dari dalam kamar, membentuk tali darurat. Dengan hati-hati, Jia memanjat keluar jendela, berharap tali itu cukup kuat untuk menurunkannya ke bawah. Tali itu bergetar di tangannya, sementara di dalam, Revandro dan anak buahnya mungkin sudah menyadari bahwa dia mencoba melarikan diri.Baru beberapa meter turun, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Jia menahan napas, tapi tahu dia tidak punya waktu. "Jia!" suara Revandro terdengar dari dalam kamar, marah dan penuh amarah. Jia mengabaikannya, menggenggam tali lebih erat dan terus menuruni dinding.Namun, tali itu mulai robek. Dengan cepat, tali terlepas,
"Sudah cukup, Jia," kata Revandro dengan nada tajam, menariknya hingga tubuh Jia berbalik dan kini berada di hadapannya. "Kau tak perlu melukai dirimu lebih jauh."Jia menatap tajam ke arah Revandro, mencoba melepaskan diri dari genggamannya. "Lepaskan aku," desisnya."Aku tidak bisa," jawab Revandro tenang, meski ada sedikit kemarahan yang membayang di matanya. "Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi."Jia meronta, mencoba menarik lengannya. "Aku bukan milikmu!" teriaknya marah. "Kau tidak punya hak atas diriku!"Revandro menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. “Ini bukan tentang siapa yang punya hak atas siapa. Ini tentang keselamatanmu, Jia.”Jia tertawa sinis, “Keselamatan? Dari siapa? Dari dunia luar? Atau dari dirimu?”Tatapan Revandro mengeras. "Dunia di luar sana jauh lebih berbahaya dari yang kau pikirkan, dan aku adalah satu-satunya yang bisa menjagamu."“Aku bisa menjaga diriku sendiri,” jawab Jia cepat, napasnya masih terengah-engah.“Benarkah? Kau pikir kau bi
Jia berusaha keras mengatur napasnya, kepalanya sedikit berputar karena perjuangannya melawan Revandro yang nyaris sia-sia. Tangan Revandro masih mencengkeram lengannya erat, seolah tidak ingin memberinya sedikit pun celah untuk melarikan diri lagi.“Kau benar-benar tak akan membiarkanku pergi?” tanya Jia dengan suara serak, tatapannya menusuk namun di baliknya ada sedikit kepasrahan yang mulai muncul.“Kau tahu jawabannya,” jawab Revandro, suaranya rendah namun bergetar dengan intensitas. “Selama kau masih menjadi incaranku, aku tidak akan pernah melepaskanmu.”“Kenapa?” Jia bertanya, suaranya lebih bergetar. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Revandro? Kau bisa mendapatkan apa saja, siapa saja, tapi kenapa harus aku?”Tatapan Revandro semakin tajam, dia mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Jia. “Kau berbeda, Jia,” katanya dingin. “Kau menolak tunduk, menolak menyerah. Dan itu yang membuatmu berbahaya... dan menarik.”“Aku bukan permainanmu,” Jia berusaha meneg
Ketegangan di antara Jia dan Revandro semakin terasa. Udara seakan berhenti mengalir di antara mereka, sementara mata mereka saling mengunci, penuh dengan emosi yang tak terucapkan. Jia mencoba menenangkan napasnya yang masih tersengal, tubuhnya dipenuhi keletihan, namun tekadnya tak goyah.“Kau tahu ini tidak akan berhasil, Revandro,” suara Jia terdengar rendah namun penuh dengan ketegasan yang sulit ditawar. “Kau tidak bisa terus memaksaku bertahan di sini. Cepat atau lambat, aku akan pergi.”Revandro menatapnya, wajahnya tak berubah, tetap datar dan dingin. Namun, dalam nada suaranya, ada ketegangan yang terpendam. “Kau tidak mengerti, Jia. Ini bukan tentang apa yang kau inginkan. Ini soal bertahan hidup.”Jia mendengus, kesal dengan jawaban yang selalu sama. “Bertahan hidup? Apa ini caramu? Memaksa seseorang tinggal di bawah kendalimu? Apa itu yang kau anggap sebagai hidup?”“Ini dunia yang kita jalani,” balas Revandro cepat, nadanya lebih tajam dari sebelumnya. “Tidak ada tempat
Jia berdiri di ambang pintu, napasnya tak beraturan, jantungnya berdebar keras. Dia tahu Revandro tidak akan tinggal diam setelah apa yang dia lakukan. Tubuhnya masih terasa tegang, adrenalinnya mengalir cepat, siap melarikan diri kapan saja.“Berhenti sekarang, Jia,” suara Revandro terdengar dari belakangnya, tenang tapi penuh ancaman. "Aku tahu apa yang kau coba lakukan."Jia berbalik, wajahnya menunjukkan tekad yang keras. "Aku tidak akan tinggal di sini dan menjadi bonekamu selamanya, Revandro. Aku akan pergi."Revandro melangkah mendekat, sikapnya tenang namun matanya berbicara banyak. "Kau tahu kau tidak bisa lari dariku. Bahkan jika kau berhasil keluar dari sini, dunia di luar lebih berbahaya daripada yang kau bayangkan."Jia menegakkan tubuhnya, tidak mau kalah. "Itu resiko yang harus aku ambil. Lebih baik menghadapi dunia di luar daripada terus terjebak di sini denganmu."Senyum tipis muncul di sudut bibir Revandro, tapi ada sesuatu yang dingin di baliknya. "Kau bicara sepert
Jia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Revandro. Matanya mencari-cari tanda ketulusan di wajahnya, tetapi hanya menemukan ketegangan yang tidak biasa. Dia tahu Revandro serius, tetapi pertanyaannya adalah—seberapa jauh dia akan pergi demi melindunginya?"Bagaimanapun caranya?" Jia mengulangi, suaranya terdengar dingin. "Apa itu berarti membunuh lebih banyak orang lagi, Revandro?"Pria itu memutar kepalanya untuk menatapnya langsung. Matanya gelap, penuh dengan sesuatu yang sulit diuraikan. "Jika itu yang diperlukan, ya," jawabnya tanpa ragu.Jia menarik napas dalam, lalu memalingkan wajahnya ke jendela, melihat bayangan kota yang berlalu cepat. Dia tahu Revandro bukan orang biasa. Dia tahu pria itu hidup di dunia yang keras dan penuh darah, tetapi mendengarnya mengatakan hal itu dengan begitu tenang membuat dadanya sesak.“Bagaimana aku bisa percaya padamu?” Jia akhirnya bertanya, nadanya penuh dengan kebimbangan. “Setiap langkah yang kau ambil selalu menciptakan lebih banyak musuh.
Jia duduk diam di tempatnya, menatap cangkir di tangannya yang mulai mendingin. Kata-kata Revandro tadi terus terngiang di kepalanya, seperti sebuah melodi yang enggan berhenti. "Kau adalah seseorang yang kubutuhkan." Kalimat itu, meskipun terkesan sederhana, membawa makna yang lebih besar daripada yang ia ingin akui.Namun, pikirannya terusik oleh nama Sila. Wanita itu selalu menjadi teka-teki baginya—terlalu licik, terlalu pintar bermain peran, dan terlalu sering berada di orbit Revandro. Jia tahu bahwa Sila tidak hanya bekerja untuk Revandro, tapi ada sesuatu yang lebih rumit di antara mereka, sesuatu yang sulit diabaikan.Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan ragu.“Nona Jia, Tuan Revandro meminta Anda untuk bersiap. Dia ingin Anda menemaninya malam ini.”Jia menatap pelayan itu dengan kening berkerut. “Malam ini? Ke mana?”“Maaf, saya tidak diberi tahu lebih banyak. Tapi dia meminta Anda mengenakan sesuatu yang formal.”Mata Jia menyipit. Fo
Setelah pria misterius itu pergi, suasana di ruangan tetap tegang. Sila memilih keluar lebih dulu, memberikan waktu bagi Jia dan Revandro untuk berdiskusi. Namun, bukannya langsung membahas pesan Alexander, Revandro melangkah mendekati Jia, senyum yang tadinya dingin perlahan melembut.“Jia,” katanya pelan, memecah kesunyian.Jia menoleh, ekspresinya masih mengeras oleh ketegangan yang baru saja terjadi. “Apa lagi?” jawabnya tanpa banyak basa-basi.Namun, alih-alih menjawab, Revandro mengulurkan tangannya, menyentuh lembut wajah Jia, ibu jarinya menyapu pelan di pipinya yang merona samar karena emosi. Jia mematung, hatinya berdebar meski ia mencoba mengabaikannya.“Kau baik-baik saja?” tanya Revandro, suaranya lebih lembut dari yang biasanya.Jia menepis tangannya dengan lembut, tapi tidak benar-benar menghindar. “Aku bukan anak kecil, Rev. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Revandro tertawa kecil, rendah, penuh rasa sayang yang sulit ia sembunyikan. “Aku tahu kau bisa. Tapi, tetap sa
Jia menatap pintu yang masih berayun perlahan, seolah bisa menelusuri bayangan pria itu di balik kegelapan. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya menegang, seakan marah pada dirinya sendiri karena membiarkan pria itu pergi begitu saja.Revandro, yang berdiri tidak jauh darinya, memiringkan kepalanya dan mengamati raut wajah Jia. “Ada apa?” tanyanya tenang, tapi matanya memancarkan keingintahuan yang tajam.Jia menoleh, tatapan dinginnya kini mengarah langsung pada Revandro. “Kau membiarkannya pergi. Itu kesalahan besar.”Revandro hanya mengangkat bahunya, seraya berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan dan mengambil segelas minuman. “Mungkin. Tapi apa gunanya menahannya kalau kita tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dimainkan?”“Tapi kita kehilangan kesempatan untuk menginterogasinya!” Jia mendekat, nada suaranya meninggi, penuh frustrasi. “Dia tahu sesuatu. Dan simbol itu… Aku tahu dari mana asalnya.”Revandro meneguk minumannya perlahan, tidak sedikit pun terpengaruh
Pria itu melangkah maju, mengesampingkan semua orang yang berada di ruangan. Suara langkah kakinya yang berat membuat setiap orang terdiam, seakan mengikuti irama yang ditentukannya. Jia tetap berdiri tegak, matanya tidak pernah lepas dari pria tersebut. Ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa waspada, meskipun ia telah menghadapi banyak bahaya sebelumnya.Revandro yang sejak tadi diam, kini menatap pria itu dengan penuh perhatian. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada kilatan tertentu di matanya—sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. "Jadi, kamu adalah orang yang memimpin permainan ini," kata Revandro dengan suara yang dalam, penuh tantangan.Pria itu berhenti beberapa langkah di depan Jia dan Revandro, tatapannya tajam dan seolah menilai mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia mengenakan jas hitam yang rapi, dengan dasi yang diikat sempurna, namun ada aura gelap yang mengelilinginya, membuat setiap orang di ruangan merasa terintimidasi."Begitu mudah untuk mengena
Malam semakin larut saat mereka tiba di lokasi yang telah mereka tentukan. Tempat itu terletak di pinggir kota, di sebuah kawasan yang jarang dilalui. Bangunan besar yang terbengkalai berdiri di sana, seolah menyembunyikan banyak rahasia di balik dinding-dindingnya yang kusam. Dari luar, tampak sunyi dan gelap, namun Jia tahu persis apa yang sedang menunggu di dalam.Jia memandang gedung itu, otaknya bekerja cepat, memikirkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Ada banyak hal yang bisa salah malam ini. Tetapi, dia sudah tidak punya pilihan lagi. Tidak ada ruang untuk keraguan.Revandro yang berdiri di sebelahnya, menatap gedung yang sama dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya, yang biasanya penuh dengan kecerdasan tajam dan sikap yang penuh perhitungan, kini tampak lebih dalam, seolah menyembunyikan pemikiran yang tak terungkap. Dia tahu ini bukan hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari itu.“Jia,” suara Revandro memecah kehen
Jia merasakan atmosfer di ruangan itu semakin tebal dengan ketegangan yang tak terucapkan. Setiap detik terasa semakin mendesak, dan meskipun mereka sedang duduk di sekitar meja yang sama, dia bisa merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya, Revandro, dan Agatha. Setiap gerakan mereka seakan berirama dengan sebuah permainan catur yang rumit—di mana setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati, dan setiap pengkhianatan bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga.Agatha, yang sedari tadi berdiri diam, akhirnya memecah keheningan itu. "Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Kalian menganggap aku terlalu ambisius atau mungkin tidak cukup dapat dipercaya. Tapi ini bukan tentang kalian, atau aku. Ini tentang bertahan hidup. Ini tentang memastikan kita tidak menjadi sasaran berikutnya."Jia menatap Agatha dengan tajam, tetapi tidak berkata-kata. Ia sudah cukup mendengar kata-kata manis yang keluar dari bibir wanita itu. Namun, ada sesuatu dalam nada Agatha yang membuatnya berhe
Di luar, malam semakin larut, namun ketegangan di dalam ruangan masih terasa pekat. Jia dan Revandro bergerak cepat, seolah ada sesuatu yang melesat di antara mereka, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pertemuan ini. Rencana mereka sudah diatur dengan rapi, namun masih ada satu hal yang menggantung di udara: bagaimana menghadapinya jika musuh benar-benar menyerang."Jia," suara Revandro terdengar di belakangnya saat mereka berjalan menuju pintu utama mansion, "Kita akan menghadapi mereka dengan cara kita sendiri. Kita tak akan bermain aman."Jia berhenti sejenak, menatap Revandro dengan ekspresi serius, namun ada kekuatan dalam tatapannya. "Aku tahu, dan aku siap. Tapi ingat, kita harus memastikan kita tetap di depan mereka. Tak ada ruang untuk kesalahan."Revandro tersenyum, namun ada sesuatu yang lebih dalam pada senyumnya itu. "Kamu selalu membuatku terkesan, Jia."Namun, sebelum mereka dapat melangkah lebih jauh, sebuah suara datang dari pintu belakang, membuat mereka berh
Jia dan Revandro berdiri dalam keheningan, atmosfer di ruangan itu tegang dengan ancaman yang baru saja dilontarkan. Semua yang terjadi dalam beberapa detik terakhir seolah menciptakan lonjakan adrenalin, namun ada ketenangan yang muncul setelahnya. Jia merasa perasaan asing menghantamnya—perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak hanya amarah terhadap ancaman pria itu, tetapi juga keteguhan hati yang baru tumbuh dalam dirinya.Revandro memandangnya, tatapannya penuh perhitungan. "Kau tahu, Jia... aku tidak ingin melibatkanmu dalam hal ini. Tapi kita tidak bisa mundur. Ini sudah lebih dari sekadar permainan."Jia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang penuh kebanggaan dan tekad. "Aku tidak mundur, Revandro. Aku sudah cukup jauh terlibat. Jika mereka ingin menyerangmu, mereka harus melawan kita. Aku tidak akan biarkan mereka merusak apa yang kita bangun."Revandro tersenyum tipis, sesuatu yang lebih lembut kali ini, meski di balik senyuman itu ada keseriusan yang