Jia merasakan panas menjalar di bahunya, namun dia memaksakan dirinya untuk tetap berdiri. Rasa sakit yang tajam menyelinap saat darah merembes keluar, menodai pakaian yang dikenakannya. Tetapi Jia tidak ingin terlihat lemah, terutama di depan Revandro dan Lydia."Semua sudah terkendali," gumamnya sambil menyeka keringat di dahinya. Suaranya terdengar tenang, tetapi di dalam, tubuhnya menjerit.Revandro memandangi Jia dari ujung ruangan, matanya menyipit saat menatap wajahnya yang mulai pucat. "Jia, kau baik-baik saja?"Dia mencoba tersenyum, meski nyeri mulai merambat ke seluruh tubuhnya. "Hanya luka kecil. Jangan khawatir."Namun, napasnya mulai tersengal, dan setiap langkah terasa semakin berat. Dalam setiap detik, dunia di sekelilingnya terasa berputar lebih cepat. Dia terus bergerak, menyembunyikan kelemahannya sebaik mungkin, tetapi tubuhnya mulai goyah."Jia, kau—" suara Lydia tertahan ketika melihat Jia hampir kehilangan keseimbangannya."Saya bilang saya baik-baik saja," Jia
Mobil melaju kencang di tengah kegelapan malam, deru mesin dan getaran halus di bawah roda semakin membuat suasana tegang. Jia masih terkulai di kursi belakang, tubuhnya terbaring lemas, namun napasnya makin pelan. Revandro sesekali melirik ke arah Jia, rasa khawatir merayap di matanya meskipun wajahnya tetap tenang.Lydia yang duduk di sebelah Jia tampak panik, berusaha menekan kain pada luka yang semakin banyak mengeluarkan darah. "Kita harus segera sampai ke tempat yang aman," ucap Lydia dengan suara bergetar. Revandro mengangguk tanpa kata. "Kita akan sampai. Jangan terlalu banyak bicara, fokuslah padanya." Dia kemudian mengambil ponsel dari sakunya, menelepon tim medis yang sudah ia siapkan di tempat aman. "Kita perlu bantuan medis. Segera."Suaranya terdengar datar, namun siapa pun yang mengenalnya bisa merasakan kekhawatirannya dari nada tegas yang ia keluarkan. Tatapannya tidak lepas dari jalan di depannya, meski pikirannya penuh dengan kecemasan tentang kondisi Jia.Tiba-ti
Mobil berderu kencang di jalan sempit itu, menimbulkan debu dan batu kerikil yang terlempar ke segala arah. Revandro memegang setir erat, tatapannya tajam dan fokus meski kecemasan tentang kondisi Jia terus menggerogotinya. Lydia sibuk di kursi belakang, berusaha menghentikan pendarahan dari luka Jia yang kini tampak lebih serius. Setiap kali ia menekan luka itu dengan kain, darah masih terus merembes keluar."Revandro, kita harus melakukan sesuatu sekarang! Dia bisa mati!" suara Lydia bergetar, nadanya nyaris putus asa.Revandro menatap cermin spion, melihat pengejar mereka semakin dekat. Rahangnya mengeras, dan ia menggertakkan gigi. "Kita akan segera keluar dari sini," jawabnya datar, namun penuh determinasi. Ia mempercepat mobilnya, berusaha memikirkan cara untuk menyelamatkan Jia tanpa berhenti atau terjebak oleh musuh di belakang.Jia, yang pingsan di kursi belakang, tampak semakin pucat. Nafasnya dangkal dan terputus-putus, sementara tangannya mulai terasa dingin. Lydia terus-m
Revandro berdiri di depan mobil dengan tatapan yang lebih dingin dari malam yang membungkus mereka. Di balik kesunyian jalan yang kini semakin sepi, suara mobil-mobil pengejar semakin jelas terdengar. Detik demi detik berlalu dengan cepat, dan setiap langkah yang Revandro ambil terasa berat. Dia tahu, ini bukan hanya tentang menghadapi musuh, tapi juga soal menyelamatkan Jia—satu-satunya hal yang kini memenuhi pikirannya.Di dalam mobil, Lydia berusaha keras untuk tetap tenang. Tangannya gemetar saat mencoba menghentikan pendarahan Jia yang semakin deras. Napas Jia semakin pelan, nyaris tidak terdengar. Lydia tahu mereka harus bertindak cepat, namun dia juga sadar bahwa mereka terjebak di tengah bahaya. "Jia, bertahanlah," bisik Lydia dengan lirih, meskipun ia tak yakin Jia bisa mendengarnya.Revandro mengambil napas dalam-dalam, memperhitungkan setiap langkah. Saat mobil pertama musuh mendekat, dia sudah siap. Dengan gerakan yang cepat dan tenang, dia mengeluarkan senjata dari balik
Suara mesin mobil yang melaju di jalan yang gelap hanya menjadi latar belakang bagi keheningan di dalam mobil. Di kursi belakang, Jia terbaring lemah, napasnya mulai teratur meskipun wajahnya masih pucat. Revandro, duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat seolah takut kehilangan dirinya dalam sekejap. Sementara Lydia, yang duduk di depan, sesekali melirik kaca spion untuk memeriksa keadaan Jia, tapi diam. Tak ada yang ingin memecah keheningan itu.“Jia…” suara Revandro terdengar rendah, hampir seperti bisikan, tapi penuh kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. “Kau tidak perlu pura-pura kuat. Kau bisa bersandar padaku.”Jia membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan kehadiran Revandro di sisinya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, meski terlihat lelah. “Aku baik-baik saja,” gumamnya pelan, meskipun jelas bagi mereka berdua bahwa itu bukan kebenaran.“Kau hampir kehilangan banyak darah,” Lydia menyela, suaranya bergetar. Dia menoleh sebe
Revandro menatap tubuh Jia yang lemas di tangannya, napasnya terengah-engah namun penuh ketenangan yang dipaksakan. Tangannya perlahan mengusap pipi Jia, mencoba membangunkannya, namun tak ada respon. Panik mulai merayap ke dalam hatinya, meskipun wajahnya tetap keras seperti batu. Lydia berjongkok di sampingnya, memeriksa denyut nadi Jia dengan cepat."Lydia, cepat lakukan sesuatu!" Revandro berkata tegas, meskipun nada suaranya menyimpan ketakutan yang tidak biasa.Lydia menatapnya dengan tatapan tajam, berusaha menahan kecemasannya sendiri. "Aku tahu, Revandro! Kita butuh tempat yang lebih aman dan perawatan medis sekarang juga." Suaranya bergetar sedikit, tapi dia segera menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir jernih."Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit umum," kata Revandro dengan cepat. "Orang-orang ayahnya bisa melacak kita di sana.""Aku tahu itu," balas Lydia, suaranya kembali lebih tenang. "Ada tempat lain, tapi kita harus cepat."Tanpa menunggu jawaban dari Revand
Suara langkah kaki mendekat dengan perlahan, menciptakan ketegangan di dalam ruangan. Revandro berdiri tegap, tubuhnya bersiaga, sementara Jia terbaring tak berdaya di belakangnya. Lydia merapat ke dinding, tangannya diam-diam meraih sesuatu di balik jaketnya. Tatapan Revandro tidak lepas dari pintu masuk, menanti sosok yang kini mengancam mereka.Ketika sosok itu akhirnya muncul, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tapi suara dinginnya cukup jelas. "Kau berpikir bisa melindungi Jia dariku? Kalian benar-benar meremehkanku."Revandro menegang, mengenali suara itu. "Ayahnya," gumamnya, menyadari ancaman yang lebih besar kini hadir. Jia, yang setengah sadar, tampaknya juga mendengar suara itu dan berusaha bangkit, namun tubuhnya masih terlalu lemah."Ayah..." bisik Jia, suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Revandro meliriknya sejenak.Pria itu mendekat, akhirnya berdiri di bawah cahaya. Wajahnya yang dingin dan tegas tampak tidak berubah, kecuali tatapan matanya ya
Revandro berlari di sepanjang koridor gelap yang berkelok, dengan Jia yang terkulai di pelukannya. Napasnya terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena ketakutan yang tak biasa. Wajah Jia semakin pucat, setiap detik yang berlalu adalah peringatan yang mengerikan tentang betapa tipisnya garis antara hidup dan mati. Lydia bergerak cepat di sampingnya, tangan siap di senjata, mata waspada, mengantisipasi serangan yang mungkin datang kapan saja.Mereka berdua tahu, waktu bukan sekadar musuh. Jia yang terluka parah, darah yang mengalir semakin banyak, dan ancaman dari sang ayah masih mengintai di setiap sudut.“Berapa lama lagi sampai kita aman?” tanya Revandro dengan nada suara yang mendesak, meskipun ia berusaha tetap tenang.Lydia menggelengkan kepala, tatapannya terfokus ke depan. “Tidak lama lagi. Tapi kita harus tetap waspada. Tidak ada jaminan mereka tidak mengejar kita.”Revandro menggigit bibirnya, menatap Jia yang nyaris tak sadarkan diri. “Kita harus mempercepat langkah. D
Jia merasa tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ancaman yang nyata di depan matanya, tetapi juga karena kemarahan yang mulai membakar dirinya. Kenapa pria tua ini datang hanya untuk menghancurkan segalanya?Revandro menarik Jia ke belakangnya dengan gerakan protektif. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun darinya. Kalau kau berani menyentuhnya, aku bersumpah, kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini."Pria tua itu tersenyum kecil, melangkah mundur dengan tangan di belakang punggungnya, seolah tak terganggu sedikit pun oleh ancaman Revandro. "Kau berpikir ancamanmu berarti sesuatu bagiku, Maxio? Kau mungkin kuat, tapi aku sudah hidup lebih lama dari yang kau tahu."Sementara itu, Arvell, yang diam-diam memperhatikan dari sudut ruangan, mulai menggerakkan pistolnya ke arah salah satu anak buah pria tua itu. Ia tahu waktunya sudah hampir habis—jika Jia tidak menyerahkan kotak itu, konflik ini akan berubah menjadi pembantaian."Jia," bisik Revandro, suaranya rendah namun cukup tegas unt
Langkah Jia semakin cepat saat suara tembakan dan ledakan terus menggema di luar. Udara di lorong itu terasa berat dengan aroma mesiu, dan setiap langkahnya seolah membawa Jia lebih dekat ke dalam bahaya. Namun, di tengah kegelisahan yang mendera, tekad Jia semakin kokoh.Arvell berjalan di sisinya, wajahnya dingin dan penuh perhitungan. Meski jelas ia adalah sekutu sementara, Jia tak bisa mengabaikan fakta bahwa lelaki itu memancarkan aura bahaya yang setara dengan Revandro.Ketika mereka mencapai pintu keluar ke area gudang utama, mereka menemukan beberapa anak buah Revandro tengah bersembunyi di balik tumpukan peti. Salah satu dari mereka segera memberi laporan."Mereka sudah berhasil mendobrak gerbang utama. Revandro masih berusaha menahan mereka, tapi jumlah mereka terlalu banyak!"Jia merasa dadanya mencelos. Revandro sendirian?Arvell melirik pria itu dengan tenang. "Berapa banyak orang kita yang tersisa?""Kurang dari setengah. Sisanya sudah tumbang atau mundur.""Bagus," jawa
Ruangan itu penuh dengan ketegangan yang hampir bisa dirasakan. Jia mencoba mengatur napasnya, namun gemetar tubuhnya tak bisa ia hentikan. Revandro menggenggam tangannya erat, sementara Arvell berdiri dengan raut wajah yang gelap dan penuh amarah."Aku tidak percaya," Arvell memecah kesunyian. "Pria itu pasti berbohong. Dia mencoba mengadu domba kita dengan ceritanya."Revandro tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada Jia, menunggu penjelasan, tetapi Jia hanya menggeleng pelan. "Aku sungguh tidak tahu apa yang dia bicarakan... tapi liontin itu..." Suaranya melemah, seolah hanya mengakuinya saja sudah menyakitkan."Liontin itu... terasa familier," sambungnya dengan suara bergetar."Familiar bagaimana?" tanya Revandro tegas."Aku tidak tahu," jawab Jia, frustrasi. "Aku tidak ingat! Tapi aku merasa... seperti itu pernah menjadi milikku.""Kau harus ingat, Jia!" Arvell berseru, langkahnya maju mendekati Jia. "Pria itu jelas tahu sesuatu. Jika kau tidak tahu apa yang kau simpan, kita semua
Jia mundur perlahan, matanya tetap terpaku pada sosok Ignatius yang berdiri tegak di ujung jalan. Ia tidak tahu bagaimana pria itu bisa menemukannya, tapi kehadirannya jelas membawa ancaman.Dari dalam, suara langkah kaki Revandro mendekat. "Jia, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.Jia menoleh cepat. "Dia ada di sana," ujarnya lirih sambil menunjuk ke arah jalan.Revandro langsung bergerak, pandangannya menyapu tempat yang ditunjukkan Jia. Tapi jalanan itu kini kosong. Tidak ada siapa pun."Dia ada di sana, aku melihatnya!" Jia bersikeras, merasa seolah kehilangan akal sehatnya.Arvell muncul dari dalam ruangan dengan alis terangkat. "Apa yang terjadi di sini?""Jia bilang dia melihat Ignatius," jawab Revandro, matanya masih waspada, menyisir setiap sudut.Arvell mendekati Jia, mengamati ekspresinya dengan saksama. "Dia ada di sini? Kau yakin itu dia, Jia?"Jia mengangguk ragu. "Aku melihatnya. Dia berdiri di sana... tersenyum padaku."Arvell melirik Revandro. "
Suara tembakan yang menggema dari belakang semakin mengguncang hati Jia. Ia terpaksa mengikuti langkah cepat Revandro dan Arvell, meski pikirannya penuh dengan kekhawatiran untuk Kairos. Di lorong gelap yang semakin menyempit, Jia merasakan keheningan di antara mereka begitu menyesakkan.“Apa rencanamu sekarang, Arvell?” tanya Revandro dingin tanpa menoleh.Arvell, yang memimpin jalan, hanya memberikan seringai samar. “Rencana? Rencana utamaku adalah memastikan kita keluar hidup-hidup. Sisanya, kita lihat nanti.”“Jangan bermain-main denganku. Jika kau berani mengkhianati kami, aku akan—”“Sudah cukup,” potong Jia, suaranya gemetar tapi tegas. “Kalian berdua terus saling mengancam di tengah situasi seperti ini? Berhenti memperebutkan kendali, atau kita semua akan mati di sini!”Keduanya terdiam, seolah terkejut dengan keberanian Jia. Namun, langkah mereka terus berlanjut hingga tiba di sebuah pintu besi besar.“Ini jalan keluarnya,” kata Arvell sambil memutar sebuah roda besi yang men
Jia berdiri membeku di tempatnya, matanya menatap tajam ke arah Arvell. Pria itu terlihat tenang, terlalu tenang, dan itu membuat Jia semakin curiga. Apa permainan yang sedang ia rencanakan?Kairos melangkah maju, wajahnya dipenuhi konflik. “Arvell, lepaskan dia. Ini bukan bagian dari kesepakatan kita.”Arvell menoleh ke Kairos dengan senyum yang hampir ramah. “Kairos, jangan campur tangan. Kau di sini karena aku mengizinkannya. Jangan lupa siapa yang memegang kendali.”Jia mengepalkan tinjunya. “Kendali? Kau pikir aku akan membiarkan diriku dimainkan olehmu? Jika kau punya sesuatu yang ingin dikatakan, katakan sekarang!”Namun, Arvell tidak terpengaruh oleh kemarahan Jia. Dia justru melangkah mendekat dengan gerakan yang penuh perhitungan. “Oh, Jia, kau selalu terlalu berani. Itulah yang membuatmu menarik.”“Berhenti bicara omong kosong,” potong Jia. “Apa tujuanmu? Dan apa hubungannya ini dengan Kairos?”Arvell tertawa pelan. “Tujuanku? Hanya memastikan kau tidak lepas dari pengawasa
Jia masih terdiam, pikirannya dipenuhi oleh teka-teki yang sulit ia pecahkan. Nama Kairos terus bergema di kepalanya, membangkitkan campuran emosi yang sulit ia jelaskan. Dalam pikirannya, ingatan akan pria tua itu semakin jelas.Dia ingat bagaimana Kairos tidak hanya sembuh dari luka-lukanya tetapi juga menjadi bagian penting dalam organisasi kecilnya dulu. Pria tua itu, meski tampak lemah, memiliki pengetahuan mendalam tentang strategi dan taktik yang jauh melampaui siapa pun yang pernah Jia temui. Kairos adalah penasihat diam-diam yang sering membantu Jia keluar dari situasi sulit tanpa meminta apa pun sebagai imbalan.Namun, suatu hari, pria itu menghilang. Tanpa jejak, tanpa pesan. Jia tidak pernah tahu ke mana dia pergi atau apakah dia masih hidup.---Kini, pertanyaan yang menghantui Jia adalah: apakah Kairos yang dia lihat tadi malam benar-benar orang yang sama?Jia memutuskan untuk mencari tahu. Dia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat kepada salah satu koneksi lamanya ya
Pria yang baru datang itu melangkah mendekat dengan tenang, namun setiap gerakannya membawa aura tekanan yang membuat semua orang menahan napas.Pemimpin kelompok bersenjata itu menegang, raut wajahnya berubah dari percaya diri menjadi penuh kehati-hatian. “Kami tidak mengharapkan kehadiran Anda di sini, Tuan...” Suaranya melemah, seolah takut menyebutkan nama pria tersebut.Revandro memperhatikan pria itu dengan tatapan tajam, instingnya langsung mengenali bahwa ini bukan orang biasa. Sementara Arvell berdiri siaga, matanya menyapu sekeliling, mencari tahu apa tujuan pria ini dan apakah ia sekutu atau musuh.“Jia,” suara pria itu akhirnya terdengar, datar namun penuh makna. Tatapannya yang dingin tertuju langsung pada wanita yang berdiri di antara kekacauan. “Apakah mereka mengganggumu?”Jia menatapnya dengan bingung, tak mengenali siapa pria itu. “Siapa... siapa Anda?”Pria itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengarahkan pandangannya pada pemimpin kelompok bersenjata. “Kamu
Agatha berjalan cepat menuju tangga, menekan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, namun tekad di dalam dirinya semakin kuat. Ia tahu, jika ia terus berada di sisi Rohander, ia hanya akan semakin terjerat dalam permainan yang tak pernah ia pilih. Meskipun ketakutan itu ada, rasa ingin tahu dan kebebasan yang lebih besar dari rasa takut itu mendorongnya untuk terus maju.Namun, di balik langkahnya yang mantap, Agatha bisa merasakan tatapan Rohander yang terus mengikuti setiap gerakannya. Rasanya seperti ada bayangan gelap yang terus membayangi setiap langkahnya. Begitu sampai di pintu kamar, Agatha berbalik, berhadapan dengan Rohander yang kini sudah berada di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata yang dalam, penuh dengan campuran antara kekhawatiran dan kemarahan yang terpendam."Agatha," suara Rohander rendah, namun ada ketegangan yang menebal. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?"Agatha