Dalam sebuah ruangan luas tanpa hiasan dinding. Cat berwarna gelap dengan pencahayaan yang minim dan sebuah panggung kecil dengan lantai berselimutkan kain hitam menjadi pusat ruangan di sana.
Beberapa kali nampak terlihat kilatan dari sebuah kamera di pusat ruangan itu."Lalu, bagaimana responnya?" tanya Aretha Dheandra, berdiri dengan kaki yang terbuka lebar di atas Bia. Sudah lima belas menit, wanita dengan potongan rambut bob pendek itu sibuk membidik Bia dengan kamera kesayangannya."Apa lagi? Manusia terminator itu tentu diam saja setelah menanyakan apa keinginanku," balas Bia malas. Tubuhnya terbaring menghadap langit-langit studio. Tidak peduli pada Aretha yang semakin mendekatkan Leica series ke wajahnya.Sejak tadi, mereka sedang membahas perbincangan Bia dengan Dion Mahesa kemarin."Hell, dia benar-benar sudah menjadi seorang pecundang! Ini pertama kalinya Dion bicara lebih dari dua kata denganmu. Setelah kejadian itu, kenapa dia malah kembali diam hanya karena kamu bicara seperti itu?" gerutu Aretha seraya membenarkan tata letak rambut panjang Bia.Aretha, teman sejak masa abu-abu itu cukup menjadi saksi perjalanan hidup Bia yang menurutnya terlalu memyeramkan. Hidup bergelimang harta justru membawa beban yang berat. Aretha masih ingat sekali, bagaimana pertemuan menegangkan mereka. Tidak pernah Aretha memimpikan, bahwa mereka akan tetap bersama sampai saat ini. Bahkan bisa dikatakan, mereka lebih dekat dari label saudara."Jawabannya mudah." Bia memiringkan tubuhnya ke kanan, kepalanya diposisikan menunduk. Wajahnya pun seketika terlihat sendu. "Dia tidak punya pilihan lain. Hidup matinya sudah berada dalam genggaman wanita itu. Bicara dua kata denganku saja sudah seperti mempertaruhkan masa depannya."Flash!"Good, ekspresi yang bagus. Kita sudahi pemotretan ini," ujar Aretha yang segera meninggalkan Bia dan duduk di depan laptopnya."Haah ...." Bia menghela napas panjang sambil mengganti posisi tubuhnya menjadi tengkurap. Temannya memang selalu seperti itu. Menjadi menyebalkan jika sudah fokus pada pekerjaannya. "Aku sungguh tidak suka sifatmu yang ini," lanjutnya mendesis kesal, feedback yang diberikan temannya itu selalu berakhir kurang memuaskan."Hei, aku cukup mendengar semua keluh kesahmu hari ini. Jadi, biarkan aku fokus pada pekerjaanku. Oh, cepat ganti baju. Aku tidak mau kamu merusak gaun baruku."Bia mendelik tidak percaya dengan ucapan Aretha. "Ck! Kamu bicara seolah aku tidak pernah mengganti barang-barang yang kurusak!""Mengganti dengan uang nyonya Karina atau mencicil dengan bayaran kecil dari pemotretan hari ini?" sarkas Aretha.Terkadang Aretha merasa heran dengan Bia. Kenapa Bia tidak pernah mau lagi memanfaatkan kekuasaan Sindari yang akan selalu siap siaga untuk membereskan semuanya? Hanya satu kali saja Aretha melihat Bia menggunakan kekuatan nama Sindari dan itu sungguh layak untuk dilihat, meski harus membuatnya merinding setiap kali mengingat kejadian waktu itu."Mencicil atau apa pun itu. Yang terpenting, aku mengganti semua pakaian yang kurusak. Lagi pula, aku sudah membuatmu--""Shit! He-hei, coba kamu lihat ini," ujar Aretha menyela. Wajahnya terlihat panik.Bia memutar bola mata beriringan dengan helaan napasnya. "Apa lagi?" balasnya. Pasti Aretha hanya ingin menunjukkan hal yang tidak berguna lagi, seperti biasa!"Jangan banyak bicara! Cepat kemari!"Ada apa sih? Bia menautkan dua alisnya. Dalam hati, ia cukup penasaran pada apa yang membuat temannya di sana sampai terlihat begitu serius menatap layar laptop.Bia pun beranjak dari pembaringan ternyamannya. Melangkah santai meski Aretha menyuruhnya untuk segera melihat apa yang membuat wajah wanita itu pucat."Ada apa? Apa penjualan ... apa ini? Kenapa--"Bia terdiam memandang fotonya yang terpajang di sebuah situs. Baik Bia ataupun Aretha, mereka bisa mengenali bahkan masih ingat kapan foto itu diambil."Bukan aku!" seru Aretha langsung membela diri.Selama ini Aretha memang menjadikan Bia sebagai model untuk toko busana dan perhiasannya. Namun, Aretha tidak pernah memperlihatkan wajah Bia.Lantas, mengapa sekarang wajah Bia terpampang jelas di sana? Bahkan itu foto yang sudah mereka ambil tiga tahun lalu, di saat Aretha baru merintis usahanya."Hanya kamu dan aku yang memiliki foto ini," ujar Bia, matanya melirik curiga. Jelas sekali ia tidak bisa mempercayai Aretha begitu saja.Memang benar, setiap usai melakukan pemotretan. Bia juga ikut meminta hasil foto-fotonya. Jadi, hanya mereka berdua saja yang memiliki foto utuh seperti yang terposting di sebuah situs online."Apa maksudmu bicara seperti itu?""Apa maksudku? Kamu tahu apa maksudku, tha!" seru Bia kesal.Bagaimana jika Karina tahu soal ini? Bia memang selalu melakukan hal gila untuk menunjukkan pemberontakannya terhadap aturan keluarga. Namun, memberontak dengan cara menjadi seorang modeling, Bia belum cukup berani.Jika Karina tahu, mungkin bukan perjodohan lagi yang akan ia hadapi. Tetapi, ia akan langsung dinikahkan detik itu juga."Sungguh, bukan aku yang melakukannya! Kamu tahu seberapa posesifnya aku pada laptop dan kameraku," ujar Aretha tegas. Mencoba membela diri dan berharap Bia percaya padanya.Bia terdiam, Aretha memang begitu posesif dengan barang-barangnya. Bahkan orang tuanya pun tidak berani menyentuh kamera Aretha.Memandang kembali layar laptop, Bia memikirkan kemungkinan siapa saja yang sudah melihat postingan ini."Sial! Pastinya sudah ribuan orang melihat ini 'kan?" batin Bia cemas saat melihat tanggal rilis berita tentangnya.Tertulis jelas di sana, bahwa berita itu muncul pukul sembilan pagi ini. Sudah tujuh jam wajahnya terpampang di sana!"Cari tahu. Apa ada lagi foto-fotoku yang lain," titah Bia pada Aretha. Firasat buruk menyeruak begitu saja di hatinya.Aretha memandang Bia. Wanita itu mengerti apa yang begitu dicemaskan temannya. Dengan segera, Aretha mengetik nama Bia di kolom pencarian.Meski nama Sindari sangat terkenal di kota ini. Namun, tak ada satu pun masyarakat yang tahu wajah anak ataupun pewaris Sindari."Mungkinkah, ini perbuatan keluargamu?" ujar Aretha, memandang ngeri layar laptopnya.Nama Zafanya Bia, wajahnya bahkan Imstagram pun menjadi pencarian trending di situs online. Hanya dalam beberapa jam sudah banjir dengan komentar betapa cantiknya Bia.Beruntung di sana tidak ada yang tahu kalau Bia masih berdarah Sindari."Menurutmu?" tanya Bia ragu.Maksud Bia, untuk apa keluarganya melakukan ini? Pun tidak ada yang tahu kalau Bia menjadi modeling eksklusif Aretha."Siapa lagi yang bisa melakukan hal ini dalam waktu singkat?" balas Aretha. "Aneh juga bukan? Kenapa nama Sindari tidak tertulis di sana?"Benar. Aretha benar. Sekali lagi, Bia terdiam memikirkan siapa yang berani berbuat seperti ini. Terlebih, butuh relasi kuat untuk melakukan ini. Namun, untuk apa keluarganya melakukan ini? Itu sama saja menjatuhkan harga diri sang ibu. Jika ingin menghancurkan nama Sindari pun seharusnya nama lengkapnya muncul di sana.Kening Aretha semakin mengerut, daripada memikirkan siapa yang melakukan ini, lebih baik ia memikirkan tindakan apa yang harus mereka lakukan untuk selanjutnya. Jika keluarga Bia mengetahui ini, tentu Aretha juga akan kena imbasnya."Kamu benar. Tapi--"Ucapan Bia terhenti ketika nada dering dari ponselnya berbunyi.Bibir berpoles natural itu merapat diam saat menatap layar ponsel. Nomor pemanggil diprivat. Lagi, firasat tidak enak pun menggelitik hatinya."Siapa--""Kamu suka kado dariku?"Wajah Bia langsung mengeras mendengar kalimat yang jelas menunjukkan bahwa si penelepon adalah pelaku penyebaran foto-fotonya."Apa ini semua perbuatanmu?" balas Bia, membuat Aretha menoleh serius kepadanya. "Berani menyebarkan foto-fotoku, artinya kamu--""Beranilah Bia. Mungkin kamu marah sekarang, tetapi suatu hati nanti, kamu akan berterima kasih padaku."Bia mendengus lucu. "Berterima kasih pada orang yang bahkan tidak berani memakai suara asli? Hah! Nyalimu tidak sebesar tindakanmu!" ujarnya. Suara buatan yang sejak awal membuat Bia menerka, siapa lawannya kali ini.Bersambung ...."Bagaimana bisa pekerjaan kalian seburuk ini, hah? Aku membayar kalian untuk menghapus semua artikel tentangku! Bukan membuatnya semakin berkembang biak!" seru kesal Bia.Mempekerjakan beberapa orang untuk menghapus artikel dan mencari tahu dalang dari semua ini sepertinya sia-sia saja.Bukannya menghilang, justru foto-fotonya semakin terpajang di semua situs media! Jika seperti ini, bisa ia pastikan kalau Karina sudah tahu hal ini.Bia menghela berat. Ini sudah larut malam dan Karina masih diam. Tidak ada panggilan atau orang berbaju hitam yang datang untuk menyeretnya pulang."Besok pagi, kalian harus sudah mendapatkan semua informasi tentang orang itu!" perintah Bia dengan tegas, kemudian mengakhiri panggilannya."Ulah siapa ini?" batin Bia seraya meremas sebal ponselnya. "Siapapun itu, dia sungguh menggenal aku dan Sindari dengan baik," lanjutnya berbisik.Menyugar rambut panjangnya ke belakang. Bia menunduk dan menghembuskan napas frustasi. Memandang lantai keramik putih dengan p
"Wanita itu--""Wanita itu adalah ibu anda, Nona," potong Dion tanpa memandang Bia yang duduk di sampingnya.Tiga puluh lima menit yang lalu, Bia menyerahkan diri secara suka rela. Bia memilih ikut bersama dengan Dion untuk pergi memenuhi panggilan dari ratu Sindari, Karina."Ya benar, seorang ibu yang berulang kali mengatakan telah menyesal karena telah melahirkanku," tegas Bia membalas. Masih ingat jelas ucapan Karina yang begitu melukai hatinya. Bia hanyalah aib sang ibu."Itu karena Nona yang selalu membantah perintah dari Nyonya."Balasan Dion membuat Bia melirik dan tersenyum kecut."Kamu benar-benar anjing yang patuh," sarkas Bia.Awalnya ingin berunding dengan Dion soal foto-fotonya yang tersebar. Namun, sepertinya Bia harus mengurungkannya.Lihat saja, sejak tadi Dion bahkan tidak memandang ke arahnya.Meski setiap kali bertemu mereka saling melempar tatapan dan ucapan dingin. Akan tetapi, Bia yakin di sudut hati mereka ... ada perasaan rindu, kerinduan dengan harapan mereka
"Dia pasti kelelahan menangis," bisik Aretha dalam hati, setelah memandang jam dinding yang sudah tertuju pada angka sepuluh.Menjauh dari dapur mini, kedua tangan Aretha dengan cepat membawa dua piring yang berisi makanan berbeda. Meletakkan perlahan piring-piring itu ke atas meja, Aretha tidak ingin membuat suara yang akan membangunkan bayi besarnya, Bia."Haah ...." Aretha menghela napas, tangan-tangannya berada di pinggang. Selesai sudah untuk urusan sarapan mereka. Aretha pun menyambar dan membawa segelas teh hangat menuju jendela yang sudah menerangi ruangan kecilnya. Menikmati teh sambil memandang keluar sudah menjadi kebiasaan Aretha."Huh?" Kening Aretha mengerut dalam. Tidak lama, dua matanya pun membelalak. "Bi, Bia! Bangun!"Teriakan Aretha cukup mengejutkan Bia yang baru dua jam memejamkan mata. Kesadaran pun langsung terkumpul bersamaan dengan degup jantung yang meningkat cepat.Dengan mata yang masih berat, Bia refleks duduk menghadap Aretha. "Ada apa?" ucap Bia dengan
Chette Lipacchi.Bia menyipitkan mata, menatap lurus pada huruf-huruf terpampang besar di atas gedung pencakar langit.Chette Lipacchi, salah satu cabang perusahaan yang menerbitkan majalah Elle di Indonesia ... Bia sungguh tidak percaya kalau ia akan kembali ke tempat ini.Kemarin, Bia setuju untuk menjadi model di majalah Elle. Sekarang, Bia datang untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak Chette."Aku tidak sabar untuk melihat reaksinya," gumam Bia.Ia menerka-nerka, bagaimana jika Karina tahu kalau anak bungsunya, ah ... salah, maksudnya anak yang telah dibuang bekerja sama dengan perusahaan yang paling Karina benci, mungkinkah sang ibu akan mengirimkan setumpuk masalah untuknya atau untuk perusahaan ini?Melangkah masuk dengan percaya diri ke dalam gedung. Kedatangan Bia cukup menarik atensi orang-orang di sana.Bia begitu cantik dengan busana kemeja merah marun, model kerah berenda yang sedikit terbuka di bagian dada. Tinggi yang semampai membuat kaki-kaki berselimut
Suasana yang tenang, bahkan detak jam pun tidak terdengar. Pemandangan yang indah dari balik kaca besar, meski hanya melihat luasnya kota dan gedung pencakar langit yang seolah saling bersaing ... wanita di sana tetap menyukainya.Nuansa keabu-abuan yang dihias dekorasi hitam dan putih, sedikit membuat Bia bisa menilai seperti apa sosok Noah saat bekerja. Aura ruangan di sana seperti ruang kerja sang ibu, serius dan tanpa ampun.Bibir tipis yang terukir cantik itu pun kembali menyesap sisa teh yang sudah tak lagi hangat. Bia kini benar-benar bisa merasa tentram setelah apa yang terjadi pada dirinya beberapa hari lalu. Ditinggalkan pemilik ruangan, cukup untuk Bia merenungkan diri. Mengoreksi, memilah dan menata apa yang harus ia lakukan mulai saat ini."Maaf menunggu lama," ujar Noah sesaat setelah masuk ke dalam ruang kerjanya. Noah berjalan menghampiri Bia dengan beberapa berkas yang ada di tangan kiri."It's okay. Saya justru berterima kasih untuk waktu yang telah pak Noah sediakan
Kilat cahaya menerangi sasana malam di sana. Semua bernuansa gelap dengan beberapa warna berbeda sebagai pemanis untuk menghidupkan panggung.Bia berpose di antara daun-daun panjang yang terhias beberapa pita merah. Ia duduk di lantai berkarpet rumput dengan dua kaki yang terlipat. Bibir tipis merah mudanya tersenyum ceria, tangan kanannya memeluk jemari pria tampan dengan kemeja hitam terbuka. Warna pakaian yang bertolak dengan Bia. Gaun putih setipis sutra nampak anggun, lengan baju pendeknya menari tertiup angin.Tidak bisa dipungkiri, Zafanya Bia dan Vian Handika menjadi pasangan sempurna di atas panggung. Mereka terlihat serasi membawakan fashion bertema alam malam."Okay! Break!" Teriakan nyaring dari pria yang menggenggam erat kamera.Puluhan take sudah diabadikan sang fotografer sedari pagi. Merasa puas. Kini sudah waktunya untuk mengakhiri.Vian--model ternama yang baru-baru ini menduduki peringkat atas di dunia fashion--mengulurkan tangan pada Bia."Thanks," ujar Bia seraya
"Hei, apa terjadi masalah di sana?""Huh?" Bia mengedipkan mata. Lamunannya tersadar kembali setelah mendengar teguran Aretha. "Ah, tidak ada. Bukankah sudah kubilang, orang-orang di sana terus saja memujiku," lanjutnya. Masih belum jelas. Jadi, Aretha tidak perlu tahu tentang pria yang menandang benci padanya di lobi tadi.Aretha yang sedang mengemudi pun melirik curiga. "Aku bersyukur kalau memang seperti itu. Ingat Bi, jangan membuat masalah seperti saat kamu bekerja di restoran dulu.""Hei! Dulu itu bukan kesalahanku! Ya, Tuhan ...." Bia mengelak tidak terima. Kenapa juga Aretha masih mengingat kejadian itu? Itu pengalaman yang cukup menyebalkan! Baru bekerja satu hari, ia sudah dipecat."Iya, itu bukan salahmu. Pokoknya, selama mereka tidak melecehkanmu. Ingat untuk selalu menahan emosimu," saran Aretha seraya memutar kemudi untuk mencari tempat parkir. Mereka sudah sampai di sebuah restoran."Ya Tuhan ...." Bia menghela napas sembari memutar bola mata. "Apa di matamu aku terliha
Bia akui, cinta pertama itu sungguh seperti sebuah keramat. Sulit dimiliki dan sulit dilepas dari hati juga pikirian. Perasaan suci, tetapi akan mengutukmu selamanya.Cinta pertama memiliki tempat yang tidak akan pernah hilang. Sampai berpuluh tahun pun akan tetap bisa menggetarkan hati dengan caranya sendiri.Haah ... Bia menghela napas setelah membaca pesan yang entah sudah berapa kali masuk ke ponselnya pagi ini. Ia sudah tidak lagi mengenal Dion dengan baik.Sudah dua hari, Bia terus mengabaikan pesan Dion. Pun mengabaikan kehadiran pria itu saat menjemput atau menunggunya di depan rumah atap Aretha, tempat yang kini menjadi rumah Bia.Dion sungguh sudah seperti seorang pengangguran yang hanya memiliki jadwal untuk mengganggu Bia.Ya Tuhan ... belum mulai bekerja, tetapi hati sudah dihantui rasa yang Bia sendiri pun sulit menggambarkannya."Ada apa? Ada yang sudah membuatmu bosan pagi ini?"Bia yang sedang duduk di kursi kantin langsung menolehkan kepala ke belakang. "Ah ... Hei,
Sudah pukul sebelas malam, Bia berjalan lelah menuju lift di sana. Membuka satu persatu benda yang membuat wajahnya tersembunyi seharian ini.Masuk ke dalam lift, tangan yang menggenggam topi dan masker itu menekan angka sepuluh. Lantai di mana apartemen Bia berada. Menyandarkan punggung, Bia menghembuskan napas sambil memandang langit lift.Merasakan ayunan kotak besi yang perlahan mulai naik. Bia teringat perasaan beberapa jam lalu, melihat toko SunnyDay dengan kepala matanya sendiri benar-benar membuat hatinya perih.Toko itu masih dalam perbaikan. Kerusakan yang cukup parah menurut Bia, sampai Aretha harus mengosongkan tokonya."Kenapa kamu memilih untuk diam?" gumam Bia.Tidak habis pikir, sejak dulu Aretha lebih memilih untuk menyembunyikan masalahnya sendiri. "Lalu, apa gunanya aku?" lanjut Bia berbisik dalam hati. "Bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"Ting! Denting lift bergema, tanda bahwa Bia sudah sampai pada lantai tujuan.Melangkah lunglai ke luar, melewati satu
Rumah besar nan cantik. Bia kembali menginjakkan kakinya ke sana. Berjalan dengan tatapan mengintimidasi, panas kesal di hatinya pun kian membesar. Tidak ada keinginan dari Bia untuk meredupkannya."Nona?""Jangan ikut campur," balas Bia ketus, melewati sekretaris sekaligus pengurus mansion Sindari.Pria itu terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Bia yang tiba-tiba. Sudah pasti tidak ada yang mengira anak terusir itu akan datang secepat ini."Nona, saat ini bukan waktu yang--""Cukup. Aku tidak butuh saranmu!" potong Bia tanpa mengubah pandangan yang tertuju pada sebuah pintu kayu berukiran indah delapan meter di depannya.Melewati tempat yang menjadi kenangan atas pengusirannya dari rumah. Bia menggerutu sebal dalam hati, bahkan kepalanya tidak lelah memutar gambar-gambar kenangan kejam itu."Nona, Tuan--"Bia menghentikan kakinya tiba-tiba lalu menajamkan mata memandang pria yang juga ikut memandangnya. "Aku menghargai saranmu, tetapi aku datang ke sini bukan sebagai tamu yang ha
"Bi, apa Aretha tidak mengatakan padamu? SunnyDay dihancurkan oleh sekelompok orang tidak dikenal." Hah? Bia sontak menghentikan kaki-kakinya. Memandang lekat dua mata yang posisinya sedikit lebih tinggi. “Dihancurkan? Oleh siapa?" Bia menggeleng cepat. "Ah, maksudku, kapan kejadiannya?” tanyanya, kebingungan benar-benar sedang meneror hati dan pikirannya. “Kau ingat, malam saat kamu pindah ke apartemen? Selepas dari sana, aku mengantarkan dia kembali dan tokonya, sudah hancur berantakan.” Bia tergugu lemas. Apa ... ini, sungguhan? Bagaimana bisa ia baru mendengar hal mengejutkan ini sekarang? Kemarin Aretha mengunjunginya seolah tidak terjadi apapun, bahkan temannya itu malah menghiburnya. “Sahabat macam apa aku ini? Lagi-lagi hal buruk terjadi pada Aretha,” batin Bia. “Kamu, sudah menyelidikinya?” tanya Bia, kembali melangkahkan kakinya.
“Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga
Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang
"Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya
"Senang bertemu denganmu lagi, Bia."Noah tersenyum menyapa model eksklusif Elle. Senyum yang memilukan hati, sampai Bia harus menyipitkan mata menatap teliti wajah yang terlihat kusut itu. Sepertinya Noah benar-benar sedang diperbudak dengan pekerjaan.“Pak, bapak tidak apa-apa?” tanya Bia kasihan, lalu melebarkan pintu apartemennya.“Aku masih hidup hari ini juga berkat kasih sayang dari Tuhan,” balas Noah. Entah harus merasa bersyukur atau harus mengeluhkam takdir hidupnya.Pria dengan kemeja abu-abu dan dasi marun tak terikat itu langsung mendekat ke sofa panjang, menaruh tas perlengkapan kerjanya di samping meja, lalu merebahkan diri di sana tanpa menunggu izin dari si pemilik apartemen.Benar-benar sebuah keajaiban Noah masih bisa mendatangi Bia setelah berhari-hari terus dipaksa lembur.Bia menggeleng dan menghela napas. Lihat itu, benar-benar sudah seperti rumah sendiri. Bia pun membiarkannya dan pergi ke dapur.Sudah dua hari ia menempati apartemen ini. Semua pekerjaannya dih
“Dion masih mengikuti nona Bia.”Karina diam mendengarkan laporan dari sekretaris barunya. Menatap kesal pada foto-foto Bia yang terhampar acak di meja kerjanya. Wajah Dion saat di pantai pun ada di sana.Ini bukan pertama kali Karina mendengarkan laporan tentang Bia. Karina harus terus memantau anak ajaibnya yang selalu saja mencari cara untuk menentang aturannya.“Sekarang mereka sedang menuju ke apartemen baru nona Bia.”“Apartemen?” ulang Karina, matanya mulai terangkat menatap pria berkacamata di depannya.“Benar Nyonya. Apartemen Anasty Residence. Dari informasi, apartemen itu diberikan oleh fans nona.”“Ha, haha ....” Karina tertawa hambar. Itu tidak lucu, tetapi entah mengapa hatinya ingin tertawa mendengar informasi ini. “Aku sudah mengira anak itu bodoh, tetapi kenapa semakin jauh dariku anak itu semakin bodoh? Tidak bisa membedakan musuh atau kawan.”“Nyonya, kita harus membawa nona kembali.”Karina mendengus tidak setuju. Tangan kanannya menyambar selembar foto Bia yang me
“Di sini?” tanya Bia memandang sebuah papan nama apartemen. Sebagian wajahnya tertutup masker hitam.Satu setengah jam lalu, Deri datang ke toko SunnyDay untuk menjemput dirinya. Bia pun sudah menceritakan semua pada Aretha dan Dion, tentu mereka meminta Bia untuk menolak. Akan tetapi, kontrak kerjasama mengharuskan Bia mengikuti aturan perusahaan.Padahal, Dion berkata akan menanggung biaya denda pembatalan kontrak. Namun Bia menolak. Bagaimanapun, Bia belum sepenuhnya percaya pada Dion dan ia ingin mencari tahu kebenaran dari ucapan Dion Mahesa.“Ya, aku harap kamu menyukainya dan jangan sungkan untuk memberitahu aku apa pun jika ada yang membuatmu tidak nyaman.”Deri mengembangkan senyum. Pria itu masih saja bawel dan ramah kepadanya, tetapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda. Mungkin cara melihat Deri ke arahnya. Meski bibir itu tersenyum ramah, tatapan Deri seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Ini berlebihan,” akui Bia, sambil mengikuti bookernya masuk ke dalam lobi.“Tidak