"Arini?"
Dua bola mata Abi menatap Arini lekat.
"Arini?"
Abi mengulang panggilan, seolah tak percaya wanita yang dia cari selama bertahun-tahun kini ada di hadapannya. Tangan lelaki itu hampir saja menyentuh lengan Arini, tapi tiba-tiba ...
Bruuukkk!
"Astaghfirullah, Abi ... Mamamu!"
Abi terhenyak, ia segera membalikkan tubuh dan begitu terkejut saat mendapati mamanya jatuh tersungkur ke lantai. Ia abaikan Arini dan berlari menolong sang ibu.
Hati Arini terasa sakit. Air mata kembali mengambang di kedua pelupuk. Ia memandangi lelaki itu yang terlihat begitu khawatir akan ibunya. Ia ingin berlari, tapi ikut khawatir pada perempuan yang masih berhak ia panggil ibu mertua itu.
Arini berdiri mematung di tempatnya. Sedang di kejauhan ...
"Mama kenapa, Ma?"
Wanita paruh baya di hadapan Abi memegang dadanya kuat. Melihat hal itu sang anak semakin kalut.
"Tolong ambilkan obat di dalam tas Mama, Tante," pinta Abi pada wanita yang berjongkok di sisinya. Wanita itu segera mengambil dan menyerahkan obat tersebut.
Dengan segera Abi memasukkan sebutir obat ke dalam mulut mamanya dan meminumkan sedikit air. Tanpa bicara ia menggendong sang ibu dan membawa keluar hingga masuk ke mobil.
Air mata Abi menetas, ia menangisi takdir yang begitu curang padanya. Kenapa, kenapa disaat ia menemukan Arini, hal ini justru terjadi. Abi tak mungkin tega membiarkan ibunya dan memilih untuk berbicara dengan Arini. Ibu sekarat, itu lebih utama.
Tapi Abi sadar, apa yang dilakukannya itu, pasti membuat Arini kembali merasa sakit dan merasa tak diutamakan.
Abi mengusap wajah ketika sudah duduk dibalik kemudi.
"Tolong beresi semuanya, Tante. Aku bawa Mama ke rumah sakit terdekat," pesan Abi pada Tantenya.
Setelah itu Abi menghilang dari pandangan. Selepas kepergian Abi, berikut menyusul di belakang, Raden Ayu dan keluarganya. Juga seluruh keluarga pihak Abi yang datang ke rumah itu untuk menghadiri acara pertunangan tersebut. Semua menyusul ke rumah sakit.
*
"Ma ...."
Panggilan Naina membuyarkan lamunan Arini. Wanita itu mengusap mata.
"Kita pulang ya, Nak?"
Naina mengangguk.
"Ma, Om Abi kemana?"
"Om Abi membawa ibunya ke rumah sakit, Nak. Ibunya pingsan."
"Kenapa pingsan, Ma?"
"Mungkin kena serangan jantung."
"Ayo kita ikut menjenguk, Ma."
"Tidak usah, Nak. Kita tidak tahu beliau dibawa kemana."
"Tanya sama Bunda Raden Ayu, Ma. Naina pengen lihat Mamanya Om Abi."
"Jangan sekarang ya, Nak. Kita tunggu sampai tenang dulu baru nanti kita jenguk."
Lagi-lagi Naina terpaksa berdamai dengan penolakan mamanya. Arini memilih keluar dari rumah itu sembari menggenggam tangan sang anak. Ia berjalan keluar perumahan, hingga sampai ke pinggiran jalanan.
Arini berjalan beberapa meter hingga menemukan sebuah halte. Di tempat itu ia duduk menunggu bus yang akan membawanya pulang ke rumah.
Akhirnya sebuah bus berhenti di depan Arini.
Wanita itu segera menaiki kendaraan tersebut. Hanya ada satu bangku kosong. Ia segera berjalan ke tempat tersebut.
Arini memberi sebuah senyuman pada lelaki yang akan menjadi teman duduknya di bus tersebut. Sungguh terkejut, saat mendapati lelaki itu tak lain adalah yang ia temui tadi di rumah Raden Ayu.
"Mas Khalif?"
Lelaki di hadapan Arini tersenyum.
"Mari duduk," sapanya sambil bergeser lebih dalam. Dengan perasaan sungkan Arini duduk di sebelah Khalif.
"Hallo anak manis, namamu siapa?"
Naina menatap lelaki di hadapannya.
"Namaku Naina, Om."
"Nama yang bagus, sini yuk duduk di pangkuan Om, biar Mamamu nggak kecapean mangku."
"Eh, jangan Mas. Biar saya aja yang pangku."
Arini duduk sempurna dan mendudukkan Naina di atas kedua pahanya.
"Kalian pulang kemana?"
Arini menyebut alamat rumahnya.
"Mas nggak ikut Raden Ayu dan keluarga menjenguk calon mertuanya Adinda?"
"Ngapain, bukan urusan saya. Mending nemenin kamu."
"Nemenin saya?"
Arini menunjuk dirinya.
"Iyalah. Nemenin kamu sama Naina. Kamu mau nggak Om nemeni sampai rumah?" tanya Khalif pada Naina. Bocah itu hanya mengangguk.
Arini tak lagi bertanya, dia memilih diam dan memandang ke samping. Bukan tak ingin ramah pada Khalid, tapi di benaknya peristiwa tadi di rumah Raden Ayu masih melintas lalu.
Pandangan Abi, suaranya, ah Arini sangat rindu bisa bersama kembali.
Tapi tentu saja itu hanya akan menjadi asa yang tak pernah bisa ia gapai. Baru melihatnya saja, ibu mertua sudah kena serangan jantung. Apalagi jika Abi kembali ingin bersama. Pasti kejadian tujuh tahun silam akan kembali terulang.
Arini menghela napas berat. Ia menanamkan niat kuat dalam hati, bahwa sekarang dan sampai kapanpun, tidak akan membuka hati kembali untuk Abi. Jika memang mereka berkesempatan bertemu, maka itu hanya akan digunakan untuk menuntut talak. Tidak lebih.
Naina boleh saja tahu bahwa Abi adalah papanya, tapi berharap kembali, bocah itupun harus paham bahwa jika bersama akan menyakiti banyak orang, maka lebih baik berpisah.
"Naina udah sekolah?"
Pertanyaan Khalif membuyarkan lamunan Arini.
"Udah Om."
"Udah kelas berapa?"
"Baru kelas satu, Om."
"Sekolah dimana?"
Naina menatap sang ibu.
"SD Negeri 30, Mas."
"Kenapa nggak disekolahkan di SD swasta saja, Arini? Pasti sistem pendidikannya lebih bagus."
"Saya tidak punya biaya, Mas. Lagi pula, dimanapun sekolah asalkan si anak itu serius, pasti sukses."
"Kalau Oom pindahkan kamu ke sekolah yang lebih bagus mau nggak?"
"Mau banget, Om."
"Jangan Mas, Naina udah cocok sekolah di tempat biasa. Sekolah yang lebih bagus itu diperuntukkan bagi mereka yang punya penghasilan minimal lima juta perbulan. Bukan untuk kami, Mas."
"'Kan tadi saya bilang saya yang biayakan. Naina nanti tiap pagi Om yang jemput, terus pulangnya Om yang antar."
"Mau, Om."
"Naina!"
Arini menatap sang anak dengan dua mata ia lebarkan. Kemudian ia kembali menatap Khalif.
"Tolong Mas, jangan bujuk Naina untuk menyukai hal-hal yang tidak cocok untuk dia."
Khalif tersenyum, menatap wanita ayu di hadapannya yang menyiratkan kemarahan, entah kenapa semakin membuat degup tak biasa di dalam dada.
Arini memalingkan wajah, saat menyadari Khalif tersenyum mendapati amarahnya.
Bus terus berjalan, Khalif terus membercandai Naina. Sedang Arini semakin merasa tak nyaman. Ketika bus berhenti, Arini segera bangkit untuk turun. Ia pikir Khalif hanya akan mengikutinya sampai di situ, ternyata tidak. Khalif ikut turun.
Arini menghentikan langkah dan menatap lelaki itu.
"Mas mau kemana?"
"Mau ke rumah kamu."
"Siapa yang ajak?"
"Naina."
Arini menatap Naina tak percaya."
"Benar kamu yang ajak Om Khalif?"
Naina tersenyum.
"Mama tadi nggak dengar di bus? Kalau nggak boleh, harusnya Mama larang waktu Naina ajak Om Khalif ke rumah."
Arini menghela napas. Kapan putrinya dan lelaki itu berbicara demikian, kenapa ia tidak dengar? Mungkin karena terlalu sibuk memikirkan Abi.
"Mas nggak akan lama kok, Mas cuma mau tahu aja, posisi rumah kalian dimana?"
Arini terdiam, dan tak lagi mempermasalahkan. Ia berjalan lebih dulu.
"Jangan seperti orang marahan gini donk."
Khalif mencoba mengejar Arini.
"Terus harus seperti apa, Mas?"
Khalif berdiri di samping Arini.
"Begini. Jalannya berbarengan. Naina maukan pegangan sama tangan kiri Om?"
Naina mengangguk, membuat pandangan Arini kembali tertoleh pada Khalif. Lagi-lagi, lelaki itu hanya tersenyum. Senyum yang membuat Arini merasa jengkel.
Sampai di rumah.
"Ini rumah kami, Mas."
Khalif mengangguk.
"Yasudah Om pamit, ya. Tapi besok masih boleh main ke rumah nggak?"
"Boleh, Om."
"Naina."
Arini mencoba memperingatkan sang anak. Naina tersenyum malu.
Akhirnya langkah sang lelaki kembali terangkat. Ia semakin yakin pada niatnya untuk mendekati Arini. Ia tak butuh Mas Arya untuk mendapatkan wanita itu, Khalif lebih suka tantangan. Baginya Arini adalah tantangan yang harus ia dapatkan.
Bagaimanapun caranya.
*
Arini menatap langit-langit kamar, setelah mengalami kejadian tadi di rumah Raden Ayu sedikitpun ia tak bisa berhenti memikirkan Abi. Wanita itu membalikkan badannya menatap Naina.
Arini mengelus dan mengecup pucuk kepala sang anak. Enam tahun membesarkan putrinya seorang diri. Tapi ia kuat dan tegar.
Arini berbicara seorang diri.
Naina, dahulu Abimu meminta agar Mama mengugurkanmu, Sayang. Dia menuruti kemauan ibunya. Tapi Mama tidak melakukan hal itu. Mama ingin kamu hidup dan menebar kebaikan bagi banyak orang.
Terbukti, banyak yang menyukaimu. Dan kamu selalu melakukan apa yang terbaik.
Sekarang saat Abimu kembali muncul di hadapan kita, entah kenapa Mama merasa takut.
Arini mengusap mata yang tiba-tiba basah. Kesedihannya hilang saat mendengar salam yang berasal dari depan rumah.
Arini membangunkan tubuh lalu berjalan ke depan. Ia membuka pintu tanpa mengecek dahulu seperti yang ia lakukan tiap ada yang bertamu malam-malam.
Begitu pintu terbuka, dua netra Arini terbelalak. Tangannya dengan segera hendak kembali menutup pintu. Tapi lengan kekar lelaki yang berdiri di depan pintu dengan cepat menahan pintu tersebut.
"Tolong jangan ditutup pintunya Dek, Mas ingin bicara sama kamu."
***
Bersambung
🥺
Semoga Arini kuat menghadapi setiap masalah dalam hidupnya.
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Qur'an
Arini tahu akan ada dua pilihan jika mereka kembali membuka ruang untuk bicara, terluka dan tersakiti. Dua pilihan yang tak akan pernah berpihak padanya. Tapi ucapan Abi selanjutnya membuat hati wanita itu luluh."Mas mohon Dek, Mas rindu sama kamu."Perkataan itu, membuat Arini mengerjap berkali-bali. Ia berusaha mengusir sekian banyak air mata yang hendak mendesak keluar. Baru mendengar satu kali saja kata rindu dari mulut Abi, hatinya sudah patah ara. Bagaimana jika yang lain."Arini ...."Abi mendorong pintu lebih lebar. Dua netranya kini berhasil menatap Arini lekat. Sungguh, wanita itu juga dapat menyaksikan bulir bening yang membasahi mata lelaki di hadapannya, dan itu benar-benar membuat hati Arini perih."Mas sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama tak saling mengetahui kabar, kini kita kembali bertemu, Arini."Arini membuang wajah."Katakan kenapa kamu pergi, Dek? Kamu membenci suamimu ini? Kamu membenci pria brengsek yang tega menyuruh seorang istri menggugurkan kandu
Mengenai permintaan Abi, Arini sudah beristikharah. Kini hanya menunggu kepastian dari Allah. Ketika pagi menyapa, seperti biasa Arini sudah siap memasak, beres rumah dan mencuci pakaian. Tepat pukul enam dia membangunkan Naina, dan mengajak putrinya itu untuk bersiap-siap ke sekolah.Sekolah Naina hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, biasa mereka menaiki ojek agar dapat sampai ke tempat tersebut. Meski terlihat tenang, sebenarnya Arini berkali-kali mengecek ke luar rumah. Dia teringat akan kata-kata Abi semalam untuk datang menemui Naina pagi ini.Bukan serupa pengharapan, mungkin keingintahuan. Benarkah lelaki itu akan menepati ucapannya?Arini pasrah, saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh tapi tak ada satu manusiapun yang sampai ke rumahnya."Yuk Nak, kita pergi."Arini mengajak sang buah hati. Tapi, kedatangan sebuah mobil membuat degup tak biasa menyentak jantung Arini."Mobil siapa itu, Ma?"Arini menatap lekat, ia tak bisa menandai mobil siapa yang kini terparkir
Abi turun dari mobil, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali. Lelaki itu duduk di kios kecil pinggiran jalan. Memesan kopi panas sekadar mengusir rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi dada.Semenjak kecil, Abi memang terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Setelah sepuluh tahun kelahiran sang kakak, barulah Abi kecil hadir di rahim sang mama. Hal itu membuat dia tidak hanya dimanja oleh mama ataupun papa, tapi juga oleh kakak perempuan dan kakak lelakinya.Abi anak penurut, semua keinginan keluarganya hampir tidak ada yang ia tolak untuk dilakukan. Hanya soal cinta, itupun Abi terpaksa harus diam-diam menikahi Arini. Demi menjaga perasaan sang ibu.Nikah bawah tangan, awalnya Arini menolak keinginan tersebut. Tapi karena kegigihan Abi, juga janji yang diucapkan lelaki itu, Arini luruh. "Nikah tanpa restu itu berat, Nduk. Ibu takut kamu akan menderita setelahnya."Itu adalah perkataan ibunda Arini yang tidak hanya diucapkan di hadapan sang anak gadis, juga di hadapan Abi. Selaku lelaki y
"Naina ... Om ini adalah."Abi menghentikan ucapannya dan menatap Arini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tak siap. Dari pertama bertemu sampai detik ini, Naina begitu menyayangiya. Bagaimana jika gadis kecil itu tahu apa yang sudah terjadi tujuh tahun silam, akankah Naina membencinya?"Katakanlah, Mas."Abi menarik napas."Naina, Om ini adalah Papamu, Nak."Dua bola mata Naina membelalak tak percaya."Papa?""Iya, Sayang. Ini Papa.""Ma, benar apa yang dikatakan Om Abi?"Naina kini menatap Arini. Benar sedang mencari pembenaran."Iya, Sayang. Om Abi itu Papa kamu."Naina kembali menatap Abi. Lelaki itu tak lagi mengulur waktu, dengan segera ia membawa sang anak dalam dekapan. Air mata mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mata.Sedang di samping mereka, Arini ikut menyeka dua pipinya. Tak pernah sekalipun dalam tujuh tahun ini, Arini membayangkan akan bertemu kembali dengan Abi. Dan yang tidak pula ada dalam angannya, akan ada rasa seperti ini bila mereka bertemu."Maafkan Papa, N
"Saya minta Mas Khalif dan Mas Abi pulang, ini sudah magrib. Saya tidak mau didatangi orang satu kampung hanya karena Mas sekalian berdebat di sini! Dengan sangat memohon, saya minta agar semuanya pulang!"Abi tampak menghela napas. Jujur ia berjanji tidak akan beranjak sebelum Khalif yang terlebih dahulu meninggalkan rumah Arini. Tapi permintaan khusus yang ditujukan Arini padanya, membuat sang lelaki tak ada pilihan lain."Arini mohon, Mas Abi."Abi dengan berat mengiyakan permintaan Arini. Ia memasuki kembali mobil lalu menghilang dari pandangan.Selepas kepergian Abi,"Saya tidak paham kenapa ada lelaki seperti suamimu itu!""Maksud Mas?""Harusnya kalau dia mencintaimu, dia bertahan meski dunia membencinya."Arini terdiam."Sekarang dia seperti memakan buah simalakama, memilihmu akan menyakiti hati orang yang dia sayangi. Memilih Dinda akan menyakitimu dan Naina. Harusnya jika dia mau bertahan, dari dulu dia sudah bersikeras!"Arini merasa dadanya tertusuk kuat. Benar apa yang d
Degup Jantung Arini menyentak saat mendengar permintaan Abi. Sungguh dia ingin secara tegas menolak permintaan lelaki itu. Namun lagi-lagi, pertanyaan Naina berikutnya membuat hati wanita itu kembali terenyuh."Ma, bisa nggak ya Allah menghentikan waktu?"Arini mendelik, dia membawa Naina dalam pangkuan."Tentu bisa jika Allah sudah berhendak, Nak. Tapi kenapa Naina pengen Allah menghentikan waktu?"Gadis kecil di hadapan Arini tersenyum malu."Soalnya Naina takut kalau udah malam, Papa bakalan pergi lagi, Ma?"Pandangan Arini kembali terlempar pada Abi. Ada yang membuat dadanya terasa nyeri. Ya Allah, bagaimana jika nanti mereka benar akan berpisah? "Papa nggak akan tinggalin kamu, Nak. Malam ini kita akan menginap di hotel. Iyakan, Ma?"Arini menarik napas berat saat Abi melempar pertanyaannya. Mengapa situasi selalu tak berpihak pada. Arini terpaksa mengiyakan demi kebahagiaan Naina."Iya, Sayang.""Hore asyik."Naina bersorak gembira, demikian dengan Abi. Lelaki itupun diam-diam
"Tidak Mas, jangan sentuh saya."Bulir air mata berderai dari sudut mata Arini. Abi yang menyaksikan merasa begitu terluka."Jangan menangis, Arini.""Jangan sentuh saya, Mas.""Tapi Mas rindu sama kamu. Tujuh tahun Mas menanti, apa salah ketika bertemu Mas menginginkannya.""Saya ingin kita berpisah, Mas.""Kamu ingin Naina terluka?""Bukankah ia sudah terluka semenjak dahulu?""Tapi kita bisa memperbaikinya.""Bukan kita, Mas. Tapi kamu saja!""Baik, benar Mas yang salah. Maka itu ijinkan Mas memperbaiki semuanya. Mas ingin membahagiakan kamu dan Naina."Abi terlihat begitu memohon."Bagaimana jika Mama tetap tak merestui, Mas? Bukankah sejak dahulu kamu ingin menjadi anak yang berbakti?""Mas sudah pernah menuruti keinginan, Mama. Sekarang Mas ikhlas menjadi durhaka asalkan bisa bertanggung jawab padamu dan Naina."Arini memejamkan matanya, jujur ia bahagia mendengar ketegasan itu akhirnya keluar dari mulut Abi. Tapi entah kenapa ia masih saja merasa takut.Sebuah kecupan diberikan
"Silahkan masuk, Mbak.""Aku nggak mau masuk!" sanggah Dinda dengan cepat."Jelaskan di sini saja, Arini. Mbak nggak bisa lama-lama."Wajah Raden Ayu yang biasa begitu ramah, kini seakan memerah menaruh amarah. Arini tak ragu, ia mengatakan statusnya tanpa ditutupi."Saya minta maaf, Mbak. Semua demi Naina.""Apa maksud kamu, Arini?"Dulu, saya pernah cerita sama Mbak, bahwa saya terpaksa meninggalkan suami karena ibu mertua memaksa untuk menggugurkan kandungan saya?"Raden Ayu tampak berpikir."Lalu apa hubungannya dengan Abi?""Mas Abi adalah lelaki yang saya tinggalkan itu, Mbak?"Seketika Raden Ayu dan Dinda tampak terhenyak."Mas Abi?"Kedua mata Dinda kini basah."Tidak mungkin Mas Abi?""Saya tidak bohong, Mbak.""Mbak Ayu, Dinda nggak mau kehilangan Mas Abi, Mbak. Dinda cinta sama Mas Abi."Dua bola mata Adinda sudah berlinangan cairan. Raden Ayu segera memeluk adiknya tersebut. Sedang di hadapan mereka, Arini benar-benar dilema."Jika memang benar yang kamu katakan, apa Abi m
Tiga bulan kemudian ...Arini tersentak dari tidur, dia merasa ranjang tempat ia berbaring sudah basah oleh cairan. Arini segera bangkit untuk mengecek. Ia berdiri, namun sesuatu seperti meletus dari jalan lahir wanita itu.Astaghfirullah, Arini begitu ketakutan saat tahu jika yang keluar tersebut adalah air ketuban. Dengan bersegera ia membangunkan sang suami."Mas bangun, Mas."Abi yang baru saja tertidur sekitar dua jam karena baru pulang dari klinik terlihat berat membuka mata."Ada apa, Sayang?"Abi masih berbicara dengan tenang. Tapi tidak dengan Arini."Mas, pecah ketuban?"Mendengar ucapan sang istri, Abi tersentak hebat, ia bangkit hingga ke posisi duduk."Mana coba Mas lihat?"Arini menunjuk lantai yang sudah basah oleh cairan ketubannya."Astaghfirullah, kita ke rumah sakit sekarang? Kamu duduk dulu, jangan banyak bergerak. Biar Mas beresin baju-baju sama perlengkapan bayi."Abi membantu Arini duduk, dia segera mengganti pakaian dan setelah itu memilihkan pakaian ganti untu
Acara telah usai, Arini kembali ke kamar setelah sekian lama menyambut tamu hingga kakinya terasa pegal. Wanita itu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Sepertinya bayi kecil yang berada di dalam rahimnya tidak suka jika dia terlalu lama berdiri. Semenjak tadi siang sampai detik ini, sang bayi tidak berhenti menendang. Jika sudah begini, tak ada lain obatnya selain jemari sang papa yang bertugas mengusap-usap perut.Arini menghela napas, ingin menyuruh ART untuk memanggil Abi. Tapi rasa segan menuntunnya untuk menunda keinginan itu. Sekitar lima belas menit berlalu, Arini sudah bangkit, duduk, tidur, tapi rahimnya masih tak tenang. Sang bayi masih tak mau berhenti berputar dan menendang. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Wajah Arini seketika berbinar. Dalam bayangan pasti itu Abi. Tapi ternyata ..."Ma ...."Arini menarik napas berat, ternyata Naina?"Masuk Sayang, ada apa?"Naina melangkah menuju ranjang tempat sang ibu duduk. Lalu dia naik menyeimbangkan duduk dengan sang i
Dinda menenggelamkan diri dalam rangkulan sang kakak. Air mata tak henti membanjiri wajah. Raden Ayu sampai tak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Adinda, hatinya pun sakit.Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kelembutan. Mencoba menenangkan Dinda yang tampak begitu terpukul atas kejadian yang menimpanya tersebut.Sedang di hadapan mereka, Raden Mas Arya tampak berapi-api."Dimana rumahnya? Berapa nomor handphonenya? Mas akan kasih pelajaran bedebah itu, biar dia sadar akan apa yang sudah dia lakukan sama kamu!""Sudah Mas, kita jangan gegabah. Kita harus bisa menyikapi masalah ini dengan tenang.""Mas tidak bisa tenang, sebelum dia bertanggung jawab atas perbuatannya, Ma. Jika dia berusaha melarikan diri, meja hijau yang akan membuatnya sadar.""Tenang dulu, Mas. Biarkan Dinda yang bicara langsung sama Aryan."Dinda menatap sang kakak dengan tatapan perih."Mas Aryan udah menghubungi Dinda, Mbak.""Lalu apa katanya?"Arya dengan segera memotong pembicaraan Dinda."Mas Aryan a
"Kamu mau 'kan Nak memaafkan Nenek?"Naina yang bersembunyi di balik tubuh Fatimah perlahan menarik tubuhnya keluar. Tanpa dipinta, ia seketika memeluk tubuh Neneknya."Nenek ...," ucapnya yang menbuat sang nenek merasa begitu terharu.Anya ikut mendekat, ia memegang ibundanya agar tetap seimbang dalam berdiri."Masya Allah, cucu shalihah Nenek, Mama dan Papamu pasti sangat bangga punya anak secantik dan seshalihah ini."Sang nenek mengecup kedua pipi Naina. Lalu beliau mengajak cucunya itu untuk berjalan mendekati ranjang Abi. Dua mata bocah itu tertuju pada ayah yang sudah siap dengan senyuman tģerindahnya."Papa ...."Naina berlari memeluk papanya. Abi pun membalas pelukan sang anak dengan begitu erat, tak hanya itu. Berkali-kali lelaki tersebut mengecup pucuk kepala Naina. Berhari-hari berada di alam bawah sadar, ketika membuka mata. Rindu pada orang terkasih terasa begitu berat."Papa kangen banget sama Naina.""Naina juga kangen sama Papa. Jangan sakit lagi ya, Pa. Naina takut."
"Mama? Mbak Anya?"Tatapan mereka bertemu tanpa kata.Arini begitu terhenyak dengan apa yang kini ia saksikan. Bukankah tadi pagi bahkan dia sempat menelpon kakak ipar tersebut. Dimana tanggapan buruk diberikan sang kakak ipar untuknya. Tapi sekarang?Antara bahagia dan takut. Mungkinkah kedatangan mereka justru membawa maksud tak baik? Akankah ibu mertua memintanya malam ini juga untuk mengangkat kaki dari ruangan itu?Sejenak hati dipenuhi oleh sekian banyak pertanyaan, hingga akhirnya perkataan yang keluar dari bibir Anya, meluruhlah semua praduga buruk akan ibu mertua dan kakak ipar."Kamu datang dengan maksud baik, Arini. Apa kamu mengijinkan kami masuk?"Dua bola mata Arini basah, ia begitu bahagia sekaligus terharu dengan maksud kedatangan ibu mertua dan kakak iparnya. Wanita itu mencoba melangkah lebih dekat. Lalu seketika ia memeluk tubuh sang mama. Pelukan Pertama seorang menantu pada ibu mertua. Arini merindukan hal ini semenjak tujuh tahun yang lalu.Terlihat begitu terla
"Maafkan saya Mbak, saya butuh uang."Anya semakin tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Lalu apa hubungannya sama Dinda?"Gio terdiam sejenak, berbagai perasaan campur aduk menerpa jiwanya. Ingin memilih jujur, lalu bagaimana jika Dinda marah setelah nanti tahu."Katakan Gio, apa hubungan Dinda dengan surat itu?"Sesaat suasana benar-benar hening. Tapi detik berikutnya,"Mbak Adinda meminta saya untuk menulis surat itu lalu menyerahkannya sama Mbak Anya, sebab beliau ingin kalian saling salah paham satu sama lain.""Tapi kenapa?"Gio menggigit bibir penuh khawatir, dia mulai merasa tersudut atas kekujurannya itu."Em ... Karena, karena Mbak Dinda tidak terima dengan keputusan Mas Abi yang sudah memutuskan pertunangan mereka dengan sepihak."Anya menarik napas berat."Selain surat itu, apalagi yang sudah kamu lakukan?""Tapi tolong Mbak, jangan ceritakan apapun pada Mbak Dinda. Saya takut dia akan menuntut saya apalagi setelah saya menerima semua uang yang dia serahkan."
Raden Ayu tengah sibuk mengawasi setiap guru yang mengajar di Yayasan yang ia pimpin. Dua hari kemarin, salah satu guru yang ia percayai untuk menggantikan posisi Arini menjadi ketua pelaksana wisuda tahun ini ditemukan melarikan diri, dengan membawa sejumlah uang yang sudah dikumpulkan oleh wali murid ke rekening milik pribadinya.Entah kenapa ia sebegitu percaya pada wanita itu seperti dahulu mempercayai Arini. Padahal jelas, tidak ada Arini kedua yang ia kenal di dunia ini.Raden Ayu menarik napas berat, ternyata mencari orang yang bisa dipercaya bukanlah hal mudah. Bertahun-tahun Arini bekerja padanya, mulai dari mengelola keuangan Yayasan bahkan tak jarang Ayu kadang meminta wanita itu membuat rincian pengeluaran bulanan rumah tangganya. Tak sekalipun ia menemukan Arini berbuat curang.Semestinya ia tidak membenci Arini, bukankah pertemuannya dengan Abi juga terjadi tanpa ketersengajaan?Semua itu murni skenario Allah.Tapi, kenapa ia justru membenci keduanya?Dan yang paling men
"Mas Khalif?"Lelaki di hadapan Arini menyunggingkan selarik senyuman."Bisa kita bicara?"Arini menghela napas, lalu memberi kesempatan untuk lelaki itu berbicara dengannya.*"Jadi sudah lima belas hari koma?"Khalif bertanya tak percaya."Iya, Mas.""Saya memang tak tahu banyak tentang dunia kedokteran, tapi saya yakin Abi pasti akan segera bangun."Arini menyambut perkataan itu dengan senyuman."Mas tahu darimana jika Mas Abi masuk rumah sakit?""Adinda yang ngabari.""Dinda?""Iya benar. Oya, mumpung sudah di sini, boleh nggak ketemu Naina?"Arini terdiam sejenak, sebenarnya ia ingin memperjelas dari mana Dinda bisa tahu jika Abi masuk rumah sakit, tapi ajakan Khalif untuk menemui Naina membuat keinginan itu sedikit teredam.Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Naina. Masih ada lima belas menit lagi sebelum pulang, Khalif mengajak Arini duduk menikmati ketoprak yang ada di depan pekarangan sekolah."Mbak Dinda kok bisa tahu ya jika Mas Abi dirawat?"Akhirnya ada j
"Saya ingin mengundurkan diri, Pak."Dua bola Maya Khalid membelalak."Kenapa berhenti, kamu tersinggung soal kemarin?""Nggak Pak, sama sekali bukan sebab kemarin. Ini masalah suami Pak. Suami saya berencana membangun usaha, tapi jika saya juga bekerja, maka anak kami tidak ada tempat untuk saya titipkan."Khalid berpikir sejenak, tapi dia tak mungkin mengubah peraturan untuk memperbolehkan guru membawa anak ke sekolah. Tentu jika ia mengijinkan Arini, akan banyak tenaga pengajar lain yang berlaku demikian.Khalid menarik napas."Oke, jika itu yang kamu inginkan. Silahkan. Tapi tidak ada pesangon karena kamu hanya bekerja dua hari.""Tidak apa, Pak. Terima kasih untuk kesempatan terbaik ini. Permisi Pak."Arini membalikkan badan. Lalu dengan cepat dia kembali ke rumah. Sementara masih di ruangannya, Khalid tampak menghubungi seseorang.[Hallo, Din][Hallo, Mas Khalid.][Arini mengundurkan dirinya, Din][Mengundurkan diri? Kenapa, Mas?][Dia bilang suaminya mau membuka usaha.][Usaha