BAB 4 : Rahasia di Balik Kabut

Pagi datang, tetapi rasa tenang yang biasanya menyelimuti Desa Awan Jingga tidak terasa bagi Arka. Ia duduk di beranda rumahnya, memandangi bukit di kejauhan. Pikirannya masih berputar-putar, mengingat peristiwa malam sebelumnya. Pertarungannya dengan makhluk-makhluk bayangan, kehadiran Ki Jarang, dan buku misterius itu terasa seperti mimpi buruk. Tapi bekas luka kecil di lengannya akibat cakar salah satu makhluk itu membuktikan semuanya nyata.

Ibunya keluar dari dapur, membawa segelas teh hangat. Ia menatap Arka dengan cemas.

“Kamu tidak tidur semalam?” tanya sang ibu, suaranya lembut.

Arka menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya banyak pikiran.”

Sang ibu duduk di sampingnya. Ia menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. “Arka, aku tahu ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan. Mata kamu tidak pernah berbohong. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Arka hampir saja menceritakan semuanya. Ia ingin berbagi apa yang ia alami, tetapi sesuatu dalam dirinya menghentikannya. Ia tidak ingin membebani ibunya, apalagi jika ini menyangkut dunia gaib yang sulit dipahami.

“Tidak ada, Bu,” jawabnya sambil memaksakan senyum. “Aku hanya bingung soal pekerjaan.”

Ibunya menatapnya dengan curiga, tetapi akhirnya mengangguk. “Kalau begitu, jangan dipendam sendiri. Kamu tahu, Ibu selalu ada untukmu.”

Setelah ibunya kembali ke dapur, Arka menatap buku yang tergeletak di meja ruang tamu. Buku itu tampak begitu tenang, tetapi Arka tahu bahwa di balik ketenangannya, tersembunyi rahasia besar yang mengubah hidupnya.

Suaranya gemetar saat ia bergumam, “Kenapa harus aku?”

Petunjuk dari Masa Lalu

Hari itu, Arka memutuskan untuk mencari jawaban. Ia berjalan menuju rumah Pak Gama, tetua desa yang dikenal sebagai penjaga cerita-cerita lama tentang Desa Awan Jingga. Jika ada orang yang tahu tentang buku itu atau tentang Ki Jarang, pastilah Pak Gama.

Rumah Pak Gama terletak di ujung desa, dikelilingi oleh pohon-pohon beringin tua. Saat Arka tiba, ia disambut oleh Pak Gama yang sedang duduk di bale-bale depan rumahnya, memegang tongkat kayu yang sudah usang.

“Arka! Sudah lama tidak ke sini. Ada apa, Nak?” tanya Pak Gama dengan senyum ramah.

Arka duduk di depan Pak Gama, berusaha menyusun kata-kata. “Pak, saya mau tanya soal... sesuatu yang aneh.”

Pak Gama mengangkat alis. “Aneh bagaimana? Ceritakan.”

Arka menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Apa Bapak pernah dengar cerita tentang buku kuno? Buku yang katanya punya kekuatan gaib?”

Wajah Pak Gama langsung berubah. Senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi serius. Ia menatap Arka lekat-lekat, seolah mencoba membaca pikirannya.

“Kenapa kau menanyakan itu?” tanya Pak Gama dengan suara pelan.

“Saya... saya menemukannya, Pak. Buku itu ada di rumah saya.”

Pak Gama terdiam cukup lama sebelum akhirnya berbicara lagi. “Buku itu bukan sembarang buku, Arka. Itu adalah warisan dari leluhur kita, penjaga desa ini. Tapi buku itu sudah hilang selama puluhan tahun. Tidak ada yang tahu ke mana perginya, sampai sekarang.”

Arka menelan ludah. “Leluhur kita? Maksudnya, keluarga saya?”

Pak Gama mengangguk. “Ya. Keluarga kalian adalah keturunan langsung dari penjaga dunia gaib. Dulu, desa ini adalah perbatasan antara dunia manusia dan dunia lain. Tugas penjaga adalah memastikan tidak ada makhluk gaib yang melanggar batas.”

Arka menggeleng tak percaya. “Kenapa tidak ada yang pernah menceritakan ini kepada saya?”

“Karena tugas itu dianggap sudah selesai,” jawab Pak Gama. “Penjaga terakhir, kakek buyutmu, menyegel dunia gaib dengan bantuan buku itu. Tapi sepertinya, segel itu mulai melemah. Itulah sebabnya buku itu muncul kembali.”

Hati Arka bergetar mendengar penjelasan itu. Tiba-tiba, semua cerita yang pernah ia dengar dari ibunya tentang leluhur mereka terasa masuk akal.

“Pak,” kata Arka pelan. “Kalau segel itu melemah, apa yang akan terjadi?”

Pak Gama menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Makhluk-makhluk dari dunia gaib akan bebas masuk ke dunia manusia. Dan jika itu terjadi, tidak ada yang bisa menghentikan mereka... kecuali kau, Arka.”

Bayangan yang Mengintai

Setelah meninggalkan rumah Pak Gama, Arka merasa beban di pundaknya semakin berat. Ia sekarang tahu bahwa takdirnya tidak bisa dihindari. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia tidak memiliki pengalaman atau kemampuan untuk menghadapi makhluk-makhluk gaib.

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, Arka memutuskan untuk membuka buku itu lagi. Ia ingin mencari petunjuk tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Namun begitu ia membuka halaman pertama, angin dingin berhembus di dalam rumahnya, membuat lilin-lilin di meja padam. Buku itu bergetar, dan dari dalamnya muncul suara bisikan yang familiar.

“Arka...”

Ia menoleh ke sekeliling, tetapi tidak ada siapa-siapa. Cahaya biru mulai memancar dari halaman buku, dan tiba-tiba bayangan besar muncul di sudut ruangan. Bayangan itu tidak memiliki bentuk yang jelas, tetapi matanya yang merah menyala membuat Arka tahu bahwa itu bukan sesuatu yang bersahabat.

Makhluk itu menggeram pelan. “Buku itu milik kami...”

Arka melangkah mundur, meraih pedang yang ia simpan di samping meja. Pedang itu memancarkan cahaya biru begitu disentuhnya, seolah menyadari bahaya yang ada di depan.

Makhluk itu melangkah maju, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Serahkan buku itu, atau kau akan menyesal.”

Dengan napas terengah-engah, Arka mengangkat pedangnya. Ia tahu ia tidak punya pilihan. Jika ia menyerahkan buku itu, tidak hanya ia yang dalam bahaya, tetapi seluruh dunia manusia.

“Kalau kau mau buku ini,” katanya dengan suara bergetar, “datang dan ambil sendiri!”

Makhluk itu melolong, dan tanpa peringatan, menerjang ke arahnya.