Saat Jia melangkah menjauh, perasaannya bercampur aduk antara lega dan ketakutan. Dia tahu Revandro takkan melepaskannya semudah itu. Namun, baru beberapa langkah, suara Revandro yang berat dan tenang kembali memecah keheningan di lorong gelap itu.“Berapa lama kau pikir bisa bertahan di luar sana, Jia?” tanyanya dengan nada dingin, tapi jelas terdengar ancaman terselubung di baliknya.Jia berhenti, menggenggam kuat tas di pundaknya. Dia berbalik, menatap Revandro yang berdiri tegak, tak menunjukkan tanda-tanda menyerah. “Aku akan bertahan selama aku harus, Revandro. Lebih baik aku menghadapi dunia luar daripada terus hidup dalam ketakutan di bawah kendalimu.”Mata Revandro menyipit, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh sinisme. “Kendaliku?” ulangnya pelan, seolah mempertanyakan pilihan kata itu. “Kau benar-benar tidak mengerti, ya? Segala sesuatu yang aku lakukan, semuanya untuk melindungimu, Jia.”“Melindungiku?” Jia tertawa kecil, tapi nadanya getir. “Kau memenjarakanku
Jia menghirup napas dalam-dalam, detak jantungnya memacu lebih cepat. Dia tahu jika terus diam di sini, Revandro akan semakin mendekat ke titik kontrol penuh atas dirinya. Tanpa ragu, dia berbalik, berlari menuju pintu keluar, berharap bisa lolos.Namun langkahnya belum jauh ketika suara berat Revandro kembali bergema, kali ini lebih keras, penuh kemarahan yang mendidih. “Jia, jangan berpikir kau bisa lari dariku begitu saja.”Jia terus berlari, tapi suara langkah kaki Revandro yang tegas semakin dekat. "Aku harus keluar dari sini. Aku tidak akan kembali!" pikir Jia dalam hati. Dia mengarahkan diri ke sebuah pintu yang menuju ke garasi, berharap bisa menemukan mobil untuk melarikan diri.Revandro mempercepat langkahnya, tak ingin melepaskan Jia begitu saja. “Jia!” teriaknya dengan nada tajam. “Berhenti sekarang juga sebelum kau membuat situasinya lebih buruk!”Jia mendengar perintah itu, namun dia tidak menggubrisnya. “Aku tidak akan hidup di bawah kendalimu lagi!” teriak Jia tanpa me
Jia menghela napas berat, perasaan frustasi semakin membebani dirinya. Dia tahu melawan Revandro tidak akan mudah, tapi diam dalam situasi ini lebih buruk lagi. Dia harus menemukan cara untuk keluar. Namun, sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa lari begitu saja tidak akan cukup. Dia butuh lebih dari sekadar keberanian—dia butuh rencana."Kau benar-benar tak akan membiarkanku pergi, bukan?" Jia menatap tajam ke mata Revandro, mencoba mengendalikan getaran di suaranya. "Meski aku sudah memohon, meski aku sudah mengatakan bahwa aku ingin bebas?"Revandro menatapnya balik, matanya keras dan tak kenal kompromi. "Bebas? Di luar sana, kebebasan tidak ada, Jia. Mereka semua hanya menunggu untuk menghancurkanmu. Mereka tahu siapa kau dan siapa aku. Kau adalah kelemahanku, dan mereka akan menggunakan itu."Jia mendengus, menarik lengannya dari genggaman Revandro. "Kelemahanmu? Jadi itulah aku bagimu, kelemahan? Kau bahkan tidak melihatku sebagai manusia, hanya alat yang bisa mereka gunakan
Jia masih berdiri di tempatnya, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Ketika Revandro keluar untuk menghadapi ancaman, keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Dia tidak sepenuhnya percaya pada Revandro—terlalu banyak pertanyaan dan kecurigaan yang membebani pikirannya. Namun, sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, udara di sekitarnya terasa berubah.Pintu kembali terbuka, namun kali ini bukan Revandro yang muncul. Seorang pria yang wajahnya sangat mirip dengan Revandro melangkah masuk, namun aura yang dibawanya berbeda. Tatapannya tajam, dan langkahnya penuh percaya diri. Jia menghela napas dalam, mengenali siapa yang baru saja muncul.“Vier,” Jia berbisik, matanya menatap pria itu dengan tenang, meskipun dia tahu apa yang akan datang. Vier adalah sisi lain dari Revandro—lebih dingin, lebih kejam, dan lebih sulit diprediksi.Vier menyeringai. “Kau masih ingat namaku, Jia? Sudah lama sekali.”"Bagaimana aku bisa melupakanmu?" Jia mengangkat alisnya, berusaha tetap tenang
Vier tetap memandang Jia dengan tatapan penuh tantangan, tapi Jia tak menunjukkan tanda-tanda mundur. Ada ketegangan di antara mereka yang begitu tebal, namun Jia tahu bahwa inilah momen di mana dia harus berdiri teguh. Dia telah terjebak dalam situasi ini terlalu lama, dan kini waktunya untuk menghadapi kedua sisi Revandro—baik yang kejam maupun yang lebih rasional."Kau benar-benar keras kepala," Vier akhirnya berbicara lagi, suaranya penuh dengan ejekan. "Aku penasaran apa yang membuatmu terus mencoba melawan. Kau tahu bahwa pada akhirnya, kau tidak akan bisa menang, bukan?"Jia menghela napas pelan, tetap menjaga tatapan matanya tajam. "Aku melawan karena aku tidak punya pilihan lain. Aku bukan tipe orang yang diam dan menerima semua yang terjadi begitu saja."Vier mendekat, kali ini jarak mereka begitu tipis sehingga Jia bisa merasakan aura dingin yang selalu menyertainya. "Kau selalu punya pilihan, Jia. Hanya saja, kau terlalu keras kepala untuk melihatnya. Kalau kau mau, aku bi
Jia menatap pintu yang baru saja ditinggalkan Vier, pikirannya berputar cepat. Kata-kata Vier menggema di kepalanya, tapi dia tahu ada sesuatu yang tidak masuk akal. Apa yang sebenarnya diinginkan pria itu? Setiap langkah dan ucapannya terasa seperti teka-teki. Dia menahan desakan untuk mengejar Vier, namun pikirannya terus memproses percakapan terakhir mereka.Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Vier kembali masuk, kali ini dengan langkah yang lebih santai, seolah ingin memberikan kesan bahwa semua ini hanyalah sebuah permainan baginya."Sudah berubah pikiran?" tanyanya sambil menatap Jia dengan senyum tipis.Jia melipat tangan di dada, tetap bersikap tenang. "Kau tahu, Vier, aku sudah memikirkan semua ini. Ada sesuatu yang tidak masuk akal dalam rencana atau ancaman yang kau berikan."Vier mengangkat alis, tertarik dengan pernyataan Jia. "Oh? Dan apa itu? Enlighten me."Jia mengambil napas dalam sebelum berbicara, matanya tajam. "Kau terus berbicara tentang kontrol, bagaimana aku tidak b
Revandro kembali memasuki ruangan, dan atmosfer yang sebelumnya dipenuhi ketegangan oleh Vier kini terasa lebih dingin dengan kehadiran pria itu. Vier, yang sebelumnya tampak menguasai situasi, sekarang mundur ke belakang, meninggalkan Revandro yang kembali mengambil alih kendali.Jia memandang Revandro dengan campuran rasa lega dan waspada. Wajah Revandro menunjukkan ekspresi yang berbeda dibandingkan Vier, seolah dia lebih bisa mengendalikan situasi daripada sekedar meneror.Revandro mengangkat alis, matanya menilai Jia. "Sepertinya kau dan Vier sudah berbicara cukup banyak."Jia tidak segera menjawab. Dia masih mengatur napasnya, berusaha menenangkan diri setelah pertemuan menegangkan dengan Vier. "Ya, bisa dibilang begitu."Revandro mendekat dengan langkah tenang. "Aku harap kau tidak terlalu tertekan dengan cara kami memperlakukannya.""Tertekan? Mungkin lebih tepatnya bingung," Jia menjawab, tetap menjaga jarak emosional. "Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Revandro?"Reva
Jia mengikuti Revandro ke ruangan lain, kali ini lebih kecil dan lebih intim. Cahaya lembut dari lampu gantung di atas mereka memberikan suasana yang sedikit lebih santai, meskipun ketegangan di antara mereka tetap terasa.Revandro duduk di kursi dengan santai, menunjukkan bahwa dia siap untuk mendengar. Jia berdiri sebentar, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia akhirnya duduk di seberang Revandro, menatap pria itu dengan ekspresi waspada, tapi kali ini ada percikan tekad dalam matanya.Revandro menatapnya, menunggu dengan sabar. "Jadi, apa yang kau inginkan, Jia? Apa yang sebenarnya membuatmu begitu terjebak dalam situasi ini?"Jia menghela napas dalam-dalam, menyandarkan tubuhnya di kursi, dan berbicara pelan. "Aku tidak pernah ingin terlibat dalam semua ini, Revandro. Aku hanya ingin hidupku kembali normal. Tapi tampaknya setiap langkah yang aku ambil, kalian—baik itu kau atau Vier—terus menarikku lebih dalam ke dalam permainan ini."Revandro tersenyum tipis, menyilangkan tang