Dara benar-benar tidak peduli dengan permohonan dari Bianca yang terus memintanya untuk memberikan handphone dari suaminya itu.
“Nyonya, biar saya saja yang memberikannya,” Perkataan itu terus mengiringi perjalanan Dara menuju ruangan suaminya, Elwin. Tentu saja, Dara merasakan hal yang sangat mencurigakan. Seperti ada hal yang kini tengah ditutupi oleh Bianca atas suaminya. Semua itu tergambarkan dari ekspresi wajah Bianca dan sikap gadis kecil itu. Tepat saat Dara kini berada di depan ruangan suaminya, Bianca malah memegang gagang pintu dan menahannya. Gadis itu tersenyum ke arah Dara yang kini semakin curiga dengan sikap dari Bianca. “Apa yang sedang kau lakukan, Bianca?” tanya Dara. Wanita itu tidak hanya merasa aneh dengan sikapnya, namun ia juga merasa kesal. Bagaimana tidak? Gadis itu terus mengganggu dirinya dan kini menahan agar ia tidak memasuki ruangan Elwin. “Ee– Anu, nyonya. Saya—” Bianca gelagapan dan tak dapat melanjutkan ucapannya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa kepada Dara, karna dirinya sekarang hanya berusaha untuk istri atasannya itu tidak memasuki ruangan. “Minggir!” ujar Dara. Namun, Bianca tidak bergerak sama sekali dan tetap memegang gagang pintu tersebut. Dara hanya tertawa kecil melihat tingkah Bianca. Ia membuka paksa pintu yang kini ditahan oleh sekretaris suaminya itu. Melihat Dara yang sudah sangat kesal, Bianca pun merasa takut. Ia melepaskan tangannya dan membiarkan Dara membuka pintu ruangan atasannya itu. KREK!! Pintu terbuka dengan usaha dari Dara. Wanita itu langsung melirik ke arah suaminya yang kini sedang fokus menatap layar laptop di meja kerjanya. Dara berjalan mendekat ke arah suaminya dan melihat ke setiap sudut ruangan. “Apa yang kamu lakukan disini?” Pertanyaan dari Elwin mampu mengalihkan atensi Dara yang kini sedang mencari sesuatu di dalam ruangan itu. “Kata Bianca kamu kini sedang bertemu klien. Dimana orangnya?” tanya Dara penuh curiga. Bagaimana tidak? Semenjak ia datang, ia merasa sangat aneh dengan semuanya. Mulai dari sikap Bianca kepada dirinya, dan kini, ia tidak melihat seorangpun berada disana. Padahal, sekretaris suaminya itu mengatakan bahwa sedang ada klien penting yang kini berbincang dengan Elwin. “Dia sudah pergi!” jawab Elwin datar. “Siapa?” tanya Dara ambigu. “Apanya?” Elwin tidak mengetahui pertanyaan Dara. “Kliennya. Siapa kliennya sampai-sampai aku sendiri gak bisa masuk kesini?” Dara bertanya untuk memastikannya. Elwin tampak mengerutkan keningnya dan menatap ke arah Bianca. “Apakah aku ada mengatakan bahwa tidak ada yang bisa memasuki ruangan ini, Bianca?” Tatapan tajam dilemparkan Elwin ke arah sekretarisnya yang kini berdiri di depan pintu. Bianca tampak takut. Ia menurunkan pandangannya dan menggeleng perlahan. “Tidak ada, tuan.” jawab gadis itu. “Jelaskan? Aku tidak ada menyuruh Bianca untuk melakukan itu.” pungkas Elwin. Namun, Dara tidak percaya dengan itu semua. Ia masih merasa aneh dengan sikap Bianca. “Lalu, kenapa kamu menahan saya untuk tidak memasuki ruangan ini, Bianca?” tanya Dara mengintrogasi gadis kecil itu. Bianca tampak diam saja. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan dari istri atasannya itu. “Jawab, Bianca!” bentak Dara terbawa emosi. Tetap saja, gadis itu tidak dapat membuka mulutnya. Tatapannya yang takut untuk menatap Dara jelas terlihat. Ia terus menatap ke arah lantai dan tidak berani menegakkan pandangannya. “Oke! Kalau memang kamu tidak ingin menjawabnya. Saya tidak masalah,” ujar Dara menghembuskan nafas kasar melihat tingkah konyol Bianca. “Tapi kamu harus mengikuti perkataan saya!” ucapan dari Dara itu mampu membuat pandangan Bianca menatap ke arah dirinya. Gadis kecil yang tidak tahu maksud perkataan Dara barusan, hanya terdiam sembari menatap ke arah wanita yang kini berbicara pada dirinya. “Saya minta tolong kepada kamu. Singkirkan lipstik yang ada di atas meja itu!” suruh Dara dengan lantangnya. Satu ucapan yang membuat seisi ruangan tampak terkejut dengan ucapan dari Dara. Dara membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah suaminya yang kini sedang menatap ke arah meja kecil di dekat sofa di ruangannya. Begitu juga dengan Bianca yang memasang muka terkejut. Bola mata yang membulat sempurna dan mulut yang sedikit terbuka, menggambarkan betapa kagetnya gadis kecil itu ketika mendengar perintah dari istri atasannya. “Itu punya siapa, mas? Kok ada lipstik di ruangan kamu?” tanya Dara mencoba memastikannya. Elwin menutup laptopnya dan mencoba berdiri dari tempat duduknya. Pria itu berjalan ke arah meja kecil itu dan mengambil lipstik yang ada diatasnya. Ia tampak mencoba memperhatikan detail barang tersebut. “Tolong telpon klien yang tadi, Bianca. Katakan lipstiknya tertinggal!” suruh Elwin pada sekretarisnya. Bianca tampak mengangguk kecil, “Ba-baik, tuan.” jawab Bianca sedikit ketakutan. “Dan katakan pada kliennya, jam tangannya juga tertinggal!” ucap Dara menunjukkan sebuah arloji berwarna emas yang ia dapat di atas meja kerja Elwin, tepat di dekat laptop suaminya. Dara tersenyum menunjukkannya kepada Elwin dan juga Bianca. “Tunggu!” pungkas Dara. “Bagaimana bisa jam tangan klien bisa ada di atas meja kerja seorang direktur? Apakah kalian berbicara disini?” tanya Dara semakin merasa aneh. “Bukankah setiap tamu yang memasuki ruangan ini, hanya duduk diatas sofa itu!” tunjuk Dara pada sofa di dekat meja kecil tempat lipstik tadi berada. Elwin terlihat diam saja ketika melihat Dara menunjukkan jam tangan seorang wanita yang ia dapat di atas meja Elwin. “Katakan bahwa jam tangannya juga ketinggalan, Bianca!” suruh Elwin. “Ba-baik, tuan.” “Ayolah!” Dara tampak berjalan menuju pintu toilet yang ada di dekatnya. Ia berdiri disana sembari menatap ke arah Elwin yang kini merubah ekspresinya. “Bianca!” panggil Dara kepada sekretaris suaminya. “I-iya, a-ada apa, nyonya?” ucapan Bianca yang masih terbata-bata, menggambarkan bahwa ia masih merasa takut. “Kamu gak perlu repot-repot menelpon kliennya. Kayaknya, kliennya masih ada disini,” pungkas Dara. “Ma-maksudnya, nyonya?” Bianca memasang mimik wajah penuh tanda tanya. TOK! TOK! TOK! Dara menokok pintu toilet yang ada di dalam ruangan suaminya itu. “Halo, klien terhormat! Kamu sudah selesai bersembunyinya? Sudahlah. Drama kalian sudah berakhir,” ucap Dara berbicara sendiri. “Apa yang kamu katakan, Dara!” Elwin mendekat ke arah Dara dan menarik tangan wanita itu untuk menjauh dari toilet. Namun, Dara melawan tarikan suaminya itu dan melepaskannya. “Apa yang aku katakan?” tanya Dara tersenyum tipis. “Harusnya aku yang bertanya, mas. Apa yang kamu lakukan dengan wanita jalang ini?” Dara membuka pintu toilet. Seorang wanita dengan pakaian yang sedikit terbuka terlihat di dalam ruangan kecil itu. Mengenakan tas berwarna hitam, wanita itu memasang wajah penuh ketakutan. Elwin tampak memukul keningnya keras dan terkejut dengan perlakuan Dara barusan. “Gila yah, mas! Gila kamu tau gak?” pekik Dara menatap Elwin dengan sangat tajam. “Dar, aku bisa–” “Apa? Apa?!! Mau jelasin? Enggak perlu, mas. Kamu mau bilang kalau ini klien kamu itu?” Dara tertawa kecil dan menaikkan sudut bibir kanannya. “Klien mana yang di umpetin di dalam kamar mandi saat istri dari direktur datang? Klien mana?” “Dari awal aku udah curiga yah dengan sikap Bianca. Lalu, aku masuk dan ngeliat lipstik di atas meja! Bahkan jam tangannya ada di meja kamu loh, mas.” “Satu lagi!” Dara membuka tasnya dan mengambil benda pipih milik suaminya itu di dalam tasnya. “Ini! Buka sendiri! Ada pesan masuk tuh dari wanita jalang ini!” suruh Dara kepada suaminya itu. Elwin tampak segera mengambil handphone miliknya dari tangan Dara. Ia segera mengecek pesan yang masuk sesuai yang dikatakan oleh Dara dan itu semua benar. “Apa? Klien? Gila kamu!” “Kamu juga, Bianca! Saya gak nyangka kamu bisa ikut-ikutan menutupi ini dari saya. Kamu gak ingat siapa yang membantu kamu untuk bisa masuk ke perusahaan ini? Kamu gak ingat itu? Hah?” pekik Dara kepada gadis kecil yang kini berdiri di dekat pintu masuk ruangan. “Dan kamu!” Dara memasuki toilet dan menarik rambut wanita yang ada di dalam sana. “Sini kamu, dasar jalang!” teriak Dara menarik rambut wanita itu. Wanita itu tampak berteriak menahan rasa sakit ketika Dara menarik rambutnya dengan sangat keras. Tentu saja, wanita itu tidak dapat melawan Dara saat itu karena Dara kini tengah dipenuhi emosi. “Dara! Lepasin! Apa yang kamu lakukan! Lepasin!” Elwin menarik tubuh Dara hingga terjatuh. Wanita dengan dress berwarna hitam itu pun terjatuh di atas lantai ketika menerima tarikan dari Elwin. “Udah! Cukup!” teriak Elwin. Dara tampak bangkit dan menatap ke arah suaminya. Matanya kini berkaca-kaca. Ingin sekali ia meneteskan air mata, namun kini ia menahannya. “Iya! Aku mengaku. Aku selingkuh! Puas kamu?!!” Mendengar itu, tentu saja Dara tidak dapat menahan tangisannya. Air mata berhasil jatuh membasahi pipinya. Tangannya mengepal sangat keras dibawah sana. PLAK!Dara menampar Elwin dengan sangat keras. Seluruh tubuhnya terasa bergetar. Kakinya lemas seketika. Sikapnya yang tadi sangat hebat, kini hilang seketika. Semua itu terjadi ketika Elwin mulai mengakui apa yang terjadi sebenarnya. “Udah? Tampar lagi, Dar! Tampar lagi!” pekik Elwin memintanya kepada Dara.Ingin sekali ia melakukan apa yang dikatakan oleh Elwin, namun semua itu tidak bisa ia lakukan. Seperti ada yang menahan dirinya untuk melakukan itu. “Berengsek!” Hanya itu yang dapat ia katakan ketika seluruh tubuhnya terasa lemas dan tidak dapat bergerak. “Berengsek? Terserah! Terserah kamu mau bilang apa!” pungkas Elwin marah. “Kenapa, mas? Kenapa?!!” Dara kembali berteriak dengan air mata yang terus menetes membasahi pipinya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa semua ini terjadi pada dirinya. “Kamu bertanya kenapa? Aku yang harusnya bertanya! Untuk apa aku masih bersama kamu? Kalau kamu mau nyalahin, salahin keluarga kamu yang bangkrut itu!” Dara terdiam ketika m
Seperti biasanya, Dara kini sedang bergelut dengan pekerjaan ibu rumah tangga di pagi hari. Memasak dan menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu tampak mengenakan celemek berwarna merah muda dengan teflon yang kini berada di atas kompor. Memanggang beberapa sosis dan roti. Hawa panas dapur tentu saja membuat keringat mengucur dari kening Dara. Namun, ia telah terbiasa dengan itu semua. “Non, biar saya saja,” Seorang wanita tua berpakaian lusuh tampak hadir di dalam dapur. Ia meminta pekerjaan yang tengah dilakukan oleh Dara agar dirinya saja yang mengerjakan. Namun, Dara tampak menggelengkan kepalanya dan menolak permintaan wanita tua itu. “Gak perlu, bi. Ini bentar lagi juga selesai, kok,” ujar Dara tersenyum menatap pembantu rumah tangga mereka. “Tuan masih diataskan, bi?” sambung Dara menanyakannya. Wanita tua itu mengangguk kecil. “Iya, non. Tuan masih diatas,” jawabnya.Dara pun kembali fokus terhadap masakan yang kini te
Dara terlihat kembali menuruni satu-persatu anak tangga menuju lantai bawah. Mengenakan dress simple berwarna hitam, dengan tas coklat yang ia tenteng. Tak lupa, wanita itu mengenakan sedikit make up untuk mempercantik dirinya. Itu terlihat dari bibirnya yang cukup merah merona. Tampilan simple, namun Dara tampak sangat elegan dengan berpenampilan seperti itu. Ia berjalan menuju dapur untuk menemui asisten rumah tangganya. Namun, ia tidak melihat Bi Ijah berada disana. “Bi! Bi Ijah,” panggil Dara mencoba mencari pembantu rumah tangganya itu.Wanita tua dengan pakaian lusuh itu pun segera muncul dihadapan Dara dengan sebuah keranjang berwarna abu-abu yang kini sedang ia pegang. “Saya, non. Ada apa, non?” tanya Bi Ijah yang baru saja menjemur pakaian di belakang rumah. “Bibi lagi menjemur pakaian, yah?” tanya Dara berbasa-basi dengan pembantu rumah tangganya itu.Bi Ijah mengangguk kecil, “Iya, non. Tapi sudah selesai kok, non. Ada apa yah non manggil saya?” tanya Bi I
Dara menampar Elwin dengan sangat keras. Seluruh tubuhnya terasa bergetar. Kakinya lemas seketika. Sikapnya yang tadi sangat hebat, kini hilang seketika. Semua itu terjadi ketika Elwin mulai mengakui apa yang terjadi sebenarnya. “Udah? Tampar lagi, Dar! Tampar lagi!” pekik Elwin memintanya kepada Dara.Ingin sekali ia melakukan apa yang dikatakan oleh Elwin, namun semua itu tidak bisa ia lakukan. Seperti ada yang menahan dirinya untuk melakukan itu. “Berengsek!” Hanya itu yang dapat ia katakan ketika seluruh tubuhnya terasa lemas dan tidak dapat bergerak. “Berengsek? Terserah! Terserah kamu mau bilang apa!” pungkas Elwin marah. “Kenapa, mas? Kenapa?!!” Dara kembali berteriak dengan air mata yang terus menetes membasahi pipinya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa semua ini terjadi pada dirinya. “Kamu bertanya kenapa? Aku yang harusnya bertanya! Untuk apa aku masih bersama kamu? Kalau kamu mau nyalahin, salahin keluarga kamu yang bangkrut itu!” Dara terdiam ketika m
Dara benar-benar tidak peduli dengan permohonan dari Bianca yang terus memintanya untuk memberikan handphone dari suaminya itu. “Nyonya, biar saya saja yang memberikannya,” Perkataan itu terus mengiringi perjalanan Dara menuju ruangan suaminya, Elwin. Tentu saja, Dara merasakan hal yang sangat mencurigakan. Seperti ada hal yang kini tengah ditutupi oleh Bianca atas suaminya. Semua itu tergambarkan dari ekspresi wajah Bianca dan sikap gadis kecil itu. Tepat saat Dara kini berada di depan ruangan suaminya, Bianca malah memegang gagang pintu dan menahannya. Gadis itu tersenyum ke arah Dara yang kini semakin curiga dengan sikap dari Bianca. “Apa yang sedang kau lakukan, Bianca?” tanya Dara. Wanita itu tidak hanya merasa aneh dengan sikapnya, namun ia juga merasa kesal. Bagaimana tidak? Gadis itu terus mengganggu dirinya dan kini menahan agar ia tidak memasuki ruangan Elwin. “Ee– Anu, nyonya. Saya—” Bianca gelagapan dan tak dapat melanjutkan ucapannya. Ia tidak tahu harus
Dara terlihat kembali menuruni satu-persatu anak tangga menuju lantai bawah. Mengenakan dress simple berwarna hitam, dengan tas coklat yang ia tenteng. Tak lupa, wanita itu mengenakan sedikit make up untuk mempercantik dirinya. Itu terlihat dari bibirnya yang cukup merah merona. Tampilan simple, namun Dara tampak sangat elegan dengan berpenampilan seperti itu. Ia berjalan menuju dapur untuk menemui asisten rumah tangganya. Namun, ia tidak melihat Bi Ijah berada disana. “Bi! Bi Ijah,” panggil Dara mencoba mencari pembantu rumah tangganya itu.Wanita tua dengan pakaian lusuh itu pun segera muncul dihadapan Dara dengan sebuah keranjang berwarna abu-abu yang kini sedang ia pegang. “Saya, non. Ada apa, non?” tanya Bi Ijah yang baru saja menjemur pakaian di belakang rumah. “Bibi lagi menjemur pakaian, yah?” tanya Dara berbasa-basi dengan pembantu rumah tangganya itu.Bi Ijah mengangguk kecil, “Iya, non. Tapi sudah selesai kok, non. Ada apa yah non manggil saya?” tanya Bi I
Seperti biasanya, Dara kini sedang bergelut dengan pekerjaan ibu rumah tangga di pagi hari. Memasak dan menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu tampak mengenakan celemek berwarna merah muda dengan teflon yang kini berada di atas kompor. Memanggang beberapa sosis dan roti. Hawa panas dapur tentu saja membuat keringat mengucur dari kening Dara. Namun, ia telah terbiasa dengan itu semua. “Non, biar saya saja,” Seorang wanita tua berpakaian lusuh tampak hadir di dalam dapur. Ia meminta pekerjaan yang tengah dilakukan oleh Dara agar dirinya saja yang mengerjakan. Namun, Dara tampak menggelengkan kepalanya dan menolak permintaan wanita tua itu. “Gak perlu, bi. Ini bentar lagi juga selesai, kok,” ujar Dara tersenyum menatap pembantu rumah tangga mereka. “Tuan masih diataskan, bi?” sambung Dara menanyakannya. Wanita tua itu mengangguk kecil. “Iya, non. Tuan masih diatas,” jawabnya.Dara pun kembali fokus terhadap masakan yang kini te