Livia tersenyum samar. "Habis hamil, lahiran, jaga duo bayi sambil memulihkan diri dan ngantor. Setelah pulih, hamil lagi. Kapan aku kuliahnya."Alan tertawa seraya menggenggam tangan Livia. Bukankah itu yang Alan mau. Hamil lagi dan lagi. Livia sibuk sampai tidak kepikiran hendak kuliah. Bukan ingin menghambat cita-cita sang istri. Tapi dengan keadaan sekarang, Livia tidak harus mendapatkan title S2 untuk bekerja. Kalau dibilang suami posesif, termasuk tidak juga. Masih wajar keposesifan Alan. Tetap memberikan kebebasan istrinya untuk berkarir dan mengikuti seminar, workshop di sana sini. Dan dirinya juga bekerjasama dengan mantan suaminya Livia yang sampai sekarang masih bertahan sendirian.Alan hanya berusaha menjaga baik-baik hubungan mereka. Setelah hampir tidak punya harapan mendapatkan Livia ketika wanita itu dinikahi oleh Bre, tapi takdir berkata lain. Sekarang sudah empat tahun mereka terikat tali pernikahan. "Mas usahakan hari ini pulang di jam biasanya.""Iya.""Kalau git
Mobil melaju ke arah jantung kota. Dia ada janji ketemuan dengan Pak Robert di salah satu restoran yang ada di area foodcourt sebuah mall.Ketika sampai di sana, Pak Robert belum datang. [Maaf, kira-kira satu jam lagi saya sampai, Bre. Ada agenda dadakan. Kalau kamu ada kerepotan, apa sebaiknya kita batalkan pertemuan kali ini. Biar besok saja saya ke kantormu.] Lelaki itu mengirimkan pesan.Satu jam lumayan lama. Namun Bre memutuskan tetap menunggu. Bre tidak jadi masuk ke restoran. Dia berdiri di pagar pembatas koridor mall. Memperhatikan kesibukan di lantai bawah sana. Hingga suara panggilan membuatnya menoleh."Bre.""Gatha." Bre menyambut uluran tangan mantan istrinya dan Irma. Sepersekian detik ia pun heran, mereka masih bisa bergaul akrab kendati kedua keluarga saling bermusuhan."Kebetulan banget ketemu kamu di sini," ujar Agatha dibalik masker yang dipakainya."Kalian sedang belanja?""Iya," jawab Irma. Di kedua tangan mereka memang menenteng beberapa paper bag."Kamu sedang
RAHASIA TIGA HATI - Twin Livia diam menatap langit siang yang mendung dari balik jendela kamarnya. Baru saja dia membaca inbox dari Agatha. Wanita itu mengirimkan pesan via akun sosial medianya, tidak lewat aplikasi pesan.[Aku mau berangkat ke Singapore lusa, Liv. Sekali lagi maafkan semua kesalahanku, ya. Aku mau memulai hidup baru di negeri orang. Salam buat Alan. Sampaikan juga permintaan maafku.] Itu isi pesannya.Tentu ini pilihan yang tidak mudah juga bagi Agatha. Kalau ada kesempatan di sini, pasti dia tidak akan pergi. Livia iba juga pada mantan rivalnya itu. Kenyataan tidak sesuai harapannya bisa hidup bahagia bersama Bre.Sebenarnya dia sangat mencintai Bre sekian lama. Segala cara dilakukannya untuk mendapatkan lelaki itu. Namun kenyataannya mereka berpisah juga.Suara ketukan di pintu kamar membuat Livia menoleh."Mbak Liv, Bapak datang." Suara Mak Ramlah memberitahunya.Livia bangkit dari duduknya dan membuka pintu. Di sofa ruang keluarga Pak Rosyam duduk memangku Alvi
"Iya. Terus kapan Mbak perkiraan lahiran?" Bre memandang perut besar Kenny. Tampak wanita itu pun kepayahan. Makanya kalau dia tidak bisa datang ke acara pernikahan Ferry, Bre bisa mengerti."Perkiraan dua mingguan lagi.""Semoga lancar, Mbak. Jangan lupa kabari setelah Mbak lahiran nanti.""Pasti aku kabari. Btw setelah kakakmu, giliranmu nikah, Bre."Bre tersenyum sekilas. Tak ada bosannya sang mantan ipar selalu mengingatkannya tentang hal itu."Kamu juga bisa bahagia dengan pasangan baru. Bahagia itu diciptakan Bre, bukan dicari. Move on itu diusahakan bukan diam saja tanpa usaha."Bre menelan saliva. "Aku nggak bisa, Mbak.""Bukan nggak bisa. Tapi kamu nggak mau usaha. Ayolah, aku juga ingin melihatmu bahagia. Masa depanmu masih panjang. Apa kamu nggak ingin punya keluarga. Ada istri dan anak-anak yang bisa bikin kamu semangat kerja. Aku nggak akan bosan mengingatkanmu. Sebab aku nggak ingin kamu terus terjebak pada masa lalu.""Lihat Leo dan Lena saja aku sudah semangat, Mbak. S
"Kudoakan lahiranmu lancar, Mbak," bisik Livia pada Kenny."Aamiin. Semoga kamu nanti juga digampangkan ketika bersalin."Livia mengangguk sambil tersenyum. Dua mantan menantu Hutama berbincang lirih sambil menunggu prosesi sungkeman dan sesi foto selesai.Bu Rika menghampiri Livia dan Kenny saat acara ramah tamah. Memeluk mereka bergantian. Tidak lupa mendoakan supaya persalinan nanti tanpa kendala.Baginya Kenny tetap ibu dari kedua cucunya. Sedangkan Livia, merupakan wanita yang pernah dizoliminya. Sesalan Bu Rika tiada berkesudahan apalagi ketika Bre memutuskan untuk tetap sendiri.Bre hanya menyapa Alan, Pak Rosyam, dan dokter Pasha tanpa menghampiri Livia dan Kenny. Dua perempuan yang tengah hamil tua dan hamil muda itu pun tidak beranjak ke mana-mana. Tetap duduk di tempatnya. Kenny tidak larat membawa perut besarnya dan Livia merasa lemas dan mual."Om Ble." Alangkah sejuk hati Bre ketika bocah tampan itu menyapanya sambil tersenyum."Mau ikut sama om. Main sama Mbak Lena di l
RAHASIA TIGA HATI - Pertemuan Tidak Sengaja"Mas." Livia balas menyapa Bre yang berdiri beberapa langkah di sampingnya. Kaget karena bertemu mantan suaminya di sana.Lelaki itu tersenyum. "Alan mana?""Mas Alan lagi terima telepon di luar. Mas Bre, mau nyari kado juga?" Livia bertanya dengan sikap sebiasa mungkin. Meski raganya gemetar dan dadanya berdebar. Bagaimanapun juga mereka pernah bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Setelah bercerai baru kali ini mereka bertemu lagi hanya berdua saja, setelah kejadian di kamar waktu Bre membawanya kabur."Iya. Aku nganterin mama." Bre menoleh pada Bu Rika yang sedang sibuk memilih kado di ujung sana. "Bentar, Mas. Aku lihat-lihat dulu yang di sebelah sana." Buru-buru Livia melangkah pergi. Ia tidak ingin Alan melihatnya bersama Bre meski itu pertemuan tidak sengaja dan di tempat umum pula. Bre memperhatikan langkah Livia menjauhinya. Yang tersisa di dada masih tetap sama untuk wanita itu. Tidak pernah ada yang berubah.Ia melihat wajah
"Bu Rika." Alan menghampiri dan mengulurkan tangan. "Oh, Alan. Apa kabar?" Bu Rika canggung."Alhamdulillah. Kabar baik. Ibu, sendirian?""Bersama Bre dan Leo. Mereka menunggu di luar."Alan mengangguk, kemudian menghampiri Livia. "Bingung mau ngasih apa, Mas. Pasti perlengkapan bayi semua sudah ada. Cari yang unik, tapi apa?" Livia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Alan mendampingi di sebelahnya. Bu Rika memperhatikan, kemudian menunduk."Kita kasih sepatu, gendongan, sama soft toys saja gimana?" Livia memandang suaminya."Boleh juga."Alan memilihkan warna supaya mereka lebih cepat pergi dari sana. Sebab mereka masih harus menjemput Alvian untuk mengajaknya ke rumah dokter Pasha."Nak Alan, Livia, ibu pergi dulu, ya." Bu Rika menghampiri sambil menenteng paper bag. Setelah Alan dan Livia menyalami, wanita itu keluar dari baby shop. Mengedarkan pandangan hingga menemukan sang anak dan cucunya yang sedang ngobrol di bangku.Mereka langsung menuju ke rumah dokter Pasha. Bre y
Jujur saja, Livia masih bisa membaca isi hati lelaki itu dari tatapan matanya. Rasa itu masih ada untuknya. Pasti Alan juga mengetahui . Tapi dia memang sangat dewasa dalam menyikapi dan membawa diri. Terbayang jelas bagaimana Bre tadi memeluk Alvian. Hati Livia teriris-iris. "Menikahlah, Bre. Biar aku juga tenang. Kamu juga akan mendapatkan kebahagiaanmu. Aku sudah bahagia dengan Mas Alan dan anak kami."Sesampainya di rumah, Alvian disambut Mak Ramlah. Masuk kamar untuk ganti baju, cuci tangan, cuci kaki, dan minum susu. Sementara Livia pun langsung membersihkan diri, berganti baju. Ia memakai ling*rie s*ksi yang ditutupi di balik kimono warna putih tulang yang dipakainya.Ia menggelar dua sajadah sambil menunggu Alan keluar dari kamar mandi. Wajahnya sangat ceria kendati batinnya sedih melihat Bre."Besok aku bisa ngantor, Mas," kata Livia usai salat dan meletakkan mukena di rak sudut kamar. Kemudian menyusul sang suami dan memeluknya di atas ranjang."Sayang, kamu WFH saja sudah