Revandro berdiri di depan mobil dengan tatapan yang lebih dingin dari malam yang membungkus mereka. Di balik kesunyian jalan yang kini semakin sepi, suara mobil-mobil pengejar semakin jelas terdengar. Detik demi detik berlalu dengan cepat, dan setiap langkah yang Revandro ambil terasa berat. Dia tahu, ini bukan hanya tentang menghadapi musuh, tapi juga soal menyelamatkan Jia—satu-satunya hal yang kini memenuhi pikirannya.Di dalam mobil, Lydia berusaha keras untuk tetap tenang. Tangannya gemetar saat mencoba menghentikan pendarahan Jia yang semakin deras. Napas Jia semakin pelan, nyaris tidak terdengar. Lydia tahu mereka harus bertindak cepat, namun dia juga sadar bahwa mereka terjebak di tengah bahaya. "Jia, bertahanlah," bisik Lydia dengan lirih, meskipun ia tak yakin Jia bisa mendengarnya.Revandro mengambil napas dalam-dalam, memperhitungkan setiap langkah. Saat mobil pertama musuh mendekat, dia sudah siap. Dengan gerakan yang cepat dan tenang, dia mengeluarkan senjata dari balik
Suara mesin mobil yang melaju di jalan yang gelap hanya menjadi latar belakang bagi keheningan di dalam mobil. Di kursi belakang, Jia terbaring lemah, napasnya mulai teratur meskipun wajahnya masih pucat. Revandro, duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat seolah takut kehilangan dirinya dalam sekejap. Sementara Lydia, yang duduk di depan, sesekali melirik kaca spion untuk memeriksa keadaan Jia, tapi diam. Tak ada yang ingin memecah keheningan itu.“Jia…” suara Revandro terdengar rendah, hampir seperti bisikan, tapi penuh kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. “Kau tidak perlu pura-pura kuat. Kau bisa bersandar padaku.”Jia membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan kehadiran Revandro di sisinya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, meski terlihat lelah. “Aku baik-baik saja,” gumamnya pelan, meskipun jelas bagi mereka berdua bahwa itu bukan kebenaran.“Kau hampir kehilangan banyak darah,” Lydia menyela, suaranya bergetar. Dia menoleh sebe
Revandro menatap tubuh Jia yang lemas di tangannya, napasnya terengah-engah namun penuh ketenangan yang dipaksakan. Tangannya perlahan mengusap pipi Jia, mencoba membangunkannya, namun tak ada respon. Panik mulai merayap ke dalam hatinya, meskipun wajahnya tetap keras seperti batu. Lydia berjongkok di sampingnya, memeriksa denyut nadi Jia dengan cepat."Lydia, cepat lakukan sesuatu!" Revandro berkata tegas, meskipun nada suaranya menyimpan ketakutan yang tidak biasa.Lydia menatapnya dengan tatapan tajam, berusaha menahan kecemasannya sendiri. "Aku tahu, Revandro! Kita butuh tempat yang lebih aman dan perawatan medis sekarang juga." Suaranya bergetar sedikit, tapi dia segera menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir jernih."Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit umum," kata Revandro dengan cepat. "Orang-orang ayahnya bisa melacak kita di sana.""Aku tahu itu," balas Lydia, suaranya kembali lebih tenang. "Ada tempat lain, tapi kita harus cepat."Tanpa menunggu jawaban dari Revand
Suara langkah kaki mendekat dengan perlahan, menciptakan ketegangan di dalam ruangan. Revandro berdiri tegap, tubuhnya bersiaga, sementara Jia terbaring tak berdaya di belakangnya. Lydia merapat ke dinding, tangannya diam-diam meraih sesuatu di balik jaketnya. Tatapan Revandro tidak lepas dari pintu masuk, menanti sosok yang kini mengancam mereka.Ketika sosok itu akhirnya muncul, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tapi suara dinginnya cukup jelas. "Kau berpikir bisa melindungi Jia dariku? Kalian benar-benar meremehkanku."Revandro menegang, mengenali suara itu. "Ayahnya," gumamnya, menyadari ancaman yang lebih besar kini hadir. Jia, yang setengah sadar, tampaknya juga mendengar suara itu dan berusaha bangkit, namun tubuhnya masih terlalu lemah."Ayah..." bisik Jia, suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Revandro meliriknya sejenak.Pria itu mendekat, akhirnya berdiri di bawah cahaya. Wajahnya yang dingin dan tegas tampak tidak berubah, kecuali tatapan matanya ya
Revandro berlari di sepanjang koridor gelap yang berkelok, dengan Jia yang terkulai di pelukannya. Napasnya terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena ketakutan yang tak biasa. Wajah Jia semakin pucat, setiap detik yang berlalu adalah peringatan yang mengerikan tentang betapa tipisnya garis antara hidup dan mati. Lydia bergerak cepat di sampingnya, tangan siap di senjata, mata waspada, mengantisipasi serangan yang mungkin datang kapan saja.Mereka berdua tahu, waktu bukan sekadar musuh. Jia yang terluka parah, darah yang mengalir semakin banyak, dan ancaman dari sang ayah masih mengintai di setiap sudut.“Berapa lama lagi sampai kita aman?” tanya Revandro dengan nada suara yang mendesak, meskipun ia berusaha tetap tenang.Lydia menggelengkan kepala, tatapannya terfokus ke depan. “Tidak lama lagi. Tapi kita harus tetap waspada. Tidak ada jaminan mereka tidak mengejar kita.”Revandro menggigit bibirnya, menatap Jia yang nyaris tak sadarkan diri. “Kita harus mempercepat langkah. D
Setelah tiba di rumah sakit, Revandro mondar-mandir di koridor dengan gelisah, matanya tak pernah lepas dari pintu ruang gawat darurat. Lydia berdiri di dekatnya, berusaha menenangkan suasana, tetapi kecemasan yang melingkupi Revandro terlalu besar untuk bisa diabaikan.Beberapa jam berlalu, dan seorang dokter akhirnya keluar dari ruang operasi. "Kami telah berhasil menstabilkan kondisinya. Namun, dia masih dalam keadaan kritis. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat intensif."Revandro mengangguk, meskipun masih ada kekhawatiran yang terpancar jelas di wajahnya. "Aku ingin berada di dekatnya, jangan sampai dia sendiri."Namun, ketika akhirnya mereka menuju ruang perawatan Jia, ruangan itu kosong. Jia tidak ada di tempat tidur, dan alat-alat medis yang seharusnya terpasang padanya juga hilang. Napas Revandro tercekat. Matanya membesar, memeriksa seluruh ruangan seolah berharap ini hanya salah paham.“Di mana dia?!” teriaknya, mendekati salah satu perawat yang kebingungan. “Di mana Ji
Misi yang selalu dijaga rapat-rapat dari siapapun, termasuk keluarganya. Di sini, ia bebas dari tekanan untuk menjadi penerus ayahnya, bebas dari politik dan tuntutan dunia mafia.Jia memandang sekeliling, tubuhnya masih lemah tetapi pikirannya mulai berpacu. “Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya pada sahabatnya, si dokter, yang sekarang berdiri di depannya, memasang wajah serius.“Kau hampir mati, Jia,” jawabnya. “Jika aku tidak membawamu ke sini, kau mungkin sudah kehabisan darah. Tapi lebih dari itu, aku tahu kau butuh tempat yang aman untuk pulih dan berpikir jernih.”Jia menghela napas panjang, mengingat betapa dekatnya ia dengan kematian. “Dan Revandro? Apa yang dia pikirkan sekarang?”“Kupastikan dia tak akan menemukan tempat ini. Tapi dia pasti mencarimu mati-matian.”Jia menundukkan kepala. Pikiran tentang Revandro yang panik mencarinya di rumah sakit membuat hatinya sedikit berdesir, namun ia tahu tempat ini lebih dari sekadar tempat persembunyian. Ini adalah pusat kekuat
Revandro tetap berdiri di tempatnya, menatap Jia yang tampak ragu di hadapannya. Senyumnya memudar, digantikan dengan ekspresi serius yang jarang ia perlihatkan. "Jia, aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau ingin pergi, melarikan diri dari semua ini, dari aku. Tapi kau tahu... itu tidak semudah yang kau bayangkan."Jia menghela napas panjang, mencoba menjaga ketenangannya meski hatinya bergejolak. “Aku tidak bisa terus begini, Revandro. Kau tidak bisa terus mengendalikanku seperti ini. Aku butuh kebebasan, bukan menjadi tahanan di dalam permainanmu.”Revandro mendekat, langkahnya pelan namun pasti, matanya masih tertuju pada Jia. “Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti tahanan, Jia. Tapi kau juga tahu posisiku. Dunia kita tidak sederhana, dan aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Terlalu banyak yang dipertaruhkan.”Jia menelan ludah, matanya menatap lurus ke arah pria di depannya, mencoba memahami niat tersembunyi di balik kata-kata itu. “Selalu ada pilihan, Revandr