Makhluk itu melompat dengan kecepatan luar biasa, membuat Arka hampir tak sempat bereaksi. Bayangan hitam itu memiliki tubuh seperti serigala, tetapi dengan tangan panjang yang menyerupai cakar. Matanya yang merah menyala tampak seperti bara api yang menyala di dalam kegelapan.
Arka melangkah mundur dengan panik, memegang pedang erat-erat. “Aku tidak tahu caranya bertarung!” serunya, berharap Ki Jarang akan memberikan petunjuk. “Percayalah pada pedang itu!” jawab Ki Jarang dengan tegas. Makhluk itu menerkam, cakarnya terayun dengan kekuatan yang cukup untuk merobek pohon. Dengan naluri bertahan hidup, Arka mengangkat pedangnya. Dalam sekejap, pedang itu memancarkan cahaya biru terang, memblokir serangan makhluk itu. Percikan energi seperti petir memancar dari benturan tersebut, membuat makhluk itu melolong kesakitan dan mundur beberapa langkah. Arka terpaku, matanya membelalak. Ia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, tetapi ia merasakan sesuatu di dalam dirinya, seperti energi yang membimbing gerakannya. “Jangan ragu, Arka!” teriak Ki Jarang. “Mereka tidak akan berhenti sampai kau menghancurkan mereka!” Makhluk itu bangkit lagi, kali ini lebih marah. Suaranya melengking, memanggil dua bayangan hitam lainnya yang muncul dari dalam kabut. Arka menggenggam pedangnya lebih erat. Tubuhnya gemetar, tetapi ia tahu ia tidak bisa lari. Ketiga makhluk itu mengepungnya, bergerak seperti kilatan bayangan. Arka berusaha mengikuti gerakan mereka, tetapi terlalu cepat. Ia hanya melihat kilasan mata merah menyala di sekitarnya. “Tutup matamu!” seru Ki Jarang. Arka terkejut. “Apa? Kau serius?” “Tutup matamu dan dengarkan!” ulang Ki Jarang dengan nada mendesak. Meskipun ragu, Arka memutuskan untuk menurut. Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan napasnya. Pada awalnya, ia hanya mendengar suara lolongan dan langkah kaki makhluk-makhluk itu. Tetapi perlahan, suara-suara itu menjadi lebih jelas, seperti gema yang bergema di dalam pikirannya. Ia bisa merasakan keberadaan mereka, meskipun tidak melihatnya. “Sekarang, serang!” perintah Ki Jarang. Dengan mata tetap tertutup, Arka mengayunkan pedangnya ke arah kanan. Cahaya biru dari pedang itu memancar seperti kilat, mengenai salah satu makhluk dan membuatnya melolong kesakitan sebelum menghilang menjadi kabut hitam. Dua makhluk lainnya menyerang secara bersamaan. Arka memutar tubuhnya, mengayunkan pedang dengan gerakan cepat. Ia merasakan energi yang mengalir melalui pedangnya, seperti kekuatan yang membimbing setiap gerakannya. Dalam satu tebasan, kedua makhluk itu lenyap, meninggalkan sisa-sisa kabut yang berputar-putar di udara sebelum menghilang sepenuhnya. Ketika Arka membuka matanya, ia hanya melihat hutan yang sunyi dan Ki Jarang berdiri di depannya dengan senyum puas. “Kau melakukannya,” kata Ki Jarang. Arka terjatuh ke tanah, kelelahan. “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya...” “Itu adalah kekuatan yang telah lama tertidur dalam dirimu,” jelas Ki Jarang sambil membantu Arka berdiri. “Pedang itu hanya alat. Kekuatan sejati datang dari dalam dirimu. Tetapi ini baru permulaan, Arka. Musuh yang lebih kuat akan segera datang.” Arka menggeleng pelan, masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. “Aku bahkan tidak yakin aku ingin melanjutkan ini. Aku bukan pahlawan. Aku hanya ingin hidup normal.” Ki Jarang menatapnya tajam. “Hidup normal bukan lagi pilihan, Arka. Dunia manusia dalam bahaya, dan hanya kau yang bisa menghentikannya. Jika kau lari, kau tidak hanya meninggalkan takdirmu, tetapi juga membahayakan semua orang yang kau cintai.” Kata-kata itu menusuk hati Arka. Ia memikirkan ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika makhluk-makhluk itu menyerang desanya. “Apa yang harus kulakukan selanjutnya?” tanyanya akhirnya, meskipun suaranya masih dipenuhi keraguan. Ki Jarang tersenyum tipis. “Kau harus melanjutkan pelatihanmu. Dunia ini penuh dengan bahaya, dan kau harus siap menghadapi apa pun yang datang. Tapi untuk sekarang, kita harus kembali ke dunia manusia. Kau sudah membuat cukup banyak kegaduhan di sini.” Ki Jarang mengangkat tangannya, dan cahaya biru kembali menyelimuti mereka. Dunia di sekitarnya mulai memudar, digantikan oleh pemandangan rumah Arka yang sederhana. Saat Arka membuka matanya, ia sudah berdiri di ruang tamu rumahnya. Buku kuno itu kembali tergeletak di atas meja, tampak seperti benda biasa. “Ini baru permulaan, Arka,” kata Ki Jarang. “Ingat, setiap kali kau membuka buku itu, kau akan memasuki dunia yang sama. Gunakan waktumu dengan bijak. Aku akan menunggumu di sana.” Sebelum Arka sempat menjawab, Ki Jarang menghilang, meninggalkan Arka sendirian dengan pikirannya yang kacau. Ia menatap buku itu dengan perasaan campur aduk. Sebuah perjalanan baru telah dimulai, tetapi ia tidak tahu ke mana perjalanan itu akan membawanya. Yang ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Pagi datang, tetapi rasa tenang yang biasanya menyelimuti Desa Awan Jingga tidak terasa bagi Arka. Ia duduk di beranda rumahnya, memandangi bukit di kejauhan. Pikirannya masih berputar-putar, mengingat peristiwa malam sebelumnya. Pertarungannya dengan makhluk-makhluk bayangan, kehadiran Ki Jarang, dan buku misterius itu terasa seperti mimpi buruk. Tapi bekas luka kecil di lengannya akibat cakar salah satu makhluk itu membuktikan semuanya nyata. Ibunya keluar dari dapur, membawa segelas teh hangat. Ia menatap Arka dengan cemas. “Kamu tidak tidur semalam?” tanya sang ibu, suaranya lembut. Arka menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya banyak pikiran.” Sang ibu duduk di sampingnya. Ia menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. “Arka, aku tahu ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan. Mata kamu tidak pernah berbohong. Apa yang sebenarnya terjadi?” Arka hampir saja menceritakan semuanya. Ia ingin berbagi apa yang ia alami, tetapi sesuatu dalam dirinya menghentikannya. Ia tid
Makhluk besar itu menerjang dengan kecepatan yang tidak wajar. Arka nyaris tidak sempat mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan. Tubuh bayangan itu terasa seperti angin pekat yang membawa dingin menusuk tulang. Meski tak terlihat nyata, setiap serangannya membawa kekuatan yang luar biasa. Saat pedang Arka berbenturan dengan makhluk itu, energi biru dari pedang memancar terang, menciptakan percikan cahaya yang menyilaukan. Makhluk itu melolong kesakitan, mundur beberapa langkah, tetapi tidak sepenuhnya hancur. Arka terhuyung ke belakang, napasnya tersengal-sengal. "Kau lebih kuat dari yang kukira, Penjaga," desis makhluk itu dengan suara menggema yang menggetarkan seluruh ruangan. Arka menggenggam pedangnya erat, meskipun tangannya mulai gemetar. "Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan dari buku ini?" Makhluk itu tidak langsung menjawab. Matanya yang merah menyala menatap Arka tajam, penuh kebencian. "Aku adalah salah satu yang terkurung oleh segel leluhurmu. Selama bera
Awan gelap di atas Desa Awan Jingga terus bergulung, semakin pekat seiring malam merambat. Cahaya merah yang menyembur dari langit seperti merobek keheningan desa, menciptakan getaran yang membuat tanah bergetar. Arka berdiri di depan rumahnya, pedang di tangan, menatap kilatan cahaya yang berputar-putar seperti pusaran badai di langit. Ki Jarang berdiri di sampingnya, ekspresi serius terpancar di wajahnya yang biasanya tenang. "Portal itu adalah gerbang antara dunia manusia dan dunia gaib. Jika mereka berhasil membukanya, makhluk-makhluk dari sana akan mengalir ke sini seperti banjir yang tak terbendung." Arka menggenggam pedangnya lebih erat. "Bagaimana kita menghentikannya?" Ki Jarang menghela napas panjang. "Kita harus masuk ke dalam portal itu sebelum terbuka sepenuhnya dan menghancurkan inti ritualnya. Tapi ingat, Arka, ini tidak akan mudah. Dunia di sisi lain portal bukanlah tempat yang ramah bagi manusia." "Aku siap," jawab Arka tegas, meskipun hatinya masih diliputi kerag
Makhluk besar itu berdiri di tengah altar, tubuhnya mengeluarkan kilauan seperti bara api yang hampir padam. Udara di sekitar Arka terasa berat, seolah-olah energi dari makhluk itu menarik semua kekuatan di sekitarnya. Ki Jarang, yang berdiri di samping Arka, memandang makhluk itu dengan mata tajam. "Itu adalah Penjaga. Dia tidak hanya melindungi inti ritual, tetapi juga terhubung langsung dengan kekuatannya. Kita harus menghentikannya sebelum ia menjadi lebih kuat." Arka menggenggam pedangnya lebih erat. Meski tubuhnya terasa lelah setelah pertarungan sebelumnya, ia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. "Apa aku cukup kuat untuk menghadapinya?" pikirnya. Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh gunung. "Beraninya kalian memasuki wilayah ini. Aku adalah pengawal dunia ini, dan kalian tidak akan pernah berhasil melewati aku!" Pertarungan Dimulai Tanpa peringatan, Penjaga itu mengangkat tangannya, menciptakan gelombang energi yang menghantam tanah. Retakan besar muncul
Langit di atas lembah itu semakin gelap. Setiap jejak cahaya yang sebelumnya tersisa, kini mulai menghilang di balik awan kelam yang bergerak cepat. Energi gaib yang mengelilingi altar terasa semakin padat, menekan tubuh Arka dan Ki Jarang dengan kekuatan yang menakutkan. "Gerbang ini... bukan hanya portal biasa," kata Ki Jarang, suaranya penuh ketegasan. "Ini adalah pintu menuju dunia yang lebih gelap, yang tidak seharusnya kita masuki. Jika kita membiarkannya terbuka lebih lama, maka dunia ini akan terhubung langsung dengan kegelapan yang tak terhingga." Arka merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik gerbang tersebut. Sesuatu yang tidak bisa ia lihat, namun bisa ia rasakan, sebuah ancaman yang jauh lebih besar daripada apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Arka dengan suara penuh ketegangan. Ia memandang altar yang masih berdiri kokoh, meskipun sebagian besar telah hancur. Cahaya merah yang memancar dari retakan-retakan altar kin
Langkah Arka dan Ki Jarang terasa berat. Di depan mereka, entitas raksasa yang baru muncul dari kegelapan itu tidak bergerak, tetapi keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat udara di sekitar terasa menekan. Matanya yang merah menyala seperti bara api menembus jiwa, membuat Arka hampir tidak bisa bernapas. "Ki Jarang, apa itu?" bisik Arka, suaranya nyaris tak terdengar. Ki Jarang, yang biasanya tenang, tampak lebih gugup dari sebelumnya. "Itu bukan makhluk biasa, Arka. Ia adalah manifestasi dari kekuatan yang menjaga keseimbangan antara dunia ini dan dunia kita. Gerbang tadi telah membuka jalannya. Kita tidak hanya berada di dunia mereka, tetapi di hadapan penguasa mereka." Sebelum Arka bisa merespons, makhluk itu bergerak, suaranya bergema di ruangan gelap itu. "Kalian yang datang tanpa diundang, telah melanggar hukum kuno yang memisahkan dunia kita. Apa alasan keberadaan kalian di sini?" Arka mencoba menjawab, tetapi kata-kata tidak keluar. Ia hanya bisa menatap makhluk itu d
Kegelapan yang menyelimuti Arka dan Ki Jarang terasa lebih pekat daripada malam tanpa bulan. Mereka jatuh tanpa akhir, seperti ditelan oleh kehampaan. Rasa dingin yang menembus tulang mulai menyelimuti tubuh mereka. Arka mencoba berteriak, tetapi suaranya tenggelam dalam kesunyian. Tiba-tiba, mereka terhempas ke permukaan yang keras. Arka membuka matanya perlahan, menahan rasa sakit di tubuhnya. Dia melihat Ki Jarang sudah berdiri, meski sedikit terhuyung, sambil mengamati lingkungan sekitar. Mereka berada di sebuah ruang besar yang dikelilingi oleh dinding hitam berkilauan seperti obsidian. Ruangan itu tampak tak berujung, dengan lantai yang memantulkan bayangan mereka. Di tengah ruangan, berdiri sebuah monumen berbentuk lonceng besar yang terbuat dari logam hitam pekat. Energi gaib memancar darinya, mengalir ke udara seperti asap yang bergerak hidup. "Di mana kita?" tanya Arka, suaranya serak. Ki Jarang tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya, mencoba merasakan energi di sek
Saat Arka dan Ki Jarang melangkah melewati pintu yang dipilih, mereka diselimuti cahaya putih yang begitu terang hingga menutupi pandangan mereka sepenuhnya. Rasanya seperti tubuh mereka ditarik dan diurai menjadi serpihan, hanya untuk dirakit kembali di tempat yang tidak mereka kenali.Ketika cahaya itu perlahan memudar, mereka menemukan diri mereka di tempat yang sama sekali berbeda. Sebuah hutan lebat terbentang di hadapan mereka, tetapi ada sesuatu yang salah. Pohon-pohon di sekitar mereka tidak seperti pohon biasa; batangnya terbuat dari sesuatu yang tampak seperti tulang, sementara daunnya berwarna hitam dan bergerak meskipun angin tidak berhembus. Suasana di hutan itu sunyi, tetapi bukan sunyi yang menenangkan, lebih seperti sunyi yang dipenuhi ancaman."Apa ini?" bisik Arka, mencoba menyesuaikan pandangannya.Ki Jarang memeriksa lingkungan sekitar dengan saksama. "Ini adalah ruang lain dalam ujian kita," katanya. "Kita belum keluar. Penjaga itu masih mengawasi kita."Benar saj
Arka melangkah keluar dari altar dengan hati yang berat. Ia meninggalkan tempat suci itu sendirian, tanpa Ki Jarang di sisinya. Udara di sekeliling terasa berbeda, lebih segar, lebih tenang, tetapi kehampaan di hatinya begitu kuat hingga nyaris menenggelamkan rasa lega.Saat ia berjalan kembali ke dunia yang kini telah berubah, kenangan terakhir tentang Ki Jarang terus terputar dalam benaknya. Kata-kata terakhir sang mentor, "Lindungi dunia ini dengan segala kekuatanmu," terdengar seperti janji yang terlalu berat untuk ditanggung oleh seorang pemuda. Namun Arka tahu, ia tidak memiliki pilihan lain. Dunia ini membutuhkan harapan, dan kini harapan itu ada padanya.Dunia yang SunyiSetelah berjalan selama beberapa jam, Arka akhirnya keluar dari padang rumput yang terbentuk menggantikan hutan hidup. Ia mendapati dirinya berada di sebuah dataran luas, dengan sisa-sisa kehancuran di sekelilingnya. Pohon-pohon hangus, tanah yang retak, dan reruntuhan bangunan menjadi pemandangan yang menyamb
Saat Arka dan Ki Jarang melangkah menyusuri jalan batu yang mengarah ke altar, suasana di sekitar mereka berubah. Hutan yang sebelumnya menyeramkan perlahan memudar, seperti bayangan yang ditelan cahaya. Udara yang sebelumnya terasa berat kini mulai menghangat, dan di kejauhan, altar bercahaya tampak semakin jelas.Namun, setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah beban tak kasat mata menarik tubuh mereka ke bawah. Arka bisa merasakan keringat dingin mengalir di dahinya, tetapi ia menolak untuk berhenti."Ini hampir berakhir," kata Ki Jarang dengan napas terengah.Arka mengangguk, tetapi keraguan mulai tumbuh di hatinya. "Ki Jarang, apa yang akan terjadi jika kita gagal? Penjaga itu mengatakan bahwa jiwa kita bisa lenyap."Ki Jarang menghentikan langkahnya sejenak, menatap Arka. "Itu kemungkinan yang nyata. Tetapi jika kita tidak mencoba, dunia kita akan hancur lebih cepat dari yang bisa kita bayangkan. Risiko ini adalah sesuatu yang harus kita ta
Saat Arka dan Ki Jarang melangkah melewati pintu yang dipilih, mereka diselimuti cahaya putih yang begitu terang hingga menutupi pandangan mereka sepenuhnya. Rasanya seperti tubuh mereka ditarik dan diurai menjadi serpihan, hanya untuk dirakit kembali di tempat yang tidak mereka kenali.Ketika cahaya itu perlahan memudar, mereka menemukan diri mereka di tempat yang sama sekali berbeda. Sebuah hutan lebat terbentang di hadapan mereka, tetapi ada sesuatu yang salah. Pohon-pohon di sekitar mereka tidak seperti pohon biasa; batangnya terbuat dari sesuatu yang tampak seperti tulang, sementara daunnya berwarna hitam dan bergerak meskipun angin tidak berhembus. Suasana di hutan itu sunyi, tetapi bukan sunyi yang menenangkan, lebih seperti sunyi yang dipenuhi ancaman."Apa ini?" bisik Arka, mencoba menyesuaikan pandangannya.Ki Jarang memeriksa lingkungan sekitar dengan saksama. "Ini adalah ruang lain dalam ujian kita," katanya. "Kita belum keluar. Penjaga itu masih mengawasi kita."Benar saj
Kegelapan yang menyelimuti Arka dan Ki Jarang terasa lebih pekat daripada malam tanpa bulan. Mereka jatuh tanpa akhir, seperti ditelan oleh kehampaan. Rasa dingin yang menembus tulang mulai menyelimuti tubuh mereka. Arka mencoba berteriak, tetapi suaranya tenggelam dalam kesunyian. Tiba-tiba, mereka terhempas ke permukaan yang keras. Arka membuka matanya perlahan, menahan rasa sakit di tubuhnya. Dia melihat Ki Jarang sudah berdiri, meski sedikit terhuyung, sambil mengamati lingkungan sekitar. Mereka berada di sebuah ruang besar yang dikelilingi oleh dinding hitam berkilauan seperti obsidian. Ruangan itu tampak tak berujung, dengan lantai yang memantulkan bayangan mereka. Di tengah ruangan, berdiri sebuah monumen berbentuk lonceng besar yang terbuat dari logam hitam pekat. Energi gaib memancar darinya, mengalir ke udara seperti asap yang bergerak hidup. "Di mana kita?" tanya Arka, suaranya serak. Ki Jarang tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya, mencoba merasakan energi di sek
Langkah Arka dan Ki Jarang terasa berat. Di depan mereka, entitas raksasa yang baru muncul dari kegelapan itu tidak bergerak, tetapi keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat udara di sekitar terasa menekan. Matanya yang merah menyala seperti bara api menembus jiwa, membuat Arka hampir tidak bisa bernapas. "Ki Jarang, apa itu?" bisik Arka, suaranya nyaris tak terdengar. Ki Jarang, yang biasanya tenang, tampak lebih gugup dari sebelumnya. "Itu bukan makhluk biasa, Arka. Ia adalah manifestasi dari kekuatan yang menjaga keseimbangan antara dunia ini dan dunia kita. Gerbang tadi telah membuka jalannya. Kita tidak hanya berada di dunia mereka, tetapi di hadapan penguasa mereka." Sebelum Arka bisa merespons, makhluk itu bergerak, suaranya bergema di ruangan gelap itu. "Kalian yang datang tanpa diundang, telah melanggar hukum kuno yang memisahkan dunia kita. Apa alasan keberadaan kalian di sini?" Arka mencoba menjawab, tetapi kata-kata tidak keluar. Ia hanya bisa menatap makhluk itu d
Langit di atas lembah itu semakin gelap. Setiap jejak cahaya yang sebelumnya tersisa, kini mulai menghilang di balik awan kelam yang bergerak cepat. Energi gaib yang mengelilingi altar terasa semakin padat, menekan tubuh Arka dan Ki Jarang dengan kekuatan yang menakutkan. "Gerbang ini... bukan hanya portal biasa," kata Ki Jarang, suaranya penuh ketegasan. "Ini adalah pintu menuju dunia yang lebih gelap, yang tidak seharusnya kita masuki. Jika kita membiarkannya terbuka lebih lama, maka dunia ini akan terhubung langsung dengan kegelapan yang tak terhingga." Arka merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik gerbang tersebut. Sesuatu yang tidak bisa ia lihat, namun bisa ia rasakan, sebuah ancaman yang jauh lebih besar daripada apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Arka dengan suara penuh ketegangan. Ia memandang altar yang masih berdiri kokoh, meskipun sebagian besar telah hancur. Cahaya merah yang memancar dari retakan-retakan altar kin
Makhluk besar itu berdiri di tengah altar, tubuhnya mengeluarkan kilauan seperti bara api yang hampir padam. Udara di sekitar Arka terasa berat, seolah-olah energi dari makhluk itu menarik semua kekuatan di sekitarnya. Ki Jarang, yang berdiri di samping Arka, memandang makhluk itu dengan mata tajam. "Itu adalah Penjaga. Dia tidak hanya melindungi inti ritual, tetapi juga terhubung langsung dengan kekuatannya. Kita harus menghentikannya sebelum ia menjadi lebih kuat." Arka menggenggam pedangnya lebih erat. Meski tubuhnya terasa lelah setelah pertarungan sebelumnya, ia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. "Apa aku cukup kuat untuk menghadapinya?" pikirnya. Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh gunung. "Beraninya kalian memasuki wilayah ini. Aku adalah pengawal dunia ini, dan kalian tidak akan pernah berhasil melewati aku!" Pertarungan Dimulai Tanpa peringatan, Penjaga itu mengangkat tangannya, menciptakan gelombang energi yang menghantam tanah. Retakan besar muncul
Awan gelap di atas Desa Awan Jingga terus bergulung, semakin pekat seiring malam merambat. Cahaya merah yang menyembur dari langit seperti merobek keheningan desa, menciptakan getaran yang membuat tanah bergetar. Arka berdiri di depan rumahnya, pedang di tangan, menatap kilatan cahaya yang berputar-putar seperti pusaran badai di langit. Ki Jarang berdiri di sampingnya, ekspresi serius terpancar di wajahnya yang biasanya tenang. "Portal itu adalah gerbang antara dunia manusia dan dunia gaib. Jika mereka berhasil membukanya, makhluk-makhluk dari sana akan mengalir ke sini seperti banjir yang tak terbendung." Arka menggenggam pedangnya lebih erat. "Bagaimana kita menghentikannya?" Ki Jarang menghela napas panjang. "Kita harus masuk ke dalam portal itu sebelum terbuka sepenuhnya dan menghancurkan inti ritualnya. Tapi ingat, Arka, ini tidak akan mudah. Dunia di sisi lain portal bukanlah tempat yang ramah bagi manusia." "Aku siap," jawab Arka tegas, meskipun hatinya masih diliputi kerag
Makhluk besar itu menerjang dengan kecepatan yang tidak wajar. Arka nyaris tidak sempat mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan. Tubuh bayangan itu terasa seperti angin pekat yang membawa dingin menusuk tulang. Meski tak terlihat nyata, setiap serangannya membawa kekuatan yang luar biasa. Saat pedang Arka berbenturan dengan makhluk itu, energi biru dari pedang memancar terang, menciptakan percikan cahaya yang menyilaukan. Makhluk itu melolong kesakitan, mundur beberapa langkah, tetapi tidak sepenuhnya hancur. Arka terhuyung ke belakang, napasnya tersengal-sengal. "Kau lebih kuat dari yang kukira, Penjaga," desis makhluk itu dengan suara menggema yang menggetarkan seluruh ruangan. Arka menggenggam pedangnya erat, meskipun tangannya mulai gemetar. "Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan dari buku ini?" Makhluk itu tidak langsung menjawab. Matanya yang merah menyala menatap Arka tajam, penuh kebencian. "Aku adalah salah satu yang terkurung oleh segel leluhurmu. Selama bera