Brak!
Gema pintu yang dibuka keras menarik cepat atensi dari dua orang yang berada di ruangan itu.Zafanya Bia Sindari pun berjalan angkuh mendekati wanita elegan dan berkharisma di depannya. Tak luput, kekesalan hatinya Bia salurkan pada map biru yang ia bawa dari kamarnya."Apa ibu sudah gila? Dia lebih cocok menjadi ayahku daripada suamiku!" seru Bia, setelah melempar sebuah berkas yang memperlihatkan foto seorang pria paruh baya.Wanita dengan gaun putih selutut itu menatap tidak percaya pada Karina Sindari, sang ibu. Bagaimana bisa setega itu menjodohkan dirinya dengan pria tua!Karina diam sambil mengamati celana legging si bungsu yang ramai dengan motif bunga, tak lama kemudian bibir bergincu merah itu pun mendesah menahan sabar."Tidak ada penolakan lagi. Dia calon yang cocok untukmu.""Cocok untuk ibu?" balas Bia dengan nada sarkas."Haah, kita lanjutkan pembahasan ini nanti," ujar Karina. Namun bukan ditujukan untuk Bia, melainkan untuk pria muda yang berdiri di samping Bia."Baik, saya permisi."Bia pun melirik sinis seraya tersenyum miris untuk pria yang menunduk hormat pada ibunya. Dion, salah satu anjing patuh sang ibu. Dulu mereka akrab, tetapi sejak tiga tahun lalu Dion benar-benar menjaga jarak darinya.Entah karena apa. Namun Bia sudah bisa menebak, perubahan Dion pasti karena Karina Sindari. Wanita penuh obsesi yang bahkan bisa membuat hewan liar tunduk kepadanya.Sehebat itulah Karina, bahkan Bia sampai kagum dengan kharisma kuat sang ibu. Namun sayang, tiga tahun terakhir ini Bia tidak suka pada Karina. Semakin kesal saat wanita empat anak itu mulai mencarikan jodoh untuknya."Sampai kapan kamu mau berperilaku seperti ini?" sambung Karina begitu sosok Dion hilang dari ruangan bernuansa hitam putih."Selamanya."Karina mendengus tidak suka. Putri bungsunya memang selalu bertindak di luar kendalinya."Selama ini aku sudah memaklumi sikapmu, Bia. Sekarang sudah waktunya kamu membalas semua yang telah kamu nikmati selama ini," tandas Karina tegas. Mata tajam yang dikelilingi keriput halus itu tidak berkedip sedikit pun saat Bia mentertawakan ucapannya."Membalas? Haha, aku tidak pernah meminta ibu untuk melahirkanku!" timpal Bia. Sudah sering mendengarnya, tetapi tetap saja hatinya terasa sakit.Ibunya memang tidak punya hati!"Jika aku tahu yang aku lahirkan akan menjadi aib bagiku, tentu aku sudah membunuhmu sejak tangisan pertamamu."Bia bergeming. Ini pertama kali ia mendengar kejujuran baru dari sang ibu. Membunuhku? Kenapa tidak dilakukan sejak dulu? Seharusnya orang itu membunuhnya sebelum kejadian yang membuat ia tidak bisa membenci sang ibu."Besok, makan malamlah dengannya," ujar Karina, melihat Bia bergeming diam. Tentu itu menjadi sebuah tanda kemenangan untuknya."Untuk menentukan kapan pernikahan ibu dengannya?" cibir Bia."Bia!""Kenapa? Apa ibu pikir aku akan mengatakan iya seperti mereka, hm?""Benar. Seharusnya kamu mengatakan iya seperti kakak-kakakmu yang lain," tandas Karina tegas."Jangan terlalu berharap tinggi pada aibmu, ibu." Bia pun menunduk hormat. "Saya permisi, nyonya Karina Sindari," lanjutnya, kemudian melenggang pergi dengan hati yang entah harus digambarkan seperti apa.Berhenti membelakangi pintu ruang kerja sang ibu. Bia mengeraskan rahang, menahan rasa hangat yang menjalar perih. Kedua matanya memandang lurus ruangan luas yang tersugu cantik di depannya.Perlahan, Bia sedikit menundukkan pandangan. Memikirkan rencana apa lagi yang harus ia lakukan. Selalu menolak keinginan Karina tidak membuat wanita itu menyerah. Justru semakin gencar menjodohkan dirinya dengan pria-pria yang lebih baik menjadi ayah atau bahkan kakeknya.Apa lagi yang Karina inginkan? Padahal, keluarga Sindari sudah cukup ditakuti dan dihormati oleh pengusaha-pengusaha di dunia. Haruskah Karina menjual putri-putrinya demi kekayaan?Bia pun membuang napas kesal, kemudian pergi menjauh dari wilayah sang ibu.Langkah tegas itu nyaris tak menggambarkan remuk hatinya. Dua mata yang terbingkai bulu-bulu lentik itu menatap lurus ke depan, tatapan yang begitu mirip dengan Karina. Tajam dan penuh ambisi."Sial! gerutu Bia pelan. Mata bulatnya pun mulai menunjukkan isi hati."Bodoh, jangan menangis! Atau orang itu akan memakanmu hidup-hidup!" ujar Bia setengah berbisik. Jemarinya dengan kasar mengusap air mata yang baru ingin berselancar ria di pipi mulusnya."Bia."Impuls. Bia refleks berhenti ketika mendengar suara familiar menyebut namanya. Bia mengenali pemilik dari suara datar yang selalu mampu menggetarkan semua perasaannya.Dion Mahesa. Pria berusia tiga tahun lebih tua darinya itu sudah berdiri dibalik pilar dinding yang baru saja Bia lewati."Aku harap kamu berhenti melakukan hal-hal aneh. Tolong berhenti menyusahkan nyonya Karina."Bia menyeringai sinis, kemudian berbalik menatap Dion dengan hati yang lebih perih dari yang ia rasakan beberapa saat lalu."Apa sekarang kamu ditugaskan orang itu untuk membujukku?" balas Bia di sela senyum kecutnya."Jangan salah paham dengannya. Nyonya hanya ingin--""Nyonya? Hahaha, menggelikan!" cibir Bia, kemudian kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Dari sebutan ibu menjadi nyonya? Dion sungguh anjing yang patuh!"Ingat, kamu juga harus menjaga nama Sindari, Bia!"Sindari? Bia tak menggubris seruan Dion. Kaki jenjangnya tetap melangkah lurus untuk sampai ke tujuannya.Hati yang berdesir kecewa kini dipenuhi dendam. Sindari, sebuah nama yang sangat diagungkan semua orang. Namun, menyandang nama Sindari itu seperti kutukan baginya.Dipikir bagaimanapun, untuk apa ia menjaga nama Sindari yang mengharuskan ia menjadi manusia marionette? Untuk apa bangga dengan nama Sindari yang tak memiliki hati nurani? Meski Bia akui, ada sedikit kepuasan di hati setiap kali menggunakan kekuatan dari marga Sindari. Nama yang seperti kutukan itu ternyata sangat mudah untuk membungkam orang-orang yang tidak ia sukai."Kita bicara."Huh? Bia pun refleks menahan tubuhnya dari tarikan yang tiba-tiba datang itu. "Apa yang kamu lakukan?!" seru Bia seraya menatap kesal pada Dion yang sudah menggenggam lengan kanannya."Bukankah sejak dulu kamu selalu ingin kita bicara serius? Sekarang aku ada waktu. Jadi, kita bicara di ruang kerjaku," ucap Dion sambil kembali menarik Bia untuk mengikutinya.Menuruni cepat anak tangga berselimut karpet merah. Dion menggenggam erat lengan Bia, mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap ke arah mereka. Dion bisa menerka, tindakannya ini sudah pasti akan sampai ke telinga Karina.Lengan yang tak sebesar lengannya. Kulit halus yang sudah lama tidak pria itu sentuh. Dion hampir saja lupa, pada rasa hangat yang bisa mendamaikan hati ketika jemarinya digenggam Bia dulu."Cukup!" desis Bia seraya menghentakkan keras tangannya. Menatap marah pada Dion yang juga memandang dirinya. Ini menyakitkan. Bagaimana bisa genggaman Dion yang dulu bisa membuatnya tersenyum, sekarang justru membuatnya meringis sakit."Tidak. Belum cukup. Kita harus bicara, menyelesaikan semua--""Menyelesaikan?" potong Bia, bibir tipis yang terpoles gincu itu tersenyum kecut. "Apa yang harus diselesaikan?""Baiklah, kita selesaikan di sini," ucap Dion mengabaikan ucapan sarkas Bia."Aku bilang, apa yang harus diselesaikan?' tegas Bia."Semua. Aku akan menjawab pertanyaan yang dulu selalu kamu tanyakan padaku." Dion pun memegang bahu Bia. Genggaman yang tak sekeras beberapa saat lalu, hanya sentuhan yang penuh rasa cemas bercampur lelah. Rasa yang tersembunyi lama dihatinya. "Tentang kita, tentang ketakutanmu dan tentang--""Aku tidak peduli," sela Bia seraya mengusir jari jemari yang menyentuh kedua bahunya. "Saat kamu meninggalkanku dan lebih memilih wanita berkuasa itu. Saat itu juga, aku sudah tidak peduli pada semua yang berhubungan tentang dirimu," lanjutnya.Bersambung ....Dalam sebuah ruangan luas tanpa hiasan dinding. Cat berwarna gelap dengan pencahayaan yang minim dan sebuah panggung kecil dengan lantai berselimutkan kain hitam menjadi pusat ruangan di sana.Beberapa kali nampak terlihat kilatan dari sebuah kamera di pusat ruangan itu."Lalu, bagaimana responnya?" tanya Aretha Dheandra, berdiri dengan kaki yang terbuka lebar di atas Bia. Sudah lima belas menit, wanita dengan potongan rambut bob pendek itu sibuk membidik Bia dengan kamera kesayangannya."Apa lagi? Manusia terminator itu tentu diam saja setelah menanyakan apa keinginanku," balas Bia malas. Tubuhnya terbaring menghadap langit-langit studio. Tidak peduli pada Aretha yang semakin mendekatkan Leica series ke wajahnya.Sejak tadi, mereka sedang membahas perbincangan Bia dengan Dion Mahesa kemarin."Hell, dia benar-benar sudah menjadi seorang pecundang! Ini pertama kalinya Dion bicara lebih dari dua kata denganmu. Setelah kejadian itu, kenapa dia malah kembali diam hanya karena kamu bicara
"Bagaimana bisa pekerjaan kalian seburuk ini, hah? Aku membayar kalian untuk menghapus semua artikel tentangku! Bukan membuatnya semakin berkembang biak!" seru kesal Bia.Mempekerjakan beberapa orang untuk menghapus artikel dan mencari tahu dalang dari semua ini sepertinya sia-sia saja.Bukannya menghilang, justru foto-fotonya semakin terpajang di semua situs media! Jika seperti ini, bisa ia pastikan kalau Karina sudah tahu hal ini.Bia menghela berat. Ini sudah larut malam dan Karina masih diam. Tidak ada panggilan atau orang berbaju hitam yang datang untuk menyeretnya pulang."Besok pagi, kalian harus sudah mendapatkan semua informasi tentang orang itu!" perintah Bia dengan tegas, kemudian mengakhiri panggilannya."Ulah siapa ini?" batin Bia seraya meremas sebal ponselnya. "Siapapun itu, dia sungguh menggenal aku dan Sindari dengan baik," lanjutnya berbisik.Menyugar rambut panjangnya ke belakang. Bia menunduk dan menghembuskan napas frustasi. Memandang lantai keramik putih dengan p
"Wanita itu--""Wanita itu adalah ibu anda, Nona," potong Dion tanpa memandang Bia yang duduk di sampingnya.Tiga puluh lima menit yang lalu, Bia menyerahkan diri secara suka rela. Bia memilih ikut bersama dengan Dion untuk pergi memenuhi panggilan dari ratu Sindari, Karina."Ya benar, seorang ibu yang berulang kali mengatakan telah menyesal karena telah melahirkanku," tegas Bia membalas. Masih ingat jelas ucapan Karina yang begitu melukai hatinya. Bia hanyalah aib sang ibu."Itu karena Nona yang selalu membantah perintah dari Nyonya."Balasan Dion membuat Bia melirik dan tersenyum kecut."Kamu benar-benar anjing yang patuh," sarkas Bia.Awalnya ingin berunding dengan Dion soal foto-fotonya yang tersebar. Namun, sepertinya Bia harus mengurungkannya.Lihat saja, sejak tadi Dion bahkan tidak memandang ke arahnya.Meski setiap kali bertemu mereka saling melempar tatapan dan ucapan dingin. Akan tetapi, Bia yakin di sudut hati mereka ... ada perasaan rindu, kerinduan dengan harapan mereka
"Dia pasti kelelahan menangis," bisik Aretha dalam hati, setelah memandang jam dinding yang sudah tertuju pada angka sepuluh.Menjauh dari dapur mini, kedua tangan Aretha dengan cepat membawa dua piring yang berisi makanan berbeda. Meletakkan perlahan piring-piring itu ke atas meja, Aretha tidak ingin membuat suara yang akan membangunkan bayi besarnya, Bia."Haah ...." Aretha menghela napas, tangan-tangannya berada di pinggang. Selesai sudah untuk urusan sarapan mereka. Aretha pun menyambar dan membawa segelas teh hangat menuju jendela yang sudah menerangi ruangan kecilnya. Menikmati teh sambil memandang keluar sudah menjadi kebiasaan Aretha."Huh?" Kening Aretha mengerut dalam. Tidak lama, dua matanya pun membelalak. "Bi, Bia! Bangun!"Teriakan Aretha cukup mengejutkan Bia yang baru dua jam memejamkan mata. Kesadaran pun langsung terkumpul bersamaan dengan degup jantung yang meningkat cepat.Dengan mata yang masih berat, Bia refleks duduk menghadap Aretha. "Ada apa?" ucap Bia dengan
Chette Lipacchi.Bia menyipitkan mata, menatap lurus pada huruf-huruf terpampang besar di atas gedung pencakar langit.Chette Lipacchi, salah satu cabang perusahaan yang menerbitkan majalah Elle di Indonesia ... Bia sungguh tidak percaya kalau ia akan kembali ke tempat ini.Kemarin, Bia setuju untuk menjadi model di majalah Elle. Sekarang, Bia datang untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak Chette."Aku tidak sabar untuk melihat reaksinya," gumam Bia.Ia menerka-nerka, bagaimana jika Karina tahu kalau anak bungsunya, ah ... salah, maksudnya anak yang telah dibuang bekerja sama dengan perusahaan yang paling Karina benci, mungkinkah sang ibu akan mengirimkan setumpuk masalah untuknya atau untuk perusahaan ini?Melangkah masuk dengan percaya diri ke dalam gedung. Kedatangan Bia cukup menarik atensi orang-orang di sana.Bia begitu cantik dengan busana kemeja merah marun, model kerah berenda yang sedikit terbuka di bagian dada. Tinggi yang semampai membuat kaki-kaki berselimut
Suasana yang tenang, bahkan detak jam pun tidak terdengar. Pemandangan yang indah dari balik kaca besar, meski hanya melihat luasnya kota dan gedung pencakar langit yang seolah saling bersaing ... wanita di sana tetap menyukainya.Nuansa keabu-abuan yang dihias dekorasi hitam dan putih, sedikit membuat Bia bisa menilai seperti apa sosok Noah saat bekerja. Aura ruangan di sana seperti ruang kerja sang ibu, serius dan tanpa ampun.Bibir tipis yang terukir cantik itu pun kembali menyesap sisa teh yang sudah tak lagi hangat. Bia kini benar-benar bisa merasa tentram setelah apa yang terjadi pada dirinya beberapa hari lalu. Ditinggalkan pemilik ruangan, cukup untuk Bia merenungkan diri. Mengoreksi, memilah dan menata apa yang harus ia lakukan mulai saat ini."Maaf menunggu lama," ujar Noah sesaat setelah masuk ke dalam ruang kerjanya. Noah berjalan menghampiri Bia dengan beberapa berkas yang ada di tangan kiri."It's okay. Saya justru berterima kasih untuk waktu yang telah pak Noah sediakan
Kilat cahaya menerangi sasana malam di sana. Semua bernuansa gelap dengan beberapa warna berbeda sebagai pemanis untuk menghidupkan panggung.Bia berpose di antara daun-daun panjang yang terhias beberapa pita merah. Ia duduk di lantai berkarpet rumput dengan dua kaki yang terlipat. Bibir tipis merah mudanya tersenyum ceria, tangan kanannya memeluk jemari pria tampan dengan kemeja hitam terbuka. Warna pakaian yang bertolak dengan Bia. Gaun putih setipis sutra nampak anggun, lengan baju pendeknya menari tertiup angin.Tidak bisa dipungkiri, Zafanya Bia dan Vian Handika menjadi pasangan sempurna di atas panggung. Mereka terlihat serasi membawakan fashion bertema alam malam."Okay! Break!" Teriakan nyaring dari pria yang menggenggam erat kamera.Puluhan take sudah diabadikan sang fotografer sedari pagi. Merasa puas. Kini sudah waktunya untuk mengakhiri.Vian--model ternama yang baru-baru ini menduduki peringkat atas di dunia fashion--mengulurkan tangan pada Bia."Thanks," ujar Bia seraya
"Hei, apa terjadi masalah di sana?""Huh?" Bia mengedipkan mata. Lamunannya tersadar kembali setelah mendengar teguran Aretha. "Ah, tidak ada. Bukankah sudah kubilang, orang-orang di sana terus saja memujiku," lanjutnya. Masih belum jelas. Jadi, Aretha tidak perlu tahu tentang pria yang menandang benci padanya di lobi tadi.Aretha yang sedang mengemudi pun melirik curiga. "Aku bersyukur kalau memang seperti itu. Ingat Bi, jangan membuat masalah seperti saat kamu bekerja di restoran dulu.""Hei! Dulu itu bukan kesalahanku! Ya, Tuhan ...." Bia mengelak tidak terima. Kenapa juga Aretha masih mengingat kejadian itu? Itu pengalaman yang cukup menyebalkan! Baru bekerja satu hari, ia sudah dipecat."Iya, itu bukan salahmu. Pokoknya, selama mereka tidak melecehkanmu. Ingat untuk selalu menahan emosimu," saran Aretha seraya memutar kemudi untuk mencari tempat parkir. Mereka sudah sampai di sebuah restoran."Ya Tuhan ...." Bia menghela napas sembari memutar bola mata. "Apa di matamu aku terliha
Sudah pukul sebelas malam, Bia berjalan lelah menuju lift di sana. Membuka satu persatu benda yang membuat wajahnya tersembunyi seharian ini.Masuk ke dalam lift, tangan yang menggenggam topi dan masker itu menekan angka sepuluh. Lantai di mana apartemen Bia berada. Menyandarkan punggung, Bia menghembuskan napas sambil memandang langit lift.Merasakan ayunan kotak besi yang perlahan mulai naik. Bia teringat perasaan beberapa jam lalu, melihat toko SunnyDay dengan kepala matanya sendiri benar-benar membuat hatinya perih.Toko itu masih dalam perbaikan. Kerusakan yang cukup parah menurut Bia, sampai Aretha harus mengosongkan tokonya."Kenapa kamu memilih untuk diam?" gumam Bia.Tidak habis pikir, sejak dulu Aretha lebih memilih untuk menyembunyikan masalahnya sendiri. "Lalu, apa gunanya aku?" lanjut Bia berbisik dalam hati. "Bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"Ting! Denting lift bergema, tanda bahwa Bia sudah sampai pada lantai tujuan.Melangkah lunglai ke luar, melewati satu
Rumah besar nan cantik. Bia kembali menginjakkan kakinya ke sana. Berjalan dengan tatapan mengintimidasi, panas kesal di hatinya pun kian membesar. Tidak ada keinginan dari Bia untuk meredupkannya."Nona?""Jangan ikut campur," balas Bia ketus, melewati sekretaris sekaligus pengurus mansion Sindari.Pria itu terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Bia yang tiba-tiba. Sudah pasti tidak ada yang mengira anak terusir itu akan datang secepat ini."Nona, saat ini bukan waktu yang--""Cukup. Aku tidak butuh saranmu!" potong Bia tanpa mengubah pandangan yang tertuju pada sebuah pintu kayu berukiran indah delapan meter di depannya.Melewati tempat yang menjadi kenangan atas pengusirannya dari rumah. Bia menggerutu sebal dalam hati, bahkan kepalanya tidak lelah memutar gambar-gambar kenangan kejam itu."Nona, Tuan--"Bia menghentikan kakinya tiba-tiba lalu menajamkan mata memandang pria yang juga ikut memandangnya. "Aku menghargai saranmu, tetapi aku datang ke sini bukan sebagai tamu yang ha
"Bi, apa Aretha tidak mengatakan padamu? SunnyDay dihancurkan oleh sekelompok orang tidak dikenal." Hah? Bia sontak menghentikan kaki-kakinya. Memandang lekat dua mata yang posisinya sedikit lebih tinggi. “Dihancurkan? Oleh siapa?" Bia menggeleng cepat. "Ah, maksudku, kapan kejadiannya?” tanyanya, kebingungan benar-benar sedang meneror hati dan pikirannya. “Kau ingat, malam saat kamu pindah ke apartemen? Selepas dari sana, aku mengantarkan dia kembali dan tokonya, sudah hancur berantakan.” Bia tergugu lemas. Apa ... ini, sungguhan? Bagaimana bisa ia baru mendengar hal mengejutkan ini sekarang? Kemarin Aretha mengunjunginya seolah tidak terjadi apapun, bahkan temannya itu malah menghiburnya. “Sahabat macam apa aku ini? Lagi-lagi hal buruk terjadi pada Aretha,” batin Bia. “Kamu, sudah menyelidikinya?” tanya Bia, kembali melangkahkan kakinya.
“Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga
Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang
"Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya
"Senang bertemu denganmu lagi, Bia."Noah tersenyum menyapa model eksklusif Elle. Senyum yang memilukan hati, sampai Bia harus menyipitkan mata menatap teliti wajah yang terlihat kusut itu. Sepertinya Noah benar-benar sedang diperbudak dengan pekerjaan.“Pak, bapak tidak apa-apa?” tanya Bia kasihan, lalu melebarkan pintu apartemennya.“Aku masih hidup hari ini juga berkat kasih sayang dari Tuhan,” balas Noah. Entah harus merasa bersyukur atau harus mengeluhkam takdir hidupnya.Pria dengan kemeja abu-abu dan dasi marun tak terikat itu langsung mendekat ke sofa panjang, menaruh tas perlengkapan kerjanya di samping meja, lalu merebahkan diri di sana tanpa menunggu izin dari si pemilik apartemen.Benar-benar sebuah keajaiban Noah masih bisa mendatangi Bia setelah berhari-hari terus dipaksa lembur.Bia menggeleng dan menghela napas. Lihat itu, benar-benar sudah seperti rumah sendiri. Bia pun membiarkannya dan pergi ke dapur.Sudah dua hari ia menempati apartemen ini. Semua pekerjaannya dih
“Dion masih mengikuti nona Bia.”Karina diam mendengarkan laporan dari sekretaris barunya. Menatap kesal pada foto-foto Bia yang terhampar acak di meja kerjanya. Wajah Dion saat di pantai pun ada di sana.Ini bukan pertama kali Karina mendengarkan laporan tentang Bia. Karina harus terus memantau anak ajaibnya yang selalu saja mencari cara untuk menentang aturannya.“Sekarang mereka sedang menuju ke apartemen baru nona Bia.”“Apartemen?” ulang Karina, matanya mulai terangkat menatap pria berkacamata di depannya.“Benar Nyonya. Apartemen Anasty Residence. Dari informasi, apartemen itu diberikan oleh fans nona.”“Ha, haha ....” Karina tertawa hambar. Itu tidak lucu, tetapi entah mengapa hatinya ingin tertawa mendengar informasi ini. “Aku sudah mengira anak itu bodoh, tetapi kenapa semakin jauh dariku anak itu semakin bodoh? Tidak bisa membedakan musuh atau kawan.”“Nyonya, kita harus membawa nona kembali.”Karina mendengus tidak setuju. Tangan kanannya menyambar selembar foto Bia yang me
“Di sini?” tanya Bia memandang sebuah papan nama apartemen. Sebagian wajahnya tertutup masker hitam.Satu setengah jam lalu, Deri datang ke toko SunnyDay untuk menjemput dirinya. Bia pun sudah menceritakan semua pada Aretha dan Dion, tentu mereka meminta Bia untuk menolak. Akan tetapi, kontrak kerjasama mengharuskan Bia mengikuti aturan perusahaan.Padahal, Dion berkata akan menanggung biaya denda pembatalan kontrak. Namun Bia menolak. Bagaimanapun, Bia belum sepenuhnya percaya pada Dion dan ia ingin mencari tahu kebenaran dari ucapan Dion Mahesa.“Ya, aku harap kamu menyukainya dan jangan sungkan untuk memberitahu aku apa pun jika ada yang membuatmu tidak nyaman.”Deri mengembangkan senyum. Pria itu masih saja bawel dan ramah kepadanya, tetapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda. Mungkin cara melihat Deri ke arahnya. Meski bibir itu tersenyum ramah, tatapan Deri seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Ini berlebihan,” akui Bia, sambil mengikuti bookernya masuk ke dalam lobi.“Tidak