Jia menatap pintu yang baru saja ditinggalkan oleh ayahnya. Hatinya terasa berat, tapi ada juga rasa lega yang perlahan muncul. Keputusan untuk melawan ayahnya adalah langkah besar yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sekarang, takdirnya berada di tangannya, dan bukan lagi di bawah kendali ayahnya.Revandro mendekat, menatap Jia dengan penuh perhatian. "Kau baik-baik saja?"Jia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku... baik-baik saja. Hanya butuh waktu untuk mencerna semuanya."Revandro mengangguk, seolah memahami perasaan Jia. "Keputusanmu tadi sangat besar. Tapi kau berhasil menegakkan kepala dan membuat pilihan. Itu bukan hal yang mudah."Jia memandangnya dengan mata penuh pertanyaan. "Kenapa kau membantuku? Kau tahu apa yang ayahku bisa lakukan, dan tetap saja kau menempatkan dirimu di tengah kekacauan ini."Revandro mengangkat bahu dengan santai, tapi ada ketegasan dalam suaranya. "Aku tidak suka dipaksa melakukan sesuatu, sama seperti dirimu. Lagipula, kit
Jia merasa detak jantungnya mulai kembali normal, namun otaknya masih dipenuhi berbagai skenario yang mungkin terjadi. Kini dia telah memilih jalannya—jalan yang akan menuntunnya ke arah yang jauh dari kendali ayahnya. Jalan ini bersama Revandro, yang walau tampak dingin dan penuh misteri, memberikan secercah harapan bahwa hidupnya tidak hanya sekadar alat politik keluarga.Revandro meliriknya, matanya penuh evaluasi seperti biasa, namun kali ini ada sedikit penghargaan dalam tatapannya. "Kau tahu, dengan keputusan yang kau buat tadi, kau menutup pintu pada kehidupan lamamu.""Aku sadar," jawab Jia dengan nada tenang. "Tapi aku sudah terlalu lama terjebak dalam kendali ayahku. Aku tidak bisa terus hidup di bawah bayangannya. Aku butuh kebebasan untuk memilih, bahkan jika itu berarti melawan seluruh dunia."Senyum tipis terlukis di wajah Revandro, dia menyandarkan tubuhnya pada meja, lengan terlipat di dadanya. "Aku menghargai keberanianmu. Ayahmu tidak akan berhenti begitu saja. Dia a
Suara tembakan dan dentuman ledakan mengisi udara, sementara Jia berlari mengikuti Revandro yang bergerak dengan cekatan melalui lorong-lorong sempit markasnya. Ketegangan makin terasa di setiap langkah, tetapi tekad Jia tetap kuat. Dia tidak akan kembali, tidak lagi terjebak di bawah bayang-bayang ayahnya.Saat mereka mencapai sudut ruangan yang lebih aman, Revandro memberi isyarat untuk berhenti. Mereka berlindung di balik dinding, sementara suara pertempuran semakin mendekat."Baiklah, sekarang kita perlu bertindak cepat," kata Revandro dengan nada serius, tapi tetap tenang. "Kita akan memecah perhatian mereka, dan aku punya tim di luar yang sudah siap memberikan dukungan."Jia mengangguk. "Dan aku? Apa yang harus kulakukan?"Revandro menatapnya tajam. "Kau tetap di sisiku. Jangan keluar dari perlindungan ini. Jika sesuatu terjadi, aku tidak mau kehilanganmu di sini."Namun, sebelum Jia bisa merespons, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Dari balik sudut, sosok yang sudah
Namun, sepertinya sang ayah enggan untuk melepaskannya. Sehingga Jia dan Revandro terjebak.Setelah Jia dan Revandro berhasil keluar dari ruang pertempuran, mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui koridor markas yang kini tampak lebih tenang, meski suasana di sekitar masih penuh dengan ketegangan. Jia berusaha mengatur napasnya setelah pertemuan emosional dengan ayahnya dan konflik yang baru saja terjadi.Mereka tiba di ruang yang lebih tenang. Revandro menatap Jia dengan penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu?" Jia berusaha menenangkan diri. "Aku... aku bingung. Semua ini terlalu banyak untuk dihadapi."Revandro memperhatikan sekeliling dengan cermat. "Kami masih dalam bahaya. Tidak ada waktu untuk berlama-lama."Tiba-tiba, terdengar suara ledakan kecil dari luar ruangan, diikuti oleh suara jeritan dan tembakan yang semakin mendekat. Revandro langsung mengambil posisi, siap menghadapi kemungkinan bahaya. Jia merasa ketegangan kembali menyelimuti dirinya."Kenapa ada ledakan lagi
Revandro, Lydia, dan Jia terus melintasi koridor markas yang kacau. Suara tembakan dan ledakan menjadi latar belakang yang konstan, mengintensifkan ketegangan yang sudah membara. Mereka berhati-hati, melangkah cepat untuk menghindari bahaya yang semakin mendekat.Lydia memimpin di depan, mengarahkan mereka melalui koridor yang tampak semakin berantakan. Revandro, dengan tatapan tegas, memantau situasi di sekitar mereka. Jia mengikuti di belakang, matanya terus-menerus memindai lingkungan sekitar, siap untuk merespons ancaman yang muncul.Saat mereka memasuki sebuah ruangan yang tampaknya lebih aman, Lydia memeriksa beberapa laporan yang tertinggal di meja. "Ada laporan bahwa beberapa area kunci dalam markas mungkin sudah diambil alih oleh pengkhianat," katanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.Revandro langsung menanggapi, "Kita perlu memprioritaskan area yang paling kritis. Jika pengkhianat sudah mengambil alih tempat-tempat itu, kita mungkin menghadapi ancaman yang lebih besar."Ji
Jia merasakan panas menjalar di bahunya, namun dia memaksakan dirinya untuk tetap berdiri. Rasa sakit yang tajam menyelinap saat darah merembes keluar, menodai pakaian yang dikenakannya. Tetapi Jia tidak ingin terlihat lemah, terutama di depan Revandro dan Lydia."Semua sudah terkendali," gumamnya sambil menyeka keringat di dahinya. Suaranya terdengar tenang, tetapi di dalam, tubuhnya menjerit.Revandro memandangi Jia dari ujung ruangan, matanya menyipit saat menatap wajahnya yang mulai pucat. "Jia, kau baik-baik saja?"Dia mencoba tersenyum, meski nyeri mulai merambat ke seluruh tubuhnya. "Hanya luka kecil. Jangan khawatir."Namun, napasnya mulai tersengal, dan setiap langkah terasa semakin berat. Dalam setiap detik, dunia di sekelilingnya terasa berputar lebih cepat. Dia terus bergerak, menyembunyikan kelemahannya sebaik mungkin, tetapi tubuhnya mulai goyah."Jia, kau—" suara Lydia tertahan ketika melihat Jia hampir kehilangan keseimbangannya."Saya bilang saya baik-baik saja," Jia
Mobil melaju kencang di tengah kegelapan malam, deru mesin dan getaran halus di bawah roda semakin membuat suasana tegang. Jia masih terkulai di kursi belakang, tubuhnya terbaring lemas, namun napasnya makin pelan. Revandro sesekali melirik ke arah Jia, rasa khawatir merayap di matanya meskipun wajahnya tetap tenang.Lydia yang duduk di sebelah Jia tampak panik, berusaha menekan kain pada luka yang semakin banyak mengeluarkan darah. "Kita harus segera sampai ke tempat yang aman," ucap Lydia dengan suara bergetar. Revandro mengangguk tanpa kata. "Kita akan sampai. Jangan terlalu banyak bicara, fokuslah padanya." Dia kemudian mengambil ponsel dari sakunya, menelepon tim medis yang sudah ia siapkan di tempat aman. "Kita perlu bantuan medis. Segera."Suaranya terdengar datar, namun siapa pun yang mengenalnya bisa merasakan kekhawatirannya dari nada tegas yang ia keluarkan. Tatapannya tidak lepas dari jalan di depannya, meski pikirannya penuh dengan kecemasan tentang kondisi Jia.Tiba-ti
Mobil berderu kencang di jalan sempit itu, menimbulkan debu dan batu kerikil yang terlempar ke segala arah. Revandro memegang setir erat, tatapannya tajam dan fokus meski kecemasan tentang kondisi Jia terus menggerogotinya. Lydia sibuk di kursi belakang, berusaha menghentikan pendarahan dari luka Jia yang kini tampak lebih serius. Setiap kali ia menekan luka itu dengan kain, darah masih terus merembes keluar."Revandro, kita harus melakukan sesuatu sekarang! Dia bisa mati!" suara Lydia bergetar, nadanya nyaris putus asa.Revandro menatap cermin spion, melihat pengejar mereka semakin dekat. Rahangnya mengeras, dan ia menggertakkan gigi. "Kita akan segera keluar dari sini," jawabnya datar, namun penuh determinasi. Ia mempercepat mobilnya, berusaha memikirkan cara untuk menyelamatkan Jia tanpa berhenti atau terjebak oleh musuh di belakang.Jia, yang pingsan di kursi belakang, tampak semakin pucat. Nafasnya dangkal dan terputus-putus, sementara tangannya mulai terasa dingin. Lydia terus-m