Jia bisa merasakan detak jantungnya semakin liar, seolah melompat-lompat di dalam dadanya. Keringat dingin membasahi tengkuknya ketika ia berhadapan langsung dengan tatapan dingin Revandro yang kini hanya beberapa langkah darinya. Udara terasa semakin berat, dan napasnya kian memburu. Mata Revandro yang tajam menelusuri wajahnya, tanpa sepatah kata pun terucap, tetapi tensi di antara mereka meningkat tajam.Jia berusaha mengendalikan diri, namun dalam benaknya, berbagai kemungkinan buruk mulai bermunculan. Jalan keluarnya semakin menyempit. Di belakangnya, bunyi derap langkah anak buah Revandro semakin mendekat. Jalan-jalan sempit yang tadi memberi perlindungan kini menjadi perangkap yang mematikan."Selesai sudah." Suara Revandro hampir seperti bisikan. Jia tahu dia benar-benar serius. Ia bisa merasakan ancaman terselubung di balik setiap kata yang dilontarkan.Tanpa peringatan, Jia bergerak. Dengan reflek cepat, ia menyarangkan tendangan ke arah lutut Revandro, namun pria itu sigap
Jia berlari dengan napas yang mulai tersengal, tubuhnya menyusuri lorong sempit yang kini semakin gelap. Dinding-dinding yang dingin dan kotor di sekelilingnya seolah menutup semakin rapat, mengurungnya dalam teror yang tak terlihat. Setiap langkah terdengar keras di telinganya, meski dia berusaha untuk lebih ringan, lebih cepat. Kakinya berlari melawan rasa sakit, nyeri dari luka-luka kecil yang dia dapat selama pertarungan tadi menyebar, tapi pikirannya hanya fokus pada satu hal: kebebasan.Kilatan kenangan terakhir bersama Revandro berputar di benaknya. Janjinya pada dirinya sendiri untuk lari, untuk memutuskan segala ikatan dengan dunia kegelapan ini. Tapi kini, sosok yang tak pernah ia harapkan, Vier, muncul di hadapannya. Tangan Jia masih terasa dingin akibat kontak langsung dengan pisau kecilnya tadi—satu-satunya senjata yang dia bawa.Ketika dia mencapai ujung lorong, Jia berhenti sejenak, mata penuh kewaspadaan menatap bayangan yang lebih besar di depan. Cahaya dari lampu jal
Jia tersentak, tubuhnya terasa bergetar hebat di bawah tekanan Vier. Namun, di balik desakan fisik yang terus mencekam, Jia menyusun keberaniannya. Ada satu kesempatan terakhir—ia tahu itu. Napasnya pendek-pendek, matanya berkabut, tapi jiwanya tak pernah terasa lebih hidup. Ia harus bertindak sekarang atau segalanya akan berakhir di sini.Saat Vier mempererat cengkeramannya di bahu Jia, Jia menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang menjalar. Dalam satu gerakan cepat, ia menggerakkan lututnya ke atas, menghantam perut Vier dengan sisa tenaga yang ia miliki. Vier terhuyung, napasnya tersengal. Jia melihat peluang dan tanpa ragu memanfaatkannya.Dia memutar tubuh, menarik dirinya keluar dari cengkeraman Vier yang melemah. Tangannya bergerak cepat, mendorong tubuh besar itu ke samping. Dalam hitungan detik, Jia sudah berdiri, matanya fokus ke pintu keluar yang berada di sudut ruangan.Tanpa berpikir dua kali, Jia berlari sekuat tenaga. Langkahnya cepat dan tak terhentikan, meninggalkan
Tiga tahun telah berlalu sejak Jia meninggalkan kehidupannya yang dulu penuh dengan ketegangan dan ancaman. Kini, ia menjalani hari-harinya dengan damai di sebuah kota kecil di pulau terpencil, jauh dari hiruk-pikuk yang dulu mengelilinginya. Toko kue miliknya, "Sugar & Spice," sudah menjadi favorit penduduk setempat. Aroma roti yang baru dipanggang dan manisan yang lezat memenuhi udara setiap pagi, menciptakan kehangatan di tengah-tengah kota yang sederhana.Pagi itu, Jia sibuk menata kue-kue di etalase kaca, jari-jarinya cekatan menghias cupcake dengan lapisan krim berwarna pastel. Senyumnya tenang, matanya memancarkan kedamaian yang baru ia kenal setelah bertahun-tahun lari dari bayang-bayang masa lalu. Meski begitu, di lubuk hatinya yang paling dalam, masih ada sedikit kekhawatiran bahwa kehidupan ini mungkin hanya sementara, dan masa lalunya bisa sewaktu-waktu kembali menghantuinya.Suara lonceng di pintu depan toko berdenting pelan, menandakan ada pengunjung yang masuk. Jia deng
Jia berdiri di depan gerbang mansion yang dulunya megah, tempat yang dulu ia tinggali bersama Revandro. Namun kini, tempat itu tampak tak terurus. Dinding-dindingnya memudar, rerumputan liar tumbuh di sepanjang jalan setapak, dan suasana sunyi yang tidak wajar menyelimuti seluruh area. Jia menatap bangunan itu sejenak, merasakan gejolak di dadanya.“Selama inikah aku pergi…,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan sekitar.Dengan langkah hati-hati, Jia membuka gerbang yang berderit pelan, membuat suara yang memecah keheningan. Ia berjalan memasuki area yang dulu selalu dijaga ketat, namun kini terlihat kosong. Bahkan angin yang berhembus membawa aroma debu dan daun kering, menguatkan perasaan keterasingan di dalam dirinya.Ketika Jia sampai di pintu utama, ia merasakan keraguan yang merayapi pikirannya. Haruskah ia benar-benar masuk? Apakah ia siap menghadapi apa pun yang menunggunya di dalam? Tapi hatinya sudah memutuskan—ia tidak bisa terus melarikan diri. Ini ad
Setelah keluar dari ruang bawah tanah yang penuh dengan kegelapan dan kematian, Jia menatap mansion kosong itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Bayang-bayang kekacauan yang ditinggalkan oleh Vier semakin nyata dalam pikirannya, dan kini, hanya satu tujuan yang ada di kepalanya—rumah keluarganya.“Aku harus bertemu Ayah…” bisik Jia pada dirinya sendiri, meskipun dalam hati ada ketidakpastian yang menyelimutinya. Ia tahu, Ayahnya mungkin akan memaksanya kembali ke dunia kekuasaan yang ingin ia tinggalkan. Tapi, satu hal yang pasti—ia butuh jawaban.Tanpa banyak pikir, Jia segera meninggalkan mansion tersebut dan menuju rumah keluarganya. Perjalanan terasa sunyi dan penuh dengan pemikiran gelap tentang apa yang mungkin ia temui di sana. Jia terus melangkah, mencoba menenangkan diri dari ketegangan yang menggulung hatinya.Setibanya di gerbang rumah keluarganya, Jia terdiam. Rumah itu tampak sama seperti terakhir kali ia melihatnya—megah dan angkuh. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Su
Jia tiba di hotel mewah dengan perasaan bercampur aduk. Penampilannya tetap tenang, namun di dalam hatinya, ia tahu ini adalah konfrontasi yang tak terelakkan. Lampu-lampu kristal yang menggantung di aula pesta berkilauan, sementara tamu-tamu undangan berjalan dengan anggun dalam pakaian elegan. Pesta itu berlangsung meriah, dengan musik lembut mengisi udara. Namun, Jia hanya memiliki satu tujuan malam itu—menghadapi Vier, alter ego Revandro yang selama tiga tahun terakhir memegang kekuasaan penuh.Mengenakan gaun hitam yang elegan, Jia menarik perhatian banyak orang saat ia melangkah masuk. Tatapannya lurus, dan meskipun di sekelilingnya ada percakapan serta tawa yang bergaung, Jia tidak mendengarnya. Ia memindai ruangan, mencari sosok yang telah lama menghantuinya.Tiba-tiba, suara tawa mendalam yang sangat familiar terdengar. Jia berbalik, dan di ujung ruangan berdirilah Vier, memimpin kerumunan kecil dengan pesona gelapnya. Rambutnya yang hitam legam, setelan mahal yang dikenakann
Jia, dengan langkah tenang dan tanpa tergesa, mulai berjalan menuju meja makanan ringan di ujung aula. Meja itu sudah setengah hancur, beberapa piring dan gelas berserakan di lantai, namun tak ada yang bisa menghalangi niat Jia untuk tetap santai. Sementara kekacauan terus melanda ruangan, dia seolah tidak peduli. Langkahnya ringan, gerakannya penuh keyakinan, seakan semua ini hanyalah pemandangan biasa.Vier yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan mata tajam, tapi dia tidak bergerak. Dia tahu Jia, tahu bagaimana wanita itu bersikap, namun ada keingintahuan yang terbersit di benaknya. Apakah Jia hanya sekadar tidak peduli, atau dia memiliki rencana yang lebih besar di balik ketenangannya?Sementara itu, ketua pemberontak yang sejak tadi memimpin serangan mulai memperhatikan wanita yang berjalan santai itu. Kemarahannya meletup-letup. Dia tahu siapa Jia, dan kehadiran wanita itu mengganggunya lebih dari apapun. Dia merasa perlu untuk menghentikan Jia—seor