BAB 6 : Di Balik Portal Merah

Awan gelap di atas Desa Awan Jingga terus bergulung, semakin pekat seiring malam merambat. Cahaya merah yang menyembur dari langit seperti merobek keheningan desa, menciptakan getaran yang membuat tanah bergetar. Arka berdiri di depan rumahnya, pedang di tangan, menatap kilatan cahaya yang berputar-putar seperti pusaran badai di langit.

Ki Jarang berdiri di sampingnya, ekspresi serius terpancar di wajahnya yang biasanya tenang. "Portal itu adalah gerbang antara dunia manusia dan dunia gaib. Jika mereka berhasil membukanya, makhluk-makhluk dari sana akan mengalir ke sini seperti banjir yang tak terbendung."

Arka menggenggam pedangnya lebih erat. "Bagaimana kita menghentikannya?"

Ki Jarang menghela napas panjang. "Kita harus masuk ke dalam portal itu sebelum terbuka sepenuhnya dan menghancurkan inti ritualnya. Tapi ingat, Arka, ini tidak akan mudah. Dunia di sisi lain portal bukanlah tempat yang ramah bagi manusia."

"Aku siap," jawab Arka tegas, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. Ia tahu bahwa takdirnya sebagai penjaga dunia manusia tidak memberinya pilihan lain.

Melangkah ke Dunia Gaib

Tanpa membuang waktu, Ki Jarang memimpin Arka menuju tempat di mana pusaran energi di langit terlihat paling kuat. Lokasi itu berada di tengah hutan kecil di pinggiran desa, sebuah tempat yang biasanya tenang tetapi kini terasa mencekam.

Angin kencang bertiup, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang asing, seperti bau besi berkarat. Ketika mereka tiba di lokasi, Arka bisa melihat lingkaran ritual besar yang bercahaya merah di tanah. Di sekelilingnya, beberapa makhluk bayangan seperti yang pernah ia lawan sebelumnya sedang berdiri, seolah-olah menjaga portal itu.

"Ini dia," bisik Ki Jarang. "Kita harus menembus mereka dan masuk ke dalam portal."

"Bagaimana kita tahu inti ritualnya?" tanya Arka.

"Percaya padaku," jawab Ki Jarang dengan yakin. "Ketika kau melihatnya, kau akan tahu."

Tanpa peringatan, salah satu makhluk bayangan menyadari keberadaan mereka. Dengan lolongan keras, ia memanggil yang lainnya. Dalam hitungan detik, lima makhluk bayangan melesat ke arah Arka dan Ki Jarang, gigi dan cakar mereka bersinar merah seperti bara api.

"Arka, fokus pada pedangmu!" teriak Ki Jarang, melepaskan serangan energi dari tangannya untuk menahan salah satu makhluk.

Arka mengayunkan pedangnya, menciptakan gelombang cahaya biru yang menghantam dua makhluk bayangan sekaligus. Tubuh mereka hancur, berubah menjadi asap hitam yang segera terserap ke dalam tanah. Tapi tiga makhluk lainnya terus menyerang tanpa ampun.

Arka berusaha menahan mereka, tetapi jumlah mereka yang lebih banyak membuatnya kewalahan. Ia hampir kehilangan keseimbangan ketika salah satu makhluk melompat ke arahnya. Namun, tepat sebelum cakar makhluk itu menyentuhnya, Ki Jarang meluncurkan serangan lain, menyelamatkannya.

"Kau harus lebih cepat, Arka!" kata Ki Jarang dengan nada mendesak.

Arka mengangguk, berusaha mengendalikan napasnya. Ia mengarahkan energinya ke pedang, memusatkan pikiran seperti yang diajarkan Ki Jarang. Dengan satu ayunan, ia menciptakan ledakan cahaya yang menghancurkan makhluk-makhluk yang tersisa.

"Bagus," kata Ki Jarang. "Sekarang, waktunya masuk ke portal."

Arka menatap pusaran energi merah yang berdiri di hadapannya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia melangkah maju tanpa ragu. Bersama Ki Jarang, ia melompat ke dalam portal, meninggalkan dunia manusia di belakangnya.

Di Sisi Lain Portal

Ketika Arka membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di tempat yang sangat berbeda. Dunia di balik portal itu gelap dan suram. Langitnya berwarna ungu pekat dengan retakan-retakan bercahaya merah yang menyemburkan kilatan petir. Di kejauhan, ia bisa melihat gunung-gunung besar yang tampak seperti patahan bumi, dengan lava mengalir di sela-selanya.

Tanah tempat ia berdiri terasa kasar dan panas, seperti permukaan logam yang terbakar. Angin yang berhembus membawa aroma busuk yang membuat perutnya mual.

"Inilah dunia gaib," kata Ki Jarang, suaranya tenang tetapi penuh kewaspadaan. "Dunia ini sangat berbahaya bagi manusia. Jangan terlalu jauh dariku."

Arka mengangguk. Ia merasa tubuhnya berat, seolah-olah energi dari dunia ini menekan setiap langkahnya. Tapi ia terus berjalan, mengikuti Ki Jarang menuju tempat yang disebut inti ritual.

Di sepanjang jalan, mereka bertemu dengan berbagai makhluk aneh. Beberapa tampak seperti pohon mati yang bergerak, dengan ranting-ranting tajam yang berusaha menyerang mereka. Yang lainnya adalah sosok-sosok kecil dengan mata bercahaya yang mengintai dari kegelapan.

Ki Jarang mengarahkan mereka dengan hati-hati, menghindari makhluk-makhluk yang tidak perlu mereka hadapi. Tapi perjalanan itu tetap saja melelahkan.

Setelah berjalan cukup lama, mereka akhirnya tiba di sebuah lembah yang dikelilingi oleh pilar-pilar batu besar. Di tengah lembah itu, Arka melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding.

Ada sebuah altar besar yang bersinar merah, dikelilingi oleh simbol-simbol aneh yang tampak seperti ukiran api. Di atas altar itu, sebuah bola energi merah berputar-putar, memancarkan kekuatan yang luar biasa.

"Itu dia," kata Ki Jarang sambil menunjuk bola energi itu. "Itu adalah inti ritual. Kita harus menghancurkannya sebelum mereka berhasil menyelesaikan prosesnya."

Arka mengangguk, tetapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara tawa keras menggema di lembah itu.

"Dari mana kalian pikir kalian akan pergi?"

Dari balik salah satu pilar batu, muncul sosok tinggi besar yang menyerupai manusia, tetapi dengan kulit hitam mengkilap seperti arang dan tanduk besar di kepalanya. Matanya yang merah menyala menatap mereka dengan kebencian yang dalam.

"Siapa kau?" tanya Arka, mencoba menyembunyikan rasa takutnya.

Sosok itu tertawa lagi. "Aku adalah penjaga inti ritual ini. Jika kalian ingin menghancurkannya, kalian harus melewati aku terlebih dahulu."

Arka menggenggam pedangnya erat. Ia tahu bahwa pertarungan ini akan jauh lebih sulit daripada yang sebelumnya.

"Arka, hati-hati," kata Ki Jarang. "Makhluk ini bukan seperti yang kau lawan di desa. Dia jauh lebih kuat."

Arka mengangguk. Ia menatap sosok besar itu dengan tekad yang membara. "Aku tidak peduli seberapa kuat dia. Aku tidak akan membiarkan dunia manusia hancur."

Sosok besar itu menggeram, suara geramannya seperti gemuruh petir. "Kalau begitu, bersiaplah untuk mati!"

Makhluk itu melompat ke arah mereka dengan kecepatan yang luar biasa, menciptakan gelombang kejut yang mengguncang tanah di sekitarnya. Arka dan Ki Jarang segera bersiap untuk menghadapi pertempuran paling sulit dalam hidup mereka.