Vier tetap memandang Jia dengan tatapan penuh tantangan, tapi Jia tak menunjukkan tanda-tanda mundur. Ada ketegangan di antara mereka yang begitu tebal, namun Jia tahu bahwa inilah momen di mana dia harus berdiri teguh. Dia telah terjebak dalam situasi ini terlalu lama, dan kini waktunya untuk menghadapi kedua sisi Revandro—baik yang kejam maupun yang lebih rasional."Kau benar-benar keras kepala," Vier akhirnya berbicara lagi, suaranya penuh dengan ejekan. "Aku penasaran apa yang membuatmu terus mencoba melawan. Kau tahu bahwa pada akhirnya, kau tidak akan bisa menang, bukan?"Jia menghela napas pelan, tetap menjaga tatapan matanya tajam. "Aku melawan karena aku tidak punya pilihan lain. Aku bukan tipe orang yang diam dan menerima semua yang terjadi begitu saja."Vier mendekat, kali ini jarak mereka begitu tipis sehingga Jia bisa merasakan aura dingin yang selalu menyertainya. "Kau selalu punya pilihan, Jia. Hanya saja, kau terlalu keras kepala untuk melihatnya. Kalau kau mau, aku bi
Jia menatap pintu yang baru saja ditinggalkan Vier, pikirannya berputar cepat. Kata-kata Vier menggema di kepalanya, tapi dia tahu ada sesuatu yang tidak masuk akal. Apa yang sebenarnya diinginkan pria itu? Setiap langkah dan ucapannya terasa seperti teka-teki. Dia menahan desakan untuk mengejar Vier, namun pikirannya terus memproses percakapan terakhir mereka.Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Vier kembali masuk, kali ini dengan langkah yang lebih santai, seolah ingin memberikan kesan bahwa semua ini hanyalah sebuah permainan baginya."Sudah berubah pikiran?" tanyanya sambil menatap Jia dengan senyum tipis.Jia melipat tangan di dada, tetap bersikap tenang. "Kau tahu, Vier, aku sudah memikirkan semua ini. Ada sesuatu yang tidak masuk akal dalam rencana atau ancaman yang kau berikan."Vier mengangkat alis, tertarik dengan pernyataan Jia. "Oh? Dan apa itu? Enlighten me."Jia mengambil napas dalam sebelum berbicara, matanya tajam. "Kau terus berbicara tentang kontrol, bagaimana aku tidak b
Revandro kembali memasuki ruangan, dan atmosfer yang sebelumnya dipenuhi ketegangan oleh Vier kini terasa lebih dingin dengan kehadiran pria itu. Vier, yang sebelumnya tampak menguasai situasi, sekarang mundur ke belakang, meninggalkan Revandro yang kembali mengambil alih kendali.Jia memandang Revandro dengan campuran rasa lega dan waspada. Wajah Revandro menunjukkan ekspresi yang berbeda dibandingkan Vier, seolah dia lebih bisa mengendalikan situasi daripada sekedar meneror.Revandro mengangkat alis, matanya menilai Jia. "Sepertinya kau dan Vier sudah berbicara cukup banyak."Jia tidak segera menjawab. Dia masih mengatur napasnya, berusaha menenangkan diri setelah pertemuan menegangkan dengan Vier. "Ya, bisa dibilang begitu."Revandro mendekat dengan langkah tenang. "Aku harap kau tidak terlalu tertekan dengan cara kami memperlakukannya.""Tertekan? Mungkin lebih tepatnya bingung," Jia menjawab, tetap menjaga jarak emosional. "Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Revandro?"Reva
Jia mengikuti Revandro ke ruangan lain, kali ini lebih kecil dan lebih intim. Cahaya lembut dari lampu gantung di atas mereka memberikan suasana yang sedikit lebih santai, meskipun ketegangan di antara mereka tetap terasa.Revandro duduk di kursi dengan santai, menunjukkan bahwa dia siap untuk mendengar. Jia berdiri sebentar, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia akhirnya duduk di seberang Revandro, menatap pria itu dengan ekspresi waspada, tapi kali ini ada percikan tekad dalam matanya.Revandro menatapnya, menunggu dengan sabar. "Jadi, apa yang kau inginkan, Jia? Apa yang sebenarnya membuatmu begitu terjebak dalam situasi ini?"Jia menghela napas dalam-dalam, menyandarkan tubuhnya di kursi, dan berbicara pelan. "Aku tidak pernah ingin terlibat dalam semua ini, Revandro. Aku hanya ingin hidupku kembali normal. Tapi tampaknya setiap langkah yang aku ambil, kalian—baik itu kau atau Vier—terus menarikku lebih dalam ke dalam permainan ini."Revandro tersenyum tipis, menyilangkan tang
Jia terus menatap Revandro, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Ada kebenaran yang terasa pahit di sana, namun tetap ada sesuatu yang tidak bisa ia terima.“Kau berbicara seolah ini permainan yang bisa kumenangkan,” Jia akhirnya berkata, suaranya rendah namun tajam. “Padahal aku tak pernah mendaftar untuk ikut dalam permainan ini. Kalian yang menyeretku ke dalamnya.”Revandro duduk lebih tegak, ekspresinya masih tenang. “Dan sekarang kau ada di dalamnya. Kau bisa terus mengeluh, atau kau bisa mulai berpikir bagaimana cara keluar sebagai pemenang.”Jia mengerutkan kening, matanya penuh ketidakpercayaan. “Kenapa aku harus percaya padamu? Apa jaminannya bahwa aku tidak akan hancur jika terus memainkan permainan ini?”Sebuah senyuman samar muncul di wajah Revandro. “Tidak ada jaminan dalam hidup, Jia. Tapi satu hal yang pasti—jika kau terus melawan tanpa arah, tanpa rencana, itu hanya soal waktu sebelum segalanya menghancurkanmu.”“Dan kau mengira aku akan percaya bahwa bekerja
Ketegangan yang telah mereda sesaat, tiba-tiba pecah dengan suara ledakan keras dari luar ruangan. Jia tersentak, matanya melebar mendengar kekacauan yang terjadi. Suara tembakan dan teriakan menggema di seluruh markas Revandro.“Apa yang terjadi?” Jia bertanya dengan napas tersengal, tubuhnya membeku.Revandro segera berdiri tegak, wajahnya berubah menjadi lebih gelap. “Sepertinya kita kedatangan tamu tak diundang.”Sebelum Jia sempat bertanya lebih lanjut, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Seorang pria tinggi dan berwibawa masuk ke dalam ruangan, diikuti beberapa pria bersenjata yang jelas bukan anak buah Revandro.“Ayah?” Jia terperangah, melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Ayahnya, pria yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam hidupnya, kini hadir di depan mata.Tatapan ayahnya tajam, penuh kemarahan. “Jia, aku sudah mencari ke mana-mana untukmu. Aku tahu kau ada di sini.”Revandro berdiri tenang di samping Jia, matanya menilai pria yang baru saja datang itu. “Ternyata
Jia menatap pintu yang baru saja ditinggalkan oleh ayahnya. Hatinya terasa berat, tapi ada juga rasa lega yang perlahan muncul. Keputusan untuk melawan ayahnya adalah langkah besar yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sekarang, takdirnya berada di tangannya, dan bukan lagi di bawah kendali ayahnya.Revandro mendekat, menatap Jia dengan penuh perhatian. "Kau baik-baik saja?"Jia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku... baik-baik saja. Hanya butuh waktu untuk mencerna semuanya."Revandro mengangguk, seolah memahami perasaan Jia. "Keputusanmu tadi sangat besar. Tapi kau berhasil menegakkan kepala dan membuat pilihan. Itu bukan hal yang mudah."Jia memandangnya dengan mata penuh pertanyaan. "Kenapa kau membantuku? Kau tahu apa yang ayahku bisa lakukan, dan tetap saja kau menempatkan dirimu di tengah kekacauan ini."Revandro mengangkat bahu dengan santai, tapi ada ketegasan dalam suaranya. "Aku tidak suka dipaksa melakukan sesuatu, sama seperti dirimu. Lagipula, kit
Jia merasa detak jantungnya mulai kembali normal, namun otaknya masih dipenuhi berbagai skenario yang mungkin terjadi. Kini dia telah memilih jalannya—jalan yang akan menuntunnya ke arah yang jauh dari kendali ayahnya. Jalan ini bersama Revandro, yang walau tampak dingin dan penuh misteri, memberikan secercah harapan bahwa hidupnya tidak hanya sekadar alat politik keluarga.Revandro meliriknya, matanya penuh evaluasi seperti biasa, namun kali ini ada sedikit penghargaan dalam tatapannya. "Kau tahu, dengan keputusan yang kau buat tadi, kau menutup pintu pada kehidupan lamamu.""Aku sadar," jawab Jia dengan nada tenang. "Tapi aku sudah terlalu lama terjebak dalam kendali ayahku. Aku tidak bisa terus hidup di bawah bayangannya. Aku butuh kebebasan untuk memilih, bahkan jika itu berarti melawan seluruh dunia."Senyum tipis terlukis di wajah Revandro, dia menyandarkan tubuhnya pada meja, lengan terlipat di dadanya. "Aku menghargai keberanianmu. Ayahmu tidak akan berhenti begitu saja. Dia a
Malam itu, angin bertiup lembut, membawa aroma dingin yang menusuk ke dalam mansion besar milik Revandro. Suasana terasa sepi, hanya terdengar suara langkah kaki Jia yang menggema di lorong panjang saat ia berjalan menuju ruang tamu. Tidak ada cahaya yang menyinari jalanan di luar, kecuali lampu-lampu redup yang tergantung di sepanjang jalan masuk mansion. Keheningan ini terasa menekan, seolah-olah malam ini ada sesuatu yang akan terjadi—sesuatu yang tak bisa ia hindari.Jia berhenti di hadapan jendela besar yang menghadap ke halaman depan, matanya terfokus pada mobil hitam yang terparkir di sana. Beberapa saat lalu, ia mendengar suara mesin mobil yang mulai hidup, dan sekarang, mobil itu perlahan bergerak menuju pintu keluar mansion. Revandro.Revandro, pria yang telah lama mengikatnya dalam lingkaran tak berujung, pria yang selalu ia coba hindari, tapi selalu menariknya kembali dengan cara yang tak terduga. Malam ini, dia akan pergi. Jia tahu itu.Tanpa memberi kesempatan untuk ber
Jia melangkah dengan hati yang gelisah, menapaki jalan yang semakin jauh dari Arvell dan semakin dekat dengan kenyataan yang harus ia hadapi. Perasaan campur aduk terus menghantui pikirannya, namun ada satu hal yang tak bisa ia pungkiri: entah bagaimana, ia tahu bahwa ia tidak bisa melarikan diri begitu saja.Semakin ia berjalan, semakin berat langkahnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang semakin menumpuk di pundaknya. Tubuhnya lelah, namun lebih dari itu, hatinya terasa hampa. Ia merasa seolah sedang berjalan di antara dua dunia—satu yang penuh dengan kebebasan, dan satu yang penuh dengan pria bernama Revandro yang entah bagaimana bisa menariknya kembali.Ketika ia sampai di depan pintu mansion Revandro, ia berhenti sejenak. Sebuah napas berat keluar dari bibirnya, dan ia memejamkan matanya, mencoba merasakan keberanian yang sudah lama hilang. Akhirnya, tanpa banyak berpikir, ia mengetuk pintu besar yang membatasi dirinya dengan dunia luar, dunia yang sepertinya tak
Arvell membawa Jia kembali ke ranjang, dengan hati-hati menaruh tubuhnya yang ringkih ke atas permukaan lembut itu. Ia duduk di sampingnya, mengamati dengan seksama setiap gerakan Jia, seolah dia sedang berusaha membaca pikiran wanita itu.Jia yang merasa lemah hanya bisa memandangnya, matanya yang penuh kebingungan memandang pria yang sejak awal telah menolongnya, namun seakan juga menjerumuskannya ke dalam dunia yang lebih gelap. Tidak ada yang benar-benar bisa ia percayai sekarang. Hatinya kacau, dan meskipun tubuhnya sudah kelelahan, pikirannya terus berputar, mencari jawaban yang tidak pernah datang.Arvell menatapnya dengan tatapan yang sulit terbaca. "Apa yang kamu inginkan, Jia?" ujarnya dengan suara rendah, tapi penuh ketegasan. "Mengapa kamu melawan setiap hal yang aku lakukan untukmu?"Jia menarik napas, memaksakan dirinya untuk duduk lebih tegak meski tubuhnya terasa sangat lemah. Dengan suara serak yang sulit keluar, ia berusaha berkata, "Aku tidak tahu apa yang kau ingi
Tubuh Jia terkulai di kursi kayu yang keras, napasnya tersengal-sengal. Kulitnya yang mulus kini dipenuhi luka dan lebam. Rasa sakit menusuk setiap inci tubuhnya, tetapi tatapan matanya tetap keras, meski pandangannya mulai kabur.Cambuk terakhir yang menghantam punggungnya tidak membuatnya berteriak. Sebaliknya, Jia hanya mendengus kecil, seolah mencemooh pria bertopeng yang berdiri di depannya."Kau pikir ini cukup untuk membuatku menyerah?" suaranya parau namun penuh determinasi, membuat si algojo tampak frustrasi."Lihat saja berapa lama kau bisa bertahan," balas pria itu dingin, mencambukkan tali kulit sekali lagi, meski kali ini tanpa energi.Sebelum pria itu bisa melanjutkan penyiksaannya, pintu besar di sudut ruangan berderit terbuka. Semua orang yang berada di ruangan itu langsung menegakkan tubuh, ekspresi mereka berubah ketakutan.Sosok seorang pria tinggi dengan jas hitam masuk dengan langkah tenang namun penuh wibawa. Wajahnya tidak asing bagi sebagian besar orang di ruan
Revandro memimpin langkah, menggenggam erat tangan Jia seolah dia adalah kompas terakhir yang akan membawanya ke tempat aman. Suara ledakan lain menggema, semakin mendekat, diikuti oleh gema langkah kaki yang tergesa-gesa. Para penjaga mansion berlarian dengan wajah tegang, tetapi tidak ada yang berani menghentikan Revandro.“Revandro, apa yang terjadi?” Jia bertanya, nadanya mencampur aduk antara rasa takut dan penasaran.Dia tidak menjawab. Sebaliknya, mereka berbelok tajam ke sebuah lorong gelap yang terlihat jarang digunakan. Jia memperhatikan dinding-dinding yang mulai berubah; bukan lagi batu mewah khas mansion, tetapi besi dingin dengan coretan yang tampak seperti kode.Saat mereka mencapai pintu logam besar, Revandro mengeluarkan sebuah kartu akses dari dalam jasnya. Tanpa bicara, dia menggesekkan kartu itu, dan pintu terbuka dengan bunyi mendesing.Jia tertegun ketika melihat apa yang ada di dalam. Ruang itu dipenuhi layar monitor, menampilkan berbagai gambar dari kamera keam
Jia menatap surat itu lama, jemarinya gemetar meski ia berusaha tetap tenang. Surat itu membawa pesan lebih dari sekadar ancaman. Setiap kata terasa seperti pukulan yang mengingatkannya akan luka yang telah lama ia kubur.Pikirannya melayang ke masa lalu yang ia coba lupakan—sosok ayahnya, keluarga yang ia tinggalkan, dan kebenaran yang selalu ia hindari.Suara langkah kaki mendekat dari luar kamarnya. Jia dengan cepat menyembunyikan surat itu di balik bantal dan memasang ekspresi biasa. Pintu terbuka, dan Revandro muncul dengan ekspresi dingin, matanya tajam seolah bisa menembus apa yang disembunyikan Jia.“Kau terlihat tegang,” katanya tanpa basa-basi.“Tidak lebih dari biasanya,” jawab Jia dengan senyum tipis, meskipun ada ketegangan di suaranya.Revandro mendekat, tangannya dengan santai meraih dagu Jia, mengangkatnya agar mata mereka bertemu. “Apa yang kau sembunyikan dariku?”Jia tersenyum sinis. “Lucu, itu kalimat yang sama ingin kutanyakan padamu.”Revandro tertawa kecil, teta
Jia menatap surat di tangannya, jari-jarinya gemetar halus meski wajahnya tampak mencoba mempertahankan ketenangan. Kalimat-kalimat pada surat itu sederhana, tetapi penuh ancaman yang tersembunyi di antara kata-kata halusnya. Surat itu berbicara tentang Jia, tentang masa lalunya, dan tentang sebuah rahasia yang selama ini tidak pernah dia ketahui.Dia mendongak, menatap Revandro yang berdiri bersandar pada meja, sikapnya tenang seperti biasa. Tapi mata pria itu, seperti lautan yang gelap dan dalam, menatapnya dengan intensitas yang tidak biasa. Jia menggenggam surat itu lebih erat, rasa frustrasi menjalari dirinya.“Apa artinya ini, Revandro?” tanyanya, suaranya rendah, tapi cukup tajam untuk membuat udara di ruangan itu terasa berat.“Artinya, kita sedang bermain dalam permainan yang lebih besar daripada yang kau sadari,” jawab Revandro dengan tenang, namun ada nada ancaman yang tidak terselubung di baliknya."Permainan apa?!" Jia melangkah maju, menabrak batas ruang pribadi Revandr
Jia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Revandro. Matanya mencari-cari tanda ketulusan di wajahnya, tetapi hanya menemukan ketegangan yang tidak biasa. Dia tahu Revandro serius, tetapi pertanyaannya adalah—seberapa jauh dia akan pergi demi melindunginya?"Bagaimanapun caranya?" Jia mengulangi, suaranya terdengar dingin. "Apa itu berarti membunuh lebih banyak orang lagi, Revandro?"Pria itu memutar kepalanya untuk menatapnya langsung. Matanya gelap, penuh dengan sesuatu yang sulit diuraikan. "Jika itu yang diperlukan, ya," jawabnya tanpa ragu.Jia menarik napas dalam, lalu memalingkan wajahnya ke jendela, melihat bayangan kota yang berlalu cepat. Dia tahu Revandro bukan orang biasa. Dia tahu pria itu hidup di dunia yang keras dan penuh darah, tetapi mendengarnya mengatakan hal itu dengan begitu tenang membuat dadanya sesak.“Bagaimana aku bisa percaya padamu?” Jia akhirnya bertanya, nadanya penuh dengan kebimbangan. “Setiap langkah yang kau ambil selalu menciptakan lebih banyak musuh.
Jia duduk diam di tempatnya, menatap cangkir di tangannya yang mulai mendingin. Kata-kata Revandro tadi terus terngiang di kepalanya, seperti sebuah melodi yang enggan berhenti. "Kau adalah seseorang yang kubutuhkan." Kalimat itu, meskipun terkesan sederhana, membawa makna yang lebih besar daripada yang ia ingin akui.Namun, pikirannya terusik oleh nama Sila. Wanita itu selalu menjadi teka-teki baginya—terlalu licik, terlalu pintar bermain peran, dan terlalu sering berada di orbit Revandro. Jia tahu bahwa Sila tidak hanya bekerja untuk Revandro, tapi ada sesuatu yang lebih rumit di antara mereka, sesuatu yang sulit diabaikan.Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan ragu.“Nona Jia, Tuan Revandro meminta Anda untuk bersiap. Dia ingin Anda menemaninya malam ini.”Jia menatap pelayan itu dengan kening berkerut. “Malam ini? Ke mana?”“Maaf, saya tidak diberi tahu lebih banyak. Tapi dia meminta Anda mengenakan sesuatu yang formal.”Mata Jia menyipit. Fo