Jia duduk di dalam mobil mewah yang membawa dirinya menuju salah satu mansion baru milik Vier. Pandangannya lurus ke depan, sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Saat mobil melaju, dia tak bisa menahan diri untuk membayangkan seperti apa kehidupan di mansion baru itu. Apakah ada yang berubah? Apakah tempat itu akan sama dinginnya seperti mansion lama yang kini telah kosong?Setibanya di depan mansion, Jia menghela napas dalam-dalam. Bangunan itu megah, namun terasa asing baginya. Vier keluar lebih dulu, tanpa menoleh ke arahnya, sementara Jia mengikuti di belakang dengan tenang. Mereka melangkah masuk ke dalam mansion, di mana wajah-wajah baru menyambut mereka.Tidak ada satu pun dari mereka yang Jia kenal. Wajah-wajah lama, orang-orang yang dulu pernah bekerja di bawah Revandro, semuanya telah menghilang, disapu bersih oleh sisi kelam Vier. Orang-orang ini, yang baru, memandangnya dengan tatapan meremehkan. Beberapa bahkan tak segan untuk berbisik atau saling bert
Jia menatap Vier dengan tatapan tegas, kali ini tak ada lagi keraguan di matanya. Setelah beberapa saat keheningan yang penuh ketegangan, dia akhirnya bicara, suaranya pelan namun penuh makna.“Kembalikan Revandro,” kata Jia dengan nada yang jelas. Setiap kata diucapkannya dengan tegas, meski dia tahu itu akan memancing reaksi.Vier mengerutkan kening, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya yang semula penuh amarah kini berubah menjadi sebuah senyuman dingin, sebuah senyuman yang berbahaya. “Kembalikan Revandro?” suaranya hampir terdengar mengejek. “Kau kira aku akan menyerah begitu saja?”Jia tetap menatapnya tanpa gentar. “Aku tidak meminta. Aku menuntut. Kembalikan kesadaran Revandro. Dia punya hak atas tubuh dan kehidupannya sendiri.”Suasana di ruangan itu semakin tegang. Semua orang yang berada di sekitar mansion bisa merasakan perubahan atmosfer yang drastis. Mereka sudah terbiasa dengan kemarahan Vier, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—karena ada sese
Ketegangan di dalam mansion semakin memuncak. Vier berdiri tegak di hadapan Jia, matanya berkilat penuh kemarahan yang hampir tak terkendali. Jia, yang biasanya tenang, kini kehilangan kendali. Wajahnya merah, napasnya memburu, dan amarahnya terus menggelegak. Keduanya saling berhadapan dalam suasana yang semakin panas, kata-kata tajam terlontar di antara mereka.“Sudah kubilang, aku tak akan mengembalikan Revandro,” desis Vier dengan dingin, tatapannya menusuk.“Kau pengecut!” bentak Jia, suaranya penuh dengan kemarahan yang selama ini terpendam. Dia mengambil vas bunga terdekat, lalu tanpa ragu melemparkannya ke arah Vier.Vas itu melayang di udara dan pecah berkeping-keping di lantai di dekat kaki Vier. Vier menghindar dengan cepat, wajahnya semakin memerah. Dia menyeringai dingin, seolah tidak tersentuh oleh kemarahan Jia. “Itu yang kau lakukan sekarang? Mengandalkan kekerasan, Jia? Kau tahu itu tak akan membuatku menyerah.”Jia tidak menjawab. Dia memutar badannya, berjalan cepat
Suasana di dapur terasa sesak. Ketika Jia melanjutkan makannya, para bawahan Vier menatapnya dengan tatapan campur aduk—antara meremehkan dan rasa takut yang mendalam. Mereka tahu betul siapa Jia, dan meskipun beberapa dari mereka menganggapnya remeh, saat ini mereka tidak berani menghinanya. Ada aura ketenangan yang aneh namun kuat mengelilingi Jia, yang membuat mereka enggan berkomentar.Ketika suara sendok beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang mengisi ruangan, Jia akhirnya memecah keheningan. "Mungkin kalian bisa memberitahuku apa yang terjadi pada keluargaku," ujarnya sambil mengangkat wajahnya, tatapan tenangnya menembus mata para pelayan di sekelilingnya.Senyum di wajah Jia tidak memudar, meskipun dalam hati, rasa cemas mulai menggerogoti. Dia tahu keluarganya ada dalam bahaya, namun dia ingin mendengar langsung tentang apa yang terjadi. Salah satu pelayan terlihat gelisah, tak ingin menjadi pembawa kabar buruk. Namun, sebelum dia sempat berbicara, Vier muncul d
Ketika Vier menarik Jia ke dalam pelukannya, erat dan posesif, suaranya rendah namun penuh dengan klaim yang tak terbantahkan. "Kau milikku, Jia. Tidak peduli apa yang kau lakukan, seberapa jauh kau lari, aku akan selalu menarikmu kembali. Tak ada yang bisa memisahkan kita."Jia tetap diam dalam pelukannya, merasa beban berat tubuh Vier yang begitu erat menahannya seolah tak ingin ia bergerak sedikit pun. Bibir pria itu menyentuh telinganya, berbisik lebih dalam, "Aku akan memastikan kau tidak pernah pergi lagi. Kau akan tetap di sini, di bawah pengawasanku, sampai kau paham bahwa tak ada jalan keluar."Namun, di tengah suara posesif yang terus melingkupi telinganya, Jia dengan tenang menyelipkan jarinya ke dalam saku gaunnya. Tangannya bergerak perlahan, penuh perhitungan, saat dia mengeluarkan sebuah suntikan kecil yang selama ini disembunyikan dengan cermat.Vier, terlalu fokus pada dirinya sendiri dan keinginannya untuk memiliki Jia, tak menyadari gerakan halus yang dilakukan wan
Di dalam ruangan kecil yang remang-remang itu, Jia menatap kakek tua yang duduk di hadapannya. Napasnya teratur meski pikirannya masih kacau setelah mendengar fakta mengejutkan tentang Revandro—atau mungkin lebih tepatnya Vier. Jia mencoba menata ulang segala sesuatu di kepalanya, namun ada satu hal yang terus mengusik pikirannya.“Marga Maxio,” Jia mulai, suaranya rendah namun penuh tekanan, “kenapa Revandro menggunakan nama itu sekarang? Apa hubungannya dengan keluarga asli Vier?”Kakek tua itu tidak langsung menjawab. Ia memandang Jia sejenak, menilai kebingungannya, lalu alih-alih menjelaskan, ia justru melemparkan sebuah pertanyaan yang membuat Jia semakin terperangkap dalam teka-teki."Menurutmu, kenapa Revandro memilih nama alter egonya, "Vier?" tanyanya dengan suara yang dalam dan penuh teka-teki.Jia terdiam sesaat. Pertanyaan itu melayang di udara, berat dan penuh misteri. Selama ini, ia hanya menganggap Vier adalah sosok lain dari Revandro—sebuah persona gelap yang diambil
Jia melangkah keluar dari rumah tua itu dengan anggukan kecil, meninggalkan keheningan yang mendalam di belakangnya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, dan kakek tua itu hanya membalas dengan senyum bijak yang seolah memahami bahwa beberapa jawaban tidak perlu diutarakan dengan kata-kata. Saat Jia menutup pintu di belakangnya, sebuah rasa canggung menyelimuti tubuhnya, tapi dia memaksakan senyum tipis yang terasa asing di wajahnya.Kakek tua itu memperhatikannya dengan tenang dari kejauhan, tatapannya tidak menghakimi, hanya dipenuhi pengertian. Dia tahu Jia tengah melalui badai besar dalam hatinya, tapi dia juga memahami bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan untuk keluar begitu saja. Ketika Jia mencapai mobilnya, tangan kakek itu terangkat sedikit.“Jangan sia-siakan hidupmu, Nak,” katanya, suaranya masih terdengar jelas meski jaraknya jauh. “Orang-orang yang telah pergi tak akan pernah kembali. Tapi jika mereka melihatmu terlalu cepat, mereka akan kecewa.”Kata-kata itu
Pertarungan dimulai dengan ledakan keheningan yang terpecah seketika. Jia, dengan gerakan cepat dan lincah, menarik pelatuk pistolnya ke arah Vier. Namun, seperti bayangan, Vier berhasil menghindar, membuat tembakan itu hanya menghantam dinding di belakangnya. Serpihan dinding beterbangan, menambah intensitas suasana di dalam ruangan besar itu.Semua orang yang menyaksikan menahan napas. Petinggi-petinggi organisasi yang hadir, biasanya berdiri sebagai penguasa dalam ruangan mana pun mereka berada, kini hanya bisa berdiri di tepi, tak berani bergerak. Mereka tahu, ini bukan perkelahian biasa. Jia dan Vier, dua kekuatan yang sama-sama berbahaya, sedang mempertaruhkan sesuatu yang lebih dari sekadar nyawa.Vier berputar cepat, meluncur ke arah Jia dengan langkah-langkah gesit, namun Jia siap. Dia melemparkan meja kecil ke arahnya, membuat Vier harus menghentikan serangannya sesaat. "Kau pikir aku takut padamu?" Jia mendesis, matanya berkobar dengan api yang tak bisa dipadamkan. "Aku ti