"Karena aku tidak sama dengan mereka!" Dengan lantang, "Bagaimana bisa kau berharap jika aku akan mengormatimu sama seperti mereka? Disaat kau tahu sendiri yang kuinginkan bukanlah perlindungan dari kekuasaanmu, tapi kebebasan!" Sambungnya.Tangan yang mengepal erat, Jia menunjukan emosi bahwa ia tengah tidak baik-baik saja saat ini. Amarah seakan membakar seluruh akal sehatnya, Dia. Jia, meluapkan emosinya.Sedangkan Revandro? Pria tertegun sejenak, sebelum akhirnya kembali tertawa namun bukan tawa jahat. Tapi sebuah tawa yang terdengar lirih, Pria itu memandang Jia lama. "Huftt! Padahal aku sudah berusaha menekannya, tapi ungkapanmu barusan benar-benar membuatku kehilangan kendali atas kesadaranku. Sungguh luar biasa,"Jia mengerutkan keningnya, mencerna arti dari setiap kata yang terucap dari mulut Pria di depannya. Hingga di detik berikutnya retina mata Pria di depannya berubah, sorot mata yang sangat jelas diingat Jia.Vier, Dia mengambil alih Revandro."Lama tidak jumpa little g
"Anggaplah aku gila karena saat itu memberimu kesempatan untuk menjamah tubuhku, namun kali ini... tidak, tidak lagi. Kejadian itu tak mungkin ku ulang lagi," Jawab Jia dengan gelengan kepala pelan, menjawab perkataan Vier yang keterlaluan.Apa Vier pikir jika dirinya semurah itu sampai harus rela di sentuh kembali oleh Pria itu?"Aku tidak peduli, aku ingin menyentuhmu seperti saat itu. Kali ingin biarkan aku melakukannya dengan benar,"Dada Jia sontak naik-turun mendengar penuturan Pria di depannya, napasnya memburu dengan mata tajam yang menyorot pada Vier. Tangannya bahkan mengepal erat, tidak peduli dengan luka yang baru saja ia terima. Sedangkan Vier? Pria itu bingung, entah mengapa ia tidak suka dengan reaksi Jia yang terlihat penuh amarah di depannya. Mengenyahkan pemikirannya, Vier kembali berucap. "Ayalah Jia sayang, kau menginginkan sentuhanku bukan? Itulah sebabnya waktu itu kau memberiku kesempatan, Kau mendambakan tubuh ini bukan? Kau juga-"Bukk!Melayangkan satu boge
'SIAL! SIAL! SIAL!!'Entah sudah berapa kali Jia mengumpat dalam hati.Ia mengumpati Pria sialan di depannya, yang asik menciptakan huruf demi huruf pada lengannya. Yah tak lupa juga mengumpati dirinya sendiri karena tidak bisa melawan, dan lamah bersikap patuh seperti ini. Ia yakin, di hadapan Vier ia tak ada bedanya dengan seekor kelinci yang tak berdaya di hadapan singa. Merindingnya belum juga hilang, matanya memejam erat. Ingin menangis rasanya, tapi sekuat tenaga ia menahannya. Karena jujur saja ia tidak ingin Pria atasnya ini merasa menang, juga sebagai pertahanan satu-satunya agar tidak dianggap lemah dan berakir tewas di tangan Vier.Ketika duri menggores kulitnya, rasanya sangat sakit bahkan lebih sakit daripada tertusuk jarum. Tapi ketahuilah, rasa sakit itu bahkan bukan apa-apa jika berniat menghancurkan pertahanannya. Ia harus menahannya, sedikit lagi. Sebentar lagi, Vier akan menyelesaikan kegiatan tidak warasnya.Dan benar saja..."Selesai," ucap Vier setelah menyelesa
Jia memandang Revandro tajam, namun akhirnya menyerah. Dengan enggan, ia mengikuti pria itu keluar dari ruangan menyeramkan yang dipenuhi darah dan foto-foto mengerikan.Mereka berjalan dalam keheningan menuju sebuah ruangan yang lebih terang. Ruangan itu tampak seperti klinik pribadi—bersih, steril, namun tetap memiliki nuansa gelap khas Revandro. Jia duduk di kursi yang Revandro tunjukkan, memandangi pria itu yang menyiapkan peralatan medis."Kenapa repot-repot mengobatiku?" Jia akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar namun penuh rasa curiga. "Bukankah kau senang menyakitiku?"Revandro berhenti sejenak, lalu menoleh padanya dengan senyum tipis di wajahnya. "Ada batasnya, Jia. Aku tidak ingin kau hancur... setidaknya belum. Kau masih punya peran besar dalam hidupku."Jia memutar matanya, merasa muak dengan sikap misterius pria itu. “Peran besar? Sebut saja aku bonekamu, selesai urusan.”Revandro tidak menjawab, hanya melanjutkan membersihkan luka di tangan Jia dengan gerakan yang
Ia berhenti sejenak, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Jia. “… kau akan selalu kembali padaku. Seperti sekarang.”Jia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, merasa darahnya mendidih. “Kau tidak memiliki kendali penuh atasku. Aku bisa pergi kapan saja.”Senyuman Revandro memudar, tatapannya berubah dingin. “Jangan coba-coba, Jia. Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”Jia menatap pria itu, matanya penuh api. “Kenapa tidak? Apa karena aku ini hanya mainan bagimu? Sebuah tantangan yang harus kau kalahkan?”Revandro tersenyum tipis, tapi kini tidak ada kehangatan di balik senyuman itu. “Lebih dari itu, sayang. Kau bukan hanya mainan atau tantangan. Kau adalah kunci.”“Kunci untuk apa?” tanya Jia cepat, merasa dadanya berdebar lebih keras.Revandro tidak langsung menjawab, seolah mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati. “Kunci untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekuasaan atau uang. Sesuatu yang akan membuat seluruh dunia tunduk pada kam
Revandro hanya tersenyum tipis, seolah kata-kata Jia tidak mengganggunya sama sekali. Ia mendekat lagi, membuat Jia mundur secara refleks hingga punggungnya menyentuh dinding. Dengan satu tangan, Revandro menyandarkan dirinya di dinding, memblokir jalan keluar."Jia," bisiknya rendah, mata gelapnya menatap dalam ke matanya, "apakah kau benar-benar percaya bahwa setelah semua ini, kau masih bisa keluar begitu saja? Aku sudah menandai jalan hidupmu sejak pertama kali kita bertemu."Jia menelan ludah, jantungnya berpacu lebih cepat dari yang ia inginkan. "Aku tidak percaya pada permainan psikologismu ini," ia berusaha terdengar tegar, tapi suaranya sedikit bergetar. "Kau tidak bisa begitu saja mengendalikan setiap orang di sekitarmu hanya karena kau punya kekuasaan."Revandro mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, membiarkan napasnya hangat di pipi Jia. "Tapi itulah kenyataannya, bukan? Kekuasaan adalah segalanya, Jia. Dan kau, suka atau tidak, berada dalam lingkaran kekuasaanku sek
Jia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya terpancing lebih jauh. “Kalau begitu, kenapa kau tidak langsung mengatakan saja apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar, tetapi matanya tetap tajam.Revandro memperhatikan Jia sejenak, lalu perlahan mengulurkan tangannya, mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa Jia untuk menatap langsung ke dalam matanya. “Apa kau benar-benar ingin tahu jawabannya?”Jia menepis tangannya dengan kasar, menjauhkan dirinya dari sentuhan pria itu. “Jangan sentuh aku,” bisiknya dengan dingin. “Aku di sini bukan untuk menjadi boneka dalam permainanmu.”Revandro menurunkan tangannya dengan senyum kecil di bibirnya. “Permainan?” Ia tertawa kecil, langkahnya tenang namun mengintimidasi saat mendekati Jia lagi. “Ini bukan permainan, Jia. Ini adalah kenyataan—kenyataan di mana aku yang memegang kendali. Dan kau, entah kau menyukainya atau tidak, sudah terlibat di dalamnya.”
Setelah kejadian itu, Revandro menempatkannya di kamar hotel. Namun, bukankah adalah sebuah kesempatan?Jia berdiri di tepi balkon hotel, memandang ke luar dengan gelisah. Jalan di bawah tampak kosong, tetapi dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi rasa takut yang lebih besar adalah tertangkap kembali oleh Revandro.Dia meraih kain panjang dari dalam kamar, membentuk tali darurat. Dengan hati-hati, Jia memanjat keluar jendela, berharap tali itu cukup kuat untuk menurunkannya ke bawah. Tali itu bergetar di tangannya, sementara di dalam, Revandro dan anak buahnya mungkin sudah menyadari bahwa dia mencoba melarikan diri.Baru beberapa meter turun, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Jia menahan napas, tapi tahu dia tidak punya waktu. "Jia!" suara Revandro terdengar dari dalam kamar, marah dan penuh amarah. Jia mengabaikannya, menggenggam tali lebih erat dan terus menuruni dinding.Namun, tali itu mulai robek. Dengan cepat, tali terlepas,