"Sudah telepon anak-anak?" tanya dokter Pasha yang menghampiri Kenny di sofa kamar hotel yang di booking mereka. "Sudah, Mas. Lena malah sudah tidur. Ini tadi bicara sama Leo saja. Dia tidur sama Bre.""Leo sepertinya memang lebih dekat dengan omnya, ya.""Iya. Semenjak melihat papanya menamparku waktu itu. Dia menjaga jarak dengan Mas Ferry. Leo ini seperti Bre sifatnya. Kalau sudah luka, susah sembuhnya. Sifat yang turun temurun agaknya. Papa Hutama tetap mencintai satu wanita meskipun sudah ada Mama Rika yang mendampingi dan memberinya dua putra. Kemudian Bre yang susah sekali melupakan cintanya pada Livia. Dan sekarang si Leo. Apa dia juga punya sifat keras kepala seperti kakek dan omnya.""Kita bisa membimbingnya pelan-pelan. Bagus teguh pendirian untuk hal yang baik. Tapi tidak untuk dendam atau apapun yang bakalan merugikan hidupnya sendiri. Leo masih anak-anak. Kita bisa membimbingnya secara bertahap."Kenny mengangguk senang mendengar kepedulian dokter Pasha. Semoga saja sua
"Mimpi ketemu pangeran berkuda. Ih, ganteng tahu, Mas. Pakai baju kebesaran laiknya pangeran dari negeri dongeng." Livia bercerita dengan tatap berbinar-binar. "Waktu dia mau meraih tanganku untuk diajak naik kuda, tapi nggak jadi karena Mas bangunin aku tadi." Bibir Livia mengerucut sebal. Tatapan Alan berubah tajam mendengar cerita istrinya."O, jadi kamu mau selingkuh dalam mimpimu. Padahal kamu sudah punya pangeran di dunia nyata," balas Alan.Livia terkekeh melihat wajah tegang suaminya. Alan cemburu dengan cerita karangannya. Padahal dia hanya cerita bohong. Livia tidak bermimpi seperti itu.Alan menyingkirkan selimut dari raga istrinya. Melepas satu per satu kancing piyama. "Biar mas tunjukkan siapa pemilikmu yang sebenarnya."Senyum Livia masih menghiasi bibir melihat kegundahan Alan. Mereka bercinta di malam yang dingin dan hening. "Mas, mau dengar nggak cerita detail tentang mimpiku tadi?" jemari Livia menjelajah dada Alan yang basah."Nggak usah," jawab Alan cepat. Livia
RAHASIA TIGA HATI - Tiga Tahun Kemudian "Aku tidak pernah meminta apapun, Mas. Selain pengampunan," jawab Bre sambil menerawang.Ferry pun diam menatap gerimis. "Kalau soal perasaan itu, aku sudah nggak peduli. Mau hilang atau nggak. Jika sampai mati pun aku hanya mencintai satu perempuan seperti halnya papa, nggak masalah. Tapi aku nggak akan membawa wanita lain masuk dalam hidupku dengan alasan untuk melanjutkan hidup. Sebab aku nggak ingin menyakitinya secara diam-diam seperti yang dilakukan papa pada mama. Aku mau fokus ke perusahaan. "Alan sudah banyak membantu kita, nggak mungkin aku tega menikamnya dari belakang. Livia sudah bahagia bersama Alan. Jika kembali bersamaku, belum tentu dia bisa bahagia. Lihatlah bagaimana interaksi mereka yang full chemistry. Aku sudah terlupakan sebagai masa lalu yang kelam." Bre bicara sambil mengingat jelas bagaimana Alan menatap Livia penuh perhatian. Pria berhidung mancung, sepasang matanya yang menantang terlindung alis tebal, dan senyumn
"Pokoknya semenjak kita ngobrol siang itu, Mbak Ella hanya sekali datang ke sini untuk nganterin proposal, Mbak," sahut Rasty kemudian membawa berkas pergi dari sana. Tinggallah Livia sama Mbak Cici."Baguslah, berarti dia sadar kalau aku sedang nyindir dia," ujar Mbak Cici. Membuat dahi Livia mengernyit heran. "Sayang banget kalau gadis cantik, terpelajar, dan punya karir cemerlang, salah jalan dengan mengincar suami orang. Jujur saja, saya nggak suka model perempuan seperti ini. Bikin malu citra dan harga diri perempuan saja. Dia kan lagi cari perhatiannya Pak Alan, Mbak. Masa Mbak Livia nggak nyadar?""Mbak Cici, bisa tahu ya kalau dia emang ingin mendapatkan perhatiannya Mas Alan.""Saya ini sudah pengalaman berhadapan dengan perempuan-perempuan kayak gitu, Mbak. Pekerjaan saya mengharuskan saya berinteraksi dengan banyak orang. Laki, perempuan. Jadi saya sudah paham dengan gelagat nggak bener gitu. Makanya saya sindir. Mbak Livia, pasti terasa juga, kan?""Iya. Sudah lama saya t
"Bisa." Kenny kembali duduk. Irma juga duduk di bangku depannya. Meski dadanya bergemuruh, tapi ia tetap berbesar hati sudi bicara dengan perempuan yang sudah menghancurkan rumah tangganya hampir empat tahun yang lalu.Irma tampak canggung dan serba salah. Sudah lama dia ingin menemui Kenny. Hanya saja tidak punya cukup nyali untuk mendatangi.Tadi saat melihat Kenny, secara spontan Irma memanggil."Ken, aku ingin minta maaf sama kamu. Atas segala kesalahan fatal yang pernah aku lakukan padamu. Menghancurkan rumah tanggamu dan Ferry." Suara Irma parau."Nggak apa-apa, Ir. Semua sudah berlalu. Nggak usah diungkit lagi masalah itu." Luka yang mengering, kini seperti di koyak lagi. "Aku sudah mendapatkan kehidupan baru," lanjut Kenny sambil mengusap perut buncitnya.Keduanya terdiam. Untung tempat itu sudah sepi pasien. Hanya di lorong sebelah, beberapa pengunjung rumah sakit berlalu-lalang."Kandunganmu sudah berapa bulan?" "Tujuh bulan.""Selamat, ya.""Makasih. Kamu sendiri sedang a
RAHASIA TIGA HATI - Bukan Janji "Mas, sudah mertimbangin apa yang kita bicarakan kemarin?" Livia mendekatkan wajah sambil mengeratkan pelukan. Semoga setelah mendapatkan 'jatahnya' Alan akan memberikan jawaban.Sengaja Livia menatap lembut, merapatkan raga hingga kulit mereka menempel tanpa sekat. Untuk mendapatkan sesuatu harus pandai merayu, kan?"Aku tahu kalau suamiku bakalan menepati janjinya." Senyum Livia begitu manis saat Alan menatapnya lekat."Apa mas pernah berjanji?""Ya nggak, sih. Mas, memang hanya menyarankan waktu itu. Tapi aku nggak pernah lupa. Sekarang Alvian sudah berumur tiga tahun dan ....""Sudah waktunya punya adik," sahut Alan cepat. Membuat Livia tertawa seraya mencubitnya. "Bukan begitu, aku mau kuliah lagi. Aku yakin bakalan bisa bagi waktu. Mas kan yang nyaranin. Apa Mas lupa?"Tentu saja Alan tidak lupa. Tapi sudah terlanjur nyaman dengan kondisi sekarang. Menjalani rutinitas bersama istrinya, kantor, rumah, kadang juga mengajak Livia untuk urusan di lu
Sekarang Leo memang sering tinggal bersamanya. Karena sekolahan SMP-nya dekat dengan rumah sang nenek. Seminggu kadang hanya sehari tinggal di rumah mamanya. Sebab Kenny sekarang tinggal di rumah dokter Pasha yang jauh dari sekolahan. Sementara Lena masih tinggal bersama Kenny. Nanti setelah lulus SD anak itu ingin sekolah sambil mondok.Dokter Pasha sangat perhatian juga, tapi karena keadaan makanya Leo memilih tinggal bersama Bre di rumah Bu Rika. Sekolahan yang dipilih Leo hanya lima menit naik mobil dari rumah neneknya."Kamu masih muda, Bre.""Nggak masalah, Ma. Pokoknya mama jangan khawatir, aku bahagia dengan keputusanku saat ini." Bre mengulas senyum. Namun tetap membuat hati Bu Rika perih. Rasa bersalah kian menggunung dalam dada. Karena dirinya yang membuat Bre patah hati dan memilih sendiri.Ingat bagaimana dulu ia mewanti-wanti putranya supaya jangan sampai punya anak dulu dengan Livia. Bahkan seolah tidak rela saat Bre menyentuh istrinya.Sekarang rasa bersalah itu nyaris
Bre tersenyum sambil menyentuh pipi pria kecil di depannya. Mak Ramlah yang memperhatikan, tersentuh perasaannya hingga ke relung hati. Dia orang yang termasuk tahu kisah manis percintaan Bre dan Livia semenjak duduk di bangku kuliah."Sudah mandi kan tadi?""Udah, Om.""Hmm, wangi." Bre mencium pipi Alvian. Bau khas anak-anak merasuk lewat indera penciumannya. "Om ke dalam dulu, ya!""Iya.""Saya masuk dulu, Mak," pamit Bre seraya berdiri."Njih. Monggo, Mas Bre."Bre membuka pintu kaca dan disambut oleh Pras yang kebetulan berada di sana. Asisten Alan langsung mengajaknya ke ruang meeting. Di sana sudah ada Pak Rosyam, Alan, dan Adi.Tiga tahun menjalani kerjasama seperti ini, membuat Bre terbiasa. Meski sayatan dalam dada tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia mengimbangi Alan yang sangat profesional. Belajar mengesampingkan ego dan berkomitmen dengan pekerjaan."Alvi, jangan masuk ke situ, Sayang. Papa lagi meeting."Bre lamat-lamat mendengar suara lirih Livia yang bicara deng