Arini tahu akan ada dua pilihan jika mereka kembali membuka ruang untuk bicara, terluka dan tersakiti. Dua pilihan yang tak akan pernah berpihak padanya. Tapi ucapan Abi selanjutnya membuat hati wanita itu luluh.
"Mas mohon Dek, Mas rindu sama kamu."
Perkataan itu, membuat Arini mengerjap berkali-bali. Ia berusaha mengusir sekian banyak air mata yang hendak mendesak keluar. Baru mendengar satu kali saja kata rindu dari mulut Abi, hatinya sudah patah ara. Bagaimana jika yang lain.
"Arini ...."
Abi mendorong pintu lebih lebar. Dua netranya kini berhasil menatap Arini lekat. Sungguh, wanita itu juga dapat menyaksikan bulir bening yang membasahi mata lelaki di hadapannya, dan itu benar-benar membuat hati Arini perih.
"Mas sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama tak saling mengetahui kabar, kini kita kembali bertemu, Arini."
Arini membuang wajah.
"Katakan kenapa kamu pergi, Dek? Kamu membenci suamimu ini? Kamu membenci pria brengsek yang tega menyuruh seorang istri menggugurkan kandungannya? Kamu membenci lelaki yang lebih mementingkan ibu daripada istrinya sendiri? Kenapa kamu pergi Arini, kenapa tidak bunuh saja Mas ini. Supaya Mas menghilang dengan seribu penyesalan yang terdalam?"
Arini terdiam.
"Arini, katakan, apakah masih ada maaf untuk lelaki seperti Mas?"
Pandangan mereka bertemu. Sungguh, Arini masih dapat membaca perasaan cinta yang begitu besar dari dalamnya sorot mata Abi.
"Arini sudah memaafkan Mas Abi."
Lelaki itu tersenyum dalam tangis.
"Alhamdulillah, Mas bersyukur jika memang kamu sudah memaafkan semua kesalahan Mas. Tapi andai kamu tahu, Mas tidak bisa memaafkan diri Mas sendiri. Mas mengutuk diri setiap saat atas kebodohan yang pernah Mas lakukan padamu. Arini, katakanlah, apakah saat itu kamu--"
"Aku tidak jadi menggugurkannya, Mas."
"Alhamdulillah ...."
Abi menelungkupkan telapak tangan pada wajahnya.
"Dimana anakku Arini?"
"Dia sedang tidur, Mas."
"Apakah namanya Naina?"
Arini mengangguk.
Air mata Abi kembali berderai.
"Ya Allah, tadi dia seharian merangkul pinggangku. Ternyata dia sangat rindu pada Papanya."
Tangis Abi kini bersambut, Arini pun sudah tak sanggup lagi bertahan. Ia biarkan air matanya luruh begitu saja.
"Ijinkan aku bertemu dengannya Arini?"
Arini menggeleng.
"Tidak sekarang, Mas. Ini sudah malam. Datanglah besok, aku akan mengenalkanku padanya."
Abi kembali memandangi wanita itu. Wanita yang sampai detik ini masih menduduki tempat terutama dalam hatinya. Ingin sekali ia memeluk, menumpahkan segala rindu yang selama ini terus ia bendung seorang diri.
Tapi Abi paham, posisinya sekarang berbeda. Tujuh tahun telah berlalu. Ia juga mendengar ucapan Adinda tadi siang, bahwa kakaknya Raden Ayu berencana mencalonkan Khalif untuk Arini.
Abi sadar, siapa dia lelaki yang bahkan mempertahankan seorang istri saja ia tak mampu. Mungkin Khalif seribu kali lebih baik untuk Arini. Bahkan kedua orang tua lelaki itu tak mempermasalahkan status Arini yang bukan dari keluarga Ningrat.
Untuk kebahagiaanmu Arini, meski hati tak lagi sempurna, aku ikhlas.
Abi mengusap kembali matanya.
"Aku akan datang besok, Arini."
"Oya, Mas. Ada satu hal yang mau aku pinta padamu."
"Katakanlah, Dek."
"Saat aku pergi dahulu, status kita masihlah suami istri."
Abi menarik napas. Ia paham apa yang akan disampaikan Arini sesaat lagi. Abi mencoba membesarkan hati.
"Aku ingin kamu mentalakku, Mas."
Berdiri Abi goyah, ternyata mendengar secara langsung lebih sakit daripada membayangkan.
"Mas nggak papa?"
Arini tampak khawatir saat Abi hampir terjatuh ke lantai.
"Tidak, Mas nggak papa. Kamu ingin kita berpisah?"
Arini menciba tegar.
"Iya, Mas. Aku ingin bahagia bersama Naina."
"Apa tidak ada lagi sedikit saja cinta di hatimu untuk Mas?"
"Bukankah cinta itu pengorbanan, Mas? Sama seperti ketika Mas mencintai Mama, Mas berkorban meski dengan menyakiti diriku."
Abi terdiam. Ia paham akan kesalahannya.
"Sekarang Mas bertanya apa aku masih mencintai Mas? Akan kujawab dengan bahasa yang lebih baik. Aku memberimu kesempatan untuk mengabdi pada ibumu. Nikahi wanita yang ia sukai, dan jauhi wanita yang tidak ia sukai. Kamu paham maksudku 'kan, Mas?"
Abi merasa hatinya tertusuk-tusuk. Ternyata wanita ini masih begitu mencintainya? Ya Allah, hukumlah aku untuk semua kesalahan ini.
"Baiklah Arini, Mas akan melakukan apa yang kamu pinta, tapi setelah Naina merasa punya kedua orang tua yang sangat mencintainya, walau cuma sehari."
Wajah Arini seketika teralihkan pada Abi. Lelaki itu memperlihatkan tiga buah tiket pesawat.
"Ijinkan sebelum berpisah, kita berikan apa yang seharusnya didapatkan Naina semenjak dahulu. Mas janji tidak akan menyentuhmu. Mas hanya ingin Naina bahagia saat melihat papa dan mamanya bisa akur meski sudah lama berpisah."
Angan Arini terlempar pada sebuah lukisan yang dibuat Naina bulan lalu. Bocah itu menggambar sebuah pemandangan yang didalamnya ada seorang lelaki, perempuan dan seorang anak kecil.
Ketika ditanyai Arini, Naina bilang itu adalah mama, papa dan dirinya. Naina lanjut bercerita tentang keinginan bisa sekali saja berlibur ke sebuah tempat bersama dua orang yang paling dia cintai di dunia ini.
Hati Arini terkikis, perih. Apakah saat ini, Allah mengabulkan keinginan Naina tersebut?
"Kabulkan permohonan Mas ini, Arini. Mas hanya ingin sekali saja membahagiakan anak kita."
Arini menarik napas dalam.
"Baiklah, Mas. Saya setuju."
"Terima kasih, Dek. Mas pamit."
Berat, langkah Abi terangkat jua menjauh.
Di balik kemudi, air matanya kembali luruh. Cinta yang menyakitkan. Tuhan saja tak memandang manusia dari kasta maupun kekayaan, Allah melihat manusia dari ketaatannya dalam beribadah.
Tapi kenapa manusia masih saja mempermasalahkan kasta dalam kehidupan mereka? Tidakkah perbedaan itu ada untuk saling melengkapi?
Ma, kenapa engkau tak pernah mau mengerti perasaan anakmu?
Katanya kau menyayangiku, apa yang aku suka kaupun suka.
Sejak kecil kau yang paling tahu semua tentangku, tapi kenapa kau tak mau tahu saat aku bilang telah jatuh cinta.
Kau minta aku membuktikan cintaku untukmu, kau ragu sebab aku begitu serius memperjuangkan yang kau tolak. Andai kau tahu, aku bahkan sudah melukainya untuk menyenangkanmu.
Apakah kau lupa bahwa kau pernah berjanji ingin selalu melihatku bahagia? Kau membuatku terluka dengan pilihanmu. Kau sudah menghancurkan impianku, Mama.
Dan sekarang aku tahu,
kedewasaan membuatmu berubah dalam menyayangiku. Andai bisa, aku ingin selalu menjadi bayimu yang kau cintai dan kau penuhi segala keinginan tanpa penolakan.
Andai Ma, andai aku terlahir kembali, aku akan meminta pada Allah untuk tidak pernah menjadi dewasa.
*
Arini membasuh wajahnya dengan air wudhu, rasa sakit itu kembali terulang. Tapi kali ini lebih dari apa yang pernah ia alami dahulu. Akankah dia bisa kembali bangkit?
Ya Allah, pada-Mu kuserahkan hidup ini. Aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil dan dari kesewenang-wenangan manusia.
Engkau yang mampu mengeluarkanku dari pekatnya masalah yang tengah kuhadapi ini. Engkau yang tahu apa yang terbaik, berikan kami yang terbaik menurutku, Rabb ...
Arini membentang sajadah, sujud demi sujud ia lakukan dengan khusuk meski tak dapat menahan tangis.
Ia sudahi malamnya dengan doa panjang.
Sebab ia tahu, apa yang baik dimata manusia, belum tentu baik di mata Sang Pencipta. Kali ini, ia tidak mau berbuat berdasar keinginan hati. Ia memohon petunjuk. Semoga esok ada sebuah keputusan atas pemintaan Abi tadi.
Pergi atau tidak.
***
Bersambung
Ya Allah, sedih saat tahu isi hati Abi untuk mamanya. Semoga mereka semua bisa mendapat yang terbaik.
Bantu saya dengan follow, subscribe, koment dan tekan tombol love di cerbung ini ya.
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
Mengenai permintaan Abi, Arini sudah beristikharah. Kini hanya menunggu kepastian dari Allah. Ketika pagi menyapa, seperti biasa Arini sudah siap memasak, beres rumah dan mencuci pakaian. Tepat pukul enam dia membangunkan Naina, dan mengajak putrinya itu untuk bersiap-siap ke sekolah.Sekolah Naina hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, biasa mereka menaiki ojek agar dapat sampai ke tempat tersebut. Meski terlihat tenang, sebenarnya Arini berkali-kali mengecek ke luar rumah. Dia teringat akan kata-kata Abi semalam untuk datang menemui Naina pagi ini.Bukan serupa pengharapan, mungkin keingintahuan. Benarkah lelaki itu akan menepati ucapannya?Arini pasrah, saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh tapi tak ada satu manusiapun yang sampai ke rumahnya."Yuk Nak, kita pergi."Arini mengajak sang buah hati. Tapi, kedatangan sebuah mobil membuat degup tak biasa menyentak jantung Arini."Mobil siapa itu, Ma?"Arini menatap lekat, ia tak bisa menandai mobil siapa yang kini terparkir
Abi turun dari mobil, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali. Lelaki itu duduk di kios kecil pinggiran jalan. Memesan kopi panas sekadar mengusir rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi dada.Semenjak kecil, Abi memang terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Setelah sepuluh tahun kelahiran sang kakak, barulah Abi kecil hadir di rahim sang mama. Hal itu membuat dia tidak hanya dimanja oleh mama ataupun papa, tapi juga oleh kakak perempuan dan kakak lelakinya.Abi anak penurut, semua keinginan keluarganya hampir tidak ada yang ia tolak untuk dilakukan. Hanya soal cinta, itupun Abi terpaksa harus diam-diam menikahi Arini. Demi menjaga perasaan sang ibu.Nikah bawah tangan, awalnya Arini menolak keinginan tersebut. Tapi karena kegigihan Abi, juga janji yang diucapkan lelaki itu, Arini luruh. "Nikah tanpa restu itu berat, Nduk. Ibu takut kamu akan menderita setelahnya."Itu adalah perkataan ibunda Arini yang tidak hanya diucapkan di hadapan sang anak gadis, juga di hadapan Abi. Selaku lelaki y
"Naina ... Om ini adalah."Abi menghentikan ucapannya dan menatap Arini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tak siap. Dari pertama bertemu sampai detik ini, Naina begitu menyayangiya. Bagaimana jika gadis kecil itu tahu apa yang sudah terjadi tujuh tahun silam, akankah Naina membencinya?"Katakanlah, Mas."Abi menarik napas."Naina, Om ini adalah Papamu, Nak."Dua bola mata Naina membelalak tak percaya."Papa?""Iya, Sayang. Ini Papa.""Ma, benar apa yang dikatakan Om Abi?"Naina kini menatap Arini. Benar sedang mencari pembenaran."Iya, Sayang. Om Abi itu Papa kamu."Naina kembali menatap Abi. Lelaki itu tak lagi mengulur waktu, dengan segera ia membawa sang anak dalam dekapan. Air mata mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mata.Sedang di samping mereka, Arini ikut menyeka dua pipinya. Tak pernah sekalipun dalam tujuh tahun ini, Arini membayangkan akan bertemu kembali dengan Abi. Dan yang tidak pula ada dalam angannya, akan ada rasa seperti ini bila mereka bertemu."Maafkan Papa, N
"Saya minta Mas Khalif dan Mas Abi pulang, ini sudah magrib. Saya tidak mau didatangi orang satu kampung hanya karena Mas sekalian berdebat di sini! Dengan sangat memohon, saya minta agar semuanya pulang!"Abi tampak menghela napas. Jujur ia berjanji tidak akan beranjak sebelum Khalif yang terlebih dahulu meninggalkan rumah Arini. Tapi permintaan khusus yang ditujukan Arini padanya, membuat sang lelaki tak ada pilihan lain."Arini mohon, Mas Abi."Abi dengan berat mengiyakan permintaan Arini. Ia memasuki kembali mobil lalu menghilang dari pandangan.Selepas kepergian Abi,"Saya tidak paham kenapa ada lelaki seperti suamimu itu!""Maksud Mas?""Harusnya kalau dia mencintaimu, dia bertahan meski dunia membencinya."Arini terdiam."Sekarang dia seperti memakan buah simalakama, memilihmu akan menyakiti hati orang yang dia sayangi. Memilih Dinda akan menyakitimu dan Naina. Harusnya jika dia mau bertahan, dari dulu dia sudah bersikeras!"Arini merasa dadanya tertusuk kuat. Benar apa yang d
Degup Jantung Arini menyentak saat mendengar permintaan Abi. Sungguh dia ingin secara tegas menolak permintaan lelaki itu. Namun lagi-lagi, pertanyaan Naina berikutnya membuat hati wanita itu kembali terenyuh."Ma, bisa nggak ya Allah menghentikan waktu?"Arini mendelik, dia membawa Naina dalam pangkuan."Tentu bisa jika Allah sudah berhendak, Nak. Tapi kenapa Naina pengen Allah menghentikan waktu?"Gadis kecil di hadapan Arini tersenyum malu."Soalnya Naina takut kalau udah malam, Papa bakalan pergi lagi, Ma?"Pandangan Arini kembali terlempar pada Abi. Ada yang membuat dadanya terasa nyeri. Ya Allah, bagaimana jika nanti mereka benar akan berpisah? "Papa nggak akan tinggalin kamu, Nak. Malam ini kita akan menginap di hotel. Iyakan, Ma?"Arini menarik napas berat saat Abi melempar pertanyaannya. Mengapa situasi selalu tak berpihak pada. Arini terpaksa mengiyakan demi kebahagiaan Naina."Iya, Sayang.""Hore asyik."Naina bersorak gembira, demikian dengan Abi. Lelaki itupun diam-diam
"Tidak Mas, jangan sentuh saya."Bulir air mata berderai dari sudut mata Arini. Abi yang menyaksikan merasa begitu terluka."Jangan menangis, Arini.""Jangan sentuh saya, Mas.""Tapi Mas rindu sama kamu. Tujuh tahun Mas menanti, apa salah ketika bertemu Mas menginginkannya.""Saya ingin kita berpisah, Mas.""Kamu ingin Naina terluka?""Bukankah ia sudah terluka semenjak dahulu?""Tapi kita bisa memperbaikinya.""Bukan kita, Mas. Tapi kamu saja!""Baik, benar Mas yang salah. Maka itu ijinkan Mas memperbaiki semuanya. Mas ingin membahagiakan kamu dan Naina."Abi terlihat begitu memohon."Bagaimana jika Mama tetap tak merestui, Mas? Bukankah sejak dahulu kamu ingin menjadi anak yang berbakti?""Mas sudah pernah menuruti keinginan, Mama. Sekarang Mas ikhlas menjadi durhaka asalkan bisa bertanggung jawab padamu dan Naina."Arini memejamkan matanya, jujur ia bahagia mendengar ketegasan itu akhirnya keluar dari mulut Abi. Tapi entah kenapa ia masih saja merasa takut.Sebuah kecupan diberikan
"Silahkan masuk, Mbak.""Aku nggak mau masuk!" sanggah Dinda dengan cepat."Jelaskan di sini saja, Arini. Mbak nggak bisa lama-lama."Wajah Raden Ayu yang biasa begitu ramah, kini seakan memerah menaruh amarah. Arini tak ragu, ia mengatakan statusnya tanpa ditutupi."Saya minta maaf, Mbak. Semua demi Naina.""Apa maksud kamu, Arini?"Dulu, saya pernah cerita sama Mbak, bahwa saya terpaksa meninggalkan suami karena ibu mertua memaksa untuk menggugurkan kandungan saya?"Raden Ayu tampak berpikir."Lalu apa hubungannya dengan Abi?""Mas Abi adalah lelaki yang saya tinggalkan itu, Mbak?"Seketika Raden Ayu dan Dinda tampak terhenyak."Mas Abi?"Kedua mata Dinda kini basah."Tidak mungkin Mas Abi?""Saya tidak bohong, Mbak.""Mbak Ayu, Dinda nggak mau kehilangan Mas Abi, Mbak. Dinda cinta sama Mas Abi."Dua bola mata Adinda sudah berlinangan cairan. Raden Ayu segera memeluk adiknya tersebut. Sedang di hadapan mereka, Arini benar-benar dilema."Jika memang benar yang kamu katakan, apa Abi m
Arini mengangguk, menyetujui putri kecilnya mengambil mainan yang diberikan Khalif. Dengan wajah berbinar Naina mengambil benda itu."Terima kasih ya, Om. Aku suka banget."Khalif tersenyum puas."Om senang kalau kamu suka," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala gadis kecil di hadapannya."Om mau main sama Naina nggak?""Emang boleh?"Pandangan Khalif tertuju pada Arini. Wanita itu segera menjawab,"Naina, Om Khalif ini ada kesibukan. Nanti kamu main sama Mama aja ya, Nak.""Yaudah deh, aku masuk ke dalam dulu ya, Om."Khalif tampak mengangguk. Ia memerhatikan Naina yang terlihat berjalan kembali ke dalam rumah. Hatinya sakit, mengingat seumur hidup dia tak pernah tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi Arini? Khalif menghela napas berat."Makasih ya Mas untuk hadiahnya. Maaf Arini nggak bisa membalas dengan apapun.""Tidak perlu membalas, saya memberi tanpa mengharap balasan."Arini hanya bergeming."Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Abi, maka saya akan mundur. Suatu saat
Tiga bulan kemudian ...Arini tersentak dari tidur, dia merasa ranjang tempat ia berbaring sudah basah oleh cairan. Arini segera bangkit untuk mengecek. Ia berdiri, namun sesuatu seperti meletus dari jalan lahir wanita itu.Astaghfirullah, Arini begitu ketakutan saat tahu jika yang keluar tersebut adalah air ketuban. Dengan bersegera ia membangunkan sang suami."Mas bangun, Mas."Abi yang baru saja tertidur sekitar dua jam karena baru pulang dari klinik terlihat berat membuka mata."Ada apa, Sayang?"Abi masih berbicara dengan tenang. Tapi tidak dengan Arini."Mas, pecah ketuban?"Mendengar ucapan sang istri, Abi tersentak hebat, ia bangkit hingga ke posisi duduk."Mana coba Mas lihat?"Arini menunjuk lantai yang sudah basah oleh cairan ketubannya."Astaghfirullah, kita ke rumah sakit sekarang? Kamu duduk dulu, jangan banyak bergerak. Biar Mas beresin baju-baju sama perlengkapan bayi."Abi membantu Arini duduk, dia segera mengganti pakaian dan setelah itu memilihkan pakaian ganti untu
Acara telah usai, Arini kembali ke kamar setelah sekian lama menyambut tamu hingga kakinya terasa pegal. Wanita itu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Sepertinya bayi kecil yang berada di dalam rahimnya tidak suka jika dia terlalu lama berdiri. Semenjak tadi siang sampai detik ini, sang bayi tidak berhenti menendang. Jika sudah begini, tak ada lain obatnya selain jemari sang papa yang bertugas mengusap-usap perut.Arini menghela napas, ingin menyuruh ART untuk memanggil Abi. Tapi rasa segan menuntunnya untuk menunda keinginan itu. Sekitar lima belas menit berlalu, Arini sudah bangkit, duduk, tidur, tapi rahimnya masih tak tenang. Sang bayi masih tak mau berhenti berputar dan menendang. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Wajah Arini seketika berbinar. Dalam bayangan pasti itu Abi. Tapi ternyata ..."Ma ...."Arini menarik napas berat, ternyata Naina?"Masuk Sayang, ada apa?"Naina melangkah menuju ranjang tempat sang ibu duduk. Lalu dia naik menyeimbangkan duduk dengan sang i
Dinda menenggelamkan diri dalam rangkulan sang kakak. Air mata tak henti membanjiri wajah. Raden Ayu sampai tak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Adinda, hatinya pun sakit.Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kelembutan. Mencoba menenangkan Dinda yang tampak begitu terpukul atas kejadian yang menimpanya tersebut.Sedang di hadapan mereka, Raden Mas Arya tampak berapi-api."Dimana rumahnya? Berapa nomor handphonenya? Mas akan kasih pelajaran bedebah itu, biar dia sadar akan apa yang sudah dia lakukan sama kamu!""Sudah Mas, kita jangan gegabah. Kita harus bisa menyikapi masalah ini dengan tenang.""Mas tidak bisa tenang, sebelum dia bertanggung jawab atas perbuatannya, Ma. Jika dia berusaha melarikan diri, meja hijau yang akan membuatnya sadar.""Tenang dulu, Mas. Biarkan Dinda yang bicara langsung sama Aryan."Dinda menatap sang kakak dengan tatapan perih."Mas Aryan udah menghubungi Dinda, Mbak.""Lalu apa katanya?"Arya dengan segera memotong pembicaraan Dinda."Mas Aryan a
"Kamu mau 'kan Nak memaafkan Nenek?"Naina yang bersembunyi di balik tubuh Fatimah perlahan menarik tubuhnya keluar. Tanpa dipinta, ia seketika memeluk tubuh Neneknya."Nenek ...," ucapnya yang menbuat sang nenek merasa begitu terharu.Anya ikut mendekat, ia memegang ibundanya agar tetap seimbang dalam berdiri."Masya Allah, cucu shalihah Nenek, Mama dan Papamu pasti sangat bangga punya anak secantik dan seshalihah ini."Sang nenek mengecup kedua pipi Naina. Lalu beliau mengajak cucunya itu untuk berjalan mendekati ranjang Abi. Dua mata bocah itu tertuju pada ayah yang sudah siap dengan senyuman tÄŁerindahnya."Papa ...."Naina berlari memeluk papanya. Abi pun membalas pelukan sang anak dengan begitu erat, tak hanya itu. Berkali-kali lelaki tersebut mengecup pucuk kepala Naina. Berhari-hari berada di alam bawah sadar, ketika membuka mata. Rindu pada orang terkasih terasa begitu berat."Papa kangen banget sama Naina.""Naina juga kangen sama Papa. Jangan sakit lagi ya, Pa. Naina takut."
"Mama? Mbak Anya?"Tatapan mereka bertemu tanpa kata.Arini begitu terhenyak dengan apa yang kini ia saksikan. Bukankah tadi pagi bahkan dia sempat menelpon kakak ipar tersebut. Dimana tanggapan buruk diberikan sang kakak ipar untuknya. Tapi sekarang?Antara bahagia dan takut. Mungkinkah kedatangan mereka justru membawa maksud tak baik? Akankah ibu mertua memintanya malam ini juga untuk mengangkat kaki dari ruangan itu?Sejenak hati dipenuhi oleh sekian banyak pertanyaan, hingga akhirnya perkataan yang keluar dari bibir Anya, meluruhlah semua praduga buruk akan ibu mertua dan kakak ipar."Kamu datang dengan maksud baik, Arini. Apa kamu mengijinkan kami masuk?"Dua bola mata Arini basah, ia begitu bahagia sekaligus terharu dengan maksud kedatangan ibu mertua dan kakak iparnya. Wanita itu mencoba melangkah lebih dekat. Lalu seketika ia memeluk tubuh sang mama. Pelukan Pertama seorang menantu pada ibu mertua. Arini merindukan hal ini semenjak tujuh tahun yang lalu.Terlihat begitu terla
"Maafkan saya Mbak, saya butuh uang."Anya semakin tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Lalu apa hubungannya sama Dinda?"Gio terdiam sejenak, berbagai perasaan campur aduk menerpa jiwanya. Ingin memilih jujur, lalu bagaimana jika Dinda marah setelah nanti tahu."Katakan Gio, apa hubungan Dinda dengan surat itu?"Sesaat suasana benar-benar hening. Tapi detik berikutnya,"Mbak Adinda meminta saya untuk menulis surat itu lalu menyerahkannya sama Mbak Anya, sebab beliau ingin kalian saling salah paham satu sama lain.""Tapi kenapa?"Gio menggigit bibir penuh khawatir, dia mulai merasa tersudut atas kekujurannya itu."Em ... Karena, karena Mbak Dinda tidak terima dengan keputusan Mas Abi yang sudah memutuskan pertunangan mereka dengan sepihak."Anya menarik napas berat."Selain surat itu, apalagi yang sudah kamu lakukan?""Tapi tolong Mbak, jangan ceritakan apapun pada Mbak Dinda. Saya takut dia akan menuntut saya apalagi setelah saya menerima semua uang yang dia serahkan."
Raden Ayu tengah sibuk mengawasi setiap guru yang mengajar di Yayasan yang ia pimpin. Dua hari kemarin, salah satu guru yang ia percayai untuk menggantikan posisi Arini menjadi ketua pelaksana wisuda tahun ini ditemukan melarikan diri, dengan membawa sejumlah uang yang sudah dikumpulkan oleh wali murid ke rekening milik pribadinya.Entah kenapa ia sebegitu percaya pada wanita itu seperti dahulu mempercayai Arini. Padahal jelas, tidak ada Arini kedua yang ia kenal di dunia ini.Raden Ayu menarik napas berat, ternyata mencari orang yang bisa dipercaya bukanlah hal mudah. Bertahun-tahun Arini bekerja padanya, mulai dari mengelola keuangan Yayasan bahkan tak jarang Ayu kadang meminta wanita itu membuat rincian pengeluaran bulanan rumah tangganya. Tak sekalipun ia menemukan Arini berbuat curang.Semestinya ia tidak membenci Arini, bukankah pertemuannya dengan Abi juga terjadi tanpa ketersengajaan?Semua itu murni skenario Allah.Tapi, kenapa ia justru membenci keduanya?Dan yang paling men
"Mas Khalif?"Lelaki di hadapan Arini menyunggingkan selarik senyuman."Bisa kita bicara?"Arini menghela napas, lalu memberi kesempatan untuk lelaki itu berbicara dengannya.*"Jadi sudah lima belas hari koma?"Khalif bertanya tak percaya."Iya, Mas.""Saya memang tak tahu banyak tentang dunia kedokteran, tapi saya yakin Abi pasti akan segera bangun."Arini menyambut perkataan itu dengan senyuman."Mas tahu darimana jika Mas Abi masuk rumah sakit?""Adinda yang ngabari.""Dinda?""Iya benar. Oya, mumpung sudah di sini, boleh nggak ketemu Naina?"Arini terdiam sejenak, sebenarnya ia ingin memperjelas dari mana Dinda bisa tahu jika Abi masuk rumah sakit, tapi ajakan Khalif untuk menemui Naina membuat keinginan itu sedikit teredam.Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Naina. Masih ada lima belas menit lagi sebelum pulang, Khalif mengajak Arini duduk menikmati ketoprak yang ada di depan pekarangan sekolah."Mbak Dinda kok bisa tahu ya jika Mas Abi dirawat?"Akhirnya ada j
"Saya ingin mengundurkan diri, Pak."Dua bola Maya Khalid membelalak."Kenapa berhenti, kamu tersinggung soal kemarin?""Nggak Pak, sama sekali bukan sebab kemarin. Ini masalah suami Pak. Suami saya berencana membangun usaha, tapi jika saya juga bekerja, maka anak kami tidak ada tempat untuk saya titipkan."Khalid berpikir sejenak, tapi dia tak mungkin mengubah peraturan untuk memperbolehkan guru membawa anak ke sekolah. Tentu jika ia mengijinkan Arini, akan banyak tenaga pengajar lain yang berlaku demikian.Khalid menarik napas."Oke, jika itu yang kamu inginkan. Silahkan. Tapi tidak ada pesangon karena kamu hanya bekerja dua hari.""Tidak apa, Pak. Terima kasih untuk kesempatan terbaik ini. Permisi Pak."Arini membalikkan badan. Lalu dengan cepat dia kembali ke rumah. Sementara masih di ruangannya, Khalid tampak menghubungi seseorang.[Hallo, Din][Hallo, Mas Khalid.][Arini mengundurkan dirinya, Din][Mengundurkan diri? Kenapa, Mas?][Dia bilang suaminya mau membuka usaha.][Usaha