RAHASIA TIGA HATI - Itu Hanya Masa Lalu "Liv," sapa Agatha. Terlambat untuk mengambil masker dari saku blazer yang dipakainya. Tidak apa-apa Livia melihat. Mau sampai kapan dia akan terus menghindar dan menutupinya dari orang-orang. Agatha malu pada orang yang sudah dikenalnya, tapi tidak dengan orang lain yang baru ditemuinya."Hai," balas Livia sambil menyalami Agatha."Nggak nyangka kamu hadir juga dalam seminar ini." Agatha berusaha menepis rasa canggung."Aku telat datang tadi.""Kamu mau ke toilet?""Iya.""Aku tunggu di sini, ya. Ada yang mau aku omongin sama kamu.""Oke," jawab Livia lantas bergegas ke toilet. Agatha hendak bicara apa sama dia. Livia berdiri mengantri karena ramai orang di sana. Di depan cermin wastafel ada yang membenahi jilbabnya, ada yang memakai make-up, ada juga yang menyisir rambut.Sambil menunggu mereka saling sapa. Wanita-wanita karier dari berbagai perusahaan dan instansi pemerintah. Datang dari berbagai kota juga."Oh, jadi Mbak dari AFBC, ya?" S
Agatha mengambil tisu dari dalam tasnya untuk menghapus air mata yang mengambang di sudut netra. Perih dalam hati melebihi rasa gemetarnya. "Keluargaku juga pernah menghancurkan bisnis ayahmu. Namun kami sudah menerima karma dari perbuatan yang telah kami lakukan. Tentunya kamu mendengar tentang kehancuran keluargaku."Aku ridho dengan ketentuan ini. Sebagai balasan atas perbuatan jahat yang telah kami lakukan pada kalian." Agatha menatap Livia yang nyaris tanpa make up. Bibirnya hanya dibasahi oleh lipgloss dan eyeshadow berwarna natural. Tampilan yang sangat elegan."Pipimu kenapa?" tanya Livia memandang pipi Agatha sebelah kanan.Agatha merabanya. "Kena belati waktu kejadian malam itu. Tergores ujungnya.""Tidak bisa pulih?""Bisa kalau operasi. Dokter juga menyarankan untuk operasi kalau ingin pulih seperti sebelumnya. Tapi aku nggak mau. Luka ini menurutku nggak seberapa, meski menggoyahkan kepercayaan diriku. Dengan luka ini aku bisa mengingat, atas segala kejadian dan kejahatan
"Pak Rosyam, saya pamit langsung kembali ke kantor," pamit Bre pada lelaki berkacamata yang berdiri tidak jauh dari mobilnya. Setelah meeting tadi, mereka langsung meninjau lokasi apartemen yang hendak direnovasi besar-besaran."Kita ngopi dulu. Ayo!" ajak Pak Rosyam.Bre tidak bisa menolak. Mengikuti langkah mantan mertuanya ke sebuah rumah makan sederhana yang berjarak hanya tiga puluh meter dari lokasi.Mereka memesan dua cangkir kopi dan roti bakar. Tim yang duduk terpisah, memesan makanan mereka sendiri."Bagaimana kabar mamamu?" tanya Pak Rosyam sambil mengunyah roti."Alhamdulillah, mama banyak berubah sekarang ini. Hanya fokus beribadah dan nggak pernah lagi kumpul bersama teman-temannya. Mama jarang keluar rumah, Pak.""Syukurlah.""Tapi kadang mama masih sering melamun. Kalau saya tanya, beliau bilang tidak ada apa-apa. Saya tahu mama masih menyesali tentang perbuatannya di masa lalu. Sering saya melihat beliau menangis tersedu-sedu sehabis sholat.""Jangan biarkan berlarut-
RAHASIA TIGA HATI - Positif Alan cemas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Yang tampak dilayarnya hanya plafon ruangan. Ia juga mendengar suara pintu dibuka. "Livia." Suara sang mertua memanggil Livia."Yah," panggilnya. Tentu saja Pak Rosyam tidak mendengar. Sebab lelaki itu mendekati pintu kamar mandi di ruangan Livia saat mendengar suara muntah di dalam sana. Dengan perasaan cemas ia menunggu di depan pintu.Livia keluar dengan wajah pucat dan berkeringat. "Ayah antar kamu pergi ke dokter. Wajahmu pucat begitu.""Nggak apa-apa, Yah. Setelah muntah sudah mendingan," tolak Livia kembali duduk di kursinya.Diraihnya ponsel karena masih menyala. "Halo, Mas.""Sayang, sebaiknya kamu periksa saja ke dokter.""Nggak usah. Setelah muntah udah mendingan. Ini ayah bawain aku makan siang. Selesai makan aku langsung minum obat."Pak Rosyam membuka mealbox untuk Livia sambil menunggu putrinya selesai menelepon. Dia membuka satu mealbox lagi untuk dirinya sendiri.Alan memaksa u
Lelaki yang membuatnya terkapar di lantai. Kenapa dia tidak mati saja saat itu. Saat benar-benar terpuruk. Namun Alan juga yang membuatnya bangkit kembali. Yang menolongnya menyelamatkan perusahaan disaat para pebisnis lain pesimis bekerjasama dengan Hutama Jaya.Sekarang relasi-relasi yang dulu menjauhi ingin mendekat lagi. Tapi Bre memutuskan tidak akan bekerjasama dengan perusahaan manapun selagi Alan masih bersedia join dengannya. Ini caranya untuk membalas budi baik lelaki itu.Benar-benar beruntung sekali Hutama Jaya bisa bangkit. Sedangkan bisnis Wawan Family hanya tinggal nama saja sekarang. Tumbang tidak terselamatkan. Anak menantu mereka sekarang kerja di perusahaan lain. Termasuk Agatha dan Irma. Ferry dan Pak Ringgo untuk saat itu posisinya berada di belakang Bre. Pimpinan perusahaan dilimpahkan pada Bre. Ferry sendiri sudah tidak penuh ambisi seperti dulu. Dia sudah sadar, kalau ambisi hanya akan menyesatkan langkahnya.Bre mengalihkan perhatian saat ponsel berdering.
Alan manggut-manggut. Secara lahir ia mendukung Livia, tapi secara batin Alan berharap lain. Semoga ada sesuatu yang menggagalkan niat istrinya. Bukan ia keberatan membiayai atau tidak ingin istrinya meningkatkan kemampuan akademiknya. Namun ketidakrelaan lebih bersifat sensitif. Ia tidak ingin Livia dilirik pria lain di luar sana. Walaupun dalam dunia kerja mereka, selalu berhubungan dengan banyak relasi. Tapi Livia tidak berhadapan secara langsung dan selalu ada dirinya yang mendampingi.Akan tetapi mau tak mau ia harus terus mendukung istrinya. Apalagi Livia sudah lulus dalam ujian tes potensi akademik, tes bahasa inggris, dan tinggal menunggu hasil tes wawancara. Kalau digagalkan, Livia pasti kecewa.Alan yang mengemudi dan mereka langsung pulang ke rumah. Livia menyiapkan baju ganti saat Alan mandi. Dirinya juga bersiap-siap hendak ke kampus."Mas, nggak ke kantor kan hari ini?" tanya Livia saat Alan keluar dari kamar mandi. "Besok saja. Mas mau seharian sama kamu dan Alvian." A
RAHASIA TIGA HATI - Salam Perpisahan "Usia kehamilan sudah memasuki enam minggu. Lihat ini kantung janin juga sudah terbentuk." Dokter Nita menggerakkan tranduser. Livia dan Alan memperhatikan layar USG. Perasaan Livia campur aduk. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena akan memiliki anak kedua. Segalanya dipermudah ketika hidup bersama Alan. Sedih karena kuliahnya terancam batal lagi. Sambil mendengarkan penjelasan dokter, Livia mengingat-ingat, tentang malam di mana ia melepaskan IUD. Apa karena malam itu, di mana mereka melakukannya sepulang dari dokter kandungan. Livia ingat tidak langsung minum pil karena tak sempat. Secara pulang sudah malam dan dia sibuk beberes dan sangat lelah setelah seminar.Disaat Alan 'meminta', Livia iyakan saja. Sekali saja tidak mungkin hamil, pikirnya. Tapi siapa mengira, yang sekali itu akhirnya tumbuh benih di rahimnya. Apa mau menyalahkan Alan? Tidak mungkin. Anak itu rezeki bagi Livia sendiri. Lagipula pemakaian kontrasepsi sudah menjadi uru
Livia tersenyum samar. "Habis hamil, lahiran, jaga duo bayi sambil memulihkan diri dan ngantor. Setelah pulih, hamil lagi. Kapan aku kuliahnya."Alan tertawa seraya menggenggam tangan Livia. Bukankah itu yang Alan mau. Hamil lagi dan lagi. Livia sibuk sampai tidak kepikiran hendak kuliah. Bukan ingin menghambat cita-cita sang istri. Tapi dengan keadaan sekarang, Livia tidak harus mendapatkan title S2 untuk bekerja. Kalau dibilang suami posesif, termasuk tidak juga. Masih wajar keposesifan Alan. Tetap memberikan kebebasan istrinya untuk berkarir dan mengikuti seminar, workshop di sana sini. Dan dirinya juga bekerjasama dengan mantan suaminya Livia yang sampai sekarang masih bertahan sendirian.Alan hanya berusaha menjaga baik-baik hubungan mereka. Setelah hampir tidak punya harapan mendapatkan Livia ketika wanita itu dinikahi oleh Bre, tapi takdir berkata lain. Sekarang sudah empat tahun mereka terikat tali pernikahan. "Mas usahakan hari ini pulang di jam biasanya.""Iya.""Kalau git
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K