RAHASIA TIGA HATI - Kemelut dalam Hati"Siapa yang Mas hubungi?" tanya Kenny pada suaminya ketika mereka tengah berada di kamar. Saat itu Ferry baru saja selesai menelepon seseorang."Teman.""Teman apa Irma?" Kenny berkata penuh selidik. Jelas ia tadi mendengar Ferry menyebut nama Irma."Irma menyarankan supaya kita segera melakukan pemeriksaan ke dokter dan melaporkan kejadian ini."Kenny geram dan tersenyum sinis pada suaminya. "O, jadi Mas minta pendapat dia? Dia siapamu, Mas? Apa dia tahu secara detail semua permasalahan kita? Tahu apa dia tentang keluargamu?"Oke, buat saja laporan kalau kamu ingin menggali lubangmu sendiri. Lakukan saja jika kalian ingin bunuh diri. Bre yang salah telah membawa kabur istri orang. Kamu harusnya sadar, Mas. Alan itu bagaimana orangnya. Jangan usik dia kalau nggak ingin dikuliti sama dia."Ferry termangu mendengar ucapan Kenny. Tentu saja dirinya akan menggali lubang sendiri jika sampai menuntut Alan. Ferry sebenarnya juga tahu itu."Kamu ternyat
"Ini kopimu!" Agatha muncul dan meletakkan secangkir kopi di atas meja sebelah Bre. Kopi yang tadi dibuatkan oleh ART mereka."Makasih," jawab Bre lirih."Sudahi rokokmu atau kamu akan mati sia-sia." Dengan paksa Agatha mengambil rokok di tangan Bre dan melemparkannya dari atas balkon.Bre diam tidak berontak. Hanya menghela nafas panjang seraya menatap langit kelabu di angkasa sana. Agatha duduk di sebelahnya."Kamu nggak akan bahagia hidup bersamaku, Ta. Selamanya rumah tangga kita akan seperti ini. Aku nggak akan menghalangimu untuk pergi. Daripada membuang waktu untuk orang yang tidak tahu bagaimana menghargaimu." Bre berkata lirih tanpa memandang sang istri.Agatha menatap tajam pada suaminya. Sakit, marah, kecewa, mendengar kalimat itu terucap dari bibir seorang lelaki yang sangat ia cintai."Maafkan aku untuk kesalahan semalam. Ini bukan khilaf karena aku memang merencanakannya. Aku ini suami yang nggak layak kamu pertahankan dan kamu perjuangkan. Aku sudah banyak menyakitimu s
RAHASIA TIGA HATI - Mari Kita BicaraAlan meletakkan kotak nasi di atas meja. Kemudian duduk berhadapan dengan Livia. Mati-matian Livia menyembunyikan betapa hatinya rapuh dan air mata yang nyaris luruh."Mas temani makan." Alan membuka kotak nasinya, lalu membukakan milik sang istri.Livia yang tidak bisa menahan diri lagi, urung duduk. "Aku cuci muka sebentar, Mas. Ngantuk soalnya," ujarnya dengan suara bergetar, kemudian meninggalkan Alan untuk ke kamar mandi. Padahal di wastafel pun ia bisa cuci muka.Di dalam sana Livia membiarkan air matanya tumpah. Sumpah, ia tidak ingin seperti ini sebenarnya. Ia ingin kembali menjadi Livia yang dulu. Yang kuat dan tangguh. Kalau bisa ingin menyembunyikan lukanya dalam-dalam. Menyiapkan mentalnya jika kembali harus terluka dan tersungkur. Jelas kalau menangis, matanya bakalan bengkak. Satu hal yang sulit sekali di sembunyikan.Dibiarkannya kran terus menyala dan ia membasuh wajahnya berkali-kali. Menyusut hidungnya yang ikut berair karena ef
Jujur saja, ia bisa gila memikirkan kehidupan dan keluarganya sekarang ini. Penyesalan dan kerinduannya pada Livia yang tidak berujung, pernikahan dengan Agatha yang sangat menyiksa, juga ingatannya pada Livia yang sekarang ini ternyata tengah mengandung anaknya Alan.Masih segar dalam ingatan. Bagaimana Livia bilang dengan penuh rasa khawatir, kalau dia tengah hamil anak suaminya. Ingat bagaimana wanita itu mendekap perutnya seolah ingin melindungi janin yang bersemayam dalam rahimnya.Bre menghela nafas panjang. Keinginan Livia untuk punya anak, akhirnya bakalan terkabul tidak lama lagi. Andai saja, di hari terakhir mereka berhubungan dan membuat Livia hamil, tentu ia punya alasan kuat untuk membuat wanita itu kembali. Namun sayang, keberuntungan itu tidak berpihak padanya."Jika kamu terlalu menuruti apa kata mamamu, bahkan tidak ada pembelaan untukku ketika aku dijatuhkan dan dihina, lalu cinta seperti apa yang sebenarnya kita perjuangkan, Mas." Masih teringat jelas kata demi kat
RAHASIA TIGA HATI - Hear to Heart (Dengarkan Sepenuh Hati)"Kita selesaikan permasalahan malam ini juga. Besok nggak boleh lagi ada kecurigaan yang dipendam diam-diam." Mendengar ucapan suaminya, Livia gemetar. Bagaimana ia akan memulai membahas tentang kegundahan hatinya. Serba salah. Bahkan untuk membalas tatapan Alan lebih lama pun ia tidak sanggup."Apa yang Bre katakan saat bertemu Mas malam itu?" tanya Livia dengan nada cemas setelah beberapa saat terdiam.Alan menceritakan yang sebenarnya. Jika ingin menyelesaikan masalah, lebih baik jujur dan tidak boleh menutupi dengan alasan apapun.Livia menahan napas. Ternyata benar, Bre berkata yang tidak mereka lakukan. Apa perubahan sikap Alan karena mempercayai kebohongan Bre. Dadanya terasa nyeri. Apa perlu ia berteriak-teriak dan mengatakan kalau itu hal yang tidak benar.Setelah menarik napas panjang, dengan netra berembun Livia menatap suaminya. "Apa ini yang membuat Mas ragu padaku? Sumpah nggak terjadi apa-apa antara aku dan di
"Mungkin memang sudah takdirku menikah dengan Mas Bre dan menghadapi ujian seperti ini," gumam Agatha lirih setelah beberapa saat terdiam.Kenny menahan tawa. Takdir katanya? Merebut suami orang secara halus begitu dibilang takdir. Bukan takdir, tapi karma. Dan itu yang sekarang dialami oleh Agatha. Namun Kenny hanya membatin."Kupikir seiring berjalannya waktu, semuanya bisa berubah. Ternyata tidak. Malah makin parah. Dan orang tuaku sama sekali tidak tahu kalau anaknya mengalami takdir pernikahan seperti ini.""Jangan membawa-bawa takdir, Tha." Kenny akhirnya bicara juga."Kalau bukan takdir apa namanya, Mbak?" Dua menantu itu saling berpandangan."Jika merusak rumah tangga orang dibilang takdir, mana mungkin Rasulullah tidak mau mengakui bagian dari umatnya bagi orang-orang yang merusak rumah tangga orang lain. Semua memang berjalan atas izin dari Allah. Tapi ingat, Allah juga membekali manusia dengan akan pikiran. Supaya bisa berpikir dan membuat keputusan mana yang benar dan man
RAHASIA TIGA HATI - Malu Sendiri Alan tidak bisa mencegah Livia yang mendahului turun dari mobil. Padahal ia sangat khawatir kalau sampai Bu Rika menyerang secara mental pada istrinya. Padahal Livia baru kembali ceria. Alan cemas dengan psikis sang istri yang tengah hamil muda.Bu Rika pun kaget saat melihat Alan dan Livia turun dari kendaraan. Begitu juga dengan Ella yang berdiri di teras kantor papanya. Tidak mengira kalau Alan akan mengajak istrinya. Biasa Alan ke mana-mana sendirian. Tugas Livia hanya duduk di belakang meja kerja untuk mengurus masalah keuangan.Livia mengangguk sebagai sapaan pada mantan mertuanya. Alan juga tersenyum sekilas. Wanita yang melangkah ke arah kantor itu belum tentu mau disalami. Masih terlihat jelas rona kebencian tampak di wajahnya ketika menatap Livia. Tidak ada senyuman untuk membalas sapaan mantan menantu.Tangan Livia di gandeng Alan saat mereka melangkah ke teras kantor. "Selamat pagi, Mbak Ella," sapa Livia ramah. "Pagi, Livia. Nggak nyan
"Saya nggak merendahkan Bu Rika. Dunia yang kita geluti berbeda. Wajar saja kalau saya mesti berhati-hati, seperti Anda yang meragukan kemampuan saya tadi. Kredibilitas meliputi kualitas, kapabilitas, layak dipercaya atau tidak. Kalau kita saling meragukan, tidak perlu bekerjasama. Saya tidak apa-apa kalau kerjasama ini harus batal, Pak Robert."Bu Rika bungkam. Wajahnya merona merah antara malu dan marah. Ella makin cemas kalau Alan membuat keputusan untuk membatalkan rencana kemarin. Padahal semua sudah dibicarakan secara matang.Pak Robert menghela napas dalam-dalam. Jelas saja dia tidak ingin kehilangan partner kerja seperti Alan. Lelaki yang diidamkan menjadi menantunya. Pria potensial dalam dunia usaha. Walaupun masih muda, tapi memiliki banyak kemampuan dan pengalaman.Sementara Livia tidak gentar sedikitpun saat menyaksikan perdebatan itu. Ia percaya pada suaminya. Alan tidak akan bicara dan mengambil keputusan seenaknya tanpa berpikir secara rasional. Alan tidak segan menguru