Lelaki yang membuatnya terkapar di lantai. Kenapa dia tidak mati saja saat itu. Saat benar-benar terpuruk. Namun Alan juga yang membuatnya bangkit kembali. Yang menolongnya menyelamatkan perusahaan disaat para pebisnis lain pesimis bekerjasama dengan Hutama Jaya.Sekarang relasi-relasi yang dulu menjauhi ingin mendekat lagi. Tapi Bre memutuskan tidak akan bekerjasama dengan perusahaan manapun selagi Alan masih bersedia join dengannya. Ini caranya untuk membalas budi baik lelaki itu.Benar-benar beruntung sekali Hutama Jaya bisa bangkit. Sedangkan bisnis Wawan Family hanya tinggal nama saja sekarang. Tumbang tidak terselamatkan. Anak menantu mereka sekarang kerja di perusahaan lain. Termasuk Agatha dan Irma. Ferry dan Pak Ringgo untuk saat itu posisinya berada di belakang Bre. Pimpinan perusahaan dilimpahkan pada Bre. Ferry sendiri sudah tidak penuh ambisi seperti dulu. Dia sudah sadar, kalau ambisi hanya akan menyesatkan langkahnya.Bre mengalihkan perhatian saat ponsel berdering.
Alan manggut-manggut. Secara lahir ia mendukung Livia, tapi secara batin Alan berharap lain. Semoga ada sesuatu yang menggagalkan niat istrinya. Bukan ia keberatan membiayai atau tidak ingin istrinya meningkatkan kemampuan akademiknya. Namun ketidakrelaan lebih bersifat sensitif. Ia tidak ingin Livia dilirik pria lain di luar sana. Walaupun dalam dunia kerja mereka, selalu berhubungan dengan banyak relasi. Tapi Livia tidak berhadapan secara langsung dan selalu ada dirinya yang mendampingi.Akan tetapi mau tak mau ia harus terus mendukung istrinya. Apalagi Livia sudah lulus dalam ujian tes potensi akademik, tes bahasa inggris, dan tinggal menunggu hasil tes wawancara. Kalau digagalkan, Livia pasti kecewa.Alan yang mengemudi dan mereka langsung pulang ke rumah. Livia menyiapkan baju ganti saat Alan mandi. Dirinya juga bersiap-siap hendak ke kampus."Mas, nggak ke kantor kan hari ini?" tanya Livia saat Alan keluar dari kamar mandi. "Besok saja. Mas mau seharian sama kamu dan Alvian." A
RAHASIA TIGA HATI - Salam Perpisahan "Usia kehamilan sudah memasuki enam minggu. Lihat ini kantung janin juga sudah terbentuk." Dokter Nita menggerakkan tranduser. Livia dan Alan memperhatikan layar USG. Perasaan Livia campur aduk. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena akan memiliki anak kedua. Segalanya dipermudah ketika hidup bersama Alan. Sedih karena kuliahnya terancam batal lagi. Sambil mendengarkan penjelasan dokter, Livia mengingat-ingat, tentang malam di mana ia melepaskan IUD. Apa karena malam itu, di mana mereka melakukannya sepulang dari dokter kandungan. Livia ingat tidak langsung minum pil karena tak sempat. Secara pulang sudah malam dan dia sibuk beberes dan sangat lelah setelah seminar.Disaat Alan 'meminta', Livia iyakan saja. Sekali saja tidak mungkin hamil, pikirnya. Tapi siapa mengira, yang sekali itu akhirnya tumbuh benih di rahimnya. Apa mau menyalahkan Alan? Tidak mungkin. Anak itu rezeki bagi Livia sendiri. Lagipula pemakaian kontrasepsi sudah menjadi uru
Livia tersenyum samar. "Habis hamil, lahiran, jaga duo bayi sambil memulihkan diri dan ngantor. Setelah pulih, hamil lagi. Kapan aku kuliahnya."Alan tertawa seraya menggenggam tangan Livia. Bukankah itu yang Alan mau. Hamil lagi dan lagi. Livia sibuk sampai tidak kepikiran hendak kuliah. Bukan ingin menghambat cita-cita sang istri. Tapi dengan keadaan sekarang, Livia tidak harus mendapatkan title S2 untuk bekerja. Kalau dibilang suami posesif, termasuk tidak juga. Masih wajar keposesifan Alan. Tetap memberikan kebebasan istrinya untuk berkarir dan mengikuti seminar, workshop di sana sini. Dan dirinya juga bekerjasama dengan mantan suaminya Livia yang sampai sekarang masih bertahan sendirian.Alan hanya berusaha menjaga baik-baik hubungan mereka. Setelah hampir tidak punya harapan mendapatkan Livia ketika wanita itu dinikahi oleh Bre, tapi takdir berkata lain. Sekarang sudah empat tahun mereka terikat tali pernikahan. "Mas usahakan hari ini pulang di jam biasanya.""Iya.""Kalau git
Mobil melaju ke arah jantung kota. Dia ada janji ketemuan dengan Pak Robert di salah satu restoran yang ada di area foodcourt sebuah mall.Ketika sampai di sana, Pak Robert belum datang. [Maaf, kira-kira satu jam lagi saya sampai, Bre. Ada agenda dadakan. Kalau kamu ada kerepotan, apa sebaiknya kita batalkan pertemuan kali ini. Biar besok saja saya ke kantormu.] Lelaki itu mengirimkan pesan.Satu jam lumayan lama. Namun Bre memutuskan tetap menunggu. Bre tidak jadi masuk ke restoran. Dia berdiri di pagar pembatas koridor mall. Memperhatikan kesibukan di lantai bawah sana. Hingga suara panggilan membuatnya menoleh."Bre.""Gatha." Bre menyambut uluran tangan mantan istrinya dan Irma. Sepersekian detik ia pun heran, mereka masih bisa bergaul akrab kendati kedua keluarga saling bermusuhan."Kebetulan banget ketemu kamu di sini," ujar Agatha dibalik masker yang dipakainya."Kalian sedang belanja?""Iya," jawab Irma. Di kedua tangan mereka memang menenteng beberapa paper bag."Kamu sedang
RAHASIA TIGA HATI - Twin Livia diam menatap langit siang yang mendung dari balik jendela kamarnya. Baru saja dia membaca inbox dari Agatha. Wanita itu mengirimkan pesan via akun sosial medianya, tidak lewat aplikasi pesan.[Aku mau berangkat ke Singapore lusa, Liv. Sekali lagi maafkan semua kesalahanku, ya. Aku mau memulai hidup baru di negeri orang. Salam buat Alan. Sampaikan juga permintaan maafku.] Itu isi pesannya.Tentu ini pilihan yang tidak mudah juga bagi Agatha. Kalau ada kesempatan di sini, pasti dia tidak akan pergi. Livia iba juga pada mantan rivalnya itu. Kenyataan tidak sesuai harapannya bisa hidup bahagia bersama Bre.Sebenarnya dia sangat mencintai Bre sekian lama. Segala cara dilakukannya untuk mendapatkan lelaki itu. Namun kenyataannya mereka berpisah juga.Suara ketukan di pintu kamar membuat Livia menoleh."Mbak Liv, Bapak datang." Suara Mak Ramlah memberitahunya.Livia bangkit dari duduknya dan membuka pintu. Di sofa ruang keluarga Pak Rosyam duduk memangku Alvi
"Iya. Terus kapan Mbak perkiraan lahiran?" Bre memandang perut besar Kenny. Tampak wanita itu pun kepayahan. Makanya kalau dia tidak bisa datang ke acara pernikahan Ferry, Bre bisa mengerti."Perkiraan dua mingguan lagi.""Semoga lancar, Mbak. Jangan lupa kabari setelah Mbak lahiran nanti.""Pasti aku kabari. Btw setelah kakakmu, giliranmu nikah, Bre."Bre tersenyum sekilas. Tak ada bosannya sang mantan ipar selalu mengingatkannya tentang hal itu."Kamu juga bisa bahagia dengan pasangan baru. Bahagia itu diciptakan Bre, bukan dicari. Move on itu diusahakan bukan diam saja tanpa usaha."Bre menelan saliva. "Aku nggak bisa, Mbak.""Bukan nggak bisa. Tapi kamu nggak mau usaha. Ayolah, aku juga ingin melihatmu bahagia. Masa depanmu masih panjang. Apa kamu nggak ingin punya keluarga. Ada istri dan anak-anak yang bisa bikin kamu semangat kerja. Aku nggak akan bosan mengingatkanmu. Sebab aku nggak ingin kamu terus terjebak pada masa lalu.""Lihat Leo dan Lena saja aku sudah semangat, Mbak. S
"Kudoakan lahiranmu lancar, Mbak," bisik Livia pada Kenny."Aamiin. Semoga kamu nanti juga digampangkan ketika bersalin."Livia mengangguk sambil tersenyum. Dua mantan menantu Hutama berbincang lirih sambil menunggu prosesi sungkeman dan sesi foto selesai.Bu Rika menghampiri Livia dan Kenny saat acara ramah tamah. Memeluk mereka bergantian. Tidak lupa mendoakan supaya persalinan nanti tanpa kendala.Baginya Kenny tetap ibu dari kedua cucunya. Sedangkan Livia, merupakan wanita yang pernah dizoliminya. Sesalan Bu Rika tiada berkesudahan apalagi ketika Bre memutuskan untuk tetap sendiri.Bre hanya menyapa Alan, Pak Rosyam, dan dokter Pasha tanpa menghampiri Livia dan Kenny. Dua perempuan yang tengah hamil tua dan hamil muda itu pun tidak beranjak ke mana-mana. Tetap duduk di tempatnya. Kenny tidak larat membawa perut besarnya dan Livia merasa lemas dan mual."Om Ble." Alangkah sejuk hati Bre ketika bocah tampan itu menyapanya sambil tersenyum."Mau ikut sama om. Main sama Mbak Lena di l