Bia akui, cinta pertama itu sungguh seperti sebuah keramat. Sulit dimiliki dan sulit dilepas dari hati juga pikirian. Perasaan suci, tetapi akan mengutukmu selamanya.
Cinta pertama memiliki tempat yang tidak akan pernah hilang. Sampai berpuluh tahun pun akan tetap bisa menggetarkan hati dengan caranya sendiri.
Haah ... Bia menghela napas setelah membaca pesan yang entah sudah berapa kali masuk ke ponselnya pagi ini. Ia sudah tidak lagi mengenal Dion dengan baik.
Sudah dua hari, Bia terus mengabaikan pesan Dion. Pun mengabaikan kehadiran pria itu saat menjemput atau menunggunya di depan rumah atap Aretha, tempat yang kini menjadi rumah Bia.
Dion sungguh sudah seperti seorang pengangguran yang hanya memiliki jadwal untuk mengganggu Bia.
Ya Tuhan ... belum mulai bekerja, tetapi hati sudah dihantui rasa yang Bia sendiri pun sulit menggambarkannya.
"Ada apa? Ada yang sudah membuatmu bosan pagi ini?"
Bia yang sedang duduk di kursi kantin langsung menolehkan kepala ke belakang.
"Ah ... Hei, Vi!" sapa riang Bia pada Vian. Pria itu membawa satu gelas minuman di tangan kanannya.
Bia mengira Dion yang berbicara. Praduga salah yang membuat jantungnya hampir ingin melompat. Bukan hanya itu saja, sesaat tadi emosinya meningkat cepat ingin diluapkan. Siapa yang tidak kesal? Sudah lama sekali Bia berusaha untuk melupakan perasaannya, tetapi Dion terus saja mengganggunya.
Vian terkekeh sambil menaruh minumannya ke meja.. Cukup lucu melihat ekspresi Bia yang terkejut tadi. "Boleh, aku duduk di sini?"
Bia langsung mengangguk pelan menyetujui permintaan partner kerjanya.
"Jadi, apa sebab bintang baru kita menghela napas sepanjang itu?" lanjut Vian bertanya, dua lesung pipi turut muncul di wajahnya.
Bia menyipitkan mata. Tidak disangka, melihat wajah tampan langsung memberikan ruang pada otaknya yang penuh dengan masalah hidup.
"Ini tidak adil," celetuk Bia dan kembali mendesah berat.
Vian yang baru menaruh lipatan tangannya ke atas meja, langsung mengerutkan kening. "Em ... apa yang tidak adil?" tanyanya tidak mengerti.
"Kenapa bisa, sakit di kepalaku langsung membuih begitu melihat wajah tampanmu."
"Hahaha ...." Ledakan tawa Vian hamburkan. "Aku tidak tahu kalau Bia sang bintang punya sisi seperti ini."
Bia ikut tertawa. Sama seperti Vian. Ia juga tidak tahu bahwa sekarang hatinya bisa melihat keindahan manusia lain setelah Dion. Seharusnya, sejak dulu ia mendengarkan nasihat Aretha untuk mencoba membuka hati kembali. Memberi kesempatan pada pria-pria tampan lainnya.
"Jangan mentertawakan kejujuranku," ujar Bia. "Aku merasa ini sungguh tidak adil. Bagaimana bisa kamu memiliki kemampuan seperti itu, sedangkan aku tidak?" lanjutnya membanyol.
"Haha ... hei, kalau para ilmuan mendengar ini ... bisa-bisa mereka akan menangkapku untuk diteliti." Vian pun berdeham singkat. Sadar diri kalau suara tawanya telah menggundang banyak lirikan mata di kantin Chette.
"Ah, kurasa kita harus segera ke lobi. Deri dan lainnya sudah berkumpul di sana," ujar Vian.
Dari dalam kantin yang terkurung dinding kaca, Vian bisa melihat Deri baru saja keluar dari lift. Hari ini, pemotretan mereka akan di lakukan di luar.
Bia pun ikut menatap ke arah yang sama, kemudian mengangguk setuju. Di sana juga sudah ada dua model wanita dan satu model pria yang entah sejak kapan memandang ke arah kantin.
Ah ... Bia mengenali tatapan itu. Tatapan tidak bersahabat. Ia juga sudah merasakan, sejak dua hari lalu mereka menjaga jarak dengannya.
Ini tidak hanya persepsi semata, karena sejak kecil ... sudah tak terhitung banyaknya tatapan seperti itu untuknya. Terlebih, kepintaran dan kecantikan, bahkan kekuasaan yang dimilikinya selalu mengundang kedengkian di hati.
Derikan kursi terdengar, baik Bia dan Vian beranjak dari tempat duduknya. "Boleh aku bertanya?" ucap Bia. Tiba-tiba ada rasa keingintahuan tentang diri Vian.
Vian yang berjalan di samping Bia pun menoleh dengan ujung alis menukik satu. Penasaran, apa yang akan ditanyakan Bia. Sampai wanita bersurai hitam panjang itu memasang wajah serius. "Tanyakan saja."
"Sebelum aku, siapa yang menjadi partnermu?"
Vian pun terdiam beberapa detik sebelum menjawab. Vian mengakui kalau dirinya cukup penasaran mengapa topik itu tiba-tiba terucap dari bibir wanita di sampingnya. "Bia, aku kecewa sekali."
"Hm?" Bia bingung sendiri, apa ucapannya terlalu kasar? "Maksudmu?"
"Maksudku, ini tidak ada gunanya ... semua tentangku tersebar di mana-mana. Namun, kalau kamu tidak pernah meliriknya, aku rasa itu sia-sia saja," Vian menarik kecil satu sudut bibirnya. Lebih baik memberikan jawaban ambigu. Sebab pertanyaan Bia adalah hal yang tidak ingin Vian bahas sampai kapanpun.
"Ah, kalau--"
"Oh, siapa ini?" sela Noah langsung menyapa ceria Bia.
Noah pun berjalan mendekat, lalu memutus jarak antara Bia dan Vian. Di tangan kanannya, menggenggam bunga mawar merah yang dihias cantik.
"Wajah baru Elle yang langsung menambah berkali lipat omset penjualan!" Noah juga menoleh pada Vian. "Sudah kuduga, kalian titisan para dewa dan dewi, haha," lanjutnya bercanda.
"Pak Noah terlalu memuji," balas Vian.
"Jangan mengganggu mereka." Deri menginterupsi. "Kalian semua, ayo cepat masuk ke mobil, aku tidak suka menumpuk pekerjaan," lanjutnya pada para model yang berada di bawah naungannya.
"Oh, Deri Elle memang sangat antusias kalau sudah bekerja." sambar Noah disela kekehan ringannya. "Bia, tolong bawa ini," lanjutnya.
Melihat mawar merah diarahkan kepadanya. Bia langsung mengedarkan mata ke sekitar. Ini hanya akan menambah masalah hidupnya. "Untukku?" ucapnya. Jika benar, Bia akan menolak.
"Tentu saja bukan."
Bukan? Lalu kenapa ia diminta untuk membawa bunga itu? Jika sebagai dekorasi pemotretan nanti pun seharusnya kru yang membawa, bukan dirinya! Ingin sekali Bia mengatakan itu semua. Namun, ia harus tetap sopan, bukan? Ingat pesan Aretha.
"Oke, ke mana aku harus membawanya? ujar Bia seraya mengambil bunga itu. Dua manik mata hitamnya, melihat sesaat Vian yang memberi isyarat untuk ke mobil lebih dulu.
"Tolong berikan itu pada temanmu, Aretha nanti."
Hah? Aretha? Kenapa nama sahabatnya bisa terdengar di sini?
"Aku berutang budi padanya, tapi karena temanmu itu tidak ingin dibayar dengan uang. Jadi setidaknya aku harus menunjukkan rasa terima kasihku dengan cara lain, bukan?" lanjut Noah menjelaskan sebelum diminta. Gaya bicaranya pun tiba-tiba berganti dengan bahasa yang santai.
Bia menyipitkan mata, penasaran tentang utang budi yang ada di antara mereka. Kenapa juga Aretha tidak mengatakan apapun kepadanya?
Bia langsung mendorong kembali bunga itu ke dada bidang Noah. "Kalau begitu, berikan sendiri pada Aretha," balasnya, lalu menunduk sopan dan pergi dari hadapan Noah yang justru melebarkan senyuman mendapat penolakan itu.
Menurut Bia, memberikan kembali bunga itu adalah hal yang benar. Ia tidak ingin ada gosip buruk tentangnya di sini. Bia harus bekerja dengan benar sekarang, meski sahabatnya tidak pernah mempermasalahkannya. Namun, tetap saja ia merasa tidak enak jika harus menumpang gratis dengan Aretha.
Huh? Bia terhenti saat melihat seorang pria sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Pria yang menatapnya penuh kebencian malam itu, sekarang baru bisa ia lihat dengan jelas.
Bia yakin, pria dengan setelan jas mahal di sana memiliki jabatan penting di perusahaan ini. Terlihat dari dua orang yang mengikuti di belakang dan beberapa orang yang menunduk hormat saat berpapasan dengan pria itu.
"Kamu penasaran dengannya?"
Bia tersentak kaget mendengar suara rendah Noah yang dibisikkan di telinganya.
"Kalau iya, apa pak Noah mau memberitahuku?" balas Bia.
"Tentu saja, kalau kamu mau memberikan bunga ini untuk temanmu."
Sial! Baru kali ini ia merasa sedang dimanfaatkan. Sekarang, penilaian tentang Noah berubah dratis. Bia tidak menyukainya!
Bersambung ....
"Tentu saja, kalau kamu mau memberikan bunga ini untuk temanmu."Bia berdecak malas. "Di antara pertukaran ini, aku rasa yang paling dirugikan adalah bapak sendiri. Jadi, terima kasih untuk tawarannya," ucapnya kemudian melenggang pergi meninggalkan Noah yang mengulum senyum."Haah, sayang sekali kalau begitu," gumam Noah memeluk buket bunga yang sia-sia saja ia pesan dengan sedikit pemaksaan. Menatap punggung Bia yang kian menjauh dan berbaur dengan para model lainnya.Paras Bia memang cantik, tubuhnya yang tinggi dan ramping menambah keindahan yang seolah sengaja Tuhan ciptakan hanya untuk Bia. Namun sayang, semua itu tidak mampu menggetarkan hati Noah."Aku tidak melarangmu mendekati wanita manapun, tapi tidak untuk wanita itu dan orang-orang di sekitarnya." Suara bariton mengganggu Noah yang masih betah menatap para modelingnya.Noah mendebas napasnya kembali. Tanpa menoleh ke samping, ia sudah tahu siapa yang berbicara. "Ini, pertemuan pertama kalian, bukan?" ucapnya memilih meng
"Ini pertama kalinya Deri seperti ini.""Entah kenapa, akhir-akhir ini kantor terasa kacau. Bahkan, kudengar wakil direktur harus--"Obrolan antar para model pun seketika terhenti, saat Vian menyentuh bahu seorang pria yang menyuarakan isi hatinya dengan lantang. Tanpa mempedulikan Bia yang merasa terasingkan dilingkaran mereka.Duduk bersama, tetapi dalam perbincangan tidak ada yang mengajak Bia untuk buka suara. Sejak tadi hanya riuh angin yang turut menghibur telinga dan hatinya."Masalah kantor, aku rasa itu bukanlah urusan kita. Ini memang pertama kalinya Deri mendadak meninggalkan lokasi, terlebih Deri tidak memberitahukan jadwal besok," ungkap Vian mencoba menyudahi hal yang bisa Vian sadari kalau Bia merasa kurang nyaman di meja makan ini. "Daripada berasumsi sendiri yang mungkin akan menimbulkan kesan negatif, lebih baik kita kembali dan menunggu perintah Deri," lanjutnya.Bia menarik samar ujung bibirnya. Entah mengapa, ia merasa Vian sedang membelanya. Padahal, sejak tadi t
"Orang yang menyebarkan foto-fotomu ... ada di sana.”Apa? Lidah Bia membeku, pikirannya mencerna ucapan pria di depannya. Meski ia tahu bahwa Dion tidak akan berbicara omong kosong. Namun, bagaimana jika pria ini bertindak atas titah sang ibu, Karina? Bagaimanapun, Dion sudah menjadi pengikut yang begitu patuh dengan Sindari.“Katakan, apa tujuanmu mengatakan itu?”Dion menghela napas. Mencari ketenangan dari hembusan angin pantai. Memang akan sulit menjelaskan pada Bia soal ini. Dion tahu, Bia tidak akan percaya begitu saja kepadanya.“Aku mengerti kamu tidak akan mempercayaiku begitu saja, tapi--”“Omong kosong.” Bia mendengus seraya membuang muka. Menatap lautan yang sudah cukup jauh untuk dijangkau mata. Laut cantik dengan deburan ombak yang seolah menyuruhnya untuk segera datang kepadanya.Mungkin jika dilihat dari kacamata orang lain, kehidupannya tidak ada yang perlu dicemaskan atau bahkan terlalu indah untuk dibayangkan seperti cerita dongeng yang tak nyata.Memiliki orang tu
Masih terang, langit pun cerah dengan gundukan awan-awan yang terlihat cantik. Tidak ada alasan untuk tetap bersedih jika melihat langit biru di sana.Namun sayang, keindahan di luar tidak bisa membawa keceriaan pada wajah dari wanita yang berdiri masam di dalam toko SunnyDay.Bia tahu alasan mengapa sahabatnya memasang wajah seperti itu. Tentu saja karena pria yang sudah mengantar dirinya ke tempat ini.“Kenapa dia yang mengantarmu?” cecar Aretha begitu Bia masuk ke dalam toko. Rasa dingin menyambut tubuhnya, setelah beberapa detik matahari menghangatkan kulitnya.Bia mengerakan dua bahunya malas. “Dia mendatangiku ke lokasi pemotretan. Aku sudah menyuruhnya kembali, tetapi--”Ting!Semua pasang mata terarah ke pintu kaca yang mendentingkan lonceng kecil toko. Dion masuk dengan melebarkan senyumannya.“Ho ... lihat, siapa ini?" sapa Aretha tidak bersahabat. Kedua tangannya terlipat di dada. "Kamu tahu 'kan, kalau dirimu tidak akan pernah bisa diterima di sini,” sinisnya.Dion menarik
“Di sini?” tanya Bia memandang sebuah papan nama apartemen. Sebagian wajahnya tertutup masker hitam.Satu setengah jam lalu, Deri datang ke toko SunnyDay untuk menjemput dirinya. Bia pun sudah menceritakan semua pada Aretha dan Dion, tentu mereka meminta Bia untuk menolak. Akan tetapi, kontrak kerjasama mengharuskan Bia mengikuti aturan perusahaan.Padahal, Dion berkata akan menanggung biaya denda pembatalan kontrak. Namun Bia menolak. Bagaimanapun, Bia belum sepenuhnya percaya pada Dion dan ia ingin mencari tahu kebenaran dari ucapan Dion Mahesa.“Ya, aku harap kamu menyukainya dan jangan sungkan untuk memberitahu aku apa pun jika ada yang membuatmu tidak nyaman.”Deri mengembangkan senyum. Pria itu masih saja bawel dan ramah kepadanya, tetapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda. Mungkin cara melihat Deri ke arahnya. Meski bibir itu tersenyum ramah, tatapan Deri seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Ini berlebihan,” akui Bia, sambil mengikuti bookernya masuk ke dalam lobi.“Tidak
“Dion masih mengikuti nona Bia.”Karina diam mendengarkan laporan dari sekretaris barunya. Menatap kesal pada foto-foto Bia yang terhampar acak di meja kerjanya. Wajah Dion saat di pantai pun ada di sana.Ini bukan pertama kali Karina mendengarkan laporan tentang Bia. Karina harus terus memantau anak ajaibnya yang selalu saja mencari cara untuk menentang aturannya.“Sekarang mereka sedang menuju ke apartemen baru nona Bia.”“Apartemen?” ulang Karina, matanya mulai terangkat menatap pria berkacamata di depannya.“Benar Nyonya. Apartemen Anasty Residence. Dari informasi, apartemen itu diberikan oleh fans nona.”“Ha, haha ....” Karina tertawa hambar. Itu tidak lucu, tetapi entah mengapa hatinya ingin tertawa mendengar informasi ini. “Aku sudah mengira anak itu bodoh, tetapi kenapa semakin jauh dariku anak itu semakin bodoh? Tidak bisa membedakan musuh atau kawan.”“Nyonya, kita harus membawa nona kembali.”Karina mendengus tidak setuju. Tangan kanannya menyambar selembar foto Bia yang me
"Senang bertemu denganmu lagi, Bia."Noah tersenyum menyapa model eksklusif Elle. Senyum yang memilukan hati, sampai Bia harus menyipitkan mata menatap teliti wajah yang terlihat kusut itu. Sepertinya Noah benar-benar sedang diperbudak dengan pekerjaan.“Pak, bapak tidak apa-apa?” tanya Bia kasihan, lalu melebarkan pintu apartemennya.“Aku masih hidup hari ini juga berkat kasih sayang dari Tuhan,” balas Noah. Entah harus merasa bersyukur atau harus mengeluhkam takdir hidupnya.Pria dengan kemeja abu-abu dan dasi marun tak terikat itu langsung mendekat ke sofa panjang, menaruh tas perlengkapan kerjanya di samping meja, lalu merebahkan diri di sana tanpa menunggu izin dari si pemilik apartemen.Benar-benar sebuah keajaiban Noah masih bisa mendatangi Bia setelah berhari-hari terus dipaksa lembur.Bia menggeleng dan menghela napas. Lihat itu, benar-benar sudah seperti rumah sendiri. Bia pun membiarkannya dan pergi ke dapur.Sudah dua hari ia menempati apartemen ini. Semua pekerjaannya dih
"Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya
Sudah pukul sebelas malam, Bia berjalan lelah menuju lift di sana. Membuka satu persatu benda yang membuat wajahnya tersembunyi seharian ini.Masuk ke dalam lift, tangan yang menggenggam topi dan masker itu menekan angka sepuluh. Lantai di mana apartemen Bia berada. Menyandarkan punggung, Bia menghembuskan napas sambil memandang langit lift.Merasakan ayunan kotak besi yang perlahan mulai naik. Bia teringat perasaan beberapa jam lalu, melihat toko SunnyDay dengan kepala matanya sendiri benar-benar membuat hatinya perih.Toko itu masih dalam perbaikan. Kerusakan yang cukup parah menurut Bia, sampai Aretha harus mengosongkan tokonya."Kenapa kamu memilih untuk diam?" gumam Bia.Tidak habis pikir, sejak dulu Aretha lebih memilih untuk menyembunyikan masalahnya sendiri. "Lalu, apa gunanya aku?" lanjut Bia berbisik dalam hati. "Bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"Ting! Denting lift bergema, tanda bahwa Bia sudah sampai pada lantai tujuan.Melangkah lunglai ke luar, melewati satu
Rumah besar nan cantik. Bia kembali menginjakkan kakinya ke sana. Berjalan dengan tatapan mengintimidasi, panas kesal di hatinya pun kian membesar. Tidak ada keinginan dari Bia untuk meredupkannya."Nona?""Jangan ikut campur," balas Bia ketus, melewati sekretaris sekaligus pengurus mansion Sindari.Pria itu terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Bia yang tiba-tiba. Sudah pasti tidak ada yang mengira anak terusir itu akan datang secepat ini."Nona, saat ini bukan waktu yang--""Cukup. Aku tidak butuh saranmu!" potong Bia tanpa mengubah pandangan yang tertuju pada sebuah pintu kayu berukiran indah delapan meter di depannya.Melewati tempat yang menjadi kenangan atas pengusirannya dari rumah. Bia menggerutu sebal dalam hati, bahkan kepalanya tidak lelah memutar gambar-gambar kenangan kejam itu."Nona, Tuan--"Bia menghentikan kakinya tiba-tiba lalu menajamkan mata memandang pria yang juga ikut memandangnya. "Aku menghargai saranmu, tetapi aku datang ke sini bukan sebagai tamu yang ha
"Bi, apa Aretha tidak mengatakan padamu? SunnyDay dihancurkan oleh sekelompok orang tidak dikenal." Hah? Bia sontak menghentikan kaki-kakinya. Memandang lekat dua mata yang posisinya sedikit lebih tinggi. “Dihancurkan? Oleh siapa?" Bia menggeleng cepat. "Ah, maksudku, kapan kejadiannya?” tanyanya, kebingungan benar-benar sedang meneror hati dan pikirannya. “Kau ingat, malam saat kamu pindah ke apartemen? Selepas dari sana, aku mengantarkan dia kembali dan tokonya, sudah hancur berantakan.” Bia tergugu lemas. Apa ... ini, sungguhan? Bagaimana bisa ia baru mendengar hal mengejutkan ini sekarang? Kemarin Aretha mengunjunginya seolah tidak terjadi apapun, bahkan temannya itu malah menghiburnya. “Sahabat macam apa aku ini? Lagi-lagi hal buruk terjadi pada Aretha,” batin Bia. “Kamu, sudah menyelidikinya?” tanya Bia, kembali melangkahkan kakinya.
“Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga
Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang
"Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya
"Senang bertemu denganmu lagi, Bia."Noah tersenyum menyapa model eksklusif Elle. Senyum yang memilukan hati, sampai Bia harus menyipitkan mata menatap teliti wajah yang terlihat kusut itu. Sepertinya Noah benar-benar sedang diperbudak dengan pekerjaan.“Pak, bapak tidak apa-apa?” tanya Bia kasihan, lalu melebarkan pintu apartemennya.“Aku masih hidup hari ini juga berkat kasih sayang dari Tuhan,” balas Noah. Entah harus merasa bersyukur atau harus mengeluhkam takdir hidupnya.Pria dengan kemeja abu-abu dan dasi marun tak terikat itu langsung mendekat ke sofa panjang, menaruh tas perlengkapan kerjanya di samping meja, lalu merebahkan diri di sana tanpa menunggu izin dari si pemilik apartemen.Benar-benar sebuah keajaiban Noah masih bisa mendatangi Bia setelah berhari-hari terus dipaksa lembur.Bia menggeleng dan menghela napas. Lihat itu, benar-benar sudah seperti rumah sendiri. Bia pun membiarkannya dan pergi ke dapur.Sudah dua hari ia menempati apartemen ini. Semua pekerjaannya dih
“Dion masih mengikuti nona Bia.”Karina diam mendengarkan laporan dari sekretaris barunya. Menatap kesal pada foto-foto Bia yang terhampar acak di meja kerjanya. Wajah Dion saat di pantai pun ada di sana.Ini bukan pertama kali Karina mendengarkan laporan tentang Bia. Karina harus terus memantau anak ajaibnya yang selalu saja mencari cara untuk menentang aturannya.“Sekarang mereka sedang menuju ke apartemen baru nona Bia.”“Apartemen?” ulang Karina, matanya mulai terangkat menatap pria berkacamata di depannya.“Benar Nyonya. Apartemen Anasty Residence. Dari informasi, apartemen itu diberikan oleh fans nona.”“Ha, haha ....” Karina tertawa hambar. Itu tidak lucu, tetapi entah mengapa hatinya ingin tertawa mendengar informasi ini. “Aku sudah mengira anak itu bodoh, tetapi kenapa semakin jauh dariku anak itu semakin bodoh? Tidak bisa membedakan musuh atau kawan.”“Nyonya, kita harus membawa nona kembali.”Karina mendengus tidak setuju. Tangan kanannya menyambar selembar foto Bia yang me
“Di sini?” tanya Bia memandang sebuah papan nama apartemen. Sebagian wajahnya tertutup masker hitam.Satu setengah jam lalu, Deri datang ke toko SunnyDay untuk menjemput dirinya. Bia pun sudah menceritakan semua pada Aretha dan Dion, tentu mereka meminta Bia untuk menolak. Akan tetapi, kontrak kerjasama mengharuskan Bia mengikuti aturan perusahaan.Padahal, Dion berkata akan menanggung biaya denda pembatalan kontrak. Namun Bia menolak. Bagaimanapun, Bia belum sepenuhnya percaya pada Dion dan ia ingin mencari tahu kebenaran dari ucapan Dion Mahesa.“Ya, aku harap kamu menyukainya dan jangan sungkan untuk memberitahu aku apa pun jika ada yang membuatmu tidak nyaman.”Deri mengembangkan senyum. Pria itu masih saja bawel dan ramah kepadanya, tetapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda. Mungkin cara melihat Deri ke arahnya. Meski bibir itu tersenyum ramah, tatapan Deri seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Ini berlebihan,” akui Bia, sambil mengikuti bookernya masuk ke dalam lobi.“Tidak