"Ma, Papa aku itu orangnya gimana, sih?"
Naina bertanya dengan wajah serius? Terhitung minggu ini dia sudah bertanya sosok sang ayah hampir setiap malam. Tapi tetap saja pertanyaan itu lagi yang dia ajukan pada ibunya.
Arini yang sedang sibuk menyelesaikan cerpen untuk mengisi rubrik pada sebuah majalah remaja, terpaksa menghentikan kegiatannya lalu memfokuskan diri pada sang buah hati.
"Papa kamu itu orangnya tampan, baik, taat ibadah dan sayang sama ibunya."
Jika empat malam kemarin Naina terlihat tidak lagi mengajukan pertanyaan. Tapi kali, dia masih duduk sembari berpikir.
"Ada apa lagi, Sayang?"
Arini kembali bertanya, sebab melihat raut wajah Naina yang menyiratkan ketidakpuasan.
"Memangnya selain tampan, baik, taat ibadah dan sayang sama ibunya, Papa nggak punya ciri khas lain ya, Ma?"
Dua netra Arini mendelik sedang bibirnya berusaha mengulum senyum.
"Misalnya, Papa itu punya tubuh yang tinggi, kulitnya sawo matang, rambutnya lurus, terus apalagi Ma?"
"Emm, semua yang Naina sebutkan itu sudah benar, Nak."
"Em begitu ya Ma, terus Papa kerja apa sih, Ma?"
Arini terhenyak sejenak, pertanyaan sang anak seperti melambung angannya jauh ke masa silam.
"Papa kamu itu seorang dokter. Dokter Spesialis Anak."
"Wah, pekerjaan Papa keren banget ya, Ma? Aku mau donk Ma, sesekali ketemu sama Papa."
Arini mengusap pelan kepala anaknya.
"Nanti ya, jika sudah waktunya, Mama pasti akan bawa kamu ketemu sama Papa."
Wajah Naina tampak merengut. Jika tahun-tahun kemarin Naina masih bisa menurut, sepertinya kali ini tidak. Usia sang anak yang semakin dewasa membuat jiwanya semakin kritis.
"Ma, kalau nggak bisa ketemu, Naina mau sekali aja ditelpon. Naina pengen dengar suaranya aja, Ma."
"Yaudah, besok kita coba ke telpon umum untuk menelpon Papamu, ya."
"Benaran, Ma? Asyik aku mau langsung tidur ya, Ma. Biar cepat-cepat bisa bicara sama Papa."
Naina menarik selimut lalu membaca doa. Tak berapa lama, bocah itu sudah terlelap ke alam mimpi. Meninggalkan sang ibu dengan seribu pikiran berkecamuk di jiwa. Bertahun-tahun Arini pergi meninggalkan suami tercinta.
Sudah siapkah jika dia menelpon memberi kabar?
*
Tujuh tahun yang lalu, Arini pernah dipersunting seorang lelaki. Lelaki sempurna yang berdarah biru. Pernikahan mereka, tentunya tidak direstui oleh keluarga besar sang suami. Arini yang hanya anak seorang petani lulusan sarjana ekonomi tentu tak sepadan dengan gelar ningrat yang melekat pada diri suaminya.
Nama lelaki itu Raden Mas Abiyasa Wirahaditenaya.
Dia seorang dokter. Dan Arini bekerja di klinik keluarga mereka sebagai tenaga administrasi. Seluruh keluarga, mulai dari ayah, Abang dan kakak bahkan sampai iparan Abi berprofesi sebagai dokter.
Hanya lelaki itu seorang yang tidak mendengar kata orang tuanya dengan tetap menikahi Arini.
Pernikahan sederhana, dari keluarga Abi yang hadir hanya kakak beserta sang suami. Tak ada mama ataupun papa mertua. Tapi lelaki itu dan Arini tetap melalui hari-hari mereka dengan saling menguatkan dan memberi semangat.
Dua bulan pertama yang begitu indah. Arini merasa begitu dicintai dan sangat mencintai. Sebelum kabar itu datang menghampiri.
Ibunda Dokter Abi, masuk ke rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Abi terpaksa meninggalkan Arini demi menjenguk ibunda tercinta.
Selama beberapa hari ditinggal, Arini mengalami apa yang biasa dialami oleh perempuan umumnya setelah menikah. Mual dan muntah di pagi hari. Wanita itu mencoba memeriksa melalui sebuah alat test kehamilan.
Dan ia begitu bahagia saat mendapati dua garis biru pada alat tersebut.
Seminggu lamanya Abi menjaga sang ibu di rumah sakit. Akhirnya dimalam ke delapan, lelaki itu pulang menjenguk Arini.
Wajah Abi tampak kusut dan menyiratkan kegelisahan. Arini menyambut tanpa bertanya apapun. Ia lakukan banyak hal agar membuat sang suami nyaman dan bahagia. Hingga setelahnya, wanita itu memberanikan diri menanyakan kabar sang ibu serta mengabaikan apa yang ingin dikatakan perihal kehamilan.
"Mama gimana kabarnya, Mas?"
"Mama masih lemah, kondisi jantungnya masih belum stabil."
"Bismillah, yakin Mas bahwa Allah akan segera memberi kesembuhan untuk Mama."
Abi kembali menatap Arini. Sorot matanya menyiratkan rasa bersalah teramat dalam.
"Dek, Mama minta satu hal pada Mas."
Entah kenapa perasaan Arini disergap ketakutan. Tapi ia mencoba tegar.
"Katakan Mas, Mama minta apa pada kita?"
Abi menarik napas dalam. Wajahnya menunduk.
"Mama minta agar Mas menceraikan kamu."
Saat itu Arini benar-benar tercengang. Tangisnya pecah di tengah malam buta. Hati wanita itu benar-benar hancur. Abi dengan segera memeluk.
"Maaf jika Mas menyampaikan hal ini padamu, tapi Mas tak dapat menanggungnya seorang diri."
Arini semakin terisak, membuat tubuh sang suami bersimpuh di kakinya. Abi terus meminta maaf atas pengakuan tersebut.
"Mas hanya ingin berbakti pada Mama, Dek. Apalagi setelah melihat kondisi Mama sekarang. Seandainya jika ini menjadi permintaan Mama yang terakhir, rasanya Mas akan sangat menyesal jika tidak dapat menuruti permintaan tersebut."
Bijaksanakah seorang lelaki menceraikan istri demi berbakti kepada ibunya?
Seluruh tubuh Arini kehilangan keseimbangan. Jantungnya melemah. Sungguh ia tak ingin berpisah, terlebih setelah buah hati bukti cinta mereka kini sudah tersemai di dalam rahim.
"Jangan bercerai, Mas. Aku hamil."
Abi tercekat. Bukan reaksi kebahagiaan yang pada umumnya terjadi pada seorang suami. Tapi lebih pada keterkejutan.
"Kamu hamil?"
"Iya, Mas. Aku hamil. Mas tidak bahagiakah?"
Abi tersenyum, senyum yang begitu ia paksakan.
"Bahagia. Sangat bahagia."
Abi kembali memeluk sang istri. Ia begitu menyesal sudah hampir mengiyakan keinginan ibunya untuk berpisah.
"Mas akan coba menyampaikan berita ini pada Mama, semoga Mama bahagia dan akhirnya menerima pernikahan kita."
Arini mencoba membesarkan hati. Sebagai seorang istri, ia hanya ingin tetap bersama suami, apalagi setelah ada benih dalam rahimnya.
Arini kembali melepas sang suami untuk menjenguk ibunda tercinta. Setiap detik, wanita itu terus melangitkan doa. Agar ibu mertua terbuka hati dan mau menerimanya beserta calon cucu.
Malam berganti. Sang suami akhirnya pulang, ia menangkap raut wajah Abi jauh dari kata rileks. Arini tak yakin jika yang akan disampaikan sesaat lagi adalah berita bahagia.
Bisakah ia meminta agar suaminya tidak berkata apapun malam ini. Sebab ia ingin melepas rindu sudah tak bertemu selama dua hari?
Tapi ternyata, tanpa diminta, Abi sudah terlebih dahulu menyampaikan permintaan sang ibu.
"Ibu minta kamu menggugurkan kandunganmu, Dek."
Arini terhenyak, ini benar-benar tak pernah ada dalam bayangan.
"Menggugurkan kandungan, Mas?"
Abi berlutut, bahkan ia mencium kaki Arini sebagai permohonan maaf seorang suami.
Lelaki yang harusnya bertanggung jawab atas buah cinta yang hadir dari sebuah pernikahan suci kini justru ingin melenyapkan bayi itu dari muka bumi.
Ya Allah, bahkan Allah Maha Pemurah, tidak sampai tiga bulan, Dia sudah menghidupkan karunia indah dalam rahim Arini. Tapi dengan tak berperasaan ibu mertua meminta agar menantu mengugurkan kandungannya?
Arini terdiam dengan air mata yang terus mengalir.
Atas apapun, haruskah ia menuruti kemauan ibu mertua? Akankah setelah ini beliau mau menerimanya sebagai menantu?
Dua malam yang berat kembali dilalui Arini tanpa suami di sisi. Abi tak pulang sebab kabarnya sang ibu semakin kritis. Arini terus merenung, berpikir sembari berusaha mengambil sebuah keputusan yang bijaksana.
Pagi itu, pagi ketiga setelah Abi memintanya menggugurkan kandungan. Arini mengirimkan sebuah pesan.
"Aku akan memenuhi permintaan Mama, Mas. Aku akan menggugurkan kandungan ini."
Tak ada balasan, bahkan setelah menunggu sekian jam. Dengan berat, akhirnya Arini melangkahkan kaki menuju klinik yang diinformasikan sang suami malam itu. Cukup lama duduk dengan berbagai pertimbangan muncul.
Air mata Arini kembali berderai, mengingat calon bayi yang seharusnya lahir ke dunia justru sesaat lagi hanya tinggal asa.
Belum lagi berbagai informasi tentang bahaya setelah aborsi. Wanita biasanya akan mengalami keluhan nyeri atau kram perut, mual, lemas, dan perdarahan ringan selama beberapa hari.
Pada kondisi tertentu, tindakan aborsi dapat menimbulkan masalah kesehatan serius dalam waktu beberapa hari hingga sekitar 4 minggu setelahnya. Aborsi juga dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan hebat, infeksi, gangguan kesuburan, masalah psikologis, endometriosis, kanker rahim, kerusakan panggul, bahka angka kematian pun sangat besar.
Nyali Arini ciut. Ya Allah, demi apapun aku tak mungkin menggugurkan kandungan ini. Jika Mas Abi merasa begitu ingin menuruti kemauan orang tuanya, jika ibu mertua memang tak inginkan kehadiranku dan anak ini, baiklah aku akan pergi.
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa follow, subscribe, koment dan tekan tombol love ya.
Utamakan baca Al-Quran.
Arini dan Naina sudah berada di dalam kios telpon umum. Sang ibu akan menepati janjinya kemarin untuk menelpon papa. Meski berat Arini menguatkan diri untuk menekan beberapa nomor telpon Abi.[Hallo ....]Degup jantung Arini menyentak kuat tatkala suara yang dahulu begitu ia candui, kini terdengar kembali di telinga. Sejenak tenggorokannya tercekat.[Mas ....]Dua bola mata Arini seketika basah. Sedang di seberang tak ada jawaban.[Mas ....][Arini? Kaukah itu?]Sebulir air mata luruh di kedua pipi Arini. Sungguh ia tak kuasa jika harus berbicara kembali dengan Abi.[Kaukah itu Arini? Jawab Arini.]Seketika Arini menutup telpon. Ia menekan dada dengan kuat. Bagaimana mungkin Abi masih mengenali suaranya? Hal ini benar-benar membuat Arini lemah.Ia kuatkan diri untuk melangkah keluar dari ruangan kecil yang dibayarnya untuk menelpon tadi. Sang anak yang menanti di luar tampak bersemangat."Diangkat Ma telponnya?"Naina bangkit mendekati sang ibu. Arini hanya menghela napas berat. Tidak
Arini berjalan ke arah dimana suara hanya bersumber dari tempat itu. Begitu terhenyak saat melihat pemandangan dimana putrinya duduk di samping sang papa yang akan melangsungkan lamaran pada seorang wanita. Arini menekan dada yang tiba-tiba terasa sakit. Dua netranya basah. Ada rindu dan keinginan untuk menumpahkan segala kegalauan diri selama ini. Juga ada cemburu yang bersiap menguasai diri. Serta yang paling tidak dia harapkan, ada kecewa yang semakin menusuk dada."Aku akan mendoakan kebaikan untuk niatmu ini, Mas. Tapi sebelum pernikahan itu terjadi, kita harus bertemu. Kamu belum menjatuhkan talak untukku."Arini membalikkan badan hendak pergi, tapi gerakannya yang cepat berhasil membuat ia menabrak sesuatu."Astaghfirullah, maaf saya tak sengaja."Arini memandangi sosok yang baru saja ia tabrak itu. Seorang lelaki. Raden Mas Arshakalif. Dia adalah adik sepupu suami Raden Ayu yang tempo hari terus saja digodain sebagai calon ayah Naina."Maaf Mas, saya tidak sengaja."Arini men
"Arini?"Dua bola mata Abi menatap Arini lekat."Arini?"Abi mengulang panggilan, seolah tak percaya wanita yang dia cari selama bertahun-tahun kini ada di hadapannya. Tangan lelaki itu hampir saja menyentuh lengan Arini, tapi tiba-tiba ...Bruuukkk!"Astaghfirullah, Abi ... Mamamu!"Abi terhenyak, ia segera membalikkan tubuh dan begitu terkejut saat mendapati mamanya jatuh tersungkur ke lantai. Ia abaikan Arini dan berlari menolong sang ibu. Hati Arini terasa sakit. Air mata kembali mengambang di kedua pelupuk. Ia memandangi lelaki itu yang terlihat begitu khawatir akan ibunya. Ia ingin berlari, tapi ikut khawatir pada perempuan yang masih berhak ia panggil ibu mertua itu. Arini berdiri mematung di tempatnya. Sedang di kejauhan ..."Mama kenapa, Ma?"Wanita paruh baya di hadapan Abi memegang dadanya kuat. Melihat hal itu sang anak semakin kalut. "Tolong ambilkan obat di dalam tas Mama, Tante," pinta Abi pada wanita yang berjongkok di sisinya. Wanita itu segera mengambil dan menyer
Arini tahu akan ada dua pilihan jika mereka kembali membuka ruang untuk bicara, terluka dan tersakiti. Dua pilihan yang tak akan pernah berpihak padanya. Tapi ucapan Abi selanjutnya membuat hati wanita itu luluh."Mas mohon Dek, Mas rindu sama kamu."Perkataan itu, membuat Arini mengerjap berkali-bali. Ia berusaha mengusir sekian banyak air mata yang hendak mendesak keluar. Baru mendengar satu kali saja kata rindu dari mulut Abi, hatinya sudah patah ara. Bagaimana jika yang lain."Arini ...."Abi mendorong pintu lebih lebar. Dua netranya kini berhasil menatap Arini lekat. Sungguh, wanita itu juga dapat menyaksikan bulir bening yang membasahi mata lelaki di hadapannya, dan itu benar-benar membuat hati Arini perih."Mas sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama tak saling mengetahui kabar, kini kita kembali bertemu, Arini."Arini membuang wajah."Katakan kenapa kamu pergi, Dek? Kamu membenci suamimu ini? Kamu membenci pria brengsek yang tega menyuruh seorang istri menggugurkan kandu
Mengenai permintaan Abi, Arini sudah beristikharah. Kini hanya menunggu kepastian dari Allah. Ketika pagi menyapa, seperti biasa Arini sudah siap memasak, beres rumah dan mencuci pakaian. Tepat pukul enam dia membangunkan Naina, dan mengajak putrinya itu untuk bersiap-siap ke sekolah.Sekolah Naina hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, biasa mereka menaiki ojek agar dapat sampai ke tempat tersebut. Meski terlihat tenang, sebenarnya Arini berkali-kali mengecek ke luar rumah. Dia teringat akan kata-kata Abi semalam untuk datang menemui Naina pagi ini.Bukan serupa pengharapan, mungkin keingintahuan. Benarkah lelaki itu akan menepati ucapannya?Arini pasrah, saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh tapi tak ada satu manusiapun yang sampai ke rumahnya."Yuk Nak, kita pergi."Arini mengajak sang buah hati. Tapi, kedatangan sebuah mobil membuat degup tak biasa menyentak jantung Arini."Mobil siapa itu, Ma?"Arini menatap lekat, ia tak bisa menandai mobil siapa yang kini terparkir
Abi turun dari mobil, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali. Lelaki itu duduk di kios kecil pinggiran jalan. Memesan kopi panas sekadar mengusir rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi dada.Semenjak kecil, Abi memang terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Setelah sepuluh tahun kelahiran sang kakak, barulah Abi kecil hadir di rahim sang mama. Hal itu membuat dia tidak hanya dimanja oleh mama ataupun papa, tapi juga oleh kakak perempuan dan kakak lelakinya.Abi anak penurut, semua keinginan keluarganya hampir tidak ada yang ia tolak untuk dilakukan. Hanya soal cinta, itupun Abi terpaksa harus diam-diam menikahi Arini. Demi menjaga perasaan sang ibu.Nikah bawah tangan, awalnya Arini menolak keinginan tersebut. Tapi karena kegigihan Abi, juga janji yang diucapkan lelaki itu, Arini luruh. "Nikah tanpa restu itu berat, Nduk. Ibu takut kamu akan menderita setelahnya."Itu adalah perkataan ibunda Arini yang tidak hanya diucapkan di hadapan sang anak gadis, juga di hadapan Abi. Selaku lelaki y
"Naina ... Om ini adalah."Abi menghentikan ucapannya dan menatap Arini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tak siap. Dari pertama bertemu sampai detik ini, Naina begitu menyayangiya. Bagaimana jika gadis kecil itu tahu apa yang sudah terjadi tujuh tahun silam, akankah Naina membencinya?"Katakanlah, Mas."Abi menarik napas."Naina, Om ini adalah Papamu, Nak."Dua bola mata Naina membelalak tak percaya."Papa?""Iya, Sayang. Ini Papa.""Ma, benar apa yang dikatakan Om Abi?"Naina kini menatap Arini. Benar sedang mencari pembenaran."Iya, Sayang. Om Abi itu Papa kamu."Naina kembali menatap Abi. Lelaki itu tak lagi mengulur waktu, dengan segera ia membawa sang anak dalam dekapan. Air mata mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mata.Sedang di samping mereka, Arini ikut menyeka dua pipinya. Tak pernah sekalipun dalam tujuh tahun ini, Arini membayangkan akan bertemu kembali dengan Abi. Dan yang tidak pula ada dalam angannya, akan ada rasa seperti ini bila mereka bertemu."Maafkan Papa, N
"Saya minta Mas Khalif dan Mas Abi pulang, ini sudah magrib. Saya tidak mau didatangi orang satu kampung hanya karena Mas sekalian berdebat di sini! Dengan sangat memohon, saya minta agar semuanya pulang!"Abi tampak menghela napas. Jujur ia berjanji tidak akan beranjak sebelum Khalif yang terlebih dahulu meninggalkan rumah Arini. Tapi permintaan khusus yang ditujukan Arini padanya, membuat sang lelaki tak ada pilihan lain."Arini mohon, Mas Abi."Abi dengan berat mengiyakan permintaan Arini. Ia memasuki kembali mobil lalu menghilang dari pandangan.Selepas kepergian Abi,"Saya tidak paham kenapa ada lelaki seperti suamimu itu!""Maksud Mas?""Harusnya kalau dia mencintaimu, dia bertahan meski dunia membencinya."Arini terdiam."Sekarang dia seperti memakan buah simalakama, memilihmu akan menyakiti hati orang yang dia sayangi. Memilih Dinda akan menyakitimu dan Naina. Harusnya jika dia mau bertahan, dari dulu dia sudah bersikeras!"Arini merasa dadanya tertusuk kuat. Benar apa yang d
Tiga bulan kemudian ...Arini tersentak dari tidur, dia merasa ranjang tempat ia berbaring sudah basah oleh cairan. Arini segera bangkit untuk mengecek. Ia berdiri, namun sesuatu seperti meletus dari jalan lahir wanita itu.Astaghfirullah, Arini begitu ketakutan saat tahu jika yang keluar tersebut adalah air ketuban. Dengan bersegera ia membangunkan sang suami."Mas bangun, Mas."Abi yang baru saja tertidur sekitar dua jam karena baru pulang dari klinik terlihat berat membuka mata."Ada apa, Sayang?"Abi masih berbicara dengan tenang. Tapi tidak dengan Arini."Mas, pecah ketuban?"Mendengar ucapan sang istri, Abi tersentak hebat, ia bangkit hingga ke posisi duduk."Mana coba Mas lihat?"Arini menunjuk lantai yang sudah basah oleh cairan ketubannya."Astaghfirullah, kita ke rumah sakit sekarang? Kamu duduk dulu, jangan banyak bergerak. Biar Mas beresin baju-baju sama perlengkapan bayi."Abi membantu Arini duduk, dia segera mengganti pakaian dan setelah itu memilihkan pakaian ganti untu
Acara telah usai, Arini kembali ke kamar setelah sekian lama menyambut tamu hingga kakinya terasa pegal. Wanita itu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Sepertinya bayi kecil yang berada di dalam rahimnya tidak suka jika dia terlalu lama berdiri. Semenjak tadi siang sampai detik ini, sang bayi tidak berhenti menendang. Jika sudah begini, tak ada lain obatnya selain jemari sang papa yang bertugas mengusap-usap perut.Arini menghela napas, ingin menyuruh ART untuk memanggil Abi. Tapi rasa segan menuntunnya untuk menunda keinginan itu. Sekitar lima belas menit berlalu, Arini sudah bangkit, duduk, tidur, tapi rahimnya masih tak tenang. Sang bayi masih tak mau berhenti berputar dan menendang. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Wajah Arini seketika berbinar. Dalam bayangan pasti itu Abi. Tapi ternyata ..."Ma ...."Arini menarik napas berat, ternyata Naina?"Masuk Sayang, ada apa?"Naina melangkah menuju ranjang tempat sang ibu duduk. Lalu dia naik menyeimbangkan duduk dengan sang i
Dinda menenggelamkan diri dalam rangkulan sang kakak. Air mata tak henti membanjiri wajah. Raden Ayu sampai tak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Adinda, hatinya pun sakit.Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kelembutan. Mencoba menenangkan Dinda yang tampak begitu terpukul atas kejadian yang menimpanya tersebut.Sedang di hadapan mereka, Raden Mas Arya tampak berapi-api."Dimana rumahnya? Berapa nomor handphonenya? Mas akan kasih pelajaran bedebah itu, biar dia sadar akan apa yang sudah dia lakukan sama kamu!""Sudah Mas, kita jangan gegabah. Kita harus bisa menyikapi masalah ini dengan tenang.""Mas tidak bisa tenang, sebelum dia bertanggung jawab atas perbuatannya, Ma. Jika dia berusaha melarikan diri, meja hijau yang akan membuatnya sadar.""Tenang dulu, Mas. Biarkan Dinda yang bicara langsung sama Aryan."Dinda menatap sang kakak dengan tatapan perih."Mas Aryan udah menghubungi Dinda, Mbak.""Lalu apa katanya?"Arya dengan segera memotong pembicaraan Dinda."Mas Aryan a
"Kamu mau 'kan Nak memaafkan Nenek?"Naina yang bersembunyi di balik tubuh Fatimah perlahan menarik tubuhnya keluar. Tanpa dipinta, ia seketika memeluk tubuh Neneknya."Nenek ...," ucapnya yang menbuat sang nenek merasa begitu terharu.Anya ikut mendekat, ia memegang ibundanya agar tetap seimbang dalam berdiri."Masya Allah, cucu shalihah Nenek, Mama dan Papamu pasti sangat bangga punya anak secantik dan seshalihah ini."Sang nenek mengecup kedua pipi Naina. Lalu beliau mengajak cucunya itu untuk berjalan mendekati ranjang Abi. Dua mata bocah itu tertuju pada ayah yang sudah siap dengan senyuman tģerindahnya."Papa ...."Naina berlari memeluk papanya. Abi pun membalas pelukan sang anak dengan begitu erat, tak hanya itu. Berkali-kali lelaki tersebut mengecup pucuk kepala Naina. Berhari-hari berada di alam bawah sadar, ketika membuka mata. Rindu pada orang terkasih terasa begitu berat."Papa kangen banget sama Naina.""Naina juga kangen sama Papa. Jangan sakit lagi ya, Pa. Naina takut."
"Mama? Mbak Anya?"Tatapan mereka bertemu tanpa kata.Arini begitu terhenyak dengan apa yang kini ia saksikan. Bukankah tadi pagi bahkan dia sempat menelpon kakak ipar tersebut. Dimana tanggapan buruk diberikan sang kakak ipar untuknya. Tapi sekarang?Antara bahagia dan takut. Mungkinkah kedatangan mereka justru membawa maksud tak baik? Akankah ibu mertua memintanya malam ini juga untuk mengangkat kaki dari ruangan itu?Sejenak hati dipenuhi oleh sekian banyak pertanyaan, hingga akhirnya perkataan yang keluar dari bibir Anya, meluruhlah semua praduga buruk akan ibu mertua dan kakak ipar."Kamu datang dengan maksud baik, Arini. Apa kamu mengijinkan kami masuk?"Dua bola mata Arini basah, ia begitu bahagia sekaligus terharu dengan maksud kedatangan ibu mertua dan kakak iparnya. Wanita itu mencoba melangkah lebih dekat. Lalu seketika ia memeluk tubuh sang mama. Pelukan Pertama seorang menantu pada ibu mertua. Arini merindukan hal ini semenjak tujuh tahun yang lalu.Terlihat begitu terla
"Maafkan saya Mbak, saya butuh uang."Anya semakin tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Lalu apa hubungannya sama Dinda?"Gio terdiam sejenak, berbagai perasaan campur aduk menerpa jiwanya. Ingin memilih jujur, lalu bagaimana jika Dinda marah setelah nanti tahu."Katakan Gio, apa hubungan Dinda dengan surat itu?"Sesaat suasana benar-benar hening. Tapi detik berikutnya,"Mbak Adinda meminta saya untuk menulis surat itu lalu menyerahkannya sama Mbak Anya, sebab beliau ingin kalian saling salah paham satu sama lain.""Tapi kenapa?"Gio menggigit bibir penuh khawatir, dia mulai merasa tersudut atas kekujurannya itu."Em ... Karena, karena Mbak Dinda tidak terima dengan keputusan Mas Abi yang sudah memutuskan pertunangan mereka dengan sepihak."Anya menarik napas berat."Selain surat itu, apalagi yang sudah kamu lakukan?""Tapi tolong Mbak, jangan ceritakan apapun pada Mbak Dinda. Saya takut dia akan menuntut saya apalagi setelah saya menerima semua uang yang dia serahkan."
Raden Ayu tengah sibuk mengawasi setiap guru yang mengajar di Yayasan yang ia pimpin. Dua hari kemarin, salah satu guru yang ia percayai untuk menggantikan posisi Arini menjadi ketua pelaksana wisuda tahun ini ditemukan melarikan diri, dengan membawa sejumlah uang yang sudah dikumpulkan oleh wali murid ke rekening milik pribadinya.Entah kenapa ia sebegitu percaya pada wanita itu seperti dahulu mempercayai Arini. Padahal jelas, tidak ada Arini kedua yang ia kenal di dunia ini.Raden Ayu menarik napas berat, ternyata mencari orang yang bisa dipercaya bukanlah hal mudah. Bertahun-tahun Arini bekerja padanya, mulai dari mengelola keuangan Yayasan bahkan tak jarang Ayu kadang meminta wanita itu membuat rincian pengeluaran bulanan rumah tangganya. Tak sekalipun ia menemukan Arini berbuat curang.Semestinya ia tidak membenci Arini, bukankah pertemuannya dengan Abi juga terjadi tanpa ketersengajaan?Semua itu murni skenario Allah.Tapi, kenapa ia justru membenci keduanya?Dan yang paling men
"Mas Khalif?"Lelaki di hadapan Arini menyunggingkan selarik senyuman."Bisa kita bicara?"Arini menghela napas, lalu memberi kesempatan untuk lelaki itu berbicara dengannya.*"Jadi sudah lima belas hari koma?"Khalif bertanya tak percaya."Iya, Mas.""Saya memang tak tahu banyak tentang dunia kedokteran, tapi saya yakin Abi pasti akan segera bangun."Arini menyambut perkataan itu dengan senyuman."Mas tahu darimana jika Mas Abi masuk rumah sakit?""Adinda yang ngabari.""Dinda?""Iya benar. Oya, mumpung sudah di sini, boleh nggak ketemu Naina?"Arini terdiam sejenak, sebenarnya ia ingin memperjelas dari mana Dinda bisa tahu jika Abi masuk rumah sakit, tapi ajakan Khalif untuk menemui Naina membuat keinginan itu sedikit teredam.Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Naina. Masih ada lima belas menit lagi sebelum pulang, Khalif mengajak Arini duduk menikmati ketoprak yang ada di depan pekarangan sekolah."Mbak Dinda kok bisa tahu ya jika Mas Abi dirawat?"Akhirnya ada j
"Saya ingin mengundurkan diri, Pak."Dua bola Maya Khalid membelalak."Kenapa berhenti, kamu tersinggung soal kemarin?""Nggak Pak, sama sekali bukan sebab kemarin. Ini masalah suami Pak. Suami saya berencana membangun usaha, tapi jika saya juga bekerja, maka anak kami tidak ada tempat untuk saya titipkan."Khalid berpikir sejenak, tapi dia tak mungkin mengubah peraturan untuk memperbolehkan guru membawa anak ke sekolah. Tentu jika ia mengijinkan Arini, akan banyak tenaga pengajar lain yang berlaku demikian.Khalid menarik napas."Oke, jika itu yang kamu inginkan. Silahkan. Tapi tidak ada pesangon karena kamu hanya bekerja dua hari.""Tidak apa, Pak. Terima kasih untuk kesempatan terbaik ini. Permisi Pak."Arini membalikkan badan. Lalu dengan cepat dia kembali ke rumah. Sementara masih di ruangannya, Khalid tampak menghubungi seseorang.[Hallo, Din][Hallo, Mas Khalid.][Arini mengundurkan dirinya, Din][Mengundurkan diri? Kenapa, Mas?][Dia bilang suaminya mau membuka usaha.][Usaha