Jia terus menatap Revandro, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Ada kebenaran yang terasa pahit di sana, namun tetap ada sesuatu yang tidak bisa ia terima.“Kau berbicara seolah ini permainan yang bisa kumenangkan,” Jia akhirnya berkata, suaranya rendah namun tajam. “Padahal aku tak pernah mendaftar untuk ikut dalam permainan ini. Kalian yang menyeretku ke dalamnya.”Revandro duduk lebih tegak, ekspresinya masih tenang. “Dan sekarang kau ada di dalamnya. Kau bisa terus mengeluh, atau kau bisa mulai berpikir bagaimana cara keluar sebagai pemenang.”Jia mengerutkan kening, matanya penuh ketidakpercayaan. “Kenapa aku harus percaya padamu? Apa jaminannya bahwa aku tidak akan hancur jika terus memainkan permainan ini?”Sebuah senyuman samar muncul di wajah Revandro. “Tidak ada jaminan dalam hidup, Jia. Tapi satu hal yang pasti—jika kau terus melawan tanpa arah, tanpa rencana, itu hanya soal waktu sebelum segalanya menghancurkanmu.”“Dan kau mengira aku akan percaya bahwa bekerja
Ketegangan yang telah mereda sesaat, tiba-tiba pecah dengan suara ledakan keras dari luar ruangan. Jia tersentak, matanya melebar mendengar kekacauan yang terjadi. Suara tembakan dan teriakan menggema di seluruh markas Revandro.“Apa yang terjadi?” Jia bertanya dengan napas tersengal, tubuhnya membeku.Revandro segera berdiri tegak, wajahnya berubah menjadi lebih gelap. “Sepertinya kita kedatangan tamu tak diundang.”Sebelum Jia sempat bertanya lebih lanjut, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Seorang pria tinggi dan berwibawa masuk ke dalam ruangan, diikuti beberapa pria bersenjata yang jelas bukan anak buah Revandro.“Ayah?” Jia terperangah, melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Ayahnya, pria yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam hidupnya, kini hadir di depan mata.Tatapan ayahnya tajam, penuh kemarahan. “Jia, aku sudah mencari ke mana-mana untukmu. Aku tahu kau ada di sini.”Revandro berdiri tenang di samping Jia, matanya menilai pria yang baru saja datang itu. “Ternyata
Jia menatap pintu yang baru saja ditinggalkan oleh ayahnya. Hatinya terasa berat, tapi ada juga rasa lega yang perlahan muncul. Keputusan untuk melawan ayahnya adalah langkah besar yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sekarang, takdirnya berada di tangannya, dan bukan lagi di bawah kendali ayahnya.Revandro mendekat, menatap Jia dengan penuh perhatian. "Kau baik-baik saja?"Jia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku... baik-baik saja. Hanya butuh waktu untuk mencerna semuanya."Revandro mengangguk, seolah memahami perasaan Jia. "Keputusanmu tadi sangat besar. Tapi kau berhasil menegakkan kepala dan membuat pilihan. Itu bukan hal yang mudah."Jia memandangnya dengan mata penuh pertanyaan. "Kenapa kau membantuku? Kau tahu apa yang ayahku bisa lakukan, dan tetap saja kau menempatkan dirimu di tengah kekacauan ini."Revandro mengangkat bahu dengan santai, tapi ada ketegasan dalam suaranya. "Aku tidak suka dipaksa melakukan sesuatu, sama seperti dirimu. Lagipula, kit
Jia merasa detak jantungnya mulai kembali normal, namun otaknya masih dipenuhi berbagai skenario yang mungkin terjadi. Kini dia telah memilih jalannya—jalan yang akan menuntunnya ke arah yang jauh dari kendali ayahnya. Jalan ini bersama Revandro, yang walau tampak dingin dan penuh misteri, memberikan secercah harapan bahwa hidupnya tidak hanya sekadar alat politik keluarga.Revandro meliriknya, matanya penuh evaluasi seperti biasa, namun kali ini ada sedikit penghargaan dalam tatapannya. "Kau tahu, dengan keputusan yang kau buat tadi, kau menutup pintu pada kehidupan lamamu.""Aku sadar," jawab Jia dengan nada tenang. "Tapi aku sudah terlalu lama terjebak dalam kendali ayahku. Aku tidak bisa terus hidup di bawah bayangannya. Aku butuh kebebasan untuk memilih, bahkan jika itu berarti melawan seluruh dunia."Senyum tipis terlukis di wajah Revandro, dia menyandarkan tubuhnya pada meja, lengan terlipat di dadanya. "Aku menghargai keberanianmu. Ayahmu tidak akan berhenti begitu saja. Dia a
Suara tembakan dan dentuman ledakan mengisi udara, sementara Jia berlari mengikuti Revandro yang bergerak dengan cekatan melalui lorong-lorong sempit markasnya. Ketegangan makin terasa di setiap langkah, tetapi tekad Jia tetap kuat. Dia tidak akan kembali, tidak lagi terjebak di bawah bayang-bayang ayahnya.Saat mereka mencapai sudut ruangan yang lebih aman, Revandro memberi isyarat untuk berhenti. Mereka berlindung di balik dinding, sementara suara pertempuran semakin mendekat."Baiklah, sekarang kita perlu bertindak cepat," kata Revandro dengan nada serius, tapi tetap tenang. "Kita akan memecah perhatian mereka, dan aku punya tim di luar yang sudah siap memberikan dukungan."Jia mengangguk. "Dan aku? Apa yang harus kulakukan?"Revandro menatapnya tajam. "Kau tetap di sisiku. Jangan keluar dari perlindungan ini. Jika sesuatu terjadi, aku tidak mau kehilanganmu di sini."Namun, sebelum Jia bisa merespons, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Dari balik sudut, sosok yang sudah
Namun, sepertinya sang ayah enggan untuk melepaskannya. Sehingga Jia dan Revandro terjebak.Setelah Jia dan Revandro berhasil keluar dari ruang pertempuran, mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui koridor markas yang kini tampak lebih tenang, meski suasana di sekitar masih penuh dengan ketegangan. Jia berusaha mengatur napasnya setelah pertemuan emosional dengan ayahnya dan konflik yang baru saja terjadi.Mereka tiba di ruang yang lebih tenang. Revandro menatap Jia dengan penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu?" Jia berusaha menenangkan diri. "Aku... aku bingung. Semua ini terlalu banyak untuk dihadapi."Revandro memperhatikan sekeliling dengan cermat. "Kami masih dalam bahaya. Tidak ada waktu untuk berlama-lama."Tiba-tiba, terdengar suara ledakan kecil dari luar ruangan, diikuti oleh suara jeritan dan tembakan yang semakin mendekat. Revandro langsung mengambil posisi, siap menghadapi kemungkinan bahaya. Jia merasa ketegangan kembali menyelimuti dirinya."Kenapa ada ledakan lagi
Revandro, Lydia, dan Jia terus melintasi koridor markas yang kacau. Suara tembakan dan ledakan menjadi latar belakang yang konstan, mengintensifkan ketegangan yang sudah membara. Mereka berhati-hati, melangkah cepat untuk menghindari bahaya yang semakin mendekat.Lydia memimpin di depan, mengarahkan mereka melalui koridor yang tampak semakin berantakan. Revandro, dengan tatapan tegas, memantau situasi di sekitar mereka. Jia mengikuti di belakang, matanya terus-menerus memindai lingkungan sekitar, siap untuk merespons ancaman yang muncul.Saat mereka memasuki sebuah ruangan yang tampaknya lebih aman, Lydia memeriksa beberapa laporan yang tertinggal di meja. "Ada laporan bahwa beberapa area kunci dalam markas mungkin sudah diambil alih oleh pengkhianat," katanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.Revandro langsung menanggapi, "Kita perlu memprioritaskan area yang paling kritis. Jika pengkhianat sudah mengambil alih tempat-tempat itu, kita mungkin menghadapi ancaman yang lebih besar."Ji
Jia merasakan panas menjalar di bahunya, namun dia memaksakan dirinya untuk tetap berdiri. Rasa sakit yang tajam menyelinap saat darah merembes keluar, menodai pakaian yang dikenakannya. Tetapi Jia tidak ingin terlihat lemah, terutama di depan Revandro dan Lydia."Semua sudah terkendali," gumamnya sambil menyeka keringat di dahinya. Suaranya terdengar tenang, tetapi di dalam, tubuhnya menjerit.Revandro memandangi Jia dari ujung ruangan, matanya menyipit saat menatap wajahnya yang mulai pucat. "Jia, kau baik-baik saja?"Dia mencoba tersenyum, meski nyeri mulai merambat ke seluruh tubuhnya. "Hanya luka kecil. Jangan khawatir."Namun, napasnya mulai tersengal, dan setiap langkah terasa semakin berat. Dalam setiap detik, dunia di sekelilingnya terasa berputar lebih cepat. Dia terus bergerak, menyembunyikan kelemahannya sebaik mungkin, tetapi tubuhnya mulai goyah."Jia, kau—" suara Lydia tertahan ketika melihat Jia hampir kehilangan keseimbangannya."Saya bilang saya baik-baik saja," Jia