Apa itu tandanya Pak Rosyam sudah tidak peduli? Bukan. Pak Rosyam adalah orang yang paling terpukul dengan peristiwa itu. Makanya sampai trauma dan depresi. Bayangkan di depan matanya sendiri, istri dan anaknya terjun bebas ke jurang sana.Andai kala itu ia tidak bisa menguasai diri, mungkin mobil yang dikemudikan juga ikut menyusul terjun bebas, karena jalanan menukik tajam ke bawah."Saya hanya ingin menjelaskan pada Bu Rika, walaupun mungkin Bu Rika sendiri sebenarnya sudah tahu akan hal ini. Hanya saja saya ingin meluruskan sekali lagi. Bahwa tidak ada perselingkuhan antara istri saya dan Pak Hutama. "Saya mengenal baik siapa sosok Safitria. Dia perempuan, istri, dan ibu yang baik bagi saya dan anak-anak. Menikah dengan saya, dia sudah melepaskan masa lalunya. Kami bahagia."Bu Rika makin tergugu tangisnya. Dada berkecamuk dan nyaris membuat ia ingin berteriak karena tak sanggup lagi menahan beban dalam dada.Bre yang menyadari kondisi sang mama, merangkul bahu wanita itu. Dengan
Acara ijab qobul berjalan lancar. Yang menyaksikan juga ikut bernapas lega. Hanya Ferry yang hancur saat itu. Mati-matian ia menahan diri agar tidak menangis. Melihat sang mantan bahagia di samping dokter gagah yang terlihat sangat perhatian pada dua anak kecil yang duduk menjadi pendamping.Ferry seperti mati tanpa kehilangan denyut nadi. Andai dadanya sebening kaca, mungkin bisa dilihat bagaimana segumpal darah di dalam sana sudah tidak jelas bentuknya. Ya, hatinya sedang sekarat sekarang. Sakit tapi terpaksa harus mengikhlaskan.Livia yang duduk bersama Alan di belakang Bre dan Ferry, bisa melihat betapa rapuhnya mantan kakak ipar. Alan pun bisa merasakan kehancuran Ferry. Sebab ia pernah berada di posisi itu ketika menyaksikan pernikahan antara Bre dan Livia. Namun takdir masih berpihak padanya. Tanpa curang, tanpa merebut, Livia akhirnya menjadi miliknya.Alan makin mengeratkan genggaman tangannya pada jemari sang istri. Livia menatapnya, Alan membalas dan memberi senyum.Acara
RAHASIA TIGA HATI - Mimpi yang Meresahkan Seorang wanita menggandeng anak perempuan kecil menyalami Ferry. "Cyntiara." Ferry menyalami wanita itu."Hai, Bre." Cyntiara ganti menyalami Bre."Apa kabarmu?" Bre tersenyum."Kabar baik. Nggak nyangka ketemu kalian di sini.""Ini anaknya Siska?" tanya Ferry sambil memandang anak kecil seusia Lena yang digandeng Cyntiara."Iya, anaknya Mbak Siska yang nomer dua.""Duduklah di sini bergabung dengan kami." Ferry menarik kursi dan menyuruh wanita itu duduk."Aku pesen makanan dulu." Cyntiara beranjak untuk memesan es krim kesukaan sang keponakan. Kemudian kembali duduk dan membiarkan Andin ikut bermain Lena dan Leo di playground yang tersedia di sana."Bagaimana kabar orang tuamu?" tanya Ferry. Sementara Bre sibuk memperhatikan anak-anak yang sedang bermain."Alhamdulillah, papa jarang pulang." Cyntiara tertawa sumbang. "Mama masih ngurus katering dan Mbak Siska seperti biasa. Amburadul." Gadis itu bercerita dengan nada sedih. Tidak ada yang
"Sudah telepon anak-anak?" tanya dokter Pasha yang menghampiri Kenny di sofa kamar hotel yang di booking mereka. "Sudah, Mas. Lena malah sudah tidur. Ini tadi bicara sama Leo saja. Dia tidur sama Bre.""Leo sepertinya memang lebih dekat dengan omnya, ya.""Iya. Semenjak melihat papanya menamparku waktu itu. Dia menjaga jarak dengan Mas Ferry. Leo ini seperti Bre sifatnya. Kalau sudah luka, susah sembuhnya. Sifat yang turun temurun agaknya. Papa Hutama tetap mencintai satu wanita meskipun sudah ada Mama Rika yang mendampingi dan memberinya dua putra. Kemudian Bre yang susah sekali melupakan cintanya pada Livia. Dan sekarang si Leo. Apa dia juga punya sifat keras kepala seperti kakek dan omnya.""Kita bisa membimbingnya pelan-pelan. Bagus teguh pendirian untuk hal yang baik. Tapi tidak untuk dendam atau apapun yang bakalan merugikan hidupnya sendiri. Leo masih anak-anak. Kita bisa membimbingnya secara bertahap."Kenny mengangguk senang mendengar kepedulian dokter Pasha. Semoga saja sua
"Mimpi ketemu pangeran berkuda. Ih, ganteng tahu, Mas. Pakai baju kebesaran laiknya pangeran dari negeri dongeng." Livia bercerita dengan tatap berbinar-binar. "Waktu dia mau meraih tanganku untuk diajak naik kuda, tapi nggak jadi karena Mas bangunin aku tadi." Bibir Livia mengerucut sebal. Tatapan Alan berubah tajam mendengar cerita istrinya."O, jadi kamu mau selingkuh dalam mimpimu. Padahal kamu sudah punya pangeran di dunia nyata," balas Alan.Livia terkekeh melihat wajah tegang suaminya. Alan cemburu dengan cerita karangannya. Padahal dia hanya cerita bohong. Livia tidak bermimpi seperti itu.Alan menyingkirkan selimut dari raga istrinya. Melepas satu per satu kancing piyama. "Biar mas tunjukkan siapa pemilikmu yang sebenarnya."Senyum Livia masih menghiasi bibir melihat kegundahan Alan. Mereka bercinta di malam yang dingin dan hening. "Mas, mau dengar nggak cerita detail tentang mimpiku tadi?" jemari Livia menjelajah dada Alan yang basah."Nggak usah," jawab Alan cepat. Livia
RAHASIA TIGA HATI - Tiga Tahun Kemudian "Aku tidak pernah meminta apapun, Mas. Selain pengampunan," jawab Bre sambil menerawang.Ferry pun diam menatap gerimis. "Kalau soal perasaan itu, aku sudah nggak peduli. Mau hilang atau nggak. Jika sampai mati pun aku hanya mencintai satu perempuan seperti halnya papa, nggak masalah. Tapi aku nggak akan membawa wanita lain masuk dalam hidupku dengan alasan untuk melanjutkan hidup. Sebab aku nggak ingin menyakitinya secara diam-diam seperti yang dilakukan papa pada mama. Aku mau fokus ke perusahaan. "Alan sudah banyak membantu kita, nggak mungkin aku tega menikamnya dari belakang. Livia sudah bahagia bersama Alan. Jika kembali bersamaku, belum tentu dia bisa bahagia. Lihatlah bagaimana interaksi mereka yang full chemistry. Aku sudah terlupakan sebagai masa lalu yang kelam." Bre bicara sambil mengingat jelas bagaimana Alan menatap Livia penuh perhatian. Pria berhidung mancung, sepasang matanya yang menantang terlindung alis tebal, dan senyumn
"Pokoknya semenjak kita ngobrol siang itu, Mbak Ella hanya sekali datang ke sini untuk nganterin proposal, Mbak," sahut Rasty kemudian membawa berkas pergi dari sana. Tinggallah Livia sama Mbak Cici."Baguslah, berarti dia sadar kalau aku sedang nyindir dia," ujar Mbak Cici. Membuat dahi Livia mengernyit heran. "Sayang banget kalau gadis cantik, terpelajar, dan punya karir cemerlang, salah jalan dengan mengincar suami orang. Jujur saja, saya nggak suka model perempuan seperti ini. Bikin malu citra dan harga diri perempuan saja. Dia kan lagi cari perhatiannya Pak Alan, Mbak. Masa Mbak Livia nggak nyadar?""Mbak Cici, bisa tahu ya kalau dia emang ingin mendapatkan perhatiannya Mas Alan.""Saya ini sudah pengalaman berhadapan dengan perempuan-perempuan kayak gitu, Mbak. Pekerjaan saya mengharuskan saya berinteraksi dengan banyak orang. Laki, perempuan. Jadi saya sudah paham dengan gelagat nggak bener gitu. Makanya saya sindir. Mbak Livia, pasti terasa juga, kan?""Iya. Sudah lama saya t
"Bisa." Kenny kembali duduk. Irma juga duduk di bangku depannya. Meski dadanya bergemuruh, tapi ia tetap berbesar hati sudi bicara dengan perempuan yang sudah menghancurkan rumah tangganya hampir empat tahun yang lalu.Irma tampak canggung dan serba salah. Sudah lama dia ingin menemui Kenny. Hanya saja tidak punya cukup nyali untuk mendatangi.Tadi saat melihat Kenny, secara spontan Irma memanggil."Ken, aku ingin minta maaf sama kamu. Atas segala kesalahan fatal yang pernah aku lakukan padamu. Menghancurkan rumah tanggamu dan Ferry." Suara Irma parau."Nggak apa-apa, Ir. Semua sudah berlalu. Nggak usah diungkit lagi masalah itu." Luka yang mengering, kini seperti di koyak lagi. "Aku sudah mendapatkan kehidupan baru," lanjut Kenny sambil mengusap perut buncitnya.Keduanya terdiam. Untung tempat itu sudah sepi pasien. Hanya di lorong sebelah, beberapa pengunjung rumah sakit berlalu-lalang."Kandunganmu sudah berapa bulan?" "Tujuh bulan.""Selamat, ya.""Makasih. Kamu sendiri sedang a