Revandro berlari di sepanjang koridor gelap yang berkelok, dengan Jia yang terkulai di pelukannya. Napasnya terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena ketakutan yang tak biasa. Wajah Jia semakin pucat, setiap detik yang berlalu adalah peringatan yang mengerikan tentang betapa tipisnya garis antara hidup dan mati. Lydia bergerak cepat di sampingnya, tangan siap di senjata, mata waspada, mengantisipasi serangan yang mungkin datang kapan saja.Mereka berdua tahu, waktu bukan sekadar musuh. Jia yang terluka parah, darah yang mengalir semakin banyak, dan ancaman dari sang ayah masih mengintai di setiap sudut.“Berapa lama lagi sampai kita aman?” tanya Revandro dengan nada suara yang mendesak, meskipun ia berusaha tetap tenang.Lydia menggelengkan kepala, tatapannya terfokus ke depan. “Tidak lama lagi. Tapi kita harus tetap waspada. Tidak ada jaminan mereka tidak mengejar kita.”Revandro menggigit bibirnya, menatap Jia yang nyaris tak sadarkan diri. “Kita harus mempercepat langkah. D
Setelah tiba di rumah sakit, Revandro mondar-mandir di koridor dengan gelisah, matanya tak pernah lepas dari pintu ruang gawat darurat. Lydia berdiri di dekatnya, berusaha menenangkan suasana, tetapi kecemasan yang melingkupi Revandro terlalu besar untuk bisa diabaikan.Beberapa jam berlalu, dan seorang dokter akhirnya keluar dari ruang operasi. "Kami telah berhasil menstabilkan kondisinya. Namun, dia masih dalam keadaan kritis. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat intensif."Revandro mengangguk, meskipun masih ada kekhawatiran yang terpancar jelas di wajahnya. "Aku ingin berada di dekatnya, jangan sampai dia sendiri."Namun, ketika akhirnya mereka menuju ruang perawatan Jia, ruangan itu kosong. Jia tidak ada di tempat tidur, dan alat-alat medis yang seharusnya terpasang padanya juga hilang. Napas Revandro tercekat. Matanya membesar, memeriksa seluruh ruangan seolah berharap ini hanya salah paham.“Di mana dia?!” teriaknya, mendekati salah satu perawat yang kebingungan. “Di mana Ji
Misi yang selalu dijaga rapat-rapat dari siapapun, termasuk keluarganya. Di sini, ia bebas dari tekanan untuk menjadi penerus ayahnya, bebas dari politik dan tuntutan dunia mafia.Jia memandang sekeliling, tubuhnya masih lemah tetapi pikirannya mulai berpacu. “Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya pada sahabatnya, si dokter, yang sekarang berdiri di depannya, memasang wajah serius.“Kau hampir mati, Jia,” jawabnya. “Jika aku tidak membawamu ke sini, kau mungkin sudah kehabisan darah. Tapi lebih dari itu, aku tahu kau butuh tempat yang aman untuk pulih dan berpikir jernih.”Jia menghela napas panjang, mengingat betapa dekatnya ia dengan kematian. “Dan Revandro? Apa yang dia pikirkan sekarang?”“Kupastikan dia tak akan menemukan tempat ini. Tapi dia pasti mencarimu mati-matian.”Jia menundukkan kepala. Pikiran tentang Revandro yang panik mencarinya di rumah sakit membuat hatinya sedikit berdesir, namun ia tahu tempat ini lebih dari sekadar tempat persembunyian. Ini adalah pusat kekuat
Revandro tetap berdiri di tempatnya, menatap Jia yang tampak ragu di hadapannya. Senyumnya memudar, digantikan dengan ekspresi serius yang jarang ia perlihatkan. "Jia, aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau ingin pergi, melarikan diri dari semua ini, dari aku. Tapi kau tahu... itu tidak semudah yang kau bayangkan."Jia menghela napas panjang, mencoba menjaga ketenangannya meski hatinya bergejolak. “Aku tidak bisa terus begini, Revandro. Kau tidak bisa terus mengendalikanku seperti ini. Aku butuh kebebasan, bukan menjadi tahanan di dalam permainanmu.”Revandro mendekat, langkahnya pelan namun pasti, matanya masih tertuju pada Jia. “Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti tahanan, Jia. Tapi kau juga tahu posisiku. Dunia kita tidak sederhana, dan aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Terlalu banyak yang dipertaruhkan.”Jia menelan ludah, matanya menatap lurus ke arah pria di depannya, mencoba memahami niat tersembunyi di balik kata-kata itu. “Selalu ada pilihan, Revandr
Jia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya yang semakin tak terkendali. Suasana di ruangan itu berubah menjadi semakin tegang, dan Revandro yang berdiri tak jauh darinya tetap tak bergeming, seolah bersiap untuk apapun yang akan terjadi selanjutnya. Tatapan matanya terfokus penuh pada Jia, tetapi Jia tahu, di balik mata dingin itu, ada sesuatu yang lebih besar sedang bergulir.Jia memalingkan wajah, matanya berkelana ke arah jendela besar di ruangan itu, keluar ke malam yang sunyi. Cahaya lampu kota bersinar temaram di kejauhan, menambah kesan kesendirian yang menyelimuti dirinya. Ia menyadari, jika tidak keluar sekarang, mungkin ia tidak akan pernah bisa. Ia harus mengambil tindakan. Pelan-pelan, Jia meraih tas di dekatnya dan menyampirkannya ke bahu. Gerakannya perlahan, hampir tanpa suara, seperti seorang pencuri yang berusaha kabur tanpa diketahui. Dia tahu Revandro memperhatikannya, tetapi pria itu tidak bergerak. Belum. Saat ia melangkah menuju pint
Jia bisa merasakan detak jantungnya semakin liar, seolah melompat-lompat di dalam dadanya. Keringat dingin membasahi tengkuknya ketika ia berhadapan langsung dengan tatapan dingin Revandro yang kini hanya beberapa langkah darinya. Udara terasa semakin berat, dan napasnya kian memburu. Mata Revandro yang tajam menelusuri wajahnya, tanpa sepatah kata pun terucap, tetapi tensi di antara mereka meningkat tajam.Jia berusaha mengendalikan diri, namun dalam benaknya, berbagai kemungkinan buruk mulai bermunculan. Jalan keluarnya semakin menyempit. Di belakangnya, bunyi derap langkah anak buah Revandro semakin mendekat. Jalan-jalan sempit yang tadi memberi perlindungan kini menjadi perangkap yang mematikan."Selesai sudah." Suara Revandro hampir seperti bisikan. Jia tahu dia benar-benar serius. Ia bisa merasakan ancaman terselubung di balik setiap kata yang dilontarkan.Tanpa peringatan, Jia bergerak. Dengan reflek cepat, ia menyarangkan tendangan ke arah lutut Revandro, namun pria itu sigap
Jia berlari dengan napas yang mulai tersengal, tubuhnya menyusuri lorong sempit yang kini semakin gelap. Dinding-dinding yang dingin dan kotor di sekelilingnya seolah menutup semakin rapat, mengurungnya dalam teror yang tak terlihat. Setiap langkah terdengar keras di telinganya, meski dia berusaha untuk lebih ringan, lebih cepat. Kakinya berlari melawan rasa sakit, nyeri dari luka-luka kecil yang dia dapat selama pertarungan tadi menyebar, tapi pikirannya hanya fokus pada satu hal: kebebasan.Kilatan kenangan terakhir bersama Revandro berputar di benaknya. Janjinya pada dirinya sendiri untuk lari, untuk memutuskan segala ikatan dengan dunia kegelapan ini. Tapi kini, sosok yang tak pernah ia harapkan, Vier, muncul di hadapannya. Tangan Jia masih terasa dingin akibat kontak langsung dengan pisau kecilnya tadi—satu-satunya senjata yang dia bawa.Ketika dia mencapai ujung lorong, Jia berhenti sejenak, mata penuh kewaspadaan menatap bayangan yang lebih besar di depan. Cahaya dari lampu jal
Jia tersentak, tubuhnya terasa bergetar hebat di bawah tekanan Vier. Namun, di balik desakan fisik yang terus mencekam, Jia menyusun keberaniannya. Ada satu kesempatan terakhir—ia tahu itu. Napasnya pendek-pendek, matanya berkabut, tapi jiwanya tak pernah terasa lebih hidup. Ia harus bertindak sekarang atau segalanya akan berakhir di sini.Saat Vier mempererat cengkeramannya di bahu Jia, Jia menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang menjalar. Dalam satu gerakan cepat, ia menggerakkan lututnya ke atas, menghantam perut Vier dengan sisa tenaga yang ia miliki. Vier terhuyung, napasnya tersengal. Jia melihat peluang dan tanpa ragu memanfaatkannya.Dia memutar tubuh, menarik dirinya keluar dari cengkeraman Vier yang melemah. Tangannya bergerak cepat, mendorong tubuh besar itu ke samping. Dalam hitungan detik, Jia sudah berdiri, matanya fokus ke pintu keluar yang berada di sudut ruangan.Tanpa berpikir dua kali, Jia berlari sekuat tenaga. Langkahnya cepat dan tak terhentikan, meninggalkan