Deg!
Jia terpaku di tempatnya saat peluru melesat dari pistolnya, menembus bahu Pria di depannya. Revandro tertembak, darah mengucur keluar tapi Revandro tidak berekspresi apapun. "BASTARD SIALAN, APA KAU SUDAH TIDAK WARAS?!" Maki Jia yang mendekati Revandro, mengecek kedalaman luka tembak di bahu Pria itu. Melupakan niat awalanya, Jia bangkit turun dari kasur dan mengambil kotak putih di samping pintu masuk. Yang ia yakini jika itu adalah kotak P3K, kemudian mengobati Revandro yang telah duduk di ujung kasur. Sepanjang Jia mengobati Revandro, ia menyadari tatapan Revandro padanya. Rasa tidak nyaman memang di rasakannya, tapi ia memilih untuk fokus pada kegiatannya. Bahkan membiarkan Pria itu mengelus kepalanya, entahlah. Ia tidak mengerti mengapa dirinya masih bisa berbaik hati mengobati luka Revandro lagi, padahal bukan kesalahannya jika Pria yang berstatus sebagai penculiknya ini terluka. "Kau pandai mengobati." Ucap Revandro pada akhirnya membuka suara. "Memang, dan itulah yang kubenci." Balas Jia, dengan decihan kecil. "Oh, kenapa? Apa karena memiliki kemampuan itu kau tidak bisa membiarkan orang lain terluka di depan matamu?" Pergerakan Jia terhenti, ia membuang nafas panjang mendengar perkataan Revandro yang benar adanya. "Seharusnya aku tidak menyelamatkanmu kemarin jika akhirnya harus kembali terkurung dengan pergerakan yang di batasi." Ungkap Jia yang tanpa sadar, memberitahukan secara tidak langsung kondisi kehidupannya sebelum bertemu Revandro. Menyadari kecerobohannya, Jia segera bangkit dari posisi duduknya. Namun tangannya tiba-tiba di tahan oleh Revandro, membuat pergerakannya terhenti seketika. Pria itu bangkit, memecah jarak antara dirinya dan Jia. "Apa kau ingin bebas?" Pertanyaan itu membuat Jia menatap Revandro, lalu menganggukan kepalanya. "Kalau begitu jadilah Istriku, kau akan bebas kemanapun. Tidak akan ada yang melarangmu untuk keluar masuk, tidak akan ada juga yang melarangmu melakukan apapun sesukamu." Jia terdiam, apa ia perlu menjadi Istri seseorang terlebih dahulu agar dirinya bebas? Jujur saja, jika yang menawarkan itu bukan Pria di depannya saat ini. Mungkin ia akan langsung berteriak 'Ya' tapi, sayang sekali karena tawaran itu keluar dari mulut seorang Revandro. Ia menjadi ragu, bahkan enggan untuk menerima tawaran itu. Karena itu, "Maaf, tapi aku tidak mau menjadi Iatrimu." Putus Jia. Revandro marah, jelas sekali dari matanya yang menajam ke arahnya. Walau begitu, Jia masih saja tidak takut. "Keputusan tidak berada di tanganmu, Jia. Aku hanya memberi jalan keluar agar-" "Agar aku patuh padamu?" Potong Jia, yang seakn tidak mau kalah. Revandro mengangkat tangannya, membelai pelan rambut Jia sebelum akhirnya menarik rambutnya hingga kepalanya tertoleh sedikit ke atas. "Jangan memotong ucapanku!" Tekan Revandro yang menunjukan sifat aslinya, meski Jia yakin jika itu baru 1 persen dari sifaf kejamnya yang keluar. Dengan senyuman mengejek Jia membalas, "aku bukan seorang anak manis yang tidak bisa memotong ucapan orang tuanya, disaat mereka tengah bicara!" BRUKH! "Akht!" Ringis Jia saat dirinya di hempaskan dengan kuat pada tembok di kamar itu, ia yakin jika dahinya terluka saat ini. Melihat darah yang tertinggal pada tembok, namun walau begitu ia tidak gemetar sama sekali. "Luar biasa, orang yang baru selesai kuobati malah melukaiku. Bukankah kepribadianmu sedikit menarik?" Revandro mendekati Jia, ia dengan kejamnya menaruh satu jarinya pada luka di dahi Jia. Menekannya kuat, bermaksud untuk menyadarkannya bahwa Pria di depannya bukanlah orang bisa ia katai dengan mudahnya. "Mengapa terus menentangku hmm? Bukankah rasanya sakit saat kau menentangku? Dan itu akan semakin sakit jika kau terus menentangku." Dada Jia berdebar saat ini, ia hampir saja mengeluarkan kemampuan bertarungnya jika bukan karena seseorang tiba-tiba masuk. "Maaf Tuan Maxio, tapi pihak dari Australia sedang menunggu Anda." Ucap seorang Pria paruh baya, dengan menunduk hormat. Mendengar itu, Revandro sontak melepaskan cekalan tangannya dari rambut Jia dan pergi dari tempat itu tanpa sepatah katapun. Sedangkan Jia? Ia tiba-tiba terduduk di kasur ketika rasa nyeri di kepalanya, ia pikir itu karena benturan beberapa saat yang lalu. "Anda tidak apa-apa Nyonya?" Tanya Pria paruh baya tersebut, mendekati Jia. "Nyonya?" "Aku bukan Nyonyamu!" Desis Jia tajam, tak suka jika dirinya di panggil dengan panggilan Nyonya. Rasanya ia sudah sangat tua, lagipula ia tidak sudi jika harus di sebut demikian hanya karena orang-orang menganggap dirinya sebagai calon Istri Revandro. Pria paruh baya itu sedikit tersentak, untuk beberapa saat ia diam mengamati calon Nyonya,nya itu. Kalau di pikir-pikir, Wanita di depannya merupakan satu-satunya Wanita yang di bawah sang tuan di dalam kamarnya. Meski rasanya terjadi pertentangan antara keduanya, tapi sepertinya Dia tahu alasan sang Tuan memilih Wanita di depannya sebagai Istrinya. "Bisa buatkan aku telur rebus dan bubur? Aku lapar." Kata Jia di sela-sela tangannya menutupi luka kecil pada dahinya, yah memang ia tidak suka tempat ini. Tapi ia juga tidak mau bersikap kekanak-kanakan dengan merajuk tidak ingin makan, ia bukan wanita seperti itu. Pria paruh baya itu tersenyum lembut, sebelum akhirnya keluar untuk memenuhi permintaannya. "Frans Oasis." Guman Jia pelan, saat menyadari siapa Pria paruh baya yang kini menghilang di balik pintu. Frans Oasis, Dia merupakan pembunuh bayaran kelas kakap yang tidak pernah tunduk pada siapapun. Tidak! setelah dirinya melihat kepala Pria itu tertunduk untuk Revandro beberapa saat yang lalu. Membuktikan kekuasaan Pria itu yang amat sangat besar, sampai tidak ada yang bisa menandinginya. "Shit! Sialan!" Umpatnya kesal mengetahui fakta itu. Ceklek! "Ini makanan yang Anda minta, apa Anda perlu sesuatu yang lain?" Tanya Frans dengan ramah, namun ia tahu Pria paruh baya itu sedang memakinya dalam hati. Tapi dari pada itu, "Sejak kapan Anda bekerja dengan orang gila tadi?" Tanya Jia terselip hinaan secara langsung kepada Revandro. Frans tersenyum, "Entahlah, mungkin sudah lebih dari 20 tahun lamanya. Kenapa Anda-" Uhuk! Uhuk! "Makanlah dengan perlahan, jika Anda tersedak kemudian mati. Nyawa saya bisa diambil Tuan Revandro." Ucap Frans lagi saat perkataannya sempat tertunda karena batuknya Jia. Disatu sisi, Jia tersedak bukan karena kelalaiannya dalam memakan makanannya. Tapi karena mengetahui fakta jika Frans telah bekerja dengan Revandro untuk waktu yang lama, lalu bukankah itu berarti setiap kasus yang berhubungan dengannya juga berhubungan dengan Revandro? Jia diam dengan tatapannya yang mengarah pada Frans, menghentikan makannya. Wajah Jia tiba-tiba berubah menjadi serius, membuat Frans waspada. "Bisa Saya tahu nama Anda?" Tanya Jia, dan well... benar saja, Frans seketika menegang. Meski rasanya Pria itu sudah terbiasa dengan pertanyaan itu, tapi entah mengapa ia merasa jika Wanita di depannya tengah menguji dirinya saat ini. "Nama saya Gilbert-" "Anda bohong." Potong Jia yang membuat Frans semakin was-was. Menarik nafas, "Apa Anda mengenal saya Nyonya?" Jia terdiam, ia masih menatap serius orang di depannya. Kemudian tertawa usil, "Haha! Maaf Pak tua, Saya bercanda tadi. Oh iya, syukurlah Anda bukan orang yang saya pikirkan. Jadi sepertinya tidak masalah," "Memangnya orang seperti apa yang Anda pikirkan?""Oh, dulu aku pernah membaca sebuah surat kabar. Dimana orang di surat kabar itu mirip dengan Anda, Anda tahu? Orang itu adalah seorang PEMBUNUH! Dia juga sadis, sayang dia belum di tangkap sampai saat ini." Jelas Jia dengn menekankan kata 'pembunuh' pada kalimatnya.Hal itu tentu saja membuat Frans curiga pada wanita di depannya, tapi ekpresi Jia membuat ia mau tidak mau harus percaya jika Wanita di depannya memang tidak tahu siapa dirinya."Ya, sepertinya orang-orang juga menyebut saya mirip dengan seseorang. Mungkin orang yang Anda bilanglah mirip dengan saya," Balas Frans berusaha santai."Oh ya? Hmm bisa kupahami, tapi Gilbert. Eh, apa tidak masalah kupanggil nama saja? Anda, kan. Lebih tua dari saya?""Tidak masalah,""Emm, Aku tahu ini tidak sopan. Tapi ada apa dengan bekas luka di wajah Anda?" Tanya Jia yang sudah pasti berusaha mempermainkan Frans, ia ingin tahu seberapa hebat Pria di depannya mengarang cerita.Frans terkejut untuk beberapa saat, meski rada keterkejutan itu t
Perkiraan Jia bahwa Revandro akan menusuknya nyatanya salah, Pria itu malah dengan lancangnya menempelkan bibir pada bibirnya. Hanya sebatas menempel, tidak lebih. Jia menatap dalam Revandro begitupun sebaliknya, meski Jia tahu apa yang di lakukan Revandro keterlaluan. Tapi masalahnya ia tidak menolak, hanya diam. "Sebenarnya apa yang kau inginkan sayang? Kau tahu aku mampu memberi apapun yang kau inginkan, tapi diantara itu semua. Mengapa, mengapa harus kebebasan?" Ucap Revandro yang menghentikan aksinya. Dengan lembut ia menyapu wajah Jia, pelan dan lembut penuh dengan kasih sayang. Seakan sosok kejam beberapa saat yang lalu tidak pernah ada, "Minta yang lain ya?" Sambung Revandro. Jia mengangkat satu alisnya, walau enggan. Tapi sebenarnya Jia pernah memikirkan hal yang selain kebebasan, 'Taman bermain' dari dulu itu selalu menjadi harapan Jia.Revandro melihat harapan dalam retina mata Jia, ia kemudian beranjak dari atas tubuh Jia dan memposisikan Jia menjadi duduk. "Aku tahu
Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka sudah dipastikan target itu tidak akan mati dengan mudah, atau bisa dibilang disiksa sampai mati.Berjalan masuk kesebuah cafe, semua mata tertuju padanya. Oleh karena penampilannya yang bersimbah darah, membuat atensi teralih padanya. Sampai kedatangan Revandro dengan para anak buahnya mengusir mereka semua dengan paksa, hingga tersisalah Jia dan dirinya yang saling menatap."Pulang," ucap Revandro tajam, yang tak ditanggapi oleh Jia. "Baby pulanglah-""Kalau aku tidak mau?!" Balas Jia dengan sorot seakan tengah menantang lawannya.Mengepalkan tangannya erat, Jia melihat Revandro berusaha menahan amarah karena balasan dari mulutnya. Tersenyum remeh, Jia berkata... "Jangan kau pikir patuhku beberapa saat yang lalu, membuatmu lupa akan perilakumu!" Sambungnya.Atmosfer berubah, jelas perkataan Jia memancing sisi lain Revandro muncul. Hingga sorot amarah dari matanya berubah menjadi tenang, namun ketenangan itu bukanlah sesuatu hal yang baik di
Revandro tak dapat menahannya lagi, jujur saja mendapat tatapan sayu dari Wanita di depannya membuat dirinya tenggelam dalam kabut gairah. Membalikan tubuhnya, Revandro terlihat berjalan menuju lemarinya. Namun seakan tahu apa yang akan dilakukan Revandro, Jia sontak menahan tangan Pria itu."Mau kemana?" Tanya Jia berbasa-basi."Tentu saja mau mengambil sesuatu yang dapat membuatmu puas nantinya."Wow perkataan yang sangat absurd, akhirnya Revandro menunjukan sifat buayanya juga ya. Jia jadi bertanya-tanya, apakah memang benar jika semua Pria itu sama saja?"Hentikan, aku tidak membutuhkan kepuasan. Jadi tolong hentikan apapun yang ingin kau lakukan,"Revandro tersenyum kecil, "bagaimana jika aku tidak mau mendengarmu hmm?""Kau ingin memaksakan kehendakmu?""Bagaimana ya, soalnya dramamu beberapa saat yang lalu sedikit memancingku. Bukankah kau harus bertanggung jawab padaku?"Deg!Sial! Sepertinya Jia tengah melihat senjata yang berbalik menyerangnya, bibir Jia menjadi kelu karena
Deg!Perkataan Jia sontak membuat Vier mengerutkan keningnya, jika apa yang di katakan Wanita di depannya adalah benar. Maka, Vier seharusnya harus berpikir kembali atas niatnya untuk mrmbunuh wanita di depannya."Aku tidak peduli dengan hidupku, jika kau ingin tahu." Lanjut Jia dengan suara rendah.Tidak peduli pada hidup ya? Benarkah?Pendar kedua mata Jia menghangat, wanita itu memandang Vier dengan tatapan mata teduh. Melihat itu, tiba-tiba Vier meremang. Ada perasaan aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya, merasakan perasaan yang tidak pernah ia dapati oleh semua calon korbannya sebelum-sebelumnya. Dari awal ia melihat Jia, Vier menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dari wanita di depannya. Makanya, Vier tertarik mengamati Jia beberapa hari terakhir ini.Tunggu! Jadi sebenarnya yang mengawasi Jia selama ini bukan Revandro? Maksudnya Vier yang berdiam di dalam tubuh Revandro? Luar biasa.Fakta luar biasa lain, yang Jia temukan."Apa hidupmu benar-benar semenyedihkan itu? Hingga
Kepala Jia menoleh ke kanan-kiri, untuk menemukan keberadaan jendela. Tapi sayangnya ia tidak menemukannya, yang benar saja!"Ini kamar atau sel penjara?!" Geram Jia yang menyadari ketidakberadaan jendela di kamar besar dan luas itu.Memilih ke ranjang, Jia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Menatap lurus kedepan, Dia akan dikurung di sini sampai kapan? Bukankah Revandro berjanji padanya untuk mebebaskan setiap tindakannya saat bersama Pria itu? Lantas saat ini mengapa dirinya malah dikurung? Jia tidak paham dengan apa yang di pikirkan Revandro saat ini.Sampai...Ceklek!Kepala Jia tertoleh saat pintu di depannya terbuka, memperlihatkan Revandro dengan tatapan yang sulit diartikan.Menyingkirkan pertanyaan tentang arti tatapan Revandro, Jia bangkit dan berjalan mendekat kepada Pria itu. "Dimana tasku?" Tanyanya dengan sorot penuh amarah. "Dan apa maksudmu mengunciku di sini?" Lanjutnya.Pria di depannya tersenyum, tunggu dulu! Jia mengenal senyuman itu, "Kamu bukan Revandro." Ungka
Jia memegangi kedua dagunya yang terasa sakit akibat cengkraman kuat Vier, napasnya masih memburu. Ekor matanya melirim tajam Vier di depannya, sebenarnya. Ia masih tidak paham mengapa sisi lain dari Revandro melakukan ini padanya, berbeda dari Revandro ia tidak bisa mengerti apa motif dan tujuan Pria di depannya ini."Apa maumu sebenarnya?" Tanya Jia pada akhirnya."Mauku?" Kedua alis Vier terangkat, "untuk saat ini, aku mau kau menjadi milikku."Jia masih tidak mengerti, tapi yang jelas sisi lain dari Revandro ini memang sudah tidak waras.Mengetahui adanya kearoganan dan keegoisan pada perkataan Pria di depannya, Jia kembali teringat tentang beberapa banyaknya kasus pembunhan yang terjadi belakangan ini. Kasus pembunuhan yang membunuh korbannya secara sadis, sebelum akhirnya membunuhnya. Dikatakan pelaku itu adalah orang yang sama karena di temukan beberapa keunikan sama persis pada setiap korbannya, yap! Sepertinya itu bukan Revandro, tapi sisinya yang lain ini.Bagus! Sekarang i
Vier untuk beberapa saat menatap Jia, dirinya kembali terseum menyeringai. Mendekat pada Jia, membelai surai rambut Perempuan itu dengan lembut."Jadilah patuh sayang, maka akan kukembalikan kesadaran Revandro padamu." Pergi, mengunci pintu kamar itu. Lagi!Prang! Kekesalan Jia ia lampiaskan pada barang di sekitarnya, tak peduli harga barang itu yang yang dapat membeli satu buah apartemen mewah.Tidak! Jia tidak ingin keduanya, baik Revandro maupun sisi lainnya. Vier! Ia tidak mengharapkan keduanya, meski rasanya Revandro lebih baik dari sisinya."Aku harus melarikan diri dari sini!"***Ruang eksekusi | 08.30 PMSaat ini Revandro berada di ruangan pelampiasannya, ya... sejak kemunculan Vier Revandro memilih untuk menenangkan diri di ruangan tepat jeritan dan permohonan terjadi.Sebenarnya terlahir dengan darah Maxio tidak pernah menjadi keinginan Revandro, meski kekuatan dan kekuasaan mudah ia dapatkan karena keluarganya. Jika boleh memilih kembali, Revandro memilih untuk menjadi o
Jia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Revandro. Matanya mencari-cari tanda ketulusan di wajahnya, tetapi hanya menemukan ketegangan yang tidak biasa. Dia tahu Revandro serius, tetapi pertanyaannya adalah—seberapa jauh dia akan pergi demi melindunginya?"Bagaimanapun caranya?" Jia mengulangi, suaranya terdengar dingin. "Apa itu berarti membunuh lebih banyak orang lagi, Revandro?"Pria itu memutar kepalanya untuk menatapnya langsung. Matanya gelap, penuh dengan sesuatu yang sulit diuraikan. "Jika itu yang diperlukan, ya," jawabnya tanpa ragu.Jia menarik napas dalam, lalu memalingkan wajahnya ke jendela, melihat bayangan kota yang berlalu cepat. Dia tahu Revandro bukan orang biasa. Dia tahu pria itu hidup di dunia yang keras dan penuh darah, tetapi mendengarnya mengatakan hal itu dengan begitu tenang membuat dadanya sesak.“Bagaimana aku bisa percaya padamu?” Jia akhirnya bertanya, nadanya penuh dengan kebimbangan. “Setiap langkah yang kau ambil selalu menciptakan lebih banyak musuh.
Jia duduk diam di tempatnya, menatap cangkir di tangannya yang mulai mendingin. Kata-kata Revandro tadi terus terngiang di kepalanya, seperti sebuah melodi yang enggan berhenti. "Kau adalah seseorang yang kubutuhkan." Kalimat itu, meskipun terkesan sederhana, membawa makna yang lebih besar daripada yang ia ingin akui.Namun, pikirannya terusik oleh nama Sila. Wanita itu selalu menjadi teka-teki baginya—terlalu licik, terlalu pintar bermain peran, dan terlalu sering berada di orbit Revandro. Jia tahu bahwa Sila tidak hanya bekerja untuk Revandro, tapi ada sesuatu yang lebih rumit di antara mereka, sesuatu yang sulit diabaikan.Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan ragu.“Nona Jia, Tuan Revandro meminta Anda untuk bersiap. Dia ingin Anda menemaninya malam ini.”Jia menatap pelayan itu dengan kening berkerut. “Malam ini? Ke mana?”“Maaf, saya tidak diberi tahu lebih banyak. Tapi dia meminta Anda mengenakan sesuatu yang formal.”Mata Jia menyipit. Fo
Setelah pria misterius itu pergi, suasana di ruangan tetap tegang. Sila memilih keluar lebih dulu, memberikan waktu bagi Jia dan Revandro untuk berdiskusi. Namun, bukannya langsung membahas pesan Alexander, Revandro melangkah mendekati Jia, senyum yang tadinya dingin perlahan melembut.“Jia,” katanya pelan, memecah kesunyian.Jia menoleh, ekspresinya masih mengeras oleh ketegangan yang baru saja terjadi. “Apa lagi?” jawabnya tanpa banyak basa-basi.Namun, alih-alih menjawab, Revandro mengulurkan tangannya, menyentuh lembut wajah Jia, ibu jarinya menyapu pelan di pipinya yang merona samar karena emosi. Jia mematung, hatinya berdebar meski ia mencoba mengabaikannya.“Kau baik-baik saja?” tanya Revandro, suaranya lebih lembut dari yang biasanya.Jia menepis tangannya dengan lembut, tapi tidak benar-benar menghindar. “Aku bukan anak kecil, Rev. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Revandro tertawa kecil, rendah, penuh rasa sayang yang sulit ia sembunyikan. “Aku tahu kau bisa. Tapi, tetap sa
Jia menatap pintu yang masih berayun perlahan, seolah bisa menelusuri bayangan pria itu di balik kegelapan. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya menegang, seakan marah pada dirinya sendiri karena membiarkan pria itu pergi begitu saja.Revandro, yang berdiri tidak jauh darinya, memiringkan kepalanya dan mengamati raut wajah Jia. “Ada apa?” tanyanya tenang, tapi matanya memancarkan keingintahuan yang tajam.Jia menoleh, tatapan dinginnya kini mengarah langsung pada Revandro. “Kau membiarkannya pergi. Itu kesalahan besar.”Revandro hanya mengangkat bahunya, seraya berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan dan mengambil segelas minuman. “Mungkin. Tapi apa gunanya menahannya kalau kita tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dimainkan?”“Tapi kita kehilangan kesempatan untuk menginterogasinya!” Jia mendekat, nada suaranya meninggi, penuh frustrasi. “Dia tahu sesuatu. Dan simbol itu… Aku tahu dari mana asalnya.”Revandro meneguk minumannya perlahan, tidak sedikit pun terpengaruh
Pria itu melangkah maju, mengesampingkan semua orang yang berada di ruangan. Suara langkah kakinya yang berat membuat setiap orang terdiam, seakan mengikuti irama yang ditentukannya. Jia tetap berdiri tegak, matanya tidak pernah lepas dari pria tersebut. Ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa waspada, meskipun ia telah menghadapi banyak bahaya sebelumnya.Revandro yang sejak tadi diam, kini menatap pria itu dengan penuh perhatian. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada kilatan tertentu di matanya—sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. "Jadi, kamu adalah orang yang memimpin permainan ini," kata Revandro dengan suara yang dalam, penuh tantangan.Pria itu berhenti beberapa langkah di depan Jia dan Revandro, tatapannya tajam dan seolah menilai mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia mengenakan jas hitam yang rapi, dengan dasi yang diikat sempurna, namun ada aura gelap yang mengelilinginya, membuat setiap orang di ruangan merasa terintimidasi."Begitu mudah untuk mengena
Malam semakin larut saat mereka tiba di lokasi yang telah mereka tentukan. Tempat itu terletak di pinggir kota, di sebuah kawasan yang jarang dilalui. Bangunan besar yang terbengkalai berdiri di sana, seolah menyembunyikan banyak rahasia di balik dinding-dindingnya yang kusam. Dari luar, tampak sunyi dan gelap, namun Jia tahu persis apa yang sedang menunggu di dalam.Jia memandang gedung itu, otaknya bekerja cepat, memikirkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Ada banyak hal yang bisa salah malam ini. Tetapi, dia sudah tidak punya pilihan lagi. Tidak ada ruang untuk keraguan.Revandro yang berdiri di sebelahnya, menatap gedung yang sama dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya, yang biasanya penuh dengan kecerdasan tajam dan sikap yang penuh perhitungan, kini tampak lebih dalam, seolah menyembunyikan pemikiran yang tak terungkap. Dia tahu ini bukan hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari itu.“Jia,” suara Revandro memecah kehen
Jia merasakan atmosfer di ruangan itu semakin tebal dengan ketegangan yang tak terucapkan. Setiap detik terasa semakin mendesak, dan meskipun mereka sedang duduk di sekitar meja yang sama, dia bisa merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya, Revandro, dan Agatha. Setiap gerakan mereka seakan berirama dengan sebuah permainan catur yang rumit—di mana setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati, dan setiap pengkhianatan bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga.Agatha, yang sedari tadi berdiri diam, akhirnya memecah keheningan itu. "Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Kalian menganggap aku terlalu ambisius atau mungkin tidak cukup dapat dipercaya. Tapi ini bukan tentang kalian, atau aku. Ini tentang bertahan hidup. Ini tentang memastikan kita tidak menjadi sasaran berikutnya."Jia menatap Agatha dengan tajam, tetapi tidak berkata-kata. Ia sudah cukup mendengar kata-kata manis yang keluar dari bibir wanita itu. Namun, ada sesuatu dalam nada Agatha yang membuatnya berhe
Di luar, malam semakin larut, namun ketegangan di dalam ruangan masih terasa pekat. Jia dan Revandro bergerak cepat, seolah ada sesuatu yang melesat di antara mereka, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pertemuan ini. Rencana mereka sudah diatur dengan rapi, namun masih ada satu hal yang menggantung di udara: bagaimana menghadapinya jika musuh benar-benar menyerang."Jia," suara Revandro terdengar di belakangnya saat mereka berjalan menuju pintu utama mansion, "Kita akan menghadapi mereka dengan cara kita sendiri. Kita tak akan bermain aman."Jia berhenti sejenak, menatap Revandro dengan ekspresi serius, namun ada kekuatan dalam tatapannya. "Aku tahu, dan aku siap. Tapi ingat, kita harus memastikan kita tetap di depan mereka. Tak ada ruang untuk kesalahan."Revandro tersenyum, namun ada sesuatu yang lebih dalam pada senyumnya itu. "Kamu selalu membuatku terkesan, Jia."Namun, sebelum mereka dapat melangkah lebih jauh, sebuah suara datang dari pintu belakang, membuat mereka berh
Jia dan Revandro berdiri dalam keheningan, atmosfer di ruangan itu tegang dengan ancaman yang baru saja dilontarkan. Semua yang terjadi dalam beberapa detik terakhir seolah menciptakan lonjakan adrenalin, namun ada ketenangan yang muncul setelahnya. Jia merasa perasaan asing menghantamnya—perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak hanya amarah terhadap ancaman pria itu, tetapi juga keteguhan hati yang baru tumbuh dalam dirinya.Revandro memandangnya, tatapannya penuh perhitungan. "Kau tahu, Jia... aku tidak ingin melibatkanmu dalam hal ini. Tapi kita tidak bisa mundur. Ini sudah lebih dari sekadar permainan."Jia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang penuh kebanggaan dan tekad. "Aku tidak mundur, Revandro. Aku sudah cukup jauh terlibat. Jika mereka ingin menyerangmu, mereka harus melawan kita. Aku tidak akan biarkan mereka merusak apa yang kita bangun."Revandro tersenyum tipis, sesuatu yang lebih lembut kali ini, meski di balik senyuman itu ada keseriusan yang