"Bre, bicara apa pada ayah?" tanya Livia lirih."Bu Rika ingin bertemu dengan kita. Sekarang masih opname di rumah sakit. Nanti setelah sembuh mereka akan datang ke rumah.""Akhirnya sadar juga Bu Rika, Yah.""Ssttt, luka jangan dibalas luka, Livia. Kita maafkan dan hargai niat baik mereka atas segala yang pernah terjadi di antara kita. Sekarang kamu sudah mendapatkan kehidupan yang lebih mulia daripada masih bersama mereka. Ayah juga ikut menikmati apa yang kamu dapatkan dari Alan. Ayah sudah bahagia melihatmu bahagia dengan suami dan anak. Tidak memikirkan lagi hal-hal lain, tentang luka dan masa lalu."Namanya kehilangan akan tetap membekas, Livia. Apalagi kita kehilangan dua orang yang paling kita cintai. Tapi alangkah lebih baiknya kalau kita berdamai. Mungkin jika dulu mereka datang untuk meminta maaf. Belum tentu ayah bisa memaafkan. Legowo menerima takdir yang sudah kita jalani." Netra Pak Rosyam berkaca-kaca sambil berbicara.Livia juga luluh saat melihat ketulusan sang ayah.
"Karena bagi mereka itu suami orang lebih menantang. Lebih berpengalaman, lebih sukses, dan matang. Model-model pelakor yang masih gadis itu kan mikirnya mau langsung enak. Nggak mau diajak berjuang bersama. Tahunya tinggal menikmati hasilnya saja," jawab Mbak Cici."Tapi ada loh, Mbak. Gadis sukses yang ngejar suami orang. Entah apa yang dicarinya," kata Rasty."Itu mah, perempuan gatel, nggak tahu diri, Ras. Awas loh ya, kamu jangan sampai kek gitu. Jadilah perempuan yang bermartabat dan penuh harga diri." Mbak Cici memperingatkan Rasty. Namun yang pucat pasi justru Ella. Sengaja tidak segera pulang sehabis meeting, karena ingin lebih berlama-lama di kantor AFBC, tapi malah tidak berkutik karena obrolan mereka. Tanpa mereka sadari, kata-kata yang mereka ucapkan menguliti Ella habis-habisan. Livia tersenyum puas. Semua perasaannya terwakili oleh obrolan itu. Tanpa perlu dia berkoar-koar. Semoga bisa membuka hati Ella dan berhenti berharap pada Alan."Malu, gaess. Perempuan independe
RAHASIA TIGA HATI - Berdamai dengan LukaBayangan segala kejahatan yang pernah ia lakukan menjelma semua dalam ingatan. Bergerak slide demi slide dalam kepala. Begitu menakutkan, memalukan, dan membuat Bu Rika merasa tak layak menapakkan kaki di halaman rumah itu."Ma, mari kita turun," ajak Bre sambil menyentuh lengan sang mama. Sedangkan Ferry yang duduk di balik kemudi hanya menoleh dan memperhatikan. Perasaannya sendiri sedang kalang kabut sekarang ini.Bu Rika diam cukup lama. Tubuhnya terasa berat dan kebas. Pintu rumah Pak Rosyam sudah terbuka. Dari dalam sana terdengar suara tangisan bayi. Ganti perasaan Bre yang terhimpit pedih. Dia suka melihat bayinya Livia. Tampan dan menenangkan. Wangi bayi itu masih tersimpan dalam ingatan.Kenapa dia tergoda dan menginginkannya, setelah hal itu tidak mungkin ia dapatkan. Sedangkan dulu dengan tega dituruti semua keinginan mamanya. Sampai membuat Livia nelangsa."Ma, kita harus turun dan nggak boleh berubah pikiran. Mereka sedang menung
Apa itu tandanya Pak Rosyam sudah tidak peduli? Bukan. Pak Rosyam adalah orang yang paling terpukul dengan peristiwa itu. Makanya sampai trauma dan depresi. Bayangkan di depan matanya sendiri, istri dan anaknya terjun bebas ke jurang sana.Andai kala itu ia tidak bisa menguasai diri, mungkin mobil yang dikemudikan juga ikut menyusul terjun bebas, karena jalanan menukik tajam ke bawah."Saya hanya ingin menjelaskan pada Bu Rika, walaupun mungkin Bu Rika sendiri sebenarnya sudah tahu akan hal ini. Hanya saja saya ingin meluruskan sekali lagi. Bahwa tidak ada perselingkuhan antara istri saya dan Pak Hutama. "Saya mengenal baik siapa sosok Safitria. Dia perempuan, istri, dan ibu yang baik bagi saya dan anak-anak. Menikah dengan saya, dia sudah melepaskan masa lalunya. Kami bahagia."Bu Rika makin tergugu tangisnya. Dada berkecamuk dan nyaris membuat ia ingin berteriak karena tak sanggup lagi menahan beban dalam dada.Bre yang menyadari kondisi sang mama, merangkul bahu wanita itu. Dengan
Acara ijab qobul berjalan lancar. Yang menyaksikan juga ikut bernapas lega. Hanya Ferry yang hancur saat itu. Mati-matian ia menahan diri agar tidak menangis. Melihat sang mantan bahagia di samping dokter gagah yang terlihat sangat perhatian pada dua anak kecil yang duduk menjadi pendamping.Ferry seperti mati tanpa kehilangan denyut nadi. Andai dadanya sebening kaca, mungkin bisa dilihat bagaimana segumpal darah di dalam sana sudah tidak jelas bentuknya. Ya, hatinya sedang sekarat sekarang. Sakit tapi terpaksa harus mengikhlaskan.Livia yang duduk bersama Alan di belakang Bre dan Ferry, bisa melihat betapa rapuhnya mantan kakak ipar. Alan pun bisa merasakan kehancuran Ferry. Sebab ia pernah berada di posisi itu ketika menyaksikan pernikahan antara Bre dan Livia. Namun takdir masih berpihak padanya. Tanpa curang, tanpa merebut, Livia akhirnya menjadi miliknya.Alan makin mengeratkan genggaman tangannya pada jemari sang istri. Livia menatapnya, Alan membalas dan memberi senyum.Acara
RAHASIA TIGA HATI - Mimpi yang Meresahkan Seorang wanita menggandeng anak perempuan kecil menyalami Ferry. "Cyntiara." Ferry menyalami wanita itu."Hai, Bre." Cyntiara ganti menyalami Bre."Apa kabarmu?" Bre tersenyum."Kabar baik. Nggak nyangka ketemu kalian di sini.""Ini anaknya Siska?" tanya Ferry sambil memandang anak kecil seusia Lena yang digandeng Cyntiara."Iya, anaknya Mbak Siska yang nomer dua.""Duduklah di sini bergabung dengan kami." Ferry menarik kursi dan menyuruh wanita itu duduk."Aku pesen makanan dulu." Cyntiara beranjak untuk memesan es krim kesukaan sang keponakan. Kemudian kembali duduk dan membiarkan Andin ikut bermain Lena dan Leo di playground yang tersedia di sana."Bagaimana kabar orang tuamu?" tanya Ferry. Sementara Bre sibuk memperhatikan anak-anak yang sedang bermain."Alhamdulillah, papa jarang pulang." Cyntiara tertawa sumbang. "Mama masih ngurus katering dan Mbak Siska seperti biasa. Amburadul." Gadis itu bercerita dengan nada sedih. Tidak ada yang
"Sudah telepon anak-anak?" tanya dokter Pasha yang menghampiri Kenny di sofa kamar hotel yang di booking mereka. "Sudah, Mas. Lena malah sudah tidur. Ini tadi bicara sama Leo saja. Dia tidur sama Bre.""Leo sepertinya memang lebih dekat dengan omnya, ya.""Iya. Semenjak melihat papanya menamparku waktu itu. Dia menjaga jarak dengan Mas Ferry. Leo ini seperti Bre sifatnya. Kalau sudah luka, susah sembuhnya. Sifat yang turun temurun agaknya. Papa Hutama tetap mencintai satu wanita meskipun sudah ada Mama Rika yang mendampingi dan memberinya dua putra. Kemudian Bre yang susah sekali melupakan cintanya pada Livia. Dan sekarang si Leo. Apa dia juga punya sifat keras kepala seperti kakek dan omnya.""Kita bisa membimbingnya pelan-pelan. Bagus teguh pendirian untuk hal yang baik. Tapi tidak untuk dendam atau apapun yang bakalan merugikan hidupnya sendiri. Leo masih anak-anak. Kita bisa membimbingnya secara bertahap."Kenny mengangguk senang mendengar kepedulian dokter Pasha. Semoga saja sua
"Mimpi ketemu pangeran berkuda. Ih, ganteng tahu, Mas. Pakai baju kebesaran laiknya pangeran dari negeri dongeng." Livia bercerita dengan tatap berbinar-binar. "Waktu dia mau meraih tanganku untuk diajak naik kuda, tapi nggak jadi karena Mas bangunin aku tadi." Bibir Livia mengerucut sebal. Tatapan Alan berubah tajam mendengar cerita istrinya."O, jadi kamu mau selingkuh dalam mimpimu. Padahal kamu sudah punya pangeran di dunia nyata," balas Alan.Livia terkekeh melihat wajah tegang suaminya. Alan cemburu dengan cerita karangannya. Padahal dia hanya cerita bohong. Livia tidak bermimpi seperti itu.Alan menyingkirkan selimut dari raga istrinya. Melepas satu per satu kancing piyama. "Biar mas tunjukkan siapa pemilikmu yang sebenarnya."Senyum Livia masih menghiasi bibir melihat kegundahan Alan. Mereka bercinta di malam yang dingin dan hening. "Mas, mau dengar nggak cerita detail tentang mimpiku tadi?" jemari Livia menjelajah dada Alan yang basah."Nggak usah," jawab Alan cepat. Livia