Ketegangan di antara Jia dan Revandro semakin terasa. Udara seakan berhenti mengalir di antara mereka, sementara mata mereka saling mengunci, penuh dengan emosi yang tak terucapkan. Jia mencoba menenangkan napasnya yang masih tersengal, tubuhnya dipenuhi keletihan, namun tekadnya tak goyah.“Kau tahu ini tidak akan berhasil, Revandro,” suara Jia terdengar rendah namun penuh dengan ketegasan yang sulit ditawar. “Kau tidak bisa terus memaksaku bertahan di sini. Cepat atau lambat, aku akan pergi.”Revandro menatapnya, wajahnya tak berubah, tetap datar dan dingin. Namun, dalam nada suaranya, ada ketegangan yang terpendam. “Kau tidak mengerti, Jia. Ini bukan tentang apa yang kau inginkan. Ini soal bertahan hidup.”Jia mendengus, kesal dengan jawaban yang selalu sama. “Bertahan hidup? Apa ini caramu? Memaksa seseorang tinggal di bawah kendalimu? Apa itu yang kau anggap sebagai hidup?”“Ini dunia yang kita jalani,” balas Revandro cepat, nadanya lebih tajam dari sebelumnya. “Tidak ada tempat
Jia berdiri di ambang pintu, napasnya tak beraturan, jantungnya berdebar keras. Dia tahu Revandro tidak akan tinggal diam setelah apa yang dia lakukan. Tubuhnya masih terasa tegang, adrenalinnya mengalir cepat, siap melarikan diri kapan saja.“Berhenti sekarang, Jia,” suara Revandro terdengar dari belakangnya, tenang tapi penuh ancaman. "Aku tahu apa yang kau coba lakukan."Jia berbalik, wajahnya menunjukkan tekad yang keras. "Aku tidak akan tinggal di sini dan menjadi bonekamu selamanya, Revandro. Aku akan pergi."Revandro melangkah mendekat, sikapnya tenang namun matanya berbicara banyak. "Kau tahu kau tidak bisa lari dariku. Bahkan jika kau berhasil keluar dari sini, dunia di luar lebih berbahaya daripada yang kau bayangkan."Jia menegakkan tubuhnya, tidak mau kalah. "Itu resiko yang harus aku ambil. Lebih baik menghadapi dunia di luar daripada terus terjebak di sini denganmu."Senyum tipis muncul di sudut bibir Revandro, tapi ada sesuatu yang dingin di baliknya. "Kau bicara sepert
"Jia," katanya, suaranya pelan tapi jelas. "Hentikan ini."Jia menyipitkan matanya, kepalanya berdenyut karena kelelahan dan tekanan. "Aku sudah bilang, aku tidak akan kembali padamu."Revandro melangkah maju, jarak di antara mereka semakin kecil. "Kau berpikir kau bisa lari dariku? Kau tidak tahu apa yang kau hadapi di luar sana. Dunia ini jauh lebih kejam dari yang kau bayangkan."Jia mendengus, suaranya getir. "Dan kau pikir aku lebih baik di sini bersamamu? Dikurung seperti binatang, hanya untuk menuruti setiap keinginanmu?"Revandro berhenti beberapa langkah di depannya, menatap Jia dengan intensitas yang tak terbantahkan. "Aku melindungimu. Semua ini, semua yang aku lakukan, adalah untuk memastikan kau tidak terluka."Jia tertawa sinis. "Melindungiku? Dengan menjebakku di dalam kandang emas? Dengan menahanku dan mengontrol setiap langkahku? Itu bukan perlindungan, Revandro. Itu penjara.""Dan kau pikir di luar sana lebih baik?" tanya Revandro, suaranya mulai naik. "Mereka tidak
Saat Jia melangkah menjauh, perasaannya bercampur aduk antara lega dan ketakutan. Dia tahu Revandro takkan melepaskannya semudah itu. Namun, baru beberapa langkah, suara Revandro yang berat dan tenang kembali memecah keheningan di lorong gelap itu.“Berapa lama kau pikir bisa bertahan di luar sana, Jia?” tanyanya dengan nada dingin, tapi jelas terdengar ancaman terselubung di baliknya.Jia berhenti, menggenggam kuat tas di pundaknya. Dia berbalik, menatap Revandro yang berdiri tegak, tak menunjukkan tanda-tanda menyerah. “Aku akan bertahan selama aku harus, Revandro. Lebih baik aku menghadapi dunia luar daripada terus hidup dalam ketakutan di bawah kendalimu.”Mata Revandro menyipit, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh sinisme. “Kendaliku?” ulangnya pelan, seolah mempertanyakan pilihan kata itu. “Kau benar-benar tidak mengerti, ya? Segala sesuatu yang aku lakukan, semuanya untuk melindungimu, Jia.”“Melindungiku?” Jia tertawa kecil, tapi nadanya getir. “Kau memenjarakanku
Jia menghirup napas dalam-dalam, detak jantungnya memacu lebih cepat. Dia tahu jika terus diam di sini, Revandro akan semakin mendekat ke titik kontrol penuh atas dirinya. Tanpa ragu, dia berbalik, berlari menuju pintu keluar, berharap bisa lolos.Namun langkahnya belum jauh ketika suara berat Revandro kembali bergema, kali ini lebih keras, penuh kemarahan yang mendidih. “Jia, jangan berpikir kau bisa lari dariku begitu saja.”Jia terus berlari, tapi suara langkah kaki Revandro yang tegas semakin dekat. "Aku harus keluar dari sini. Aku tidak akan kembali!" pikir Jia dalam hati. Dia mengarahkan diri ke sebuah pintu yang menuju ke garasi, berharap bisa menemukan mobil untuk melarikan diri.Revandro mempercepat langkahnya, tak ingin melepaskan Jia begitu saja. “Jia!” teriaknya dengan nada tajam. “Berhenti sekarang juga sebelum kau membuat situasinya lebih buruk!”Jia mendengar perintah itu, namun dia tidak menggubrisnya. “Aku tidak akan hidup di bawah kendalimu lagi!” teriak Jia tanpa me
Jia menghela napas berat, perasaan frustasi semakin membebani dirinya. Dia tahu melawan Revandro tidak akan mudah, tapi diam dalam situasi ini lebih buruk lagi. Dia harus menemukan cara untuk keluar. Namun, sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa lari begitu saja tidak akan cukup. Dia butuh lebih dari sekadar keberanian—dia butuh rencana."Kau benar-benar tak akan membiarkanku pergi, bukan?" Jia menatap tajam ke mata Revandro, mencoba mengendalikan getaran di suaranya. "Meski aku sudah memohon, meski aku sudah mengatakan bahwa aku ingin bebas?"Revandro menatapnya balik, matanya keras dan tak kenal kompromi. "Bebas? Di luar sana, kebebasan tidak ada, Jia. Mereka semua hanya menunggu untuk menghancurkanmu. Mereka tahu siapa kau dan siapa aku. Kau adalah kelemahanku, dan mereka akan menggunakan itu."Jia mendengus, menarik lengannya dari genggaman Revandro. "Kelemahanmu? Jadi itulah aku bagimu, kelemahan? Kau bahkan tidak melihatku sebagai manusia, hanya alat yang bisa mereka gunakan
Jia masih berdiri di tempatnya, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Ketika Revandro keluar untuk menghadapi ancaman, keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Dia tidak sepenuhnya percaya pada Revandro—terlalu banyak pertanyaan dan kecurigaan yang membebani pikirannya. Namun, sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, udara di sekitarnya terasa berubah.Pintu kembali terbuka, namun kali ini bukan Revandro yang muncul. Seorang pria yang wajahnya sangat mirip dengan Revandro melangkah masuk, namun aura yang dibawanya berbeda. Tatapannya tajam, dan langkahnya penuh percaya diri. Jia menghela napas dalam, mengenali siapa yang baru saja muncul.“Vier,” Jia berbisik, matanya menatap pria itu dengan tenang, meskipun dia tahu apa yang akan datang. Vier adalah sisi lain dari Revandro—lebih dingin, lebih kejam, dan lebih sulit diprediksi.Vier menyeringai. “Kau masih ingat namaku, Jia? Sudah lama sekali.”"Bagaimana aku bisa melupakanmu?" Jia mengangkat alisnya, berusaha tetap tenang
Vier tetap memandang Jia dengan tatapan penuh tantangan, tapi Jia tak menunjukkan tanda-tanda mundur. Ada ketegangan di antara mereka yang begitu tebal, namun Jia tahu bahwa inilah momen di mana dia harus berdiri teguh. Dia telah terjebak dalam situasi ini terlalu lama, dan kini waktunya untuk menghadapi kedua sisi Revandro—baik yang kejam maupun yang lebih rasional."Kau benar-benar keras kepala," Vier akhirnya berbicara lagi, suaranya penuh dengan ejekan. "Aku penasaran apa yang membuatmu terus mencoba melawan. Kau tahu bahwa pada akhirnya, kau tidak akan bisa menang, bukan?"Jia menghela napas pelan, tetap menjaga tatapan matanya tajam. "Aku melawan karena aku tidak punya pilihan lain. Aku bukan tipe orang yang diam dan menerima semua yang terjadi begitu saja."Vier mendekat, kali ini jarak mereka begitu tipis sehingga Jia bisa merasakan aura dingin yang selalu menyertainya. "Kau selalu punya pilihan, Jia. Hanya saja, kau terlalu keras kepala untuk melihatnya. Kalau kau mau, aku bi