Jia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya terpancing lebih jauh. “Kalau begitu, kenapa kau tidak langsung mengatakan saja apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar, tetapi matanya tetap tajam.Revandro memperhatikan Jia sejenak, lalu perlahan mengulurkan tangannya, mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa Jia untuk menatap langsung ke dalam matanya. “Apa kau benar-benar ingin tahu jawabannya?”Jia menepis tangannya dengan kasar, menjauhkan dirinya dari sentuhan pria itu. “Jangan sentuh aku,” bisiknya dengan dingin. “Aku di sini bukan untuk menjadi boneka dalam permainanmu.”Revandro menurunkan tangannya dengan senyum kecil di bibirnya. “Permainan?” Ia tertawa kecil, langkahnya tenang namun mengintimidasi saat mendekati Jia lagi. “Ini bukan permainan, Jia. Ini adalah kenyataan—kenyataan di mana aku yang memegang kendali. Dan kau, entah kau menyukainya atau tidak, sudah terlibat di dalamnya.”
Setelah kejadian itu, Revandro menempatkannya di kamar hotel. Namun, bukankah adalah sebuah kesempatan?Jia berdiri di tepi balkon hotel, memandang ke luar dengan gelisah. Jalan di bawah tampak kosong, tetapi dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi rasa takut yang lebih besar adalah tertangkap kembali oleh Revandro.Dia meraih kain panjang dari dalam kamar, membentuk tali darurat. Dengan hati-hati, Jia memanjat keluar jendela, berharap tali itu cukup kuat untuk menurunkannya ke bawah. Tali itu bergetar di tangannya, sementara di dalam, Revandro dan anak buahnya mungkin sudah menyadari bahwa dia mencoba melarikan diri.Baru beberapa meter turun, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Jia menahan napas, tapi tahu dia tidak punya waktu. "Jia!" suara Revandro terdengar dari dalam kamar, marah dan penuh amarah. Jia mengabaikannya, menggenggam tali lebih erat dan terus menuruni dinding.Namun, tali itu mulai robek. Dengan cepat, tali terlepas,
"Sudah cukup, Jia," kata Revandro dengan nada tajam, menariknya hingga tubuh Jia berbalik dan kini berada di hadapannya. "Kau tak perlu melukai dirimu lebih jauh."Jia menatap tajam ke arah Revandro, mencoba melepaskan diri dari genggamannya. "Lepaskan aku," desisnya."Aku tidak bisa," jawab Revandro tenang, meski ada sedikit kemarahan yang membayang di matanya. "Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi."Jia meronta, mencoba menarik lengannya. "Aku bukan milikmu!" teriaknya marah. "Kau tidak punya hak atas diriku!"Revandro menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. “Ini bukan tentang siapa yang punya hak atas siapa. Ini tentang keselamatanmu, Jia.”Jia tertawa sinis, “Keselamatan? Dari siapa? Dari dunia luar? Atau dari dirimu?”Tatapan Revandro mengeras. "Dunia di luar sana jauh lebih berbahaya dari yang kau pikirkan, dan aku adalah satu-satunya yang bisa menjagamu."“Aku bisa menjaga diriku sendiri,” jawab Jia cepat, napasnya masih terengah-engah.“Benarkah? Kau pikir kau bi
Jia berusaha keras mengatur napasnya, kepalanya sedikit berputar karena perjuangannya melawan Revandro yang nyaris sia-sia. Tangan Revandro masih mencengkeram lengannya erat, seolah tidak ingin memberinya sedikit pun celah untuk melarikan diri lagi.“Kau benar-benar tak akan membiarkanku pergi?” tanya Jia dengan suara serak, tatapannya menusuk namun di baliknya ada sedikit kepasrahan yang mulai muncul.“Kau tahu jawabannya,” jawab Revandro, suaranya rendah namun bergetar dengan intensitas. “Selama kau masih menjadi incaranku, aku tidak akan pernah melepaskanmu.”“Kenapa?” Jia bertanya, suaranya lebih bergetar. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Revandro? Kau bisa mendapatkan apa saja, siapa saja, tapi kenapa harus aku?”Tatapan Revandro semakin tajam, dia mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Jia. “Kau berbeda, Jia,” katanya dingin. “Kau menolak tunduk, menolak menyerah. Dan itu yang membuatmu berbahaya... dan menarik.”“Aku bukan permainanmu,” Jia berusaha meneg
Ketegangan di antara Jia dan Revandro semakin terasa. Udara seakan berhenti mengalir di antara mereka, sementara mata mereka saling mengunci, penuh dengan emosi yang tak terucapkan. Jia mencoba menenangkan napasnya yang masih tersengal, tubuhnya dipenuhi keletihan, namun tekadnya tak goyah.“Kau tahu ini tidak akan berhasil, Revandro,” suara Jia terdengar rendah namun penuh dengan ketegasan yang sulit ditawar. “Kau tidak bisa terus memaksaku bertahan di sini. Cepat atau lambat, aku akan pergi.”Revandro menatapnya, wajahnya tak berubah, tetap datar dan dingin. Namun, dalam nada suaranya, ada ketegangan yang terpendam. “Kau tidak mengerti, Jia. Ini bukan tentang apa yang kau inginkan. Ini soal bertahan hidup.”Jia mendengus, kesal dengan jawaban yang selalu sama. “Bertahan hidup? Apa ini caramu? Memaksa seseorang tinggal di bawah kendalimu? Apa itu yang kau anggap sebagai hidup?”“Ini dunia yang kita jalani,” balas Revandro cepat, nadanya lebih tajam dari sebelumnya. “Tidak ada tempat
Jia berdiri di ambang pintu, napasnya tak beraturan, jantungnya berdebar keras. Dia tahu Revandro tidak akan tinggal diam setelah apa yang dia lakukan. Tubuhnya masih terasa tegang, adrenalinnya mengalir cepat, siap melarikan diri kapan saja.“Berhenti sekarang, Jia,” suara Revandro terdengar dari belakangnya, tenang tapi penuh ancaman. "Aku tahu apa yang kau coba lakukan."Jia berbalik, wajahnya menunjukkan tekad yang keras. "Aku tidak akan tinggal di sini dan menjadi bonekamu selamanya, Revandro. Aku akan pergi."Revandro melangkah mendekat, sikapnya tenang namun matanya berbicara banyak. "Kau tahu kau tidak bisa lari dariku. Bahkan jika kau berhasil keluar dari sini, dunia di luar lebih berbahaya daripada yang kau bayangkan."Jia menegakkan tubuhnya, tidak mau kalah. "Itu resiko yang harus aku ambil. Lebih baik menghadapi dunia di luar daripada terus terjebak di sini denganmu."Senyum tipis muncul di sudut bibir Revandro, tapi ada sesuatu yang dingin di baliknya. "Kau bicara sepert
"Jia," katanya, suaranya pelan tapi jelas. "Hentikan ini."Jia menyipitkan matanya, kepalanya berdenyut karena kelelahan dan tekanan. "Aku sudah bilang, aku tidak akan kembali padamu."Revandro melangkah maju, jarak di antara mereka semakin kecil. "Kau berpikir kau bisa lari dariku? Kau tidak tahu apa yang kau hadapi di luar sana. Dunia ini jauh lebih kejam dari yang kau bayangkan."Jia mendengus, suaranya getir. "Dan kau pikir aku lebih baik di sini bersamamu? Dikurung seperti binatang, hanya untuk menuruti setiap keinginanmu?"Revandro berhenti beberapa langkah di depannya, menatap Jia dengan intensitas yang tak terbantahkan. "Aku melindungimu. Semua ini, semua yang aku lakukan, adalah untuk memastikan kau tidak terluka."Jia tertawa sinis. "Melindungiku? Dengan menjebakku di dalam kandang emas? Dengan menahanku dan mengontrol setiap langkahku? Itu bukan perlindungan, Revandro. Itu penjara.""Dan kau pikir di luar sana lebih baik?" tanya Revandro, suaranya mulai naik. "Mereka tidak
Saat Jia melangkah menjauh, perasaannya bercampur aduk antara lega dan ketakutan. Dia tahu Revandro takkan melepaskannya semudah itu. Namun, baru beberapa langkah, suara Revandro yang berat dan tenang kembali memecah keheningan di lorong gelap itu.“Berapa lama kau pikir bisa bertahan di luar sana, Jia?” tanyanya dengan nada dingin, tapi jelas terdengar ancaman terselubung di baliknya.Jia berhenti, menggenggam kuat tas di pundaknya. Dia berbalik, menatap Revandro yang berdiri tegak, tak menunjukkan tanda-tanda menyerah. “Aku akan bertahan selama aku harus, Revandro. Lebih baik aku menghadapi dunia luar daripada terus hidup dalam ketakutan di bawah kendalimu.”Mata Revandro menyipit, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh sinisme. “Kendaliku?” ulangnya pelan, seolah mempertanyakan pilihan kata itu. “Kau benar-benar tidak mengerti, ya? Segala sesuatu yang aku lakukan, semuanya untuk melindungimu, Jia.”“Melindungiku?” Jia tertawa kecil, tapi nadanya getir. “Kau memenjarakanku