Mengenai permintaan Abi, Arini sudah beristikharah. Kini hanya menunggu kepastian dari Allah.
Ketika pagi menyapa, seperti biasa Arini sudah siap memasak, beres rumah dan mencuci pakaian. Tepat pukul enam dia membangunkan Naina, dan mengajak putrinya itu untuk bersiap-siap ke sekolah.
Sekolah Naina hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, biasa mereka menaiki ojek agar dapat sampai ke tempat tersebut. Meski terlihat tenang, sebenarnya Arini berkali-kali mengecek ke luar rumah.
Dia teringat akan kata-kata Abi semalam untuk datang menemui Naina pagi ini.
Bukan serupa pengharapan, mungkin keingintahuan. Benarkah lelaki itu akan menepati ucapannya?
Arini pasrah, saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh tapi tak ada satu manusiapun yang sampai ke rumahnya.
"Yuk Nak, kita pergi."
Arini mengajak sang buah hati. Tapi, kedatangan sebuah mobil membuat degup tak biasa menyentak jantung Arini.
"Mobil siapa itu, Ma?"
Arini menatap lekat, ia tak bisa menandai mobil siapa yang kini terparkir di depan rumahnya.
Tak lama, pengemudi kendaraan itu turun. Arini hanya menghela napas ketika mendapati yang turun bukanlah Abi, melainkan Khalif.
"Assalamualaikum anak shalihah."
"Waalaikum salam," jawab Arini dan Naina berbarengan.
"Om Khalif mau nganterin aku sekolah?"
"Sesuai janji kita kemarin."
"Hore asyik, boleh 'kan Ma, aku diantar Om Khalif?"
Wajah Naina tampak memelas. Arini berpikir sejenak, ia tak mungkin melepas anaknya pada lelaki yang baru beberapa hari ia kenal. Meski sedikit banyak tahu tentang sosok di hadapannya itu, tapi untuk hal apapun ia tak mungkin melepas begitu saja.
"Yaudah, tapi Mama juga ikut, ya."
"Wah, benaran Ma? Asyik ada Mama juga."
"Mas Khalif nggak keberatan 'kan jika saya juga ikut?" tanya Arini pada Khalif.
"Sangat tidak keberatan. Memang kedatangan saya ini tidak hanya untuk mengajak Naina, tapi bersama Mamanya juga biar tidak tersesat."
Khalif berucap sembari tersenyum manis. Arini akui, lelaki itu memang tampan, pesonanya memang begitu memancar. Tapi benarkah lelaki seperti itu jatuh cinta padanya?
Teringat bagaimana beberapa hari yang lalu, Raden Ayu pernah membicarakan tentang sosok Khalif padanya. Baik, sabar, penyayang, humoris, bahkan saat ia dikhianati istri, Khalif masih yang bersahabat dengan mantan istrinya itu.
Kala itu Raden Ayu tidak sekadar bercerita, tapi seperti mempromosikan adik sepupu suaminya.
"Silahkan masuk tuan putri."
Khalif membuka pintu belakang untuk Naina. Dengan wajah semringah bocah tersebut masuk ke mobil. Saat Arini hendak ikut masuk, Khalif dengan cepat menutup pintu. Lelaki itu kemudian membuka pintu depan.
"Ratu duduk di depan."
Khalif kembali mempersilahkan Arini masuk. Pandangan mereka sejenak bertemu. Arini merasa ada yang mengusik jiwanya. Pernah, dulu Abi memperlakukannya dengan perlakuan serupa.
Berkali-kali lelaki itu menyebutnya ratu.
"Kamu satu-satunya Ratu di hatiku, sekarang dan selamanya."
Arini paling tersanjung saat Abi mengucap gombalannya itu. Dilain kesempatan, Abi juga kerap bermanja dengan panggilan ratu.
"Mana donk ciuman termesra dari seorang ratu untuk rajanya?"
Arini pasti memberi apa yang Abi minta, sekalipun lelaki itu masih berjas putih dan belum mencuci tubuhnya.
Arini seketika menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir semua pikiran tentang Abi yang hendak mengacau paginya. Wanita itu lekas naik.
"Makasih, Mas."
Khalif tersenyum mendapati suara Arini yang tak sejutek kemarin.
"Kita berangkat."
Khalif menjalankan mobilnya, Arini berbalik hendak memastikan keadaan Naina di belakang. Tapi netranya berhasil menangkap sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Lalu sebelum mobil Khalif berbelok, ia dapat melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.
Abi?
Kamu terlambat Mas.
*
Khalif turun membukakan pintu untuk Naina. Ternyata Arini pun ikut turun.
"Hati-hati ya, Nak."
Naina mencium pucuk kepala sang anak. Perlakuan itu dibalas Naina dengan mengecup pipi sang ibu.
"Oom nggak dicium?"
Naina melihat mamanya, dia tak pernah dekat dengan seorang lelaki. Karena tak biasa, Naina hanya meraih jemari Khalif lalu mencium punggung tangan lelaki itu.
Khalif mengelus pucuk kepala sang anak.
"Belajar yang rajin ya, Nak."
"Makasih ya, Om."
Baru saja berbalik, Naina sudah disapa oleh seorang guru.
"Wah, hari ini Naina diantar sama Papanya, ya?"
Naina segera menatap Arini.
"Bukan Papanya, Bu. Beliau teman saya."
"Oh iya, maaf. Yaudah Naina langsung masuk ya, Nak."
"Ya Bu Guru."
Khalif menatap Arini dengan wajah cerah dan senyum yang menawan. Sedang Arini merasa gugup atas sapaan itu.
"Terima kasih ya, Mas. Sudah mengantar Naina pagi ini."
"Jangan sungkan, saya bersedia mengantar Naina tiap pagi."
"Emang Mas nggak punya kesibukan yang lain?"
"Punya, ngantar Naina nggak ngehabisin waktu lebih satu jam pun. Mas justru suka, punya warna berbeda dalam hidup Mas sekarang."
Arini terdiam sejenak.
"Yuk saya antar kamu pulang, atau mau belanja dulu? Saya punya waktu banyak kalau pagi."
Kali ini Arini tersenyum.
"Tidak usah, Mas. Saya bisa naik ojek saja."
"Lha jangan ditolak, yuk biar sekalian."
"Sekali lagi maaf Mas. Nggak baik berdua saja dalam mobil, kita bukan mahram."
Khalif terdiam, dia semakin tertarik pada Arini. Tidak seperti kebanyakan wanita yang mengelilinginya. Khalif tak perlu menyibukkan diri mengajak wanita-wanita itu, justru mereka yang kerap meminta diajak jalan.
"Yaudah, kalau gitu, saya temani sampai kamu dapat ojek, ya?"
Arini tersenyum, lalu mereka berdiri di pinggiran jalan. Sepuluh menit berlalu, belum ada ojek yang lewat. Sebab biasa, hanya Naina yang diantar oleh kendaraan jenis itu. Yang lain kebanyakan naik mobil, seminimal memakai motor pribadi.
Masuk menit kelima belas.
"Sepertinya nggak akan ada ojek."
Khalif mengusir kebisuan diantara mereka. Arini seperti nelangsa.
"Bagaimana kalau kita jalan kaki sampai ketemu pangkalan ojek?" tawar Khalif.
Arini menatap lelaki itu.
"Biar Arini jalan sendiri aja Mas. Mas 'kan bawa mobil."
"Nggak papa, nanti kalau ketemu ojek, Mas minta diantar lagi sampai mobil."
Arini hanya menghela napas. Sepertinya ditolak pun Khalif akan memaksa. Lebih baik diiyakan saja.
Mereka sudah melangkah lebih dari sepuluh langkah.
"Boleh saya nanya sesuatu?"
"Nanya aja, Mas."
"Papanya Naina, apa masih sering menghubungi?"
Arini terhenyak, dia tak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari seorang lelaki.
"Nggak, Mas. Emang kenapa?"
"Nggak ada sih, cuma mau sedikit banyak tahu tentang kamu dan Naina."
"Untuk apa, Mas?"
"Ya siapa tahu bisa lebih dekat."
Arini terdiam, tak lagi memperpanjang bahasan itu.
"Bolehkan saya mau tahu tentang kamu dan Naina lebih banyak?"
"Siapa saya hingga Mas mau tahu lebih banyak?"
Khalif tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Kamu wanitalah, wajar 'kan duda seperti saya mau tahu lebih banyak tentang wanita yang menurutnya baik dan shalihah. Siapa tahu bisa diajak naik pelaminan."
Arini berhenti melangkah dan menatap Khalif. Lelaki itu mengulum senyum, sifatnya memang apa adanya.
"Mas mau PDKT sama saya untuk dijadikan calon istri?"
"Okelah jujur, iya. Boleh?"
Arini menahan napas dan memejam mata sejenak.
"Sepertinya Mas salah target."
Arini melanjutkan perjalanannya, Khalif mengikuti.
"Kok salah target, nggak ah?"
"Saya janda tidak berkasta, Mas."
"Saya duda."
"Mas duda berdarah ningrat."
"Emang kenapa kalau ningrat? Nggak boleh nikah sama orang biasa gitu? Pangeran William aja nikahin Kate Middleton. Dunia nggak menangis, malah tersenyum bahagia."
"Siapa Kate Mas, saya?"
"Kate wanita baik dan spesial, makanya Pangeran William jatuh cinta. Kamu juga seperti Kate buat saya."
Arini mengentikan langkahnya dan menatap Khalif. Tak lama, tawanya pecah. Khalif yang menyaksikan begitu menikmati.
"Kenapa tertawa?"
"Mas itu lucu. Nyamain saya sama yang jelas-jelas beda."
"Tapi boleh 'kan saya mencalonkan diri untuk jadi Papanya Naina?"
Arini kembali menghela napas.
"Mas mau saya jujur perihal siapa diri saya sebenarnya? Bahkan Raden Ayu sendiri tidak pernah tahu bagaimana kehidupan saya selama ini."
"Saya siap mendengar."
Khalif tampak berdiri siap.
"Saya ini belum ditalak sama suami saya, Mas."
Dua bola mata Khalif membulat.
"Saya kabur dari rumah suami saya. Sebab ibunya tak pernah mengharapkan keberadaan saya. Mereka berdarah biru. Sama seperti Mas dan Raden Ayu. Sedang saya hanya wanita biasa yang hanya anak seorang petani. Saya memilih pergi karena ingin suami saya menjadi anak yang berbakti pada ibunya."
Jantung Khalif benar-benar seperti dijerat kuat. Ia merasa sesak mendengar penuturan Arini.
"Jadi selama ini dia tidak pernah tahu kamu dimana?"
Arini mengangguk.
"Tapi kami sudah bertemu, dan saya sudah meminta talak padanya."
"Lalu?"
Arini menatap lelaki itu yang tampak begitu serius. Ia tersadar, kenapa berbicara begitu banyak tentang hidupnya pada orang lain, orang yang bahkan baru berbicara dengannya kemarin?
Ya Allah ...
"Apa dia mau menjatuhkan talaknya."
Khalif kembali menanyakan perihal itu.
"Dia akan menjatuhkan talak sesegera mungkin."
Arini mempercepat langkah hampir sampai pada beberapa lelaki berhelm kuning.
"Jika sudah dijatuhkan talak, bolehkah saya mencalonkan diri?"
Khalif masih tak mau menyerah.
"Saya mohon jauhi saya, Mas. Saya tidak mau kejadian serupa kembali terulang."
"Saya janji tidak akan menyakitimu dan Naina."
"Maaf, Mas. Saya bilang jauhi saya. Terima kasih untuk pagi ini. Besok jangan lagi datang."
Arini yang sudah sampai di pangkalan ojek, langsung menaiki salah satunya dan meminta diantar ke suatu tempat.
Khalif yang ditinggal, menarik napas berat. Beginilah rasanya mengejar seorang wanita? Khalif semakin jatuh cinta. Dia berjanji tidak akan menyerah sebelum Arini dimiliki siapapun.
*
Ternyata, tak jauh di seberang sana. Seorang lelaki yang berada di dalam mobil, terus memperhatikan Khalif dan Arini sepanjang perjalanan mereka. Lelaki itu memang tak tahu apa yang dibicarakan pasangan tersebut. Tapi rasa cemburu cukup besar bersarang dalam dada.
"Kamu tersenyum, tertawa ketika bersama lelaki itu. Bisakah Mas ikhlas melepasmu, Dek?"
***
Bersambung
đ„șđ„ș
Mas Abi ...đ
Utamakan baca Al-Quran.
Abi turun dari mobil, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali. Lelaki itu duduk di kios kecil pinggiran jalan. Memesan kopi panas sekadar mengusir rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi dada.Semenjak kecil, Abi memang terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Setelah sepuluh tahun kelahiran sang kakak, barulah Abi kecil hadir di rahim sang mama. Hal itu membuat dia tidak hanya dimanja oleh mama ataupun papa, tapi juga oleh kakak perempuan dan kakak lelakinya.Abi anak penurut, semua keinginan keluarganya hampir tidak ada yang ia tolak untuk dilakukan. Hanya soal cinta, itupun Abi terpaksa harus diam-diam menikahi Arini. Demi menjaga perasaan sang ibu.Nikah bawah tangan, awalnya Arini menolak keinginan tersebut. Tapi karena kegigihan Abi, juga janji yang diucapkan lelaki itu, Arini luruh. "Nikah tanpa restu itu berat, Nduk. Ibu takut kamu akan menderita setelahnya."Itu adalah perkataan ibunda Arini yang tidak hanya diucapkan di hadapan sang anak gadis, juga di hadapan Abi. Selaku lelaki y
"Naina ... Om ini adalah."Abi menghentikan ucapannya dan menatap Arini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tak siap. Dari pertama bertemu sampai detik ini, Naina begitu menyayangiya. Bagaimana jika gadis kecil itu tahu apa yang sudah terjadi tujuh tahun silam, akankah Naina membencinya?"Katakanlah, Mas."Abi menarik napas."Naina, Om ini adalah Papamu, Nak."Dua bola mata Naina membelalak tak percaya."Papa?""Iya, Sayang. Ini Papa.""Ma, benar apa yang dikatakan Om Abi?"Naina kini menatap Arini. Benar sedang mencari pembenaran."Iya, Sayang. Om Abi itu Papa kamu."Naina kembali menatap Abi. Lelaki itu tak lagi mengulur waktu, dengan segera ia membawa sang anak dalam dekapan. Air mata mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mata.Sedang di samping mereka, Arini ikut menyeka dua pipinya. Tak pernah sekalipun dalam tujuh tahun ini, Arini membayangkan akan bertemu kembali dengan Abi. Dan yang tidak pula ada dalam angannya, akan ada rasa seperti ini bila mereka bertemu."Maafkan Papa, N
"Saya minta Mas Khalif dan Mas Abi pulang, ini sudah magrib. Saya tidak mau didatangi orang satu kampung hanya karena Mas sekalian berdebat di sini! Dengan sangat memohon, saya minta agar semuanya pulang!"Abi tampak menghela napas. Jujur ia berjanji tidak akan beranjak sebelum Khalif yang terlebih dahulu meninggalkan rumah Arini. Tapi permintaan khusus yang ditujukan Arini padanya, membuat sang lelaki tak ada pilihan lain."Arini mohon, Mas Abi."Abi dengan berat mengiyakan permintaan Arini. Ia memasuki kembali mobil lalu menghilang dari pandangan.Selepas kepergian Abi,"Saya tidak paham kenapa ada lelaki seperti suamimu itu!""Maksud Mas?""Harusnya kalau dia mencintaimu, dia bertahan meski dunia membencinya."Arini terdiam."Sekarang dia seperti memakan buah simalakama, memilihmu akan menyakiti hati orang yang dia sayangi. Memilih Dinda akan menyakitimu dan Naina. Harusnya jika dia mau bertahan, dari dulu dia sudah bersikeras!"Arini merasa dadanya tertusuk kuat. Benar apa yang d
Degup Jantung Arini menyentak saat mendengar permintaan Abi. Sungguh dia ingin secara tegas menolak permintaan lelaki itu. Namun lagi-lagi, pertanyaan Naina berikutnya membuat hati wanita itu kembali terenyuh."Ma, bisa nggak ya Allah menghentikan waktu?"Arini mendelik, dia membawa Naina dalam pangkuan."Tentu bisa jika Allah sudah berhendak, Nak. Tapi kenapa Naina pengen Allah menghentikan waktu?"Gadis kecil di hadapan Arini tersenyum malu."Soalnya Naina takut kalau udah malam, Papa bakalan pergi lagi, Ma?"Pandangan Arini kembali terlempar pada Abi. Ada yang membuat dadanya terasa nyeri. Ya Allah, bagaimana jika nanti mereka benar akan berpisah? "Papa nggak akan tinggalin kamu, Nak. Malam ini kita akan menginap di hotel. Iyakan, Ma?"Arini menarik napas berat saat Abi melempar pertanyaannya. Mengapa situasi selalu tak berpihak pada. Arini terpaksa mengiyakan demi kebahagiaan Naina."Iya, Sayang.""Hore asyik."Naina bersorak gembira, demikian dengan Abi. Lelaki itupun diam-diam
"Tidak Mas, jangan sentuh saya."Bulir air mata berderai dari sudut mata Arini. Abi yang menyaksikan merasa begitu terluka."Jangan menangis, Arini.""Jangan sentuh saya, Mas.""Tapi Mas rindu sama kamu. Tujuh tahun Mas menanti, apa salah ketika bertemu Mas menginginkannya.""Saya ingin kita berpisah, Mas.""Kamu ingin Naina terluka?""Bukankah ia sudah terluka semenjak dahulu?""Tapi kita bisa memperbaikinya.""Bukan kita, Mas. Tapi kamu saja!""Baik, benar Mas yang salah. Maka itu ijinkan Mas memperbaiki semuanya. Mas ingin membahagiakan kamu dan Naina."Abi terlihat begitu memohon."Bagaimana jika Mama tetap tak merestui, Mas? Bukankah sejak dahulu kamu ingin menjadi anak yang berbakti?""Mas sudah pernah menuruti keinginan, Mama. Sekarang Mas ikhlas menjadi durhaka asalkan bisa bertanggung jawab padamu dan Naina."Arini memejamkan matanya, jujur ia bahagia mendengar ketegasan itu akhirnya keluar dari mulut Abi. Tapi entah kenapa ia masih saja merasa takut.Sebuah kecupan diberikan
"Silahkan masuk, Mbak.""Aku nggak mau masuk!" sanggah Dinda dengan cepat."Jelaskan di sini saja, Arini. Mbak nggak bisa lama-lama."Wajah Raden Ayu yang biasa begitu ramah, kini seakan memerah menaruh amarah. Arini tak ragu, ia mengatakan statusnya tanpa ditutupi."Saya minta maaf, Mbak. Semua demi Naina.""Apa maksud kamu, Arini?"Dulu, saya pernah cerita sama Mbak, bahwa saya terpaksa meninggalkan suami karena ibu mertua memaksa untuk menggugurkan kandungan saya?"Raden Ayu tampak berpikir."Lalu apa hubungannya dengan Abi?""Mas Abi adalah lelaki yang saya tinggalkan itu, Mbak?"Seketika Raden Ayu dan Dinda tampak terhenyak."Mas Abi?"Kedua mata Dinda kini basah."Tidak mungkin Mas Abi?""Saya tidak bohong, Mbak.""Mbak Ayu, Dinda nggak mau kehilangan Mas Abi, Mbak. Dinda cinta sama Mas Abi."Dua bola mata Adinda sudah berlinangan cairan. Raden Ayu segera memeluk adiknya tersebut. Sedang di hadapan mereka, Arini benar-benar dilema."Jika memang benar yang kamu katakan, apa Abi m
Arini mengangguk, menyetujui putri kecilnya mengambil mainan yang diberikan Khalif. Dengan wajah berbinar Naina mengambil benda itu."Terima kasih ya, Om. Aku suka banget."Khalif tersenyum puas."Om senang kalau kamu suka," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala gadis kecil di hadapannya."Om mau main sama Naina nggak?""Emang boleh?"Pandangan Khalif tertuju pada Arini. Wanita itu segera menjawab,"Naina, Om Khalif ini ada kesibukan. Nanti kamu main sama Mama aja ya, Nak.""Yaudah deh, aku masuk ke dalam dulu ya, Om."Khalif tampak mengangguk. Ia memerhatikan Naina yang terlihat berjalan kembali ke dalam rumah. Hatinya sakit, mengingat seumur hidup dia tak pernah tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi Arini? Khalif menghela napas berat."Makasih ya Mas untuk hadiahnya. Maaf Arini nggak bisa membalas dengan apapun.""Tidak perlu membalas, saya memberi tanpa mengharap balasan."Arini hanya bergeming."Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Abi, maka saya akan mundur. Suatu saat
Dengan mata yang basah, Abi membawa sang ibu ke rumah sakit. Sampai di UGD, ibundanya dengan segera dilakukan penanganan awal. Sementara itu, Abi mencoba menelpon sang kakak yang juga bertempat tinggal di Jakarta Pusat.Sesaat ia terlupa akan seorang wanita yang tengah menunggu kabar darinya. Arini."Ibu Syntia mengalami stroke ringan dokter Abi. Tapi tidak mengapa, In Syaa Allah bisa terapi untuk memperbaiki segala gejala yang timbul. Hanya harus diingat, jauhi beliau dari hal-hal yang bisa memicu terjadinya serangan stroke yang sebenarnya. Karena stroke ringan ini adalah lampu kuning, bahwa ada yang lebih berbahaya lagi yang kita takutkan akan terjadi ke depan. Sebab itu harus bisa dijaga dan sebisa mungkin dicegah faktor pemicunya."Dokter spesialis jantung di hadapan Abi bercerita panjang lebar. Abi dan kakak kandungnya mengangguk bersamaan. Mereka lalu memasuki kamar untuk mengetahui keadaan sang ibu."Ma ...."Begitu melihat Abi, sang ibu langsung membuang wajah. Hal itu membuat
Tiga bulan kemudian ...Arini tersentak dari tidur, dia merasa ranjang tempat ia berbaring sudah basah oleh cairan. Arini segera bangkit untuk mengecek. Ia berdiri, namun sesuatu seperti meletus dari jalan lahir wanita itu.Astaghfirullah, Arini begitu ketakutan saat tahu jika yang keluar tersebut adalah air ketuban. Dengan bersegera ia membangunkan sang suami."Mas bangun, Mas."Abi yang baru saja tertidur sekitar dua jam karena baru pulang dari klinik terlihat berat membuka mata."Ada apa, Sayang?"Abi masih berbicara dengan tenang. Tapi tidak dengan Arini."Mas, pecah ketuban?"Mendengar ucapan sang istri, Abi tersentak hebat, ia bangkit hingga ke posisi duduk."Mana coba Mas lihat?"Arini menunjuk lantai yang sudah basah oleh cairan ketubannya."Astaghfirullah, kita ke rumah sakit sekarang? Kamu duduk dulu, jangan banyak bergerak. Biar Mas beresin baju-baju sama perlengkapan bayi."Abi membantu Arini duduk, dia segera mengganti pakaian dan setelah itu memilihkan pakaian ganti untu
Acara telah usai, Arini kembali ke kamar setelah sekian lama menyambut tamu hingga kakinya terasa pegal. Wanita itu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Sepertinya bayi kecil yang berada di dalam rahimnya tidak suka jika dia terlalu lama berdiri. Semenjak tadi siang sampai detik ini, sang bayi tidak berhenti menendang. Jika sudah begini, tak ada lain obatnya selain jemari sang papa yang bertugas mengusap-usap perut.Arini menghela napas, ingin menyuruh ART untuk memanggil Abi. Tapi rasa segan menuntunnya untuk menunda keinginan itu. Sekitar lima belas menit berlalu, Arini sudah bangkit, duduk, tidur, tapi rahimnya masih tak tenang. Sang bayi masih tak mau berhenti berputar dan menendang. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Wajah Arini seketika berbinar. Dalam bayangan pasti itu Abi. Tapi ternyata ..."Ma ...."Arini menarik napas berat, ternyata Naina?"Masuk Sayang, ada apa?"Naina melangkah menuju ranjang tempat sang ibu duduk. Lalu dia naik menyeimbangkan duduk dengan sang i
Dinda menenggelamkan diri dalam rangkulan sang kakak. Air mata tak henti membanjiri wajah. Raden Ayu sampai tak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Adinda, hatinya pun sakit.Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kelembutan. Mencoba menenangkan Dinda yang tampak begitu terpukul atas kejadian yang menimpanya tersebut.Sedang di hadapan mereka, Raden Mas Arya tampak berapi-api."Dimana rumahnya? Berapa nomor handphonenya? Mas akan kasih pelajaran bedebah itu, biar dia sadar akan apa yang sudah dia lakukan sama kamu!""Sudah Mas, kita jangan gegabah. Kita harus bisa menyikapi masalah ini dengan tenang.""Mas tidak bisa tenang, sebelum dia bertanggung jawab atas perbuatannya, Ma. Jika dia berusaha melarikan diri, meja hijau yang akan membuatnya sadar.""Tenang dulu, Mas. Biarkan Dinda yang bicara langsung sama Aryan."Dinda menatap sang kakak dengan tatapan perih."Mas Aryan udah menghubungi Dinda, Mbak.""Lalu apa katanya?"Arya dengan segera memotong pembicaraan Dinda."Mas Aryan a
"Kamu mau 'kan Nak memaafkan Nenek?"Naina yang bersembunyi di balik tubuh Fatimah perlahan menarik tubuhnya keluar. Tanpa dipinta, ia seketika memeluk tubuh Neneknya."Nenek ...," ucapnya yang menbuat sang nenek merasa begitu terharu.Anya ikut mendekat, ia memegang ibundanya agar tetap seimbang dalam berdiri."Masya Allah, cucu shalihah Nenek, Mama dan Papamu pasti sangat bangga punya anak secantik dan seshalihah ini."Sang nenek mengecup kedua pipi Naina. Lalu beliau mengajak cucunya itu untuk berjalan mendekati ranjang Abi. Dua mata bocah itu tertuju pada ayah yang sudah siap dengan senyuman tÄŁerindahnya."Papa ...."Naina berlari memeluk papanya. Abi pun membalas pelukan sang anak dengan begitu erat, tak hanya itu. Berkali-kali lelaki tersebut mengecup pucuk kepala Naina. Berhari-hari berada di alam bawah sadar, ketika membuka mata. Rindu pada orang terkasih terasa begitu berat."Papa kangen banget sama Naina.""Naina juga kangen sama Papa. Jangan sakit lagi ya, Pa. Naina takut."
"Mama? Mbak Anya?"Tatapan mereka bertemu tanpa kata.Arini begitu terhenyak dengan apa yang kini ia saksikan. Bukankah tadi pagi bahkan dia sempat menelpon kakak ipar tersebut. Dimana tanggapan buruk diberikan sang kakak ipar untuknya. Tapi sekarang?Antara bahagia dan takut. Mungkinkah kedatangan mereka justru membawa maksud tak baik? Akankah ibu mertua memintanya malam ini juga untuk mengangkat kaki dari ruangan itu?Sejenak hati dipenuhi oleh sekian banyak pertanyaan, hingga akhirnya perkataan yang keluar dari bibir Anya, meluruhlah semua praduga buruk akan ibu mertua dan kakak ipar."Kamu datang dengan maksud baik, Arini. Apa kamu mengijinkan kami masuk?"Dua bola mata Arini basah, ia begitu bahagia sekaligus terharu dengan maksud kedatangan ibu mertua dan kakak iparnya. Wanita itu mencoba melangkah lebih dekat. Lalu seketika ia memeluk tubuh sang mama. Pelukan Pertama seorang menantu pada ibu mertua. Arini merindukan hal ini semenjak tujuh tahun yang lalu.Terlihat begitu terla
"Maafkan saya Mbak, saya butuh uang."Anya semakin tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Lalu apa hubungannya sama Dinda?"Gio terdiam sejenak, berbagai perasaan campur aduk menerpa jiwanya. Ingin memilih jujur, lalu bagaimana jika Dinda marah setelah nanti tahu."Katakan Gio, apa hubungan Dinda dengan surat itu?"Sesaat suasana benar-benar hening. Tapi detik berikutnya,"Mbak Adinda meminta saya untuk menulis surat itu lalu menyerahkannya sama Mbak Anya, sebab beliau ingin kalian saling salah paham satu sama lain.""Tapi kenapa?"Gio menggigit bibir penuh khawatir, dia mulai merasa tersudut atas kekujurannya itu."Em ... Karena, karena Mbak Dinda tidak terima dengan keputusan Mas Abi yang sudah memutuskan pertunangan mereka dengan sepihak."Anya menarik napas berat."Selain surat itu, apalagi yang sudah kamu lakukan?""Tapi tolong Mbak, jangan ceritakan apapun pada Mbak Dinda. Saya takut dia akan menuntut saya apalagi setelah saya menerima semua uang yang dia serahkan."
Raden Ayu tengah sibuk mengawasi setiap guru yang mengajar di Yayasan yang ia pimpin. Dua hari kemarin, salah satu guru yang ia percayai untuk menggantikan posisi Arini menjadi ketua pelaksana wisuda tahun ini ditemukan melarikan diri, dengan membawa sejumlah uang yang sudah dikumpulkan oleh wali murid ke rekening milik pribadinya.Entah kenapa ia sebegitu percaya pada wanita itu seperti dahulu mempercayai Arini. Padahal jelas, tidak ada Arini kedua yang ia kenal di dunia ini.Raden Ayu menarik napas berat, ternyata mencari orang yang bisa dipercaya bukanlah hal mudah. Bertahun-tahun Arini bekerja padanya, mulai dari mengelola keuangan Yayasan bahkan tak jarang Ayu kadang meminta wanita itu membuat rincian pengeluaran bulanan rumah tangganya. Tak sekalipun ia menemukan Arini berbuat curang.Semestinya ia tidak membenci Arini, bukankah pertemuannya dengan Abi juga terjadi tanpa ketersengajaan?Semua itu murni skenario Allah.Tapi, kenapa ia justru membenci keduanya?Dan yang paling men
"Mas Khalif?"Lelaki di hadapan Arini menyunggingkan selarik senyuman."Bisa kita bicara?"Arini menghela napas, lalu memberi kesempatan untuk lelaki itu berbicara dengannya.*"Jadi sudah lima belas hari koma?"Khalif bertanya tak percaya."Iya, Mas.""Saya memang tak tahu banyak tentang dunia kedokteran, tapi saya yakin Abi pasti akan segera bangun."Arini menyambut perkataan itu dengan senyuman."Mas tahu darimana jika Mas Abi masuk rumah sakit?""Adinda yang ngabari.""Dinda?""Iya benar. Oya, mumpung sudah di sini, boleh nggak ketemu Naina?"Arini terdiam sejenak, sebenarnya ia ingin memperjelas dari mana Dinda bisa tahu jika Abi masuk rumah sakit, tapi ajakan Khalif untuk menemui Naina membuat keinginan itu sedikit teredam.Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Naina. Masih ada lima belas menit lagi sebelum pulang, Khalif mengajak Arini duduk menikmati ketoprak yang ada di depan pekarangan sekolah."Mbak Dinda kok bisa tahu ya jika Mas Abi dirawat?"Akhirnya ada j
"Saya ingin mengundurkan diri, Pak."Dua bola Maya Khalid membelalak."Kenapa berhenti, kamu tersinggung soal kemarin?""Nggak Pak, sama sekali bukan sebab kemarin. Ini masalah suami Pak. Suami saya berencana membangun usaha, tapi jika saya juga bekerja, maka anak kami tidak ada tempat untuk saya titipkan."Khalid berpikir sejenak, tapi dia tak mungkin mengubah peraturan untuk memperbolehkan guru membawa anak ke sekolah. Tentu jika ia mengijinkan Arini, akan banyak tenaga pengajar lain yang berlaku demikian.Khalid menarik napas."Oke, jika itu yang kamu inginkan. Silahkan. Tapi tidak ada pesangon karena kamu hanya bekerja dua hari.""Tidak apa, Pak. Terima kasih untuk kesempatan terbaik ini. Permisi Pak."Arini membalikkan badan. Lalu dengan cepat dia kembali ke rumah. Sementara masih di ruangannya, Khalid tampak menghubungi seseorang.[Hallo, Din][Hallo, Mas Khalid.][Arini mengundurkan dirinya, Din][Mengundurkan diri? Kenapa, Mas?][Dia bilang suaminya mau membuka usaha.][Usaha