Suara langkah kaki mendekat dengan perlahan, menciptakan ketegangan di dalam ruangan. Revandro berdiri tegap, tubuhnya bersiaga, sementara Jia terbaring tak berdaya di belakangnya. Lydia merapat ke dinding, tangannya diam-diam meraih sesuatu di balik jaketnya. Tatapan Revandro tidak lepas dari pintu masuk, menanti sosok yang kini mengancam mereka.Ketika sosok itu akhirnya muncul, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tapi suara dinginnya cukup jelas. "Kau berpikir bisa melindungi Jia dariku? Kalian benar-benar meremehkanku."Revandro menegang, mengenali suara itu. "Ayahnya," gumamnya, menyadari ancaman yang lebih besar kini hadir. Jia, yang setengah sadar, tampaknya juga mendengar suara itu dan berusaha bangkit, namun tubuhnya masih terlalu lemah."Ayah..." bisik Jia, suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Revandro meliriknya sejenak.Pria itu mendekat, akhirnya berdiri di bawah cahaya. Wajahnya yang dingin dan tegas tampak tidak berubah, kecuali tatapan matanya ya
Revandro berlari di sepanjang koridor gelap yang berkelok, dengan Jia yang terkulai di pelukannya. Napasnya terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena ketakutan yang tak biasa. Wajah Jia semakin pucat, setiap detik yang berlalu adalah peringatan yang mengerikan tentang betapa tipisnya garis antara hidup dan mati. Lydia bergerak cepat di sampingnya, tangan siap di senjata, mata waspada, mengantisipasi serangan yang mungkin datang kapan saja.Mereka berdua tahu, waktu bukan sekadar musuh. Jia yang terluka parah, darah yang mengalir semakin banyak, dan ancaman dari sang ayah masih mengintai di setiap sudut.“Berapa lama lagi sampai kita aman?” tanya Revandro dengan nada suara yang mendesak, meskipun ia berusaha tetap tenang.Lydia menggelengkan kepala, tatapannya terfokus ke depan. “Tidak lama lagi. Tapi kita harus tetap waspada. Tidak ada jaminan mereka tidak mengejar kita.”Revandro menggigit bibirnya, menatap Jia yang nyaris tak sadarkan diri. “Kita harus mempercepat langkah. D
Setelah tiba di rumah sakit, Revandro mondar-mandir di koridor dengan gelisah, matanya tak pernah lepas dari pintu ruang gawat darurat. Lydia berdiri di dekatnya, berusaha menenangkan suasana, tetapi kecemasan yang melingkupi Revandro terlalu besar untuk bisa diabaikan.Beberapa jam berlalu, dan seorang dokter akhirnya keluar dari ruang operasi. "Kami telah berhasil menstabilkan kondisinya. Namun, dia masih dalam keadaan kritis. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat intensif."Revandro mengangguk, meskipun masih ada kekhawatiran yang terpancar jelas di wajahnya. "Aku ingin berada di dekatnya, jangan sampai dia sendiri."Namun, ketika akhirnya mereka menuju ruang perawatan Jia, ruangan itu kosong. Jia tidak ada di tempat tidur, dan alat-alat medis yang seharusnya terpasang padanya juga hilang. Napas Revandro tercekat. Matanya membesar, memeriksa seluruh ruangan seolah berharap ini hanya salah paham.“Di mana dia?!” teriaknya, mendekati salah satu perawat yang kebingungan. “Di mana Ji
Misi yang selalu dijaga rapat-rapat dari siapapun, termasuk keluarganya. Di sini, ia bebas dari tekanan untuk menjadi penerus ayahnya, bebas dari politik dan tuntutan dunia mafia.Jia memandang sekeliling, tubuhnya masih lemah tetapi pikirannya mulai berpacu. “Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya pada sahabatnya, si dokter, yang sekarang berdiri di depannya, memasang wajah serius.“Kau hampir mati, Jia,” jawabnya. “Jika aku tidak membawamu ke sini, kau mungkin sudah kehabisan darah. Tapi lebih dari itu, aku tahu kau butuh tempat yang aman untuk pulih dan berpikir jernih.”Jia menghela napas panjang, mengingat betapa dekatnya ia dengan kematian. “Dan Revandro? Apa yang dia pikirkan sekarang?”“Kupastikan dia tak akan menemukan tempat ini. Tapi dia pasti mencarimu mati-matian.”Jia menundukkan kepala. Pikiran tentang Revandro yang panik mencarinya di rumah sakit membuat hatinya sedikit berdesir, namun ia tahu tempat ini lebih dari sekadar tempat persembunyian. Ini adalah pusat kekuat
Revandro tetap berdiri di tempatnya, menatap Jia yang tampak ragu di hadapannya. Senyumnya memudar, digantikan dengan ekspresi serius yang jarang ia perlihatkan. "Jia, aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau ingin pergi, melarikan diri dari semua ini, dari aku. Tapi kau tahu... itu tidak semudah yang kau bayangkan."Jia menghela napas panjang, mencoba menjaga ketenangannya meski hatinya bergejolak. “Aku tidak bisa terus begini, Revandro. Kau tidak bisa terus mengendalikanku seperti ini. Aku butuh kebebasan, bukan menjadi tahanan di dalam permainanmu.”Revandro mendekat, langkahnya pelan namun pasti, matanya masih tertuju pada Jia. “Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti tahanan, Jia. Tapi kau juga tahu posisiku. Dunia kita tidak sederhana, dan aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Terlalu banyak yang dipertaruhkan.”Jia menelan ludah, matanya menatap lurus ke arah pria di depannya, mencoba memahami niat tersembunyi di balik kata-kata itu. “Selalu ada pilihan, Revandr
Jia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya yang semakin tak terkendali. Suasana di ruangan itu berubah menjadi semakin tegang, dan Revandro yang berdiri tak jauh darinya tetap tak bergeming, seolah bersiap untuk apapun yang akan terjadi selanjutnya. Tatapan matanya terfokus penuh pada Jia, tetapi Jia tahu, di balik mata dingin itu, ada sesuatu yang lebih besar sedang bergulir.Jia memalingkan wajah, matanya berkelana ke arah jendela besar di ruangan itu, keluar ke malam yang sunyi. Cahaya lampu kota bersinar temaram di kejauhan, menambah kesan kesendirian yang menyelimuti dirinya. Ia menyadari, jika tidak keluar sekarang, mungkin ia tidak akan pernah bisa. Ia harus mengambil tindakan. Pelan-pelan, Jia meraih tas di dekatnya dan menyampirkannya ke bahu. Gerakannya perlahan, hampir tanpa suara, seperti seorang pencuri yang berusaha kabur tanpa diketahui. Dia tahu Revandro memperhatikannya, tetapi pria itu tidak bergerak. Belum. Saat ia melangkah menuju pint
Jia bisa merasakan detak jantungnya semakin liar, seolah melompat-lompat di dalam dadanya. Keringat dingin membasahi tengkuknya ketika ia berhadapan langsung dengan tatapan dingin Revandro yang kini hanya beberapa langkah darinya. Udara terasa semakin berat, dan napasnya kian memburu. Mata Revandro yang tajam menelusuri wajahnya, tanpa sepatah kata pun terucap, tetapi tensi di antara mereka meningkat tajam.Jia berusaha mengendalikan diri, namun dalam benaknya, berbagai kemungkinan buruk mulai bermunculan. Jalan keluarnya semakin menyempit. Di belakangnya, bunyi derap langkah anak buah Revandro semakin mendekat. Jalan-jalan sempit yang tadi memberi perlindungan kini menjadi perangkap yang mematikan."Selesai sudah." Suara Revandro hampir seperti bisikan. Jia tahu dia benar-benar serius. Ia bisa merasakan ancaman terselubung di balik setiap kata yang dilontarkan.Tanpa peringatan, Jia bergerak. Dengan reflek cepat, ia menyarangkan tendangan ke arah lutut Revandro, namun pria itu sigap
Jia berlari dengan napas yang mulai tersengal, tubuhnya menyusuri lorong sempit yang kini semakin gelap. Dinding-dinding yang dingin dan kotor di sekelilingnya seolah menutup semakin rapat, mengurungnya dalam teror yang tak terlihat. Setiap langkah terdengar keras di telinganya, meski dia berusaha untuk lebih ringan, lebih cepat. Kakinya berlari melawan rasa sakit, nyeri dari luka-luka kecil yang dia dapat selama pertarungan tadi menyebar, tapi pikirannya hanya fokus pada satu hal: kebebasan.Kilatan kenangan terakhir bersama Revandro berputar di benaknya. Janjinya pada dirinya sendiri untuk lari, untuk memutuskan segala ikatan dengan dunia kegelapan ini. Tapi kini, sosok yang tak pernah ia harapkan, Vier, muncul di hadapannya. Tangan Jia masih terasa dingin akibat kontak langsung dengan pisau kecilnya tadi—satu-satunya senjata yang dia bawa.Ketika dia mencapai ujung lorong, Jia berhenti sejenak, mata penuh kewaspadaan menatap bayangan yang lebih besar di depan. Cahaya dari lampu jal
Jia merasa tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ancaman yang nyata di depan matanya, tetapi juga karena kemarahan yang mulai membakar dirinya. Kenapa pria tua ini datang hanya untuk menghancurkan segalanya?Revandro menarik Jia ke belakangnya dengan gerakan protektif. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun darinya. Kalau kau berani menyentuhnya, aku bersumpah, kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini."Pria tua itu tersenyum kecil, melangkah mundur dengan tangan di belakang punggungnya, seolah tak terganggu sedikit pun oleh ancaman Revandro. "Kau berpikir ancamanmu berarti sesuatu bagiku, Maxio? Kau mungkin kuat, tapi aku sudah hidup lebih lama dari yang kau tahu."Sementara itu, Arvell, yang diam-diam memperhatikan dari sudut ruangan, mulai menggerakkan pistolnya ke arah salah satu anak buah pria tua itu. Ia tahu waktunya sudah hampir habis—jika Jia tidak menyerahkan kotak itu, konflik ini akan berubah menjadi pembantaian."Jia," bisik Revandro, suaranya rendah namun cukup tegas unt
Langkah Jia semakin cepat saat suara tembakan dan ledakan terus menggema di luar. Udara di lorong itu terasa berat dengan aroma mesiu, dan setiap langkahnya seolah membawa Jia lebih dekat ke dalam bahaya. Namun, di tengah kegelisahan yang mendera, tekad Jia semakin kokoh.Arvell berjalan di sisinya, wajahnya dingin dan penuh perhitungan. Meski jelas ia adalah sekutu sementara, Jia tak bisa mengabaikan fakta bahwa lelaki itu memancarkan aura bahaya yang setara dengan Revandro.Ketika mereka mencapai pintu keluar ke area gudang utama, mereka menemukan beberapa anak buah Revandro tengah bersembunyi di balik tumpukan peti. Salah satu dari mereka segera memberi laporan."Mereka sudah berhasil mendobrak gerbang utama. Revandro masih berusaha menahan mereka, tapi jumlah mereka terlalu banyak!"Jia merasa dadanya mencelos. Revandro sendirian?Arvell melirik pria itu dengan tenang. "Berapa banyak orang kita yang tersisa?""Kurang dari setengah. Sisanya sudah tumbang atau mundur.""Bagus," jawa
Ruangan itu penuh dengan ketegangan yang hampir bisa dirasakan. Jia mencoba mengatur napasnya, namun gemetar tubuhnya tak bisa ia hentikan. Revandro menggenggam tangannya erat, sementara Arvell berdiri dengan raut wajah yang gelap dan penuh amarah."Aku tidak percaya," Arvell memecah kesunyian. "Pria itu pasti berbohong. Dia mencoba mengadu domba kita dengan ceritanya."Revandro tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada Jia, menunggu penjelasan, tetapi Jia hanya menggeleng pelan. "Aku sungguh tidak tahu apa yang dia bicarakan... tapi liontin itu..." Suaranya melemah, seolah hanya mengakuinya saja sudah menyakitkan."Liontin itu... terasa familier," sambungnya dengan suara bergetar."Familiar bagaimana?" tanya Revandro tegas."Aku tidak tahu," jawab Jia, frustrasi. "Aku tidak ingat! Tapi aku merasa... seperti itu pernah menjadi milikku.""Kau harus ingat, Jia!" Arvell berseru, langkahnya maju mendekati Jia. "Pria itu jelas tahu sesuatu. Jika kau tidak tahu apa yang kau simpan, kita semua
Jia mundur perlahan, matanya tetap terpaku pada sosok Ignatius yang berdiri tegak di ujung jalan. Ia tidak tahu bagaimana pria itu bisa menemukannya, tapi kehadirannya jelas membawa ancaman.Dari dalam, suara langkah kaki Revandro mendekat. "Jia, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.Jia menoleh cepat. "Dia ada di sana," ujarnya lirih sambil menunjuk ke arah jalan.Revandro langsung bergerak, pandangannya menyapu tempat yang ditunjukkan Jia. Tapi jalanan itu kini kosong. Tidak ada siapa pun."Dia ada di sana, aku melihatnya!" Jia bersikeras, merasa seolah kehilangan akal sehatnya.Arvell muncul dari dalam ruangan dengan alis terangkat. "Apa yang terjadi di sini?""Jia bilang dia melihat Ignatius," jawab Revandro, matanya masih waspada, menyisir setiap sudut.Arvell mendekati Jia, mengamati ekspresinya dengan saksama. "Dia ada di sini? Kau yakin itu dia, Jia?"Jia mengangguk ragu. "Aku melihatnya. Dia berdiri di sana... tersenyum padaku."Arvell melirik Revandro. "
Suara tembakan yang menggema dari belakang semakin mengguncang hati Jia. Ia terpaksa mengikuti langkah cepat Revandro dan Arvell, meski pikirannya penuh dengan kekhawatiran untuk Kairos. Di lorong gelap yang semakin menyempit, Jia merasakan keheningan di antara mereka begitu menyesakkan.“Apa rencanamu sekarang, Arvell?” tanya Revandro dingin tanpa menoleh.Arvell, yang memimpin jalan, hanya memberikan seringai samar. “Rencana? Rencana utamaku adalah memastikan kita keluar hidup-hidup. Sisanya, kita lihat nanti.”“Jangan bermain-main denganku. Jika kau berani mengkhianati kami, aku akan—”“Sudah cukup,” potong Jia, suaranya gemetar tapi tegas. “Kalian berdua terus saling mengancam di tengah situasi seperti ini? Berhenti memperebutkan kendali, atau kita semua akan mati di sini!”Keduanya terdiam, seolah terkejut dengan keberanian Jia. Namun, langkah mereka terus berlanjut hingga tiba di sebuah pintu besi besar.“Ini jalan keluarnya,” kata Arvell sambil memutar sebuah roda besi yang men
Jia berdiri membeku di tempatnya, matanya menatap tajam ke arah Arvell. Pria itu terlihat tenang, terlalu tenang, dan itu membuat Jia semakin curiga. Apa permainan yang sedang ia rencanakan?Kairos melangkah maju, wajahnya dipenuhi konflik. “Arvell, lepaskan dia. Ini bukan bagian dari kesepakatan kita.”Arvell menoleh ke Kairos dengan senyum yang hampir ramah. “Kairos, jangan campur tangan. Kau di sini karena aku mengizinkannya. Jangan lupa siapa yang memegang kendali.”Jia mengepalkan tinjunya. “Kendali? Kau pikir aku akan membiarkan diriku dimainkan olehmu? Jika kau punya sesuatu yang ingin dikatakan, katakan sekarang!”Namun, Arvell tidak terpengaruh oleh kemarahan Jia. Dia justru melangkah mendekat dengan gerakan yang penuh perhitungan. “Oh, Jia, kau selalu terlalu berani. Itulah yang membuatmu menarik.”“Berhenti bicara omong kosong,” potong Jia. “Apa tujuanmu? Dan apa hubungannya ini dengan Kairos?”Arvell tertawa pelan. “Tujuanku? Hanya memastikan kau tidak lepas dari pengawasa
Jia masih terdiam, pikirannya dipenuhi oleh teka-teki yang sulit ia pecahkan. Nama Kairos terus bergema di kepalanya, membangkitkan campuran emosi yang sulit ia jelaskan. Dalam pikirannya, ingatan akan pria tua itu semakin jelas.Dia ingat bagaimana Kairos tidak hanya sembuh dari luka-lukanya tetapi juga menjadi bagian penting dalam organisasi kecilnya dulu. Pria tua itu, meski tampak lemah, memiliki pengetahuan mendalam tentang strategi dan taktik yang jauh melampaui siapa pun yang pernah Jia temui. Kairos adalah penasihat diam-diam yang sering membantu Jia keluar dari situasi sulit tanpa meminta apa pun sebagai imbalan.Namun, suatu hari, pria itu menghilang. Tanpa jejak, tanpa pesan. Jia tidak pernah tahu ke mana dia pergi atau apakah dia masih hidup.---Kini, pertanyaan yang menghantui Jia adalah: apakah Kairos yang dia lihat tadi malam benar-benar orang yang sama?Jia memutuskan untuk mencari tahu. Dia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat kepada salah satu koneksi lamanya ya
Pria yang baru datang itu melangkah mendekat dengan tenang, namun setiap gerakannya membawa aura tekanan yang membuat semua orang menahan napas.Pemimpin kelompok bersenjata itu menegang, raut wajahnya berubah dari percaya diri menjadi penuh kehati-hatian. “Kami tidak mengharapkan kehadiran Anda di sini, Tuan...” Suaranya melemah, seolah takut menyebutkan nama pria tersebut.Revandro memperhatikan pria itu dengan tatapan tajam, instingnya langsung mengenali bahwa ini bukan orang biasa. Sementara Arvell berdiri siaga, matanya menyapu sekeliling, mencari tahu apa tujuan pria ini dan apakah ia sekutu atau musuh.“Jia,” suara pria itu akhirnya terdengar, datar namun penuh makna. Tatapannya yang dingin tertuju langsung pada wanita yang berdiri di antara kekacauan. “Apakah mereka mengganggumu?”Jia menatapnya dengan bingung, tak mengenali siapa pria itu. “Siapa... siapa Anda?”Pria itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengarahkan pandangannya pada pemimpin kelompok bersenjata. “Kamu
Agatha berjalan cepat menuju tangga, menekan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, namun tekad di dalam dirinya semakin kuat. Ia tahu, jika ia terus berada di sisi Rohander, ia hanya akan semakin terjerat dalam permainan yang tak pernah ia pilih. Meskipun ketakutan itu ada, rasa ingin tahu dan kebebasan yang lebih besar dari rasa takut itu mendorongnya untuk terus maju.Namun, di balik langkahnya yang mantap, Agatha bisa merasakan tatapan Rohander yang terus mengikuti setiap gerakannya. Rasanya seperti ada bayangan gelap yang terus membayangi setiap langkahnya. Begitu sampai di pintu kamar, Agatha berbalik, berhadapan dengan Rohander yang kini sudah berada di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata yang dalam, penuh dengan campuran antara kekhawatiran dan kemarahan yang terpendam."Agatha," suara Rohander rendah, namun ada ketegangan yang menebal. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?"Agatha