Dara terlihat kembali menuruni satu-persatu anak tangga menuju lantai bawah. Mengenakan dress simple berwarna hitam, dengan tas coklat yang ia tenteng. Tak lupa, wanita itu mengenakan sedikit make up untuk mempercantik dirinya. Itu terlihat dari bibirnya yang cukup merah merona. Tampilan simple, namun Dara tampak sangat elegan dengan berpenampilan seperti itu.
Ia berjalan menuju dapur untuk menemui asisten rumah tangganya. Namun, ia tidak melihat Bi Ijah berada disana. “Bi! Bi Ijah,” panggil Dara mencoba mencari pembantu rumah tangganya itu. Wanita tua dengan pakaian lusuh itu pun segera muncul dihadapan Dara dengan sebuah keranjang berwarna abu-abu yang kini sedang ia pegang. “Saya, non. Ada apa, non?” tanya Bi Ijah yang baru saja menjemur pakaian di belakang rumah. “Bibi lagi menjemur pakaian, yah?” tanya Dara berbasa-basi dengan pembantu rumah tangganya itu. Bi Ijah mengangguk kecil, “Iya, non. Tapi sudah selesai kok, non. Ada apa yah non manggil saya?” tanya Bi Ijah kembali. Dara tampak membuka tas coklat yang ia kenakan dan mengambil dompet miliknya. Ia mengeluarkan beberapa kertas uang yang berasal dari dompet dan memberikannya kepada Bi Ijah. “Ini, bi.” beri Dara. Tentu saja, Bi Ijah tidak tahu apa maksud dari majikannya itu memberikannya uang. “Ini untuk apa yah, non?” tanya wanita tua itu memastikannya. Dara tampak menutup kembali tasnya. “Saya minta tolong kepada bibi, boleh kan?” “Tentu saja boleh, non,” pungkasnya. “Cemilan milik Cleo beberapa sudah habis, bi. Saya minta tolong kepada bibi untuk pergi ke supermarket membelinya. Saya lagi gak bisa, bi. Saya harus ke kantor bapak untuk mengantar handphone miliknya yang tadi ketinggalan. Mungkin saya kembali agak siangan karena ingin pergi menemui teman saya terlebih dahulu. Karena itu saya minta tolong kepada bibi untuk membelikannya, boleh kan, bi?” jelas Dara meminta tolong kepada Bi Ijah. Bi Ijah mengangguk dan merasa tidak keberatan dengan perintah majikannya itu. “Baik, non. Segera saya belikan!” ucap Bi Ijah. “Iya, bi. Makasih yah, bi! Oh iya, bi. Nanti Cleo pulang sekolah, langsung berikan makan siangnya, yah. Kalau dia tidak mau paksa saja, bi. Atau telepon saya. Anak kecil kan memang susah banget makannya, bi,” tutur Dara mengingatkannya kepada Bi Ijah. Lagi dan lagi wanita tua itu menganggukkan kepalanya. “Iya, non. Saya tahu itu. Cleo memang susah banget kalau makan,” jawab Bi Ijah sependapat dengan majikannya. “Yaudah, kalau gitu saya pergi dulu yah, bi. Tolong bantuannya!” “Baik, non,” Dara pun segera berjalan meninggalkan Bi Ijah menuju garasi. “Non Dara mau pergi?” Langkah Dara dihentikan ketika mendengar seorang pria berbicara kepadanya. Ia melirik ke arah seorang pria tua yang kini sedang memotong beberapa tanaman di taman kecil rumahnya untuk merapikan tanaman-tanaman itu. Dara tampak tersenyum ke arah pria tua yang merupakan pengurus taman sekaligus penjaga rumahnya itu. “Pak Tarno? Iya, pak. Handphone Mas Elwin ketinggalan. Jadi saya harus ke kantornya untuk mengantar,” beritahu Dara. “Oh, iya, non. Kalau gitu hati-hati yah, non.” ucap Pak Tarno. “Makasih, pak.” Dara segera kembali berjalan menuju garasi dan masuk ke dalam mobil berwarna merah miliknya. Ia menjalankannya tepat di depan gerbang dan membunyikan klakson untuk memberitahukannya kepada Pak Tarno. Dengan sigap, Pak Tarno membuka gerbang rumah dan mempersilahkan majikannya itu untuk segera pergi. Namun, Dara tidak dapat melajukan mobilnya ketika mobil lain berada di depan gerbang menghalangi jalan. Dara segera menurunkan kaca mobilnya untuk memastikan siapa yang datang sepagi itu ke rumahnya. Pintu mobil berwarna putih yang kini berada dihadapan mobilnya terbuka, memperlihatkan seorang wanita tua dengan pakaian yang sangat mencolok. “Mama?” tanya Dara dengan segera menutup kaca mobilnya dan keluar dari kendaraannya itu. Mengenakan kacamata hitam, wanita tua yang dipanggil mama oleh Dara itu berjalan ke arah Dara. “Kau mau kemana?” tutur wanita tua itu yang merupakan ibu dari suaminya, Elwin. “Ini, ma. Handphone Mas Elwin tertinggal. Jadi aku ingin mengantarkankannya ke kantor,” ujar Dara menjelaskannya. “Pekerjaan rumahmu sudah selesai makanya kamu mau pergi?” Dara terdiam sejenak. “Sudah ada Bi Ijah yang mengerjakannya, ma. Dara sudah meminta tolong pada Bi Ijah,” beritahu Dara. Wanita tua itu tampak menghembuskan nafasnya dengan sangat kasar. Ia menatap Dara dengan tatapan sinis yang membuat Dara tidak nyaman dengan itu. “Selalu saja mengandalkan pembantu! Jika tidak ada Ijah, mungkin rumah kamu sekarang sudah seperti kapal pecah. Berantakan!” tutur Ibu Elwin itu. Dara tertawa kecil untuk menutupi ekspresinya yang sedikit terkejut dengan ucapan ibu mertuanya. Itu ia lakukan karena keadaan Pak Tarno yang masih berada disana. “Bukan begitu, ma. Mas Elwin sepertinya butuh handphone ini, makanya Dara harus mengantarkannya,” ucap Dara berharap ibu mertuanya dapat mengerti. “Halah! Alasan kamu aja itu biar dapat keluar. Kalau emang cuma mau ngantar handphone yang ketinggalan, kenapa pakaian kamu sebagus ini? Mau ganjen kamu sama pekerja disana?” Sungguh kelewatan. Kali ini, perkataan Ibu Elwin sangat kelewatan menurut Dara. “Astaga, ma. Dara gak ada berpikiran seperti itu, ma. Dara benar-benar hanya ingin mengantarkan handphone milik Mas Elwin. Pakaian Dara juga tidak yang mencolok banget kok, ma,” seru Dara membantah pernyataan ibu mertuanya. “Memang, Dara ada niatan untuk pergi ke rumah teman Dara sebentar. Tapi itu hanya ingin mengambil tas Dara yang dipinjam oleh teman Dara itu. Hanya itu saja kok, ma,” “Halah! Itu alasan kamu aja kali!” Dara menggelengkan kepalanya ketika mendengar semua perkataan ibu mertuanya. Entahlah, sudah semua yang terjadi dijelaskan oleh Dara, namun wanita tua yang sangat menjengkelkan itu tetap tidak percaya dengan menantunya itu. Dara pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya untuk mencoba menahan emosi yang sedari tadi sudah memuncak. “Sebelum mama makin berpikir yang enggak-enggak tentang Dara. Dara pergi dulu yah, ma.” Dara segera kembali masuk ke dalam mobilnya dan mengklakson mobil milik ibu mertuanya itu yang kini sedang dikendarai oleh supirnya. “Hei! Dara! Saya masih berbicara kepada kamu. Dara!” Namun, Dara segera melajukan mobilnya ketika mobil milik ibu mertuanya itu telah menyingkir dari hadapannya. Wanita itu benar-benar tidak mempedulikan apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya itu. Dara segera pergi menjauh. Sepanjang jalan, ia benar-benar sangat kesal. “Astaga! Gila kali! Dikira aku apa gak bisa pergi keluar dari rumah? Aku peliharaan mereka yang harus dikurung terus?” “Bikin kesal aja!” Dara terus menggerutu sepanjang jalan ketika ia mengingat setiap ucapan dari ibu mertuanya itu. Tak lama, ia berhasil masuk ke dalam lingkungan perusahaan milik suaminya. Memarkirkan mobilnya dan segera berjalan menuju ruangan suaminya. “Pagi, nyonya,” sapa satpam penjaga pintu perusahaan suaminya itu. “Pagi,” Dara menyapa kembali sembari melangkah menuju ruangan suaminya. Namun, langkahnya dihentikan oleh seorang wanita yang lebih muda darinya. Dia adalah karyawan perusahaan suaminya yang dikenal oleh Dara. “Nyonya! Nyonya Dara! Tunggu sebentar!” Dara membalikkan tubuhnya dan melihat wanita muda itu memasang ekspresi yang tidak biasa. Tentu saja, Dara menatapnya dengan penuh tanda tanya. Kerutan di keningnya menggambarkan itu semua. “Bianca? Ada apa?” tanya Dara pada sekretaris suaminya itu. “Nyonya mau ketemu Tuan Elwin, kan?” tanya Bianca. “Iya, benar. Saya mau ketemu suami saya. Handphonenya ketinggalan dan mungkin dia lagi ada janji dengan kliennya. Saya kira ia akan membutuhkan handphonenya,” “Benar, nyonya. Tuan Elwin sekarang sedang bertemu kliennya. Tuan Elwin bilang mereka kini sedang tidak boleh diganggu. Jadi, berikan saja handphonenya pada saya. Nanti biar saya yang memberikannya, nyonya,” ujar sekretaris suaminya itu yang mengulurkan tangannya meminta handphone milik Elwin tersebut pada Dara. Dara kembali mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan Bianca. “Kenapa tidak bisa diganggu? Memangnya siapa yang datang?” tanya Dara merasa aneh. Tidak biasanya suami nya melarang orang untuk masuk ke ruangannya jika ada klien. Kecuali itu klien yang sangat penting. “Eee– itu, nyonya. Anu–” “Sudah! Saya sendiri yang akan mengantarnya. Kamu tidak perlu khawatir.” Dara kembali melanjutkan langkahnya menaiki lift untuk menuju ruangan suaminya. Bianca tampak sangat panik. Ia terus mengikuti Dara untuk menghentikan istri dari atasannya itu. “Biar saya saja yang memberikannya, nyonya. Nyonya tidak perlu ke ruangan Tuan Elwin,”Dara benar-benar tidak peduli dengan permohonan dari Bianca yang terus memintanya untuk memberikan handphone dari suaminya itu. “Nyonya, biar saya saja yang memberikannya,” Perkataan itu terus mengiringi perjalanan Dara menuju ruangan suaminya, Elwin. Tentu saja, Dara merasakan hal yang sangat mencurigakan. Seperti ada hal yang kini tengah ditutupi oleh Bianca atas suaminya. Semua itu tergambarkan dari ekspresi wajah Bianca dan sikap gadis kecil itu. Tepat saat Dara kini berada di depan ruangan suaminya, Bianca malah memegang gagang pintu dan menahannya. Gadis itu tersenyum ke arah Dara yang kini semakin curiga dengan sikap dari Bianca. “Apa yang sedang kau lakukan, Bianca?” tanya Dara. Wanita itu tidak hanya merasa aneh dengan sikapnya, namun ia juga merasa kesal. Bagaimana tidak? Gadis itu terus mengganggu dirinya dan kini menahan agar ia tidak memasuki ruangan Elwin. “Ee– Anu, nyonya. Saya—” Bianca gelagapan dan tak dapat melanjutkan ucapannya. Ia tidak tahu harus
Dara menampar Elwin dengan sangat keras. Seluruh tubuhnya terasa bergetar. Kakinya lemas seketika. Sikapnya yang tadi sangat hebat, kini hilang seketika. Semua itu terjadi ketika Elwin mulai mengakui apa yang terjadi sebenarnya. “Udah? Tampar lagi, Dar! Tampar lagi!” pekik Elwin memintanya kepada Dara.Ingin sekali ia melakukan apa yang dikatakan oleh Elwin, namun semua itu tidak bisa ia lakukan. Seperti ada yang menahan dirinya untuk melakukan itu. “Berengsek!” Hanya itu yang dapat ia katakan ketika seluruh tubuhnya terasa lemas dan tidak dapat bergerak. “Berengsek? Terserah! Terserah kamu mau bilang apa!” pungkas Elwin marah. “Kenapa, mas? Kenapa?!!” Dara kembali berteriak dengan air mata yang terus menetes membasahi pipinya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa semua ini terjadi pada dirinya. “Kamu bertanya kenapa? Aku yang harusnya bertanya! Untuk apa aku masih bersama kamu? Kalau kamu mau nyalahin, salahin keluarga kamu yang bangkrut itu!” Dara terdiam ketika m
Seperti biasanya, Dara kini sedang bergelut dengan pekerjaan ibu rumah tangga di pagi hari. Memasak dan menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu tampak mengenakan celemek berwarna merah muda dengan teflon yang kini berada di atas kompor. Memanggang beberapa sosis dan roti. Hawa panas dapur tentu saja membuat keringat mengucur dari kening Dara. Namun, ia telah terbiasa dengan itu semua. “Non, biar saya saja,” Seorang wanita tua berpakaian lusuh tampak hadir di dalam dapur. Ia meminta pekerjaan yang tengah dilakukan oleh Dara agar dirinya saja yang mengerjakan. Namun, Dara tampak menggelengkan kepalanya dan menolak permintaan wanita tua itu. “Gak perlu, bi. Ini bentar lagi juga selesai, kok,” ujar Dara tersenyum menatap pembantu rumah tangga mereka. “Tuan masih diataskan, bi?” sambung Dara menanyakannya. Wanita tua itu mengangguk kecil. “Iya, non. Tuan masih diatas,” jawabnya.Dara pun kembali fokus terhadap masakan yang kini te