Jia berdiri di depan gerbang mansion yang dulunya megah, tempat yang dulu ia tinggali bersama Revandro. Namun kini, tempat itu tampak tak terurus. Dinding-dindingnya memudar, rerumputan liar tumbuh di sepanjang jalan setapak, dan suasana sunyi yang tidak wajar menyelimuti seluruh area. Jia menatap bangunan itu sejenak, merasakan gejolak di dadanya.“Selama inikah aku pergi…,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan sekitar.Dengan langkah hati-hati, Jia membuka gerbang yang berderit pelan, membuat suara yang memecah keheningan. Ia berjalan memasuki area yang dulu selalu dijaga ketat, namun kini terlihat kosong. Bahkan angin yang berhembus membawa aroma debu dan daun kering, menguatkan perasaan keterasingan di dalam dirinya.Ketika Jia sampai di pintu utama, ia merasakan keraguan yang merayapi pikirannya. Haruskah ia benar-benar masuk? Apakah ia siap menghadapi apa pun yang menunggunya di dalam? Tapi hatinya sudah memutuskan—ia tidak bisa terus melarikan diri. Ini ad
Setelah keluar dari ruang bawah tanah yang penuh dengan kegelapan dan kematian, Jia menatap mansion kosong itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Bayang-bayang kekacauan yang ditinggalkan oleh Vier semakin nyata dalam pikirannya, dan kini, hanya satu tujuan yang ada di kepalanya—rumah keluarganya.“Aku harus bertemu Ayah…” bisik Jia pada dirinya sendiri, meskipun dalam hati ada ketidakpastian yang menyelimutinya. Ia tahu, Ayahnya mungkin akan memaksanya kembali ke dunia kekuasaan yang ingin ia tinggalkan. Tapi, satu hal yang pasti—ia butuh jawaban.Tanpa banyak pikir, Jia segera meninggalkan mansion tersebut dan menuju rumah keluarganya. Perjalanan terasa sunyi dan penuh dengan pemikiran gelap tentang apa yang mungkin ia temui di sana. Jia terus melangkah, mencoba menenangkan diri dari ketegangan yang menggulung hatinya.Setibanya di gerbang rumah keluarganya, Jia terdiam. Rumah itu tampak sama seperti terakhir kali ia melihatnya—megah dan angkuh. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Su
Jia tiba di hotel mewah dengan perasaan bercampur aduk. Penampilannya tetap tenang, namun di dalam hatinya, ia tahu ini adalah konfrontasi yang tak terelakkan. Lampu-lampu kristal yang menggantung di aula pesta berkilauan, sementara tamu-tamu undangan berjalan dengan anggun dalam pakaian elegan. Pesta itu berlangsung meriah, dengan musik lembut mengisi udara. Namun, Jia hanya memiliki satu tujuan malam itu—menghadapi Vier, alter ego Revandro yang selama tiga tahun terakhir memegang kekuasaan penuh.Mengenakan gaun hitam yang elegan, Jia menarik perhatian banyak orang saat ia melangkah masuk. Tatapannya lurus, dan meskipun di sekelilingnya ada percakapan serta tawa yang bergaung, Jia tidak mendengarnya. Ia memindai ruangan, mencari sosok yang telah lama menghantuinya.Tiba-tiba, suara tawa mendalam yang sangat familiar terdengar. Jia berbalik, dan di ujung ruangan berdirilah Vier, memimpin kerumunan kecil dengan pesona gelapnya. Rambutnya yang hitam legam, setelan mahal yang dikenakann
Jia, dengan langkah tenang dan tanpa tergesa, mulai berjalan menuju meja makanan ringan di ujung aula. Meja itu sudah setengah hancur, beberapa piring dan gelas berserakan di lantai, namun tak ada yang bisa menghalangi niat Jia untuk tetap santai. Sementara kekacauan terus melanda ruangan, dia seolah tidak peduli. Langkahnya ringan, gerakannya penuh keyakinan, seakan semua ini hanyalah pemandangan biasa.Vier yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan mata tajam, tapi dia tidak bergerak. Dia tahu Jia, tahu bagaimana wanita itu bersikap, namun ada keingintahuan yang terbersit di benaknya. Apakah Jia hanya sekadar tidak peduli, atau dia memiliki rencana yang lebih besar di balik ketenangannya?Sementara itu, ketua pemberontak yang sejak tadi memimpin serangan mulai memperhatikan wanita yang berjalan santai itu. Kemarahannya meletup-letup. Dia tahu siapa Jia, dan kehadiran wanita itu mengganggunya lebih dari apapun. Dia merasa perlu untuk menghentikan Jia—seor
Jia duduk di dalam mobil mewah yang membawa dirinya menuju salah satu mansion baru milik Vier. Pandangannya lurus ke depan, sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Saat mobil melaju, dia tak bisa menahan diri untuk membayangkan seperti apa kehidupan di mansion baru itu. Apakah ada yang berubah? Apakah tempat itu akan sama dinginnya seperti mansion lama yang kini telah kosong?Setibanya di depan mansion, Jia menghela napas dalam-dalam. Bangunan itu megah, namun terasa asing baginya. Vier keluar lebih dulu, tanpa menoleh ke arahnya, sementara Jia mengikuti di belakang dengan tenang. Mereka melangkah masuk ke dalam mansion, di mana wajah-wajah baru menyambut mereka.Tidak ada satu pun dari mereka yang Jia kenal. Wajah-wajah lama, orang-orang yang dulu pernah bekerja di bawah Revandro, semuanya telah menghilang, disapu bersih oleh sisi kelam Vier. Orang-orang ini, yang baru, memandangnya dengan tatapan meremehkan. Beberapa bahkan tak segan untuk berbisik atau saling bert
Jia menatap Vier dengan tatapan tegas, kali ini tak ada lagi keraguan di matanya. Setelah beberapa saat keheningan yang penuh ketegangan, dia akhirnya bicara, suaranya pelan namun penuh makna.“Kembalikan Revandro,” kata Jia dengan nada yang jelas. Setiap kata diucapkannya dengan tegas, meski dia tahu itu akan memancing reaksi.Vier mengerutkan kening, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya yang semula penuh amarah kini berubah menjadi sebuah senyuman dingin, sebuah senyuman yang berbahaya. “Kembalikan Revandro?” suaranya hampir terdengar mengejek. “Kau kira aku akan menyerah begitu saja?”Jia tetap menatapnya tanpa gentar. “Aku tidak meminta. Aku menuntut. Kembalikan kesadaran Revandro. Dia punya hak atas tubuh dan kehidupannya sendiri.”Suasana di ruangan itu semakin tegang. Semua orang yang berada di sekitar mansion bisa merasakan perubahan atmosfer yang drastis. Mereka sudah terbiasa dengan kemarahan Vier, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—karena ada sese
Ketegangan di dalam mansion semakin memuncak. Vier berdiri tegak di hadapan Jia, matanya berkilat penuh kemarahan yang hampir tak terkendali. Jia, yang biasanya tenang, kini kehilangan kendali. Wajahnya merah, napasnya memburu, dan amarahnya terus menggelegak. Keduanya saling berhadapan dalam suasana yang semakin panas, kata-kata tajam terlontar di antara mereka.“Sudah kubilang, aku tak akan mengembalikan Revandro,” desis Vier dengan dingin, tatapannya menusuk.“Kau pengecut!” bentak Jia, suaranya penuh dengan kemarahan yang selama ini terpendam. Dia mengambil vas bunga terdekat, lalu tanpa ragu melemparkannya ke arah Vier.Vas itu melayang di udara dan pecah berkeping-keping di lantai di dekat kaki Vier. Vier menghindar dengan cepat, wajahnya semakin memerah. Dia menyeringai dingin, seolah tidak tersentuh oleh kemarahan Jia. “Itu yang kau lakukan sekarang? Mengandalkan kekerasan, Jia? Kau tahu itu tak akan membuatku menyerah.”Jia tidak menjawab. Dia memutar badannya, berjalan cepat
Suasana di dapur terasa sesak. Ketika Jia melanjutkan makannya, para bawahan Vier menatapnya dengan tatapan campur aduk—antara meremehkan dan rasa takut yang mendalam. Mereka tahu betul siapa Jia, dan meskipun beberapa dari mereka menganggapnya remeh, saat ini mereka tidak berani menghinanya. Ada aura ketenangan yang aneh namun kuat mengelilingi Jia, yang membuat mereka enggan berkomentar.Ketika suara sendok beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang mengisi ruangan, Jia akhirnya memecah keheningan. "Mungkin kalian bisa memberitahuku apa yang terjadi pada keluargaku," ujarnya sambil mengangkat wajahnya, tatapan tenangnya menembus mata para pelayan di sekelilingnya.Senyum di wajah Jia tidak memudar, meskipun dalam hati, rasa cemas mulai menggerogoti. Dia tahu keluarganya ada dalam bahaya, namun dia ingin mendengar langsung tentang apa yang terjadi. Salah satu pelayan terlihat gelisah, tak ingin menjadi pembawa kabar buruk. Namun, sebelum dia sempat berbicara, Vier muncul d