Seperti biasanya, Dara kini sedang bergelut dengan pekerjaan ibu rumah tangga di pagi hari. Memasak dan menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu tampak mengenakan celemek berwarna merah muda dengan teflon yang kini berada di atas kompor. Memanggang beberapa sosis dan roti.
Hawa panas dapur tentu saja membuat keringat mengucur dari kening Dara. Namun, ia telah terbiasa dengan itu semua. “Non, biar saya saja,” Seorang wanita tua berpakaian lusuh tampak hadir di dalam dapur. Ia meminta pekerjaan yang tengah dilakukan oleh Dara agar dirinya saja yang mengerjakan. Namun, Dara tampak menggelengkan kepalanya dan menolak permintaan wanita tua itu. “Gak perlu, bi. Ini bentar lagi juga selesai, kok,” ujar Dara tersenyum menatap pembantu rumah tangga mereka. “Tuan masih diataskan, bi?” sambung Dara menanyakannya. Wanita tua itu mengangguk kecil. “Iya, non. Tuan masih diatas,” jawabnya. Dara pun kembali fokus terhadap masakan yang kini tengah ia siapkan. “Mama!” Suara panggilan itu menyita atensi Dara. Seorang pria kecil berlari ke arah dirinya. “Cleo, jangan kemari! Disitu saja. Disini banyak minyak panas,” Dara meminta kepada anaknya untuk tidak masuk ke dalam lingkungan dapur. Itu ia lakukan untuk berjaga-jaga. Anak kecil terlalu penasaran dengan apa yang ia lihat dan sangat rusuh. Maka dari itu, Dara meminta anaknya untuk tidak mendekat kepada dirinya. Dara tampak melepaskan celemeknya, “Bi, saya minta tolong lanjutkan, yah,” ucap Dara memberikan celemek kepada pembantu rumah tangganya itu. Ia pun segera berjalan mendekat ke arah anaknya, Cleo. “Kamu sudah siap, sayang?” Dara memegang kedua bahu anaknya dan sedikit membungkukkan badannya untuk menyamakan tingginya dengan Cleo. “Sudah, ma!” seru Cleo dengan muka imutnya itu. “Kamu siap untuk bersekolah?” “Siap, bos!” “Pintar anak mama!” Dara menepuk perlahan kepala anaknya dan mengacak-acak rambut Cleo. Ia juga tersenyum ketika melihat tingkah lucu dari anaknya. Namun, atensi ibu dan anak itu teralihkan ketika mendengar suara langkah kaki menuruni satu-persatu anak tangga, memperlihatkan seorang pria tangguh dengan kemeja putih serta jas hitam yang kini tengah dikenakannya. Aroma parfum yang sangat kuat, mengiringi kehadiran pria jangkung itu. “Papa!” Cleo berteriak memanggil ayahnya dan berlari dengan cepat ke arah pria itu. “Pagi, sayang! Kamu mau berangkat sekolah, kan?” tanya pria itu bertanya pada anaknya. Cleo tampak mengangguk cepat. “Kita gak boleh pergi dengan keadaan perut kosong. Kalau gitu, kita sarapan dulu, yuk!” ajak suami Dara itu. Cleo pun tampak segera berlari menuju meja makan yang kini tengah diisi oleh pembantu rumah tangga mereka dengan makanan yang telah ia siapkan. Begitu juga dengan suami Dara, pria itu tampak sudah siap untuk melangkah ke arah meja makan. Namun, langkahnya ia hentikan ketika mendengar istrinya berbicara. “Kamu lembur hari ini, mas?” tanya Dara memastikan. Wanita itu berjalan mendekat ke arah suaminya itu dan sigap mengambil tas kerja suaminya yang kini tengah ditenteng oleh pria itu. “Tidak. Tapi aku gak tau bakal pulang jam berapa,” jawabnya. “Kalau gitu aku tunggu kamu pulang aja, yah. Soalnya tadi ibu nelpon,” beritahu Dara. “Terus?” “Ibu dan bapak mau main kesini, apakah boleh, mas?” Dara mencoba untuk meminta izin kepada suaminya. “Sekedar main, tidak menginap, kan?” Dara tampak terdiam sejenak dan tampak berpikir. “Kalau itu, aku kurang tau, mas.” pungkasnya. “Kalau hanya sekedar main, boleh. Kalau menginap, mereka mau tidur dimana?” “Disamping kamar Bi Ijah kan ada kamar kosong, mas. Di dekat kamar mandi belakang juga ada kamar kosong. Dan, kamar Cleo juga bisa digunakan, kan mas? Toh, Cleo juga sering tidur dikamar kita. Lagian, ibu dan bapak bukan pertama kali main kesini dan menginap,” ujar Dara mencoba memberitahukannya kepada suaminya itu, Elwin. “Terserah kamu ajalah! Pokoknya aku gak mau ada keributan nantinya dirumah ini!” Mata Dara membulat sempurna ketika mendengar ucapan suaminya itu. “Maksud kamu apa mas ngomong gitu?” tanya Dara tidak terima dengan perkataan Elwin barusan. “Kamu seolah-olah bilang kalau ibu dan ayahku sumber keributan?” Emosi langsung memenuhi pikiran Dara kala itu juga. Nada suara yang cukup tinggi, membuat suasana seketika tampak mencekam. Namun, Elwin tampak tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh istrinya itu. Ia berjalan meninggalkan Dara menuju meja makan, “Aku tidak ada ngomong gitu! Itu pikiranmu sendiri!” ucap pria itu sembari berjalan meninggalkan Dara. Dara benar-benar tidak habis pikir dengan perlakuan suaminya. Ingin sekali ia melempar tas kerja suaminya yang kini berada di tangannya, namun ia menahan pikiran jahatnya itu untuk tidak menarik perhatian seisi rumah. Dengan itu, Dara bergegas untuk ikut bergabung dalam meja makan. “Mama, rotinya enak! Memang makanan buatan mama paling enak!” ucap Cleo ketika Dara baru saja bergabung dan duduk disamping Elwin. “Oh, yah? Makasih, sayang.” jawab Dara. “Sarapan ini dibuat oleh Bi Ijah, Cleo. Jadi, masakan Bi Ijah lah yang terenak,” seru Elwin sembari memotong roti dan sosis yang kini sedang ia nikmati. Perkataannya membuat Dara melemparkan pandangan pada pria jangkung itu. Tentu saja, perkataan Elwin barusan sedikit membuat Dara merasa sakit hati. “Bukan, tuan! Saya hanya menghidangkan makanannya. Kalau yang memasak, itu Non Dara,” pungkas Bi Ijah yang kini masih berada di meja makan untuk menuangkan jus jeruk yang telah ia siapkan. Ekspresi wajah yang tersenyum ragu, dipaparkan oleh asisten rumah tangga mereka. Namun, Elwin tampak tidak menghiraukannya dan hanya fokus dengan sarapan yang ada di hadapannya. Tentu saja, perlakuan pria itu membuat suasana menjadi tidak nyaman. Mereka pun kembali melanjutkan sarapan tanpa ada yang berbicara atau memulai pembicaraan. Hingga akhirnya makanan habis tepat setelah sepuluh menit ketika semuanya berada di atas meja makan. Elwin pun segera berjalan meninggalkan meja makan untuk segera pergi menuju garasi mobilnya. Pria itu mengeluarkan mobil hitam kesayangannya dari garasi. Dengan itu, Dara segera membawa Cleo untuk memasuki mobil. Wanita itu juga menaruh tas kerja Elwin di belakang mobil dan membiarkan anak dan suaminya menjalankan kegiatan mereka hari itu. “Bye-bye, mama! Cleo pergi berangkat sekolah dulu, yah, ma. Dah!” Cleo melambaikan tangannya ke arah Dara yang berdiri menatap kepergian anaknya itu. “Dah, Cleo! Belajar yang baik yah, sayang. Hati-hati dijalan, mas!” Dara membalas lambaian anaknya itu. Setelah melihat anak dan suaminya pergi meninggalkan rumah megah milik mereka, Dara pun kembali memasuki rumah. Tetapi, ia malah melihat pembantu rumah tangga mereka yang kini berlari ke arahnya dengan sebuah benda pipih berwarna hitam yang kini berada ditangannya. “Itu apa, bi?” tanya Dara ketika mengetahui ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh wanita tua itu. “Ini, non. Handphone milik tuan tertinggal di atas meja makan,” beritahu Bi Ijah mengulurkan tangannya memberikan benda pipih itu kepada majikannya. Dara pun menerimanya, “Bapak memang teledor banget orangnya, yah. Yaudah, makasih yah, bi. Nanti saya yang akan memberikannya kepada bapak. Bibi bisa kembali bekerja!” ujar Dara. “Baik, non,” Bi Ijah pun segera berjalan kembali menuju dapur untuk membersihkan piring yang dipakai ketika sarapan tadi. Begitu juga dengan Dara, ia berjalan melangkah ke lantai dua untuk menuju kamarnya. Wanita itu ingin bersiap-siap untuk segera pergi menuju ke kantor suaminya. Ia akan memberikan handphone milik suaminya yang tertinggal di atas meja makan. Dara menaruh benda pipih itu pada saku bajunya. Namun, getaran dari handphone itu dapat mengganggu atensinya. Suara notifikasi terdengar menyusul getaran dari handphone Elwin. Dara sangat yakin itu adalah sebuah notifikasi pesan. Maka dari itu, Dara segera membuka handphone Elwin dan mendapatkan sebuah notifikasi pesan dari seseorang yang tampak di layar utama. Baby: Aku sudah sampai di kantor, yah! Tentu saja, Dara merasa aneh dengan pesan yang baru saja muncul. “Baby?” Keningnya mengerut ketika membaca pesan singkat itu. Dara tampak mencoba membuka handphone suaminya, namun ia tidak bisa. Sebuah kata sandi diminta untuk membuka handphone milik Elwin. Wanita itu memasukkan tanggal lahir Elwin, tanggal pernikahan mereka, tanggal lahir Dara, dan terakhir tanggal lahir dari anaknya, Cleo. Namun tidak ada yang benar diantaranya! “Seingatku, terakhir kata sandi handphone Mas Elwin adalah tanggal lahir Cleo. Lalu, ini kenapa tidak bisa?” tanya Dara mencoba berpikir sejenak. “Ah, sudahlah! Mungkin itu adalah klien Mas Elwin. Kebetulan saja namanya Baby dan mereka mungkin memiliki janji untuk bertemu pagi ini di kantor. Aku harus segera berangkat ke sana! Mungkin saja Mas Elwin membutuhkan handphonenya.” Dara mencoba berpikir jernih dan mempercepat dirinya untuk bersiap-siap.Dara terlihat kembali menuruni satu-persatu anak tangga menuju lantai bawah. Mengenakan dress simple berwarna hitam, dengan tas coklat yang ia tenteng. Tak lupa, wanita itu mengenakan sedikit make up untuk mempercantik dirinya. Itu terlihat dari bibirnya yang cukup merah merona. Tampilan simple, namun Dara tampak sangat elegan dengan berpenampilan seperti itu. Ia berjalan menuju dapur untuk menemui asisten rumah tangganya. Namun, ia tidak melihat Bi Ijah berada disana. “Bi! Bi Ijah,” panggil Dara mencoba mencari pembantu rumah tangganya itu.Wanita tua dengan pakaian lusuh itu pun segera muncul dihadapan Dara dengan sebuah keranjang berwarna abu-abu yang kini sedang ia pegang. “Saya, non. Ada apa, non?” tanya Bi Ijah yang baru saja menjemur pakaian di belakang rumah. “Bibi lagi menjemur pakaian, yah?” tanya Dara berbasa-basi dengan pembantu rumah tangganya itu.Bi Ijah mengangguk kecil, “Iya, non. Tapi sudah selesai kok, non. Ada apa yah non manggil saya?” tanya Bi I
Dara benar-benar tidak peduli dengan permohonan dari Bianca yang terus memintanya untuk memberikan handphone dari suaminya itu. “Nyonya, biar saya saja yang memberikannya,” Perkataan itu terus mengiringi perjalanan Dara menuju ruangan suaminya, Elwin. Tentu saja, Dara merasakan hal yang sangat mencurigakan. Seperti ada hal yang kini tengah ditutupi oleh Bianca atas suaminya. Semua itu tergambarkan dari ekspresi wajah Bianca dan sikap gadis kecil itu. Tepat saat Dara kini berada di depan ruangan suaminya, Bianca malah memegang gagang pintu dan menahannya. Gadis itu tersenyum ke arah Dara yang kini semakin curiga dengan sikap dari Bianca. “Apa yang sedang kau lakukan, Bianca?” tanya Dara. Wanita itu tidak hanya merasa aneh dengan sikapnya, namun ia juga merasa kesal. Bagaimana tidak? Gadis itu terus mengganggu dirinya dan kini menahan agar ia tidak memasuki ruangan Elwin. “Ee– Anu, nyonya. Saya—” Bianca gelagapan dan tak dapat melanjutkan ucapannya. Ia tidak tahu harus
Dara menampar Elwin dengan sangat keras. Seluruh tubuhnya terasa bergetar. Kakinya lemas seketika. Sikapnya yang tadi sangat hebat, kini hilang seketika. Semua itu terjadi ketika Elwin mulai mengakui apa yang terjadi sebenarnya. “Udah? Tampar lagi, Dar! Tampar lagi!” pekik Elwin memintanya kepada Dara.Ingin sekali ia melakukan apa yang dikatakan oleh Elwin, namun semua itu tidak bisa ia lakukan. Seperti ada yang menahan dirinya untuk melakukan itu. “Berengsek!” Hanya itu yang dapat ia katakan ketika seluruh tubuhnya terasa lemas dan tidak dapat bergerak. “Berengsek? Terserah! Terserah kamu mau bilang apa!” pungkas Elwin marah. “Kenapa, mas? Kenapa?!!” Dara kembali berteriak dengan air mata yang terus menetes membasahi pipinya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa semua ini terjadi pada dirinya. “Kamu bertanya kenapa? Aku yang harusnya bertanya! Untuk apa aku masih bersama kamu? Kalau kamu mau nyalahin, salahin keluarga kamu yang bangkrut itu!” Dara terdiam ketika m
Dara menampar Elwin dengan sangat keras. Seluruh tubuhnya terasa bergetar. Kakinya lemas seketika. Sikapnya yang tadi sangat hebat, kini hilang seketika. Semua itu terjadi ketika Elwin mulai mengakui apa yang terjadi sebenarnya. “Udah? Tampar lagi, Dar! Tampar lagi!” pekik Elwin memintanya kepada Dara.Ingin sekali ia melakukan apa yang dikatakan oleh Elwin, namun semua itu tidak bisa ia lakukan. Seperti ada yang menahan dirinya untuk melakukan itu. “Berengsek!” Hanya itu yang dapat ia katakan ketika seluruh tubuhnya terasa lemas dan tidak dapat bergerak. “Berengsek? Terserah! Terserah kamu mau bilang apa!” pungkas Elwin marah. “Kenapa, mas? Kenapa?!!” Dara kembali berteriak dengan air mata yang terus menetes membasahi pipinya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa semua ini terjadi pada dirinya. “Kamu bertanya kenapa? Aku yang harusnya bertanya! Untuk apa aku masih bersama kamu? Kalau kamu mau nyalahin, salahin keluarga kamu yang bangkrut itu!” Dara terdiam ketika m
Dara benar-benar tidak peduli dengan permohonan dari Bianca yang terus memintanya untuk memberikan handphone dari suaminya itu. “Nyonya, biar saya saja yang memberikannya,” Perkataan itu terus mengiringi perjalanan Dara menuju ruangan suaminya, Elwin. Tentu saja, Dara merasakan hal yang sangat mencurigakan. Seperti ada hal yang kini tengah ditutupi oleh Bianca atas suaminya. Semua itu tergambarkan dari ekspresi wajah Bianca dan sikap gadis kecil itu. Tepat saat Dara kini berada di depan ruangan suaminya, Bianca malah memegang gagang pintu dan menahannya. Gadis itu tersenyum ke arah Dara yang kini semakin curiga dengan sikap dari Bianca. “Apa yang sedang kau lakukan, Bianca?” tanya Dara. Wanita itu tidak hanya merasa aneh dengan sikapnya, namun ia juga merasa kesal. Bagaimana tidak? Gadis itu terus mengganggu dirinya dan kini menahan agar ia tidak memasuki ruangan Elwin. “Ee– Anu, nyonya. Saya—” Bianca gelagapan dan tak dapat melanjutkan ucapannya. Ia tidak tahu harus
Dara terlihat kembali menuruni satu-persatu anak tangga menuju lantai bawah. Mengenakan dress simple berwarna hitam, dengan tas coklat yang ia tenteng. Tak lupa, wanita itu mengenakan sedikit make up untuk mempercantik dirinya. Itu terlihat dari bibirnya yang cukup merah merona. Tampilan simple, namun Dara tampak sangat elegan dengan berpenampilan seperti itu. Ia berjalan menuju dapur untuk menemui asisten rumah tangganya. Namun, ia tidak melihat Bi Ijah berada disana. “Bi! Bi Ijah,” panggil Dara mencoba mencari pembantu rumah tangganya itu.Wanita tua dengan pakaian lusuh itu pun segera muncul dihadapan Dara dengan sebuah keranjang berwarna abu-abu yang kini sedang ia pegang. “Saya, non. Ada apa, non?” tanya Bi Ijah yang baru saja menjemur pakaian di belakang rumah. “Bibi lagi menjemur pakaian, yah?” tanya Dara berbasa-basi dengan pembantu rumah tangganya itu.Bi Ijah mengangguk kecil, “Iya, non. Tapi sudah selesai kok, non. Ada apa yah non manggil saya?” tanya Bi I
Seperti biasanya, Dara kini sedang bergelut dengan pekerjaan ibu rumah tangga di pagi hari. Memasak dan menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu tampak mengenakan celemek berwarna merah muda dengan teflon yang kini berada di atas kompor. Memanggang beberapa sosis dan roti. Hawa panas dapur tentu saja membuat keringat mengucur dari kening Dara. Namun, ia telah terbiasa dengan itu semua. “Non, biar saya saja,” Seorang wanita tua berpakaian lusuh tampak hadir di dalam dapur. Ia meminta pekerjaan yang tengah dilakukan oleh Dara agar dirinya saja yang mengerjakan. Namun, Dara tampak menggelengkan kepalanya dan menolak permintaan wanita tua itu. “Gak perlu, bi. Ini bentar lagi juga selesai, kok,” ujar Dara tersenyum menatap pembantu rumah tangga mereka. “Tuan masih diataskan, bi?” sambung Dara menanyakannya. Wanita tua itu mengangguk kecil. “Iya, non. Tuan masih diatas,” jawabnya.Dara pun kembali fokus terhadap masakan yang kini te