Desa Awan Jingga adalah desa kecil yang tersembunyi di kaki Gunung Seruni. Kabut tebal yang meliputi desa itu hampir tak pernah pergi, bahkan di siang hari. Konon, kabut itu bukan hanya kabut biasa. Para tetua desa percaya, kabut itu adalah perwujudan dari makhluk gaib yang menjaga desa dari ancaman dunia luar. Namun bagi Arka, seorang pemuda berusia dua puluh tahun, cerita itu hanyalah takhayul yang diwariskan turun-temurun.
Sejak kecil, Arka sudah terbiasa dengan kehidupan yang sederhana dan terpencil di desa. Ibunya, seorang dukun bayi yang dihormati, sering kali bercerita tentang leluhur mereka yang memiliki hubungan erat dengan dunia gaib. Tapi Arka selalu menganggap itu dongeng pengantar tidur. Baginya, dunia ini hanya memiliki satu kenyataan: kerja keras untuk bertahan hidup. Namun, semua keyakinannya berubah pada suatu malam, ketika kabut di desa menjadi lebih pekat dari biasanya. Malam itu, Arka duduk di beranda rumahnya yang terbuat dari kayu tua. Angin dingin menusuk kulitnya, dan suara jangkrik terdengar begitu keras seolah menjadi satu-satunya kehidupan di desa. Ibunya sudah tidur, tetapi Arka belum bisa memejamkan mata. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. “Terlalu sepi,” gumamnya sambil memandang kabut yang semakin menebal di kejauhan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Suara itu aneh, tidak teratur, seperti orang yang menyeret kakinya. Arka berdiri, mencoba melihat siapa yang datang di tengah malam seperti ini. Tapi kabut terlalu tebal, membuatnya hanya bisa melihat bayangan samar. “Siapa itu?” teriak Arka, suaranya menggema di antara pepohonan. Tidak ada jawaban. Hanya langkah kaki yang semakin mendekat. Jantung Arka mulai berdegup lebih cepat. Ia mengambil obor kecil yang tergantung di tiang beranda dan menyalakannya. Sinar api yang kecil itu terasa tidak cukup untuk menembus kabut. “Siapa pun kau, jangan bercanda! Ini sudah malam!” katanya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas. Langkah itu berhenti. Hening. Hanya suara angin yang berhembus pelan. Tapi tiba-tiba, dari dalam kabut, muncul sebuah bayangan besar. Arka mundur selangkah, memegang erat obornya. Bayangan itu bergerak perlahan, dan saat semakin dekat, Arka menyadari bahwa itu bukan manusia. Bayangan itu adalah sosok tinggi dengan tubuh yang seolah terbuat dari kabut. Wajahnya samar, hanya terlihat dua mata merah yang menatap tajam ke arah Arka. “Arka...” suara berat itu menggema, membuat bulu kuduk Arka berdiri. “Siapa kau?!” seru Arka, mencoba terdengar berani meski suaranya bergetar. Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengulurkan tangannya yang panjang dan menunjuk ke arah bukit di belakang rumah Arka. “Cari... Buku...” suara itu terdengar seperti bisikan ribuan orang sekaligus. Sebelum Arka bisa bertanya lebih lanjut, sosok itu menghilang bersama kabut. Arka berdiri terpaku, napasnya terengah engah. Ia menatap ke arah yang ditunjuk oleh makhluk itu: bukit kecil yang selama ini tidak pernah ia perhatikan. Setelah beberapa menit berusaha menenangkan diri, Arka memutuskan untuk kembali ke dalam rumah. Ia yakin kejadian tadi hanya mimpi buruk atau imajinasinya saja. Tapi saat ia membuka pintu, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di atas meja kayu di ruang tamu, ada sebuah buku tua yang tampak seperti baru diletakkan di sana. Padahal, ia yakin betul bahwa meja itu kosong sebelum ia keluar rumah. Buku itu memiliki sampul hitam yang sudah kusam, dengan ukiran aneh di bagian depannya. Tidak ada judul, tidak ada nama pengarang. Hanya simbol simbol yang tampak seperti tulisan kuno. Arka mendekat dengan hati-hati, tangan gemetar saat ia menyentuh sampul buku itu. Begitu ia membuka halaman pertama, angin dingin berhembus dari dalam buku, seolah-olah membawa suara bisikan dari dunia lain. Tulisan di dalamnya bukan huruf yang ia kenal, tetapi entah bagaimana, ia bisa membacanya dengan jelas: "Yang membaca ini, bersiaplah memasuki dunia yang tak pernah terlihat oleh mata manusia. Dunia di balik bayang." Arka menutup buku itu dengan cepat, dadanya naik-turun karena ketakutan. Tapi rasa ingin tahunya lebih besar daripada ketakutannya. Ia membuka buku itu lagi dan mulai membaca halaman demi halaman. Setiap kata yang ia baca seperti membuka pintu ke dunia lain, membuatnya merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya. Saat malam semakin larut, Arka menyadari bahwa buku itu bukan hanya sekadar buku biasa. Buku itu adalah peta menuju dunia gaib yang selama ini ia anggap hanya mitos. Ketika akhirnya ia menutup buku itu untuk kedua kalinya, sesuatu di luar rumahnya menarik perhatiannya. Kabut yang tadi mulai menipis kini kembali pekat, dan suara langkah kaki yang tadi ia dengar muncul lagi. Tapi kali ini, langkah itu tidak terdengar seperti manusia atau makhluk lain. Suaranya lebih berat, lebih menyeramkan. Arka berdiri di depan jendela, mencoba melihat apa yang ada di luar. Tapi sebelum ia sempat melihat apa pun, suara keras mengetuk pintu rumahnya. “Arka...” suara berat itu memanggil namanya lagi. Dengan gemetar, Arka berjalan ke arah pintu. Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi, tetapi entah mengapa ia merasa harus membuka pintu itu. Saat tangannya menyentuh gagang pintu, buku di atas meja tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, dan cahaya biru yang terang keluar dari halaman-halamannya. Arka berbalik, terkejut melihat buku itu melayang di udara. Cahaya biru itu semakin terang, dan dari dalamnya, muncul sosok seorang pria tua dengan jubah panjang. Mata pria itu bersinar seperti bintang, dan suaranya terdengar penuh wibawa saat ia berkata: “Arka, kau telah dipilih. Perjalananmu dimulai sekarang.” Sebelum Arka sempat bertanya apa maksudnya, cahaya biru itu menyelimuti seluruh ruangan, dan dunia di sekitarnya berubah menjadi gelap gulita.Ketika Arka membuka matanya, ia tidak lagi berada di rumah. Di sekelilingnya hanya ada kegelapan pekat, seolah dunia telah kehilangan semua warna. Tubuhnya terasa ringan, seperti melayang di udara. Tapi entah bagaimana, ia tahu bahwa tempat ini bukanlah dunia yang ia kenal. "Di mana aku?" bisiknya, suaranya bergema panjang. Tiba-tiba, cahaya biru yang tadi muncul dari buku kembali bersinar di hadapannya. Dari cahaya itu, pria tua berjubah panjang yang ia lihat sebelumnya muncul lagi. Kali ini, wajah pria itu terlihat lebih jelas. Kulitnya keriput seperti pohon tua, tetapi matanya memancarkan kebijaksanaan dan kekuatan. "Kau berada di batas antara dunia manusia dan dunia gaib," kata pria itu dengan suara berat, tetapi tidak menyeramkan. "Namaku Ki Jarang, penjaga buku yang kau baca. Kau telah membangunkan sesuatu yang sudah lama tertidur." Arka memandang pria itu dengan tatapan bingung. "Aku tidak mengerti. Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa. Buku itu... muncul begitu sa
Makhluk itu melompat dengan kecepatan luar biasa, membuat Arka hampir tak sempat bereaksi. Bayangan hitam itu memiliki tubuh seperti serigala, tetapi dengan tangan panjang yang menyerupai cakar. Matanya yang merah menyala tampak seperti bara api yang menyala di dalam kegelapan. Arka melangkah mundur dengan panik, memegang pedang erat-erat. “Aku tidak tahu caranya bertarung!” serunya, berharap Ki Jarang akan memberikan petunjuk. “Percayalah pada pedang itu!” jawab Ki Jarang dengan tegas. Makhluk itu menerkam, cakarnya terayun dengan kekuatan yang cukup untuk merobek pohon. Dengan naluri bertahan hidup, Arka mengangkat pedangnya. Dalam sekejap, pedang itu memancarkan cahaya biru terang, memblokir serangan makhluk itu. Percikan energi seperti petir memancar dari benturan tersebut, membuat makhluk itu melolong kesakitan dan mundur beberapa langkah. Arka terpaku, matanya membelalak. Ia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, tetapi ia merasakan sesuatu di dalam dirinya, seperti
Pagi datang, tetapi rasa tenang yang biasanya menyelimuti Desa Awan Jingga tidak terasa bagi Arka. Ia duduk di beranda rumahnya, memandangi bukit di kejauhan. Pikirannya masih berputar-putar, mengingat peristiwa malam sebelumnya. Pertarungannya dengan makhluk-makhluk bayangan, kehadiran Ki Jarang, dan buku misterius itu terasa seperti mimpi buruk. Tapi bekas luka kecil di lengannya akibat cakar salah satu makhluk itu membuktikan semuanya nyata. Ibunya keluar dari dapur, membawa segelas teh hangat. Ia menatap Arka dengan cemas. “Kamu tidak tidur semalam?” tanya sang ibu, suaranya lembut. Arka menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya banyak pikiran.” Sang ibu duduk di sampingnya. Ia menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. “Arka, aku tahu ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan. Mata kamu tidak pernah berbohong. Apa yang sebenarnya terjadi?” Arka hampir saja menceritakan semuanya. Ia ingin berbagi apa yang ia alami, tetapi sesuatu dalam dirinya menghentikannya. Ia tid
Makhluk besar itu menerjang dengan kecepatan yang tidak wajar. Arka nyaris tidak sempat mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan. Tubuh bayangan itu terasa seperti angin pekat yang membawa dingin menusuk tulang. Meski tak terlihat nyata, setiap serangannya membawa kekuatan yang luar biasa. Saat pedang Arka berbenturan dengan makhluk itu, energi biru dari pedang memancar terang, menciptakan percikan cahaya yang menyilaukan. Makhluk itu melolong kesakitan, mundur beberapa langkah, tetapi tidak sepenuhnya hancur. Arka terhuyung ke belakang, napasnya tersengal-sengal. "Kau lebih kuat dari yang kukira, Penjaga," desis makhluk itu dengan suara menggema yang menggetarkan seluruh ruangan. Arka menggenggam pedangnya erat, meskipun tangannya mulai gemetar. "Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan dari buku ini?" Makhluk itu tidak langsung menjawab. Matanya yang merah menyala menatap Arka tajam, penuh kebencian. "Aku adalah salah satu yang terkurung oleh segel leluhurmu. Selama bera
Awan gelap di atas Desa Awan Jingga terus bergulung, semakin pekat seiring malam merambat. Cahaya merah yang menyembur dari langit seperti merobek keheningan desa, menciptakan getaran yang membuat tanah bergetar. Arka berdiri di depan rumahnya, pedang di tangan, menatap kilatan cahaya yang berputar-putar seperti pusaran badai di langit. Ki Jarang berdiri di sampingnya, ekspresi serius terpancar di wajahnya yang biasanya tenang. "Portal itu adalah gerbang antara dunia manusia dan dunia gaib. Jika mereka berhasil membukanya, makhluk-makhluk dari sana akan mengalir ke sini seperti banjir yang tak terbendung." Arka menggenggam pedangnya lebih erat. "Bagaimana kita menghentikannya?" Ki Jarang menghela napas panjang. "Kita harus masuk ke dalam portal itu sebelum terbuka sepenuhnya dan menghancurkan inti ritualnya. Tapi ingat, Arka, ini tidak akan mudah. Dunia di sisi lain portal bukanlah tempat yang ramah bagi manusia." "Aku siap," jawab Arka tegas, meskipun hatinya masih diliputi kerag
Makhluk besar itu berdiri di tengah altar, tubuhnya mengeluarkan kilauan seperti bara api yang hampir padam. Udara di sekitar Arka terasa berat, seolah-olah energi dari makhluk itu menarik semua kekuatan di sekitarnya. Ki Jarang, yang berdiri di samping Arka, memandang makhluk itu dengan mata tajam. "Itu adalah Penjaga. Dia tidak hanya melindungi inti ritual, tetapi juga terhubung langsung dengan kekuatannya. Kita harus menghentikannya sebelum ia menjadi lebih kuat." Arka menggenggam pedangnya lebih erat. Meski tubuhnya terasa lelah setelah pertarungan sebelumnya, ia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. "Apa aku cukup kuat untuk menghadapinya?" pikirnya. Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh gunung. "Beraninya kalian memasuki wilayah ini. Aku adalah pengawal dunia ini, dan kalian tidak akan pernah berhasil melewati aku!" Pertarungan Dimulai Tanpa peringatan, Penjaga itu mengangkat tangannya, menciptakan gelombang energi yang menghantam tanah. Retakan besar muncul
Langit di atas lembah itu semakin gelap. Setiap jejak cahaya yang sebelumnya tersisa, kini mulai menghilang di balik awan kelam yang bergerak cepat. Energi gaib yang mengelilingi altar terasa semakin padat, menekan tubuh Arka dan Ki Jarang dengan kekuatan yang menakutkan. "Gerbang ini... bukan hanya portal biasa," kata Ki Jarang, suaranya penuh ketegasan. "Ini adalah pintu menuju dunia yang lebih gelap, yang tidak seharusnya kita masuki. Jika kita membiarkannya terbuka lebih lama, maka dunia ini akan terhubung langsung dengan kegelapan yang tak terhingga." Arka merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik gerbang tersebut. Sesuatu yang tidak bisa ia lihat, namun bisa ia rasakan, sebuah ancaman yang jauh lebih besar daripada apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Arka dengan suara penuh ketegangan. Ia memandang altar yang masih berdiri kokoh, meskipun sebagian besar telah hancur. Cahaya merah yang memancar dari retakan-retakan altar kin
Langkah Arka dan Ki Jarang terasa berat. Di depan mereka, entitas raksasa yang baru muncul dari kegelapan itu tidak bergerak, tetapi keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat udara di sekitar terasa menekan. Matanya yang merah menyala seperti bara api menembus jiwa, membuat Arka hampir tidak bisa bernapas. "Ki Jarang, apa itu?" bisik Arka, suaranya nyaris tak terdengar. Ki Jarang, yang biasanya tenang, tampak lebih gugup dari sebelumnya. "Itu bukan makhluk biasa, Arka. Ia adalah manifestasi dari kekuatan yang menjaga keseimbangan antara dunia ini dan dunia kita. Gerbang tadi telah membuka jalannya. Kita tidak hanya berada di dunia mereka, tetapi di hadapan penguasa mereka." Sebelum Arka bisa merespons, makhluk itu bergerak, suaranya bergema di ruangan gelap itu. "Kalian yang datang tanpa diundang, telah melanggar hukum kuno yang memisahkan dunia kita. Apa alasan keberadaan kalian di sini?" Arka mencoba menjawab, tetapi kata-kata tidak keluar. Ia hanya bisa menatap makhluk itu d
Arka melangkah keluar dari altar dengan hati yang berat. Ia meninggalkan tempat suci itu sendirian, tanpa Ki Jarang di sisinya. Udara di sekeliling terasa berbeda, lebih segar, lebih tenang, tetapi kehampaan di hatinya begitu kuat hingga nyaris menenggelamkan rasa lega.Saat ia berjalan kembali ke dunia yang kini telah berubah, kenangan terakhir tentang Ki Jarang terus terputar dalam benaknya. Kata-kata terakhir sang mentor, "Lindungi dunia ini dengan segala kekuatanmu," terdengar seperti janji yang terlalu berat untuk ditanggung oleh seorang pemuda. Namun Arka tahu, ia tidak memiliki pilihan lain. Dunia ini membutuhkan harapan, dan kini harapan itu ada padanya.Dunia yang SunyiSetelah berjalan selama beberapa jam, Arka akhirnya keluar dari padang rumput yang terbentuk menggantikan hutan hidup. Ia mendapati dirinya berada di sebuah dataran luas, dengan sisa-sisa kehancuran di sekelilingnya. Pohon-pohon hangus, tanah yang retak, dan reruntuhan bangunan menjadi pemandangan yang menyamb
Saat Arka dan Ki Jarang melangkah menyusuri jalan batu yang mengarah ke altar, suasana di sekitar mereka berubah. Hutan yang sebelumnya menyeramkan perlahan memudar, seperti bayangan yang ditelan cahaya. Udara yang sebelumnya terasa berat kini mulai menghangat, dan di kejauhan, altar bercahaya tampak semakin jelas.Namun, setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah beban tak kasat mata menarik tubuh mereka ke bawah. Arka bisa merasakan keringat dingin mengalir di dahinya, tetapi ia menolak untuk berhenti."Ini hampir berakhir," kata Ki Jarang dengan napas terengah.Arka mengangguk, tetapi keraguan mulai tumbuh di hatinya. "Ki Jarang, apa yang akan terjadi jika kita gagal? Penjaga itu mengatakan bahwa jiwa kita bisa lenyap."Ki Jarang menghentikan langkahnya sejenak, menatap Arka. "Itu kemungkinan yang nyata. Tetapi jika kita tidak mencoba, dunia kita akan hancur lebih cepat dari yang bisa kita bayangkan. Risiko ini adalah sesuatu yang harus kita ta
Saat Arka dan Ki Jarang melangkah melewati pintu yang dipilih, mereka diselimuti cahaya putih yang begitu terang hingga menutupi pandangan mereka sepenuhnya. Rasanya seperti tubuh mereka ditarik dan diurai menjadi serpihan, hanya untuk dirakit kembali di tempat yang tidak mereka kenali.Ketika cahaya itu perlahan memudar, mereka menemukan diri mereka di tempat yang sama sekali berbeda. Sebuah hutan lebat terbentang di hadapan mereka, tetapi ada sesuatu yang salah. Pohon-pohon di sekitar mereka tidak seperti pohon biasa; batangnya terbuat dari sesuatu yang tampak seperti tulang, sementara daunnya berwarna hitam dan bergerak meskipun angin tidak berhembus. Suasana di hutan itu sunyi, tetapi bukan sunyi yang menenangkan, lebih seperti sunyi yang dipenuhi ancaman."Apa ini?" bisik Arka, mencoba menyesuaikan pandangannya.Ki Jarang memeriksa lingkungan sekitar dengan saksama. "Ini adalah ruang lain dalam ujian kita," katanya. "Kita belum keluar. Penjaga itu masih mengawasi kita."Benar saj
Kegelapan yang menyelimuti Arka dan Ki Jarang terasa lebih pekat daripada malam tanpa bulan. Mereka jatuh tanpa akhir, seperti ditelan oleh kehampaan. Rasa dingin yang menembus tulang mulai menyelimuti tubuh mereka. Arka mencoba berteriak, tetapi suaranya tenggelam dalam kesunyian. Tiba-tiba, mereka terhempas ke permukaan yang keras. Arka membuka matanya perlahan, menahan rasa sakit di tubuhnya. Dia melihat Ki Jarang sudah berdiri, meski sedikit terhuyung, sambil mengamati lingkungan sekitar. Mereka berada di sebuah ruang besar yang dikelilingi oleh dinding hitam berkilauan seperti obsidian. Ruangan itu tampak tak berujung, dengan lantai yang memantulkan bayangan mereka. Di tengah ruangan, berdiri sebuah monumen berbentuk lonceng besar yang terbuat dari logam hitam pekat. Energi gaib memancar darinya, mengalir ke udara seperti asap yang bergerak hidup. "Di mana kita?" tanya Arka, suaranya serak. Ki Jarang tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya, mencoba merasakan energi di sek
Langkah Arka dan Ki Jarang terasa berat. Di depan mereka, entitas raksasa yang baru muncul dari kegelapan itu tidak bergerak, tetapi keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat udara di sekitar terasa menekan. Matanya yang merah menyala seperti bara api menembus jiwa, membuat Arka hampir tidak bisa bernapas. "Ki Jarang, apa itu?" bisik Arka, suaranya nyaris tak terdengar. Ki Jarang, yang biasanya tenang, tampak lebih gugup dari sebelumnya. "Itu bukan makhluk biasa, Arka. Ia adalah manifestasi dari kekuatan yang menjaga keseimbangan antara dunia ini dan dunia kita. Gerbang tadi telah membuka jalannya. Kita tidak hanya berada di dunia mereka, tetapi di hadapan penguasa mereka." Sebelum Arka bisa merespons, makhluk itu bergerak, suaranya bergema di ruangan gelap itu. "Kalian yang datang tanpa diundang, telah melanggar hukum kuno yang memisahkan dunia kita. Apa alasan keberadaan kalian di sini?" Arka mencoba menjawab, tetapi kata-kata tidak keluar. Ia hanya bisa menatap makhluk itu d
Langit di atas lembah itu semakin gelap. Setiap jejak cahaya yang sebelumnya tersisa, kini mulai menghilang di balik awan kelam yang bergerak cepat. Energi gaib yang mengelilingi altar terasa semakin padat, menekan tubuh Arka dan Ki Jarang dengan kekuatan yang menakutkan. "Gerbang ini... bukan hanya portal biasa," kata Ki Jarang, suaranya penuh ketegasan. "Ini adalah pintu menuju dunia yang lebih gelap, yang tidak seharusnya kita masuki. Jika kita membiarkannya terbuka lebih lama, maka dunia ini akan terhubung langsung dengan kegelapan yang tak terhingga." Arka merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik gerbang tersebut. Sesuatu yang tidak bisa ia lihat, namun bisa ia rasakan, sebuah ancaman yang jauh lebih besar daripada apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Arka dengan suara penuh ketegangan. Ia memandang altar yang masih berdiri kokoh, meskipun sebagian besar telah hancur. Cahaya merah yang memancar dari retakan-retakan altar kin
Makhluk besar itu berdiri di tengah altar, tubuhnya mengeluarkan kilauan seperti bara api yang hampir padam. Udara di sekitar Arka terasa berat, seolah-olah energi dari makhluk itu menarik semua kekuatan di sekitarnya. Ki Jarang, yang berdiri di samping Arka, memandang makhluk itu dengan mata tajam. "Itu adalah Penjaga. Dia tidak hanya melindungi inti ritual, tetapi juga terhubung langsung dengan kekuatannya. Kita harus menghentikannya sebelum ia menjadi lebih kuat." Arka menggenggam pedangnya lebih erat. Meski tubuhnya terasa lelah setelah pertarungan sebelumnya, ia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. "Apa aku cukup kuat untuk menghadapinya?" pikirnya. Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh gunung. "Beraninya kalian memasuki wilayah ini. Aku adalah pengawal dunia ini, dan kalian tidak akan pernah berhasil melewati aku!" Pertarungan Dimulai Tanpa peringatan, Penjaga itu mengangkat tangannya, menciptakan gelombang energi yang menghantam tanah. Retakan besar muncul
Awan gelap di atas Desa Awan Jingga terus bergulung, semakin pekat seiring malam merambat. Cahaya merah yang menyembur dari langit seperti merobek keheningan desa, menciptakan getaran yang membuat tanah bergetar. Arka berdiri di depan rumahnya, pedang di tangan, menatap kilatan cahaya yang berputar-putar seperti pusaran badai di langit. Ki Jarang berdiri di sampingnya, ekspresi serius terpancar di wajahnya yang biasanya tenang. "Portal itu adalah gerbang antara dunia manusia dan dunia gaib. Jika mereka berhasil membukanya, makhluk-makhluk dari sana akan mengalir ke sini seperti banjir yang tak terbendung." Arka menggenggam pedangnya lebih erat. "Bagaimana kita menghentikannya?" Ki Jarang menghela napas panjang. "Kita harus masuk ke dalam portal itu sebelum terbuka sepenuhnya dan menghancurkan inti ritualnya. Tapi ingat, Arka, ini tidak akan mudah. Dunia di sisi lain portal bukanlah tempat yang ramah bagi manusia." "Aku siap," jawab Arka tegas, meskipun hatinya masih diliputi kerag
Makhluk besar itu menerjang dengan kecepatan yang tidak wajar. Arka nyaris tidak sempat mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan. Tubuh bayangan itu terasa seperti angin pekat yang membawa dingin menusuk tulang. Meski tak terlihat nyata, setiap serangannya membawa kekuatan yang luar biasa. Saat pedang Arka berbenturan dengan makhluk itu, energi biru dari pedang memancar terang, menciptakan percikan cahaya yang menyilaukan. Makhluk itu melolong kesakitan, mundur beberapa langkah, tetapi tidak sepenuhnya hancur. Arka terhuyung ke belakang, napasnya tersengal-sengal. "Kau lebih kuat dari yang kukira, Penjaga," desis makhluk itu dengan suara menggema yang menggetarkan seluruh ruangan. Arka menggenggam pedangnya erat, meskipun tangannya mulai gemetar. "Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan dari buku ini?" Makhluk itu tidak langsung menjawab. Matanya yang merah menyala menatap Arka tajam, penuh kebencian. "Aku adalah salah satu yang terkurung oleh segel leluhurmu. Selama bera