Abi turun dari mobil, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali. Lelaki itu duduk di kios kecil pinggiran jalan. Memesan kopi panas sekadar mengusir rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi dada.
Semenjak kecil, Abi memang terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Setelah sepuluh tahun kelahiran sang kakak, barulah Abi kecil hadir di rahim sang mama. Hal itu membuat dia tidak hanya dimanja oleh mama ataupun papa, tapi juga oleh kakak perempuan dan kakak lelakinya.
Abi anak penurut, semua keinginan keluarganya hampir tidak ada yang ia tolak untuk dilakukan. Hanya soal cinta, itupun Abi terpaksa harus diam-diam menikahi Arini. Demi menjaga perasaan sang ibu.
Nikah bawah tangan, awalnya Arini menolak keinginan tersebut. Tapi karena kegigihan Abi, juga janji yang diucapkan lelaki itu, Arini luruh.
"Nikah tanpa restu itu berat, Nduk. Ibu takut kamu akan menderita setelahnya."
Itu adalah perkataan ibunda Arini yang tidak hanya diucapkan di hadapan sang anak gadis, juga di hadapan Abi. Selaku lelaki yang akan mempersunting anaknya.
"Yakin pada Arini, Bu. Asalkan bersama Mas Abi, Arini akan bahagia. Mas Abi juga sudah berjanji untuk tidak meninggalkan saya bagaimanapun kondisinya."
Jawaban Arini yang diberikan kepada sang ibu, kembali terngiang di benak Abi. Lelaki itu menarik napas. Terasa sesak bila membayangkan bahwa ia sudah mengingkari janjinya pada Arini.
"Maaf, Dek. Maaf," ucap Abi lirih seorang diri.
Ingatan itu terasa mengoyak batinnya. Abi mencoba mengeluarkan ponsel. Ia pandangi sekian banyak foto Arini yang masih tersimpan di dalam memori benda pipih itu.
Biarpun tujuh tahun telah berlalu, foto-foto Arini kerap menemani hari-harinya.
Tak hanya melihat foto-foto sang istri, untuk mengusir rindu, lelaki itu juga berusaha mendirikan sebuah panti asuhan yatim piatu. Saat ini terhitung sudah ada seratus anak yang ia rawat bersama para donatur. Semua ia lakukan untuk menebus kesalahannya yang sudah meminta Arini menggugurkan kandungannya.
Abi menyesal, penyesalan yang ia bawa terus seperti membawa bongkahan batu besar di pundak. Tapi ia tetap hidup, banyak yang membutuhkan uluran tangannya. Anak-anak asuhan, juga sekian banyak pasien anak yang merasa begitu dekat dan cocok jika dirawat oleh dua tangannya.
Abi melirik jam di tangan. Kurang lima belas menit dari jam dua belas, ia memutuskan melapor pada guru piket untuk meminta ijin membawa Naina keluar lebih cepat. Entahlah, perasaannya tak enak, ia takut kalah cepat dengan Khalif sama seperti tadi pagi.
Abi berjalan mantap, sampai di meja piket ia sampaikan maksud dan tujuan pada seorang gutu. Tak lama menanti, sebuah suara terdengar menggetarkan kalbunya.
Abi berbalik dan mendapati buah hatinya tengah menatap tak percaya. Naina mendekat dan menyentuh lengan sang papa.
"Om kok di sini?"
Dua bola mata Abi terasa menghangat. Inikah putri yang selama tujuh tahun tak pernah bertemu dengannya? Ya Allah ...
"Om ...."
Naina mengambangkan tangan di hadapan wajah Abi. Tak lagi perduli apapun, lelaki itu dengan segera mendekap tubuh gadis kecil itu.
"Kamu sudah sebesar ini, Nak."
"Aku banyak makan Om, masakan Mama enak. Makanya badanku besar."
Abi tersenyum tipis.
"Om kok tahu aku sekolah di sini?"
"Om nanya sama beberapa orang."
"Buat apa Om cari aku?"
"Om mau ajak kamu jalan-jalan."
"Jalan-jalan? Emang Om mau bawa Naina kemana?"
Wajah Naina yang tadinya tampak tak percaya kini berubah merona.
"Ke tempat yang ada wahana bermainnya. Mau nggak?"
"Wah, mau banget Om?"
"Yaudah, ayuk kita pergi sekarang."
Sebelum Abi berhasil mengangkat langkah, Naina terlebih dahulu menarik lengan lelaki itu.
"Biasa kalau Mama jemput, aku selalu nyalam tangannya sama cium pipi, Om."
Abi menyunggingkan selarik senyum. Ia segera memberi jemarinya untuk disalami oleh sang anak. Lalu dengan penuh bahagia, Abi mengecup kedua pipi Naina.
Gadis kecil tersbeut tersenyum dan memeluk sang papa. Hal yang tak pernah mau ia lakukan sekalipun Khalif tadi pagi sempat memintanya. Tapi bersama Abi, entah kenapa Naina merasa ada keterikatan kuat yang memintanya untuk memanjakan diri.
Abi menggenggam jemari kecil sang anak, dia membuka pintu depan mobil dan membantu bocah itu duduk sempurna. Setelahnya Abi pun duduk di kursi kemudi.
"Kita jemput Mama kamu dulu ya, biar nggak kecarian entar?"
"Boleh Om."
Abi mengelus pipi sang anak dengan lembut. Lalu mulai melajukan mobil. Sampai di depan rumah Arini, tampak wanita itu baru saja mengunci pintu depan rumah. Abi bersyukur, ia sampai di rumah tepat waktu.
Dua bola mata Arini membelalak tatkala melihat Abi dan anak gadisnya berpegangan tangan memasuki rumah.
"Naina? Mas Abi?"
Naina yang sudah melihat sang ibu segera melepas pegangan tangannya dan berlari memeluk Arini.
"Ma, Om Abi ngajakin aku jalan-jalan ke wahana permainan. Boleh ya, Ma?"
Arini belum menjawab, matanya terus memandangi Abi yang semakin mendekat.
"Mas mohon, Dek. Kamu juga ikut, ya. Mas berencana jujur tentang siapa diri Mas sebenarnya pada Naina."
Arini menghela napas.
"Mas tidak lupa 'kan pada janji Mas semalam?"
"In Syaa Allah Mas akan menepatinya."
Arini menatap lelaki itu kembali, lalu dia mengajak Naina untuk masuk mengganti pakaian.
*
Arini mencoba mengesampingkan rasa tak enak dalam hati. Ia ingin hari ini menjadi hari teristimewa untuk buah hatinya. Wanita itu bahkan sengaja memakaikan pakaian terbagus yang dibelinya lebaran tahun lalu.
Tak lupa Arini juga memakaikan hijab dengan tambahan pita di bagian kanan kepala. Kini, gadis kecilnya terlihat begitu anggun memesona.
"Naina cantik nggak, Ma?"
"Cantik sekali Sayang, pasti Om Abi suka."
Naina tersenyum bahagia. Ia lanjut berlari keluar kamar.
Selepas kepergian Naina, Arini pun memandangi diri di depan cermin. Entah apa yang mendorong, ia juga memilih gamis terbaik yang ia punya. Memakai jilbab senada dan membubuhkan sedikit cream pada wajah. Tak lupa, wanita itu turut mengoles lipstik pada bibirnya.
Arini menghela napas. Sesungguhnya, ia tak pernah membenci suaminya. Meski sedemikian menyakiti hati. Cinta untuk Abi masih begitu besar. Andai setelah tujuh tahun ibu mertua sudah merestui, ia bersedia memaafkan semua kesalahan mereka dan ingin kembali bersama.
Bukan berpisah.
Tapi ia tahu, Ridha ibu mertua selamanya tak akan pernah ia dapat. Sebab itulah Arini meminta talak pada Abi. Karena ia tak mau kejadian menyakitkan tujuh tahun silam kembali ia alami saat ini.
Arini keluar dari kamar dengan penampilan yang berbeda. Abi yang duduk di kursi teras seketika berdiri dan memandangi dengan tatapan penuh cinta.
Abi menundukkan wajah tatkala rasa tak wajar itu kembali memenuhi ruang dada. Ia ingin kembali merengkuh wanita itu dalam pelukan, Abi tak ingin berpisah.
Tapi lelaki itu mencoba ikhlas. Jika dengan berpisah Arini bisa berbahagia dengan lelaki yang lebih baik. Ia tak ingin menahan hal itu.
Abi sudah memegang tangan Naina, ia hendak meraih jemari Arini agar bisa berjalan berdampingan. Tapi wanita tersebut menarik tangannya.
"Naina mau duduk di depan, Nak?"
"Mau Om."
Dengan cepat Abi membuka pintu depan dan mempersilahkan gadis kecilnya masuk, lanjut membuka pintu belakang. Sesaat sebelum menutup pintu belakang, Abi menatap kembali wanita yang sudah duduk di dalam tersebut.
Ia memberi senyum terbaiknya untuk Arini. Dan jika dari kemarin Arini tak membalas. Kali ini senyumannya bersambut.
Entah mimpi apa, Arini tersenyum pada Abi.
Sepanjang perjalanan, Naina terus bercerita tentang sekolahnya, guru-guru serta sedemikian teman yang baik juga yang tidak baik. Abi menyimak sembari merespon dengan antusias. Kurang lebih satu jam, akhirnya mereka sampai di parkiran. Abi mengajak Arini dan Naina turun.
"Jadi ini yang namanya Jatim Part, Om? Benaran kayak yang diceritain sama teman-teman aku. Ayuk Om masuk."
Naina menarik-narik tangan Abi, membuat lelaki itu harus berlari kecil mengikuti langkah sang anak. Sedang di belakang, Arini memandangi dengan perasaan perih. Ke tempat ini lagi. Dulu, mereka pernah kemari.
Menikmati semua wahana berdua.
Semua ini seperti membawa angan Arini kembali pada masa lalu.
"Ma, cepatan."
Naina kembali untuk menarik tangan Arini. Mereka sampai di tempat Abi berdiri.
"Mas tahu Adek tidak senang pergi sama Mas begini. Tapi demi Naina, berbahagialah, Dek."
Abi mengucapkan dengan rasa sakit yang sekuat tenaga ia tahan. Tapi ucapan itu berhasil membuat hati Arini terketuk.
Ia mencoba memposisikan diri, semua ini untuk Naina.
"Mau coba yang itu, Dek?"
Abi menunjuk Turangga-rangga. Sejenak membuka angan Arini saat dahulu duduk berdua di dua kuda sembari berpegangan tangan. Pelupuk mata Arini terasa berat.
"Ya, Mas."
Hati Abi bagai tersiram air bunga tujuh rupa. Ia bahagia mendapati Arini yang mulai membuka hati.
"Kita naik itu Sayang, yuk?" ajak Abi pada Naina.
"Yuk, Om."
Abi menarik tangan Arini, sejenak wanita itu menatap jemari yang kini menempel di pergelangan tangannya. Ada rasa berbeda yang coba mengaliri tubuhnya perlahan.
Ya Allah, inikah rindu? Kupikir dia sudah musnah, tapi nyatanya masih sedemikian menggebu?
Lagi, Arini harus mengalah pada rasa sakitnya. Ia menuruti kemauan lelaki itu. Mereka menaik permainan tersebut sembari berpegangan tangan.
Setelah selesai, Abi mengajak Arini dan Naina untuk kembali mencoba wahana lain. Kali ini ke istana boneka.
Jujur, Arini sangat enggan. Sebab tahu bagaimana posisi duduk nantinya di atas perahu. Tapi keiyaan Naina membuat Arini kembali pasrah.
Mereka mengambil tempat duduk paling belakang, dengan posisi Naina di tengah. Saat kereta mulai berjalan, Abi mengangkat tangan kiri ke atas hingga mencapai pundak Arini.
Sang wanita yang menyadari hal itu hendak meminta Abi menjauhkan tangannya, tapi lelaki tersebut justru menyibukkan diri dengan bercerita tentang asal muasal boneka-boneka tersebut pada Naina.
Duhai Engkau yang menggenggam hati manusia. Aku meminta pada-Mu, kuatkan hati ini. Jika memang jalan takdir-Mu tidak untukku membersamai lelaki ini. Maka pisahkan kami secara baik-baik.
"Dek ...."
Panggilan Abi membuyarkan lamunan Arini.
"Apa bedanya sekarang dan dahulu?" tanya Abi saat Naina mulai sibuk dengan memotret-motret menggunakan kamera yang ia berikan.
Arini menoleh.
"Bedanya dahulu kita saling mencintai, sekarang tidak."
Abi tersenyum.
"Kalau soal cinta kamu boleh membelah hati ini. Lihat seberapa besar cinta yang Mas punya untukmu, apakah berkurang."
Arini menunduk, tunas-tunas cinta sedemikian bermekaran kembali. Akankah kandas di sepertiga perjalanan?
"Mau Mas kasih tahu bedanya apa?"
Wajah Arini yang tertunduk kini terangkat.
"Dahulu kita berdua, sekarang bertiga."
Abi menggenggam jemari Arini. Meski sang wanita berusaha menarik, tapi genggaman itu tak dilepaskan Abi.
"Apa tidak ada keinginan dalam hatimu untuk kembali bersama, Arini?" bisiknya lirih.
Arini membuang wajah.
"Mas, saya rasa tidak perlu mengulang jawaban yang sudah saya beri semalam."
"Oke. Jika kini ibu merestui."
"Ibu takkan pernah merestui."
"Jika kali ini Mas berhasil meyakinkan."
Arini belum menjawab, tapi kereta sudah berhenti berjalan.
"Udah sampai, Ma."
"Ayo kita turun, Naina."
Arini turun terlebih dahulu lalu memegang jemari Naina agar bocah itu bisa ikut turun. Selanjutnya tanpa menunggu Abi, wanita itu berjalan lebih dulu.
"Kita duduk di sana yuk. Sambil makan es krim."
Arini berbalik saat suara Abi terdengar dari belakang. Mereka akhirnya menuju tempat yang ditunjuk Abi.
"Naina mau es krim yang mana?"
"Padle Pop, Om."
"Oke. Om beli sebentar ya."
Lima menit berlalu, Abi kembali dengan tiga buah es krim di tangan. Naina segera mengambil es krimnya sendiri. Arini masih tak bergerak. Akhirnya Abi yang mengambil es krim dan memberi untuk wanita itu.
"Kamu masih suka Conello 'kan?"
Arini hanya tersenyum dan meraih es krim itu.
"Naina, kamu suka Nak, jalan-jalan seperti ini?"
"Suka, Om. Makasih ya Om."
Naina merangkul badan Abi, Arini yang meyaksikan merasa begitu sakit.
"Naina, apa kamu pernah bertanya pada Mama, siapa sebenarnya papa yang selama ini tak pernah kamu temui?"
Naina mengangguk. Sedang Arini memandangi Abi. Ia menarik napas, takut tak kuat menerima kenyataan yang sebentar lagi akan terbongkar.
"Apa kamu pernah melihat fotonya?"
Naina menggeleng.
"Kamu tahu namanya?"
"Raden Mas Abiyasa Wirahaditenaya. Kata Mama Papa itu keturunan ningrat, Om."
Abi menarik napas berat. Entah kenapa saat mendengar kata ningrat, hatinya perih.
"Jika lelaki itu kini ada di depan Naina, kamu bakalan ngapain?"
Naina akan memeluk, mencium dan tidak akan melepasnya lagi, Om."
Jawaban itu membuat Arini memalingkan wajah. Air mata jatuh perlahan.
"Naina ...."
***
Bersambung
đ„ș
Bismillahirrahmanirrahim.
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
"Naina ... Om ini adalah."Abi menghentikan ucapannya dan menatap Arini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tak siap. Dari pertama bertemu sampai detik ini, Naina begitu menyayangiya. Bagaimana jika gadis kecil itu tahu apa yang sudah terjadi tujuh tahun silam, akankah Naina membencinya?"Katakanlah, Mas."Abi menarik napas."Naina, Om ini adalah Papamu, Nak."Dua bola mata Naina membelalak tak percaya."Papa?""Iya, Sayang. Ini Papa.""Ma, benar apa yang dikatakan Om Abi?"Naina kini menatap Arini. Benar sedang mencari pembenaran."Iya, Sayang. Om Abi itu Papa kamu."Naina kembali menatap Abi. Lelaki itu tak lagi mengulur waktu, dengan segera ia membawa sang anak dalam dekapan. Air mata mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mata.Sedang di samping mereka, Arini ikut menyeka dua pipinya. Tak pernah sekalipun dalam tujuh tahun ini, Arini membayangkan akan bertemu kembali dengan Abi. Dan yang tidak pula ada dalam angannya, akan ada rasa seperti ini bila mereka bertemu."Maafkan Papa, N
"Saya minta Mas Khalif dan Mas Abi pulang, ini sudah magrib. Saya tidak mau didatangi orang satu kampung hanya karena Mas sekalian berdebat di sini! Dengan sangat memohon, saya minta agar semuanya pulang!"Abi tampak menghela napas. Jujur ia berjanji tidak akan beranjak sebelum Khalif yang terlebih dahulu meninggalkan rumah Arini. Tapi permintaan khusus yang ditujukan Arini padanya, membuat sang lelaki tak ada pilihan lain."Arini mohon, Mas Abi."Abi dengan berat mengiyakan permintaan Arini. Ia memasuki kembali mobil lalu menghilang dari pandangan.Selepas kepergian Abi,"Saya tidak paham kenapa ada lelaki seperti suamimu itu!""Maksud Mas?""Harusnya kalau dia mencintaimu, dia bertahan meski dunia membencinya."Arini terdiam."Sekarang dia seperti memakan buah simalakama, memilihmu akan menyakiti hati orang yang dia sayangi. Memilih Dinda akan menyakitimu dan Naina. Harusnya jika dia mau bertahan, dari dulu dia sudah bersikeras!"Arini merasa dadanya tertusuk kuat. Benar apa yang d
Degup Jantung Arini menyentak saat mendengar permintaan Abi. Sungguh dia ingin secara tegas menolak permintaan lelaki itu. Namun lagi-lagi, pertanyaan Naina berikutnya membuat hati wanita itu kembali terenyuh."Ma, bisa nggak ya Allah menghentikan waktu?"Arini mendelik, dia membawa Naina dalam pangkuan."Tentu bisa jika Allah sudah berhendak, Nak. Tapi kenapa Naina pengen Allah menghentikan waktu?"Gadis kecil di hadapan Arini tersenyum malu."Soalnya Naina takut kalau udah malam, Papa bakalan pergi lagi, Ma?"Pandangan Arini kembali terlempar pada Abi. Ada yang membuat dadanya terasa nyeri. Ya Allah, bagaimana jika nanti mereka benar akan berpisah? "Papa nggak akan tinggalin kamu, Nak. Malam ini kita akan menginap di hotel. Iyakan, Ma?"Arini menarik napas berat saat Abi melempar pertanyaannya. Mengapa situasi selalu tak berpihak pada. Arini terpaksa mengiyakan demi kebahagiaan Naina."Iya, Sayang.""Hore asyik."Naina bersorak gembira, demikian dengan Abi. Lelaki itupun diam-diam
"Tidak Mas, jangan sentuh saya."Bulir air mata berderai dari sudut mata Arini. Abi yang menyaksikan merasa begitu terluka."Jangan menangis, Arini.""Jangan sentuh saya, Mas.""Tapi Mas rindu sama kamu. Tujuh tahun Mas menanti, apa salah ketika bertemu Mas menginginkannya.""Saya ingin kita berpisah, Mas.""Kamu ingin Naina terluka?""Bukankah ia sudah terluka semenjak dahulu?""Tapi kita bisa memperbaikinya.""Bukan kita, Mas. Tapi kamu saja!""Baik, benar Mas yang salah. Maka itu ijinkan Mas memperbaiki semuanya. Mas ingin membahagiakan kamu dan Naina."Abi terlihat begitu memohon."Bagaimana jika Mama tetap tak merestui, Mas? Bukankah sejak dahulu kamu ingin menjadi anak yang berbakti?""Mas sudah pernah menuruti keinginan, Mama. Sekarang Mas ikhlas menjadi durhaka asalkan bisa bertanggung jawab padamu dan Naina."Arini memejamkan matanya, jujur ia bahagia mendengar ketegasan itu akhirnya keluar dari mulut Abi. Tapi entah kenapa ia masih saja merasa takut.Sebuah kecupan diberikan
"Silahkan masuk, Mbak.""Aku nggak mau masuk!" sanggah Dinda dengan cepat."Jelaskan di sini saja, Arini. Mbak nggak bisa lama-lama."Wajah Raden Ayu yang biasa begitu ramah, kini seakan memerah menaruh amarah. Arini tak ragu, ia mengatakan statusnya tanpa ditutupi."Saya minta maaf, Mbak. Semua demi Naina.""Apa maksud kamu, Arini?"Dulu, saya pernah cerita sama Mbak, bahwa saya terpaksa meninggalkan suami karena ibu mertua memaksa untuk menggugurkan kandungan saya?"Raden Ayu tampak berpikir."Lalu apa hubungannya dengan Abi?""Mas Abi adalah lelaki yang saya tinggalkan itu, Mbak?"Seketika Raden Ayu dan Dinda tampak terhenyak."Mas Abi?"Kedua mata Dinda kini basah."Tidak mungkin Mas Abi?""Saya tidak bohong, Mbak.""Mbak Ayu, Dinda nggak mau kehilangan Mas Abi, Mbak. Dinda cinta sama Mas Abi."Dua bola mata Adinda sudah berlinangan cairan. Raden Ayu segera memeluk adiknya tersebut. Sedang di hadapan mereka, Arini benar-benar dilema."Jika memang benar yang kamu katakan, apa Abi m
Arini mengangguk, menyetujui putri kecilnya mengambil mainan yang diberikan Khalif. Dengan wajah berbinar Naina mengambil benda itu."Terima kasih ya, Om. Aku suka banget."Khalif tersenyum puas."Om senang kalau kamu suka," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala gadis kecil di hadapannya."Om mau main sama Naina nggak?""Emang boleh?"Pandangan Khalif tertuju pada Arini. Wanita itu segera menjawab,"Naina, Om Khalif ini ada kesibukan. Nanti kamu main sama Mama aja ya, Nak.""Yaudah deh, aku masuk ke dalam dulu ya, Om."Khalif tampak mengangguk. Ia memerhatikan Naina yang terlihat berjalan kembali ke dalam rumah. Hatinya sakit, mengingat seumur hidup dia tak pernah tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi Arini? Khalif menghela napas berat."Makasih ya Mas untuk hadiahnya. Maaf Arini nggak bisa membalas dengan apapun.""Tidak perlu membalas, saya memberi tanpa mengharap balasan."Arini hanya bergeming."Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Abi, maka saya akan mundur. Suatu saat
Dengan mata yang basah, Abi membawa sang ibu ke rumah sakit. Sampai di UGD, ibundanya dengan segera dilakukan penanganan awal. Sementara itu, Abi mencoba menelpon sang kakak yang juga bertempat tinggal di Jakarta Pusat.Sesaat ia terlupa akan seorang wanita yang tengah menunggu kabar darinya. Arini."Ibu Syntia mengalami stroke ringan dokter Abi. Tapi tidak mengapa, In Syaa Allah bisa terapi untuk memperbaiki segala gejala yang timbul. Hanya harus diingat, jauhi beliau dari hal-hal yang bisa memicu terjadinya serangan stroke yang sebenarnya. Karena stroke ringan ini adalah lampu kuning, bahwa ada yang lebih berbahaya lagi yang kita takutkan akan terjadi ke depan. Sebab itu harus bisa dijaga dan sebisa mungkin dicegah faktor pemicunya."Dokter spesialis jantung di hadapan Abi bercerita panjang lebar. Abi dan kakak kandungnya mengangguk bersamaan. Mereka lalu memasuki kamar untuk mengetahui keadaan sang ibu."Ma ...."Begitu melihat Abi, sang ibu langsung membuang wajah. Hal itu membuat
Wajah ibunda dokter Abi terlihat kaku, mata dan bibir sebelah kiri lebih jelas terlihat penurunannya. Sementara itu lengan sebelah kanan kaku, tak dapat digerakkan dengan bebas, sedang jemari tampak menegang. Wanita paruh baya itu bahkan tak dapat berbicara jelas. Sungguh jika diperhatikan dengan seksama, rasa iba begitu dalam membelai jiwa.Dalam rasa sakit yang juga harus ia pikul sebab tak dapat makan dan minum dengan normal, namun amarahnya pada sang anak dan menantu belum jua surut.Ia justru menuduh menantu tak diharapkan itu sebagai penyebab penyakit yang kini menimpa tubuhnya.Abi masih menanti di luar kamar, kedua saudara kandung yang sudah berada di ruang rawatan tak mengijinkan adik semata wayang mereka untuk masuk ke dalam. Akhirnya, demi dapat berbicara dengan sang ubu, ia dan istri bersedia menunggu jam berputar meski hanya duduk di kursi tunggu.Jam menunjukkan tepat pukul dua belas siang. Karena bosan menunggu, Naina jadi tertidur di pangkuan sang papa."Mas, Arini s
Tiga bulan kemudian ...Arini tersentak dari tidur, dia merasa ranjang tempat ia berbaring sudah basah oleh cairan. Arini segera bangkit untuk mengecek. Ia berdiri, namun sesuatu seperti meletus dari jalan lahir wanita itu.Astaghfirullah, Arini begitu ketakutan saat tahu jika yang keluar tersebut adalah air ketuban. Dengan bersegera ia membangunkan sang suami."Mas bangun, Mas."Abi yang baru saja tertidur sekitar dua jam karena baru pulang dari klinik terlihat berat membuka mata."Ada apa, Sayang?"Abi masih berbicara dengan tenang. Tapi tidak dengan Arini."Mas, pecah ketuban?"Mendengar ucapan sang istri, Abi tersentak hebat, ia bangkit hingga ke posisi duduk."Mana coba Mas lihat?"Arini menunjuk lantai yang sudah basah oleh cairan ketubannya."Astaghfirullah, kita ke rumah sakit sekarang? Kamu duduk dulu, jangan banyak bergerak. Biar Mas beresin baju-baju sama perlengkapan bayi."Abi membantu Arini duduk, dia segera mengganti pakaian dan setelah itu memilihkan pakaian ganti untu
Acara telah usai, Arini kembali ke kamar setelah sekian lama menyambut tamu hingga kakinya terasa pegal. Wanita itu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Sepertinya bayi kecil yang berada di dalam rahimnya tidak suka jika dia terlalu lama berdiri. Semenjak tadi siang sampai detik ini, sang bayi tidak berhenti menendang. Jika sudah begini, tak ada lain obatnya selain jemari sang papa yang bertugas mengusap-usap perut.Arini menghela napas, ingin menyuruh ART untuk memanggil Abi. Tapi rasa segan menuntunnya untuk menunda keinginan itu. Sekitar lima belas menit berlalu, Arini sudah bangkit, duduk, tidur, tapi rahimnya masih tak tenang. Sang bayi masih tak mau berhenti berputar dan menendang. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Wajah Arini seketika berbinar. Dalam bayangan pasti itu Abi. Tapi ternyata ..."Ma ...."Arini menarik napas berat, ternyata Naina?"Masuk Sayang, ada apa?"Naina melangkah menuju ranjang tempat sang ibu duduk. Lalu dia naik menyeimbangkan duduk dengan sang i
Dinda menenggelamkan diri dalam rangkulan sang kakak. Air mata tak henti membanjiri wajah. Raden Ayu sampai tak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Adinda, hatinya pun sakit.Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kelembutan. Mencoba menenangkan Dinda yang tampak begitu terpukul atas kejadian yang menimpanya tersebut.Sedang di hadapan mereka, Raden Mas Arya tampak berapi-api."Dimana rumahnya? Berapa nomor handphonenya? Mas akan kasih pelajaran bedebah itu, biar dia sadar akan apa yang sudah dia lakukan sama kamu!""Sudah Mas, kita jangan gegabah. Kita harus bisa menyikapi masalah ini dengan tenang.""Mas tidak bisa tenang, sebelum dia bertanggung jawab atas perbuatannya, Ma. Jika dia berusaha melarikan diri, meja hijau yang akan membuatnya sadar.""Tenang dulu, Mas. Biarkan Dinda yang bicara langsung sama Aryan."Dinda menatap sang kakak dengan tatapan perih."Mas Aryan udah menghubungi Dinda, Mbak.""Lalu apa katanya?"Arya dengan segera memotong pembicaraan Dinda."Mas Aryan a
"Kamu mau 'kan Nak memaafkan Nenek?"Naina yang bersembunyi di balik tubuh Fatimah perlahan menarik tubuhnya keluar. Tanpa dipinta, ia seketika memeluk tubuh Neneknya."Nenek ...," ucapnya yang menbuat sang nenek merasa begitu terharu.Anya ikut mendekat, ia memegang ibundanya agar tetap seimbang dalam berdiri."Masya Allah, cucu shalihah Nenek, Mama dan Papamu pasti sangat bangga punya anak secantik dan seshalihah ini."Sang nenek mengecup kedua pipi Naina. Lalu beliau mengajak cucunya itu untuk berjalan mendekati ranjang Abi. Dua mata bocah itu tertuju pada ayah yang sudah siap dengan senyuman tÄŁerindahnya."Papa ...."Naina berlari memeluk papanya. Abi pun membalas pelukan sang anak dengan begitu erat, tak hanya itu. Berkali-kali lelaki tersebut mengecup pucuk kepala Naina. Berhari-hari berada di alam bawah sadar, ketika membuka mata. Rindu pada orang terkasih terasa begitu berat."Papa kangen banget sama Naina.""Naina juga kangen sama Papa. Jangan sakit lagi ya, Pa. Naina takut."
"Mama? Mbak Anya?"Tatapan mereka bertemu tanpa kata.Arini begitu terhenyak dengan apa yang kini ia saksikan. Bukankah tadi pagi bahkan dia sempat menelpon kakak ipar tersebut. Dimana tanggapan buruk diberikan sang kakak ipar untuknya. Tapi sekarang?Antara bahagia dan takut. Mungkinkah kedatangan mereka justru membawa maksud tak baik? Akankah ibu mertua memintanya malam ini juga untuk mengangkat kaki dari ruangan itu?Sejenak hati dipenuhi oleh sekian banyak pertanyaan, hingga akhirnya perkataan yang keluar dari bibir Anya, meluruhlah semua praduga buruk akan ibu mertua dan kakak ipar."Kamu datang dengan maksud baik, Arini. Apa kamu mengijinkan kami masuk?"Dua bola mata Arini basah, ia begitu bahagia sekaligus terharu dengan maksud kedatangan ibu mertua dan kakak iparnya. Wanita itu mencoba melangkah lebih dekat. Lalu seketika ia memeluk tubuh sang mama. Pelukan Pertama seorang menantu pada ibu mertua. Arini merindukan hal ini semenjak tujuh tahun yang lalu.Terlihat begitu terla
"Maafkan saya Mbak, saya butuh uang."Anya semakin tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Lalu apa hubungannya sama Dinda?"Gio terdiam sejenak, berbagai perasaan campur aduk menerpa jiwanya. Ingin memilih jujur, lalu bagaimana jika Dinda marah setelah nanti tahu."Katakan Gio, apa hubungan Dinda dengan surat itu?"Sesaat suasana benar-benar hening. Tapi detik berikutnya,"Mbak Adinda meminta saya untuk menulis surat itu lalu menyerahkannya sama Mbak Anya, sebab beliau ingin kalian saling salah paham satu sama lain.""Tapi kenapa?"Gio menggigit bibir penuh khawatir, dia mulai merasa tersudut atas kekujurannya itu."Em ... Karena, karena Mbak Dinda tidak terima dengan keputusan Mas Abi yang sudah memutuskan pertunangan mereka dengan sepihak."Anya menarik napas berat."Selain surat itu, apalagi yang sudah kamu lakukan?""Tapi tolong Mbak, jangan ceritakan apapun pada Mbak Dinda. Saya takut dia akan menuntut saya apalagi setelah saya menerima semua uang yang dia serahkan."
Raden Ayu tengah sibuk mengawasi setiap guru yang mengajar di Yayasan yang ia pimpin. Dua hari kemarin, salah satu guru yang ia percayai untuk menggantikan posisi Arini menjadi ketua pelaksana wisuda tahun ini ditemukan melarikan diri, dengan membawa sejumlah uang yang sudah dikumpulkan oleh wali murid ke rekening milik pribadinya.Entah kenapa ia sebegitu percaya pada wanita itu seperti dahulu mempercayai Arini. Padahal jelas, tidak ada Arini kedua yang ia kenal di dunia ini.Raden Ayu menarik napas berat, ternyata mencari orang yang bisa dipercaya bukanlah hal mudah. Bertahun-tahun Arini bekerja padanya, mulai dari mengelola keuangan Yayasan bahkan tak jarang Ayu kadang meminta wanita itu membuat rincian pengeluaran bulanan rumah tangganya. Tak sekalipun ia menemukan Arini berbuat curang.Semestinya ia tidak membenci Arini, bukankah pertemuannya dengan Abi juga terjadi tanpa ketersengajaan?Semua itu murni skenario Allah.Tapi, kenapa ia justru membenci keduanya?Dan yang paling men
"Mas Khalif?"Lelaki di hadapan Arini menyunggingkan selarik senyuman."Bisa kita bicara?"Arini menghela napas, lalu memberi kesempatan untuk lelaki itu berbicara dengannya.*"Jadi sudah lima belas hari koma?"Khalif bertanya tak percaya."Iya, Mas.""Saya memang tak tahu banyak tentang dunia kedokteran, tapi saya yakin Abi pasti akan segera bangun."Arini menyambut perkataan itu dengan senyuman."Mas tahu darimana jika Mas Abi masuk rumah sakit?""Adinda yang ngabari.""Dinda?""Iya benar. Oya, mumpung sudah di sini, boleh nggak ketemu Naina?"Arini terdiam sejenak, sebenarnya ia ingin memperjelas dari mana Dinda bisa tahu jika Abi masuk rumah sakit, tapi ajakan Khalif untuk menemui Naina membuat keinginan itu sedikit teredam.Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Naina. Masih ada lima belas menit lagi sebelum pulang, Khalif mengajak Arini duduk menikmati ketoprak yang ada di depan pekarangan sekolah."Mbak Dinda kok bisa tahu ya jika Mas Abi dirawat?"Akhirnya ada j
"Saya ingin mengundurkan diri, Pak."Dua bola Maya Khalid membelalak."Kenapa berhenti, kamu tersinggung soal kemarin?""Nggak Pak, sama sekali bukan sebab kemarin. Ini masalah suami Pak. Suami saya berencana membangun usaha, tapi jika saya juga bekerja, maka anak kami tidak ada tempat untuk saya titipkan."Khalid berpikir sejenak, tapi dia tak mungkin mengubah peraturan untuk memperbolehkan guru membawa anak ke sekolah. Tentu jika ia mengijinkan Arini, akan banyak tenaga pengajar lain yang berlaku demikian.Khalid menarik napas."Oke, jika itu yang kamu inginkan. Silahkan. Tapi tidak ada pesangon karena kamu hanya bekerja dua hari.""Tidak apa, Pak. Terima kasih untuk kesempatan terbaik ini. Permisi Pak."Arini membalikkan badan. Lalu dengan cepat dia kembali ke rumah. Sementara masih di ruangannya, Khalid tampak menghubungi seseorang.[Hallo, Din][Hallo, Mas Khalid.][Arini mengundurkan dirinya, Din][Mengundurkan diri? Kenapa, Mas?][Dia bilang suaminya mau membuka usaha.][Usaha