Agatha mengambil tisu dari dalam tasnya untuk menghapus air mata yang mengambang di sudut netra. Perih dalam hati melebihi rasa gemetarnya. "Keluargaku juga pernah menghancurkan bisnis ayahmu. Namun kami sudah menerima karma dari perbuatan yang telah kami lakukan. Tentunya kamu mendengar tentang kehancuran keluargaku."Aku ridho dengan ketentuan ini. Sebagai balasan atas perbuatan jahat yang telah kami lakukan pada kalian." Agatha menatap Livia yang nyaris tanpa make up. Bibirnya hanya dibasahi oleh lipgloss dan eyeshadow berwarna natural. Tampilan yang sangat elegan."Pipimu kenapa?" tanya Livia memandang pipi Agatha sebelah kanan.Agatha merabanya. "Kena belati waktu kejadian malam itu. Tergores ujungnya.""Tidak bisa pulih?""Bisa kalau operasi. Dokter juga menyarankan untuk operasi kalau ingin pulih seperti sebelumnya. Tapi aku nggak mau. Luka ini menurutku nggak seberapa, meski menggoyahkan kepercayaan diriku. Dengan luka ini aku bisa mengingat, atas segala kejadian dan kejahatan
"Pak Rosyam, saya pamit langsung kembali ke kantor," pamit Bre pada lelaki berkacamata yang berdiri tidak jauh dari mobilnya. Setelah meeting tadi, mereka langsung meninjau lokasi apartemen yang hendak direnovasi besar-besaran."Kita ngopi dulu. Ayo!" ajak Pak Rosyam.Bre tidak bisa menolak. Mengikuti langkah mantan mertuanya ke sebuah rumah makan sederhana yang berjarak hanya tiga puluh meter dari lokasi.Mereka memesan dua cangkir kopi dan roti bakar. Tim yang duduk terpisah, memesan makanan mereka sendiri."Bagaimana kabar mamamu?" tanya Pak Rosyam sambil mengunyah roti."Alhamdulillah, mama banyak berubah sekarang ini. Hanya fokus beribadah dan nggak pernah lagi kumpul bersama teman-temannya. Mama jarang keluar rumah, Pak.""Syukurlah.""Tapi kadang mama masih sering melamun. Kalau saya tanya, beliau bilang tidak ada apa-apa. Saya tahu mama masih menyesali tentang perbuatannya di masa lalu. Sering saya melihat beliau menangis tersedu-sedu sehabis sholat.""Jangan biarkan berlarut-
RAHASIA TIGA HATI - Positif Alan cemas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Yang tampak dilayarnya hanya plafon ruangan. Ia juga mendengar suara pintu dibuka. "Livia." Suara sang mertua memanggil Livia."Yah," panggilnya. Tentu saja Pak Rosyam tidak mendengar. Sebab lelaki itu mendekati pintu kamar mandi di ruangan Livia saat mendengar suara muntah di dalam sana. Dengan perasaan cemas ia menunggu di depan pintu.Livia keluar dengan wajah pucat dan berkeringat. "Ayah antar kamu pergi ke dokter. Wajahmu pucat begitu.""Nggak apa-apa, Yah. Setelah muntah sudah mendingan," tolak Livia kembali duduk di kursinya.Diraihnya ponsel karena masih menyala. "Halo, Mas.""Sayang, sebaiknya kamu periksa saja ke dokter.""Nggak usah. Setelah muntah udah mendingan. Ini ayah bawain aku makan siang. Selesai makan aku langsung minum obat."Pak Rosyam membuka mealbox untuk Livia sambil menunggu putrinya selesai menelepon. Dia membuka satu mealbox lagi untuk dirinya sendiri.Alan memaksa u
Lelaki yang membuatnya terkapar di lantai. Kenapa dia tidak mati saja saat itu. Saat benar-benar terpuruk. Namun Alan juga yang membuatnya bangkit kembali. Yang menolongnya menyelamatkan perusahaan disaat para pebisnis lain pesimis bekerjasama dengan Hutama Jaya.Sekarang relasi-relasi yang dulu menjauhi ingin mendekat lagi. Tapi Bre memutuskan tidak akan bekerjasama dengan perusahaan manapun selagi Alan masih bersedia join dengannya. Ini caranya untuk membalas budi baik lelaki itu.Benar-benar beruntung sekali Hutama Jaya bisa bangkit. Sedangkan bisnis Wawan Family hanya tinggal nama saja sekarang. Tumbang tidak terselamatkan. Anak menantu mereka sekarang kerja di perusahaan lain. Termasuk Agatha dan Irma. Ferry dan Pak Ringgo untuk saat itu posisinya berada di belakang Bre. Pimpinan perusahaan dilimpahkan pada Bre. Ferry sendiri sudah tidak penuh ambisi seperti dulu. Dia sudah sadar, kalau ambisi hanya akan menyesatkan langkahnya.Bre mengalihkan perhatian saat ponsel berdering.
Alan manggut-manggut. Secara lahir ia mendukung Livia, tapi secara batin Alan berharap lain. Semoga ada sesuatu yang menggagalkan niat istrinya. Bukan ia keberatan membiayai atau tidak ingin istrinya meningkatkan kemampuan akademiknya. Namun ketidakrelaan lebih bersifat sensitif. Ia tidak ingin Livia dilirik pria lain di luar sana. Walaupun dalam dunia kerja mereka, selalu berhubungan dengan banyak relasi. Tapi Livia tidak berhadapan secara langsung dan selalu ada dirinya yang mendampingi.Akan tetapi mau tak mau ia harus terus mendukung istrinya. Apalagi Livia sudah lulus dalam ujian tes potensi akademik, tes bahasa inggris, dan tinggal menunggu hasil tes wawancara. Kalau digagalkan, Livia pasti kecewa.Alan yang mengemudi dan mereka langsung pulang ke rumah. Livia menyiapkan baju ganti saat Alan mandi. Dirinya juga bersiap-siap hendak ke kampus."Mas, nggak ke kantor kan hari ini?" tanya Livia saat Alan keluar dari kamar mandi. "Besok saja. Mas mau seharian sama kamu dan Alvian." A
RAHASIA TIGA HATI - Salam Perpisahan "Usia kehamilan sudah memasuki enam minggu. Lihat ini kantung janin juga sudah terbentuk." Dokter Nita menggerakkan tranduser. Livia dan Alan memperhatikan layar USG. Perasaan Livia campur aduk. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena akan memiliki anak kedua. Segalanya dipermudah ketika hidup bersama Alan. Sedih karena kuliahnya terancam batal lagi. Sambil mendengarkan penjelasan dokter, Livia mengingat-ingat, tentang malam di mana ia melepaskan IUD. Apa karena malam itu, di mana mereka melakukannya sepulang dari dokter kandungan. Livia ingat tidak langsung minum pil karena tak sempat. Secara pulang sudah malam dan dia sibuk beberes dan sangat lelah setelah seminar.Disaat Alan 'meminta', Livia iyakan saja. Sekali saja tidak mungkin hamil, pikirnya. Tapi siapa mengira, yang sekali itu akhirnya tumbuh benih di rahimnya. Apa mau menyalahkan Alan? Tidak mungkin. Anak itu rezeki bagi Livia sendiri. Lagipula pemakaian kontrasepsi sudah menjadi uru
Livia tersenyum samar. "Habis hamil, lahiran, jaga duo bayi sambil memulihkan diri dan ngantor. Setelah pulih, hamil lagi. Kapan aku kuliahnya."Alan tertawa seraya menggenggam tangan Livia. Bukankah itu yang Alan mau. Hamil lagi dan lagi. Livia sibuk sampai tidak kepikiran hendak kuliah. Bukan ingin menghambat cita-cita sang istri. Tapi dengan keadaan sekarang, Livia tidak harus mendapatkan title S2 untuk bekerja. Kalau dibilang suami posesif, termasuk tidak juga. Masih wajar keposesifan Alan. Tetap memberikan kebebasan istrinya untuk berkarir dan mengikuti seminar, workshop di sana sini. Dan dirinya juga bekerjasama dengan mantan suaminya Livia yang sampai sekarang masih bertahan sendirian.Alan hanya berusaha menjaga baik-baik hubungan mereka. Setelah hampir tidak punya harapan mendapatkan Livia ketika wanita itu dinikahi oleh Bre, tapi takdir berkata lain. Sekarang sudah empat tahun mereka terikat tali pernikahan. "Mas usahakan hari ini pulang di jam biasanya.""Iya.""Kalau git
Mobil melaju ke arah jantung kota. Dia ada janji ketemuan dengan Pak Robert di salah satu restoran yang ada di area foodcourt sebuah mall.Ketika sampai di sana, Pak Robert belum datang. [Maaf, kira-kira satu jam lagi saya sampai, Bre. Ada agenda dadakan. Kalau kamu ada kerepotan, apa sebaiknya kita batalkan pertemuan kali ini. Biar besok saja saya ke kantormu.] Lelaki itu mengirimkan pesan.Satu jam lumayan lama. Namun Bre memutuskan tetap menunggu. Bre tidak jadi masuk ke restoran. Dia berdiri di pagar pembatas koridor mall. Memperhatikan kesibukan di lantai bawah sana. Hingga suara panggilan membuatnya menoleh."Bre.""Gatha." Bre menyambut uluran tangan mantan istrinya dan Irma. Sepersekian detik ia pun heran, mereka masih bisa bergaul akrab kendati kedua keluarga saling bermusuhan."Kebetulan banget ketemu kamu di sini," ujar Agatha dibalik masker yang dipakainya."Kalian sedang belanja?""Iya," jawab Irma. Di kedua tangan mereka memang menenteng beberapa paper bag."Kamu sedang