"Ini pertama kalinya Deri seperti ini."
"Entah kenapa, akhir-akhir ini kantor terasa kacau. Bahkan, kudengar wakil direktur harus--"
Obrolan antar para model pun seketika terhenti, saat Vian menyentuh bahu seorang pria yang menyuarakan isi hatinya dengan lantang. Tanpa mempedulikan Bia yang merasa terasingkan dilingkaran mereka.
Duduk bersama, tetapi dalam perbincangan tidak ada yang mengajak Bia untuk buka suara. Sejak tadi hanya riuh angin yang turut menghibur telinga dan hatinya.
"Masalah kantor, aku rasa itu bukanlah urusan kita. Ini memang pertama kalinya Deri mendadak meninggalkan lokasi, terlebih Deri tidak memberitahukan jadwal besok," ungkap Vian mencoba menyudahi hal yang bisa Vian sadari kalau Bia merasa kurang nyaman di meja makan ini. "Daripada berasumsi sendiri yang mungkin akan menimbulkan kesan negatif, lebih baik kita kembali dan menunggu perintah Deri," lanjutnya.
Bia menarik samar ujung bibirnya. Entah mengapa, ia merasa Vian sedang membelanya. Padahal, sejak tadi tidak ada yang menyinggung. Mereka hanya sekedar mendiamkannya saja.
Benar, sepulang dari sini ... Bia akan langsung mencari semua informasi tentang Vian!
Orang seperti Vian itulah yang bisa dibilang malaikat berwujud manusia. Bukan dirinya yang hanya memiliki kecantikan atau Karina yang mempunyai banyak harta, tetapi tidak memiliki hati nurani.
Semua diam membisu. Masing-masing tatapan mereka tertuju ke arah yang berbeda. Ada yang memandang canggung pada piring-piring kosong di meja mereka. Pun ada yang menoleh ke arah pantai. Lautan bersorak ombak berada beberapa meter dari tempat singgah mereka untuk makan. Semua orang di sana tahu, kalau Vian sedang menegur dan memperingatkan mereka.
"Kalau begitu, setelah ini tidak kembali ke kantor, tidak apa-apa 'kan?"
Semua mata pun tertuju pada Bia. Hanya melihat, tidak ada yang berniat menjawab.
"Yah ... tidak masalah. Kenapa? Apa kamu ada kencan?" jawab Vian tersenyum menggoda.
"Ah, bukan--"
"Vian, kita kembali ke kantor, yuk!" sela salah satu modeling wanita. Clara, sejak tadi selalu menatap sinis Bia. "Sudah lama kita tidak kumpul bersama," lanjut Clara.
"Itu semua karena jadwal kita berbeda," timpal Vian malas.
"Ayolah, luangkan waktumu untuk kita. Jangan--"
"Bia."
Suara Bariton yang Bia kenal terdengar. Dengan cepat Bia menoleh ke belakang. Memandang bingung seorang Dion yang berdiri dengan senyuman khasnya. Senyuman yang dulu paling Bia suka.
"Apa yang--" Bia kembali merapatkan bibir saat ingat keberadaannya sekarang. Hati hanya bisa berharap agar di antara mereka tidak ada yang mengenali Dion. Orang yang selalu berada di belakang Karina. Tentu wajah Dion juga pasti sudah terekspos di mana pun.
"Bi?" panggil Vian. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya.
"Tidak apa-apa. Aku pergi dulu," balas Bia berpamitan.
Sebaiknya ia harus cepat-cepat menjauh, sebelum ada yang menyadari siapa Dion.
Akan merepotkan jika di tempat kerja atau orang-orang tahu bahwa dirinya memiliki hubungan dengan Sindari.
Meninggalkan obrolan yang membosankan memang sangat Bia tunggu sejak tadi. Namun, berjalan berdampingan bersama dengan Dion pum rasanya percuma.
"Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Bia.
Ah sial, otak dan hatinya benar-benar tidak bisa sejalan jika sudah bersama Dion. Isi kepala memberi perintah untuk mengabaikan pria itu. Namun, hati dan mulut malah mengingkarinya. Cinta pertama ... apalagi cinta yang terpendam memang sulit dihilangkan.
Bia butuh emosi tinggi untuk bisa mengontrol keinginan hatinya.
"Itu--"
"Tidak. Jangan dijawab," sela Bia, telapak tangannya berdiri tegak di udara. Sebagai tanda agar Dion lebih baik diam. "Aku sudah tahu jawabannya," sambungnya. Berpikir ... hanya untuk mencari informasi tentangnya, bagi Dion tentu sangatlah mudah. Seperti meledakkan balon saja.
Buktinya, Dion selalu tahu kapan waktu ia pulang dan pergi bekerja.
"Kenapa kamu terus menghindariku?" alih Dion membuka topik baru. Pria itu tahu betul isi kepala Bia saat ini. "Kamu masih belum percaya, kalau aku melepaskan pekerjaanku untuk dirimu?"
Bia menghentikan langkahnya, menoleh dan memandang penuh kecewa pada Dion. Sebaiknya ia hentikan saja obrolan mengesalkan ini. Bia sungguh sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun.
"Dion."
"Kakak, aku lebih suka kamu memanggilku sepertu itu," potong Dion dengan jari jemari memegang beberapa helaian rambut Bia yang terikat satu.
Suara rendah yang terdengar menenangkan di telinga Bia, membuat ia menelan kecut salivanya. Sungguh, ingin sekali ia melupakan semuanya dan kembali seperti dulu.
Namun, Bia takut hatinya akan tersakiti lagi. Tiga tahun lalu, Dion sungguh memberikan luka yang cukup dalam di hati Bia. Terlalu pedih sampai bisa mengalahkan luka yang diberikan orang tuanya.
Ketidakacuhan Dion, penolakan dan sikap dingin yang dalam sehari berubah tanpa aba ... membuat Bia takut kepada cinta pertamanya itu.
Bia menepis tangan Dion. "Bermimpilah sepuasmu! Dan berhentilah mengikutiku!" serunya kesal, kemudian berbalik pergi, menjauhi Dion.
Dion menarik kecil sudut bibirnya. Menunduk dengan kedua tangan bertenger di pinggang, lalu menolehkan kepala ke arah yang berlawanan dengan kepergian Bia.
Jelas sekali terlihat, Vian Handika tengah menonton pertengkaran dirinya dengan Bia.
"Dasar bodoh!" maki Dion dalam hati. Bukan untuk Vian ataupun dirinya, melainkan makian itu untuk Bia.
Bagaimana bisa wanita itu tidak menyadari penguntit yang sejak awal mengikuti mereka. Padahal Bia seharusnya bisa bersikap lebih waspada dan peka jika berada di tempat umum seperti ini.
Ck! Tidak bisakah Bia membuatnya tidak cemas sehari saja?
Dion pun kembali mengejar Bia dan mengabaikan Vian. Menurutnya, Vian hanyalah seekor serangga yang sangat mudah untuk dijatuhkan.
"Bia!" seru Dion memanggil Bia yang sudah sampai ke tempat parkir. Wanita itu sedang memainkan ponselnya. Dion bisa menebak kalau Bia pasti sedang memesan taksi online. Sebab Dion tahu, Aretha tidak bisa menjemputnya hari ini.
"Aku yang akan mengantarmu pulang," ucap Dion, seraya mengambil cepat benda pipih itu, lalu membatalkan pesanan taksi online di ponsel Bia. Dugaannya benar.
"Kamu benar-benar menyebalkan!" cebik Bia, kesal sekali dengan Dion yang bertingkah seenaknya itu.
"It's okay, Bi." Dion pun mengulum senyum yang sudah lama tidak pernah lagi diterbitkan di depan Bia. "Kamu bebas berpikir atau memaki apapun tentangku ... tapi, saat ini kita benar-benar perlu bicara," sambungnya.
"Bicara?" Bia mendengus lucu. "Apa di antara kita masih ada yang bisa dibicarakan, hm?" lanjutnya dengan nada sarkas. Mata bulatnya memandang sinis Dion.
"Banyak. Banyak sekali yang perlu kita bicarakan. Haah ...." Dion menundukkan kepala, dirinya juga bingung harus dimulai dari mana. Semua masalah di antara mereka nampak pelik dan menyebalkan.
"Apa? Kenapa diam? Baru sadar bahwa tidak ada yang perlu kita bicarakan, benar 'kan?"
Dion menggeleng, dagunya kembali terangkat dan memandang serius Bia. "Sebelum itu, aku mohon padamu untuk segera keluar dari Chette company."
Apa? Bia tergugu dengan kening mengerut heran. Kenapa tba-tiba membicarakan perusahaan tempatnya bekerja? "Kamu benar-benar egois, Di," ungkap Bia kecewa.
"Ini demi kebaikanmu, Bi."
"Hah! Kebaikan apa? Maksudmu, baik untuk dirimu jika berhasil menjalankan tugas dari orang tua itu, iya 'kan?" dengus Bia tidak suka.
"Apa yang kulakuan tidak ada hubungannya dengan nyonya Karina. Ini murni karena aku mencemaskanmu, Bia!"
"See? Kamu bahkan masih menyebutnya dengan panggilan itu," sindir Bia. Jika Dion benar-benar memilihnya, tentu pria itu akan memanggil Karina dengan sebutan ibu.
Haah ... kecurigaan Bia membuat Dion frustasi sendiri. Namun, Dion tidak bisa menyalahkan Bia. Sebab yang merubah Bia menjadi seperti itu adalah dirinya.
"Pelaku penyebaran foto-fotomu ... ada di sana," akui Dion, akhirnya bisa mengungkapkan satu dari rasa cemasnya.
Bersambung ....
"Orang yang menyebarkan foto-fotomu ... ada di sana.”Apa? Lidah Bia membeku, pikirannya mencerna ucapan pria di depannya. Meski ia tahu bahwa Dion tidak akan berbicara omong kosong. Namun, bagaimana jika pria ini bertindak atas titah sang ibu, Karina? Bagaimanapun, Dion sudah menjadi pengikut yang begitu patuh dengan Sindari.“Katakan, apa tujuanmu mengatakan itu?”Dion menghela napas. Mencari ketenangan dari hembusan angin pantai. Memang akan sulit menjelaskan pada Bia soal ini. Dion tahu, Bia tidak akan percaya begitu saja kepadanya.“Aku mengerti kamu tidak akan mempercayaiku begitu saja, tapi--”“Omong kosong.” Bia mendengus seraya membuang muka. Menatap lautan yang sudah cukup jauh untuk dijangkau mata. Laut cantik dengan deburan ombak yang seolah menyuruhnya untuk segera datang kepadanya.Mungkin jika dilihat dari kacamata orang lain, kehidupannya tidak ada yang perlu dicemaskan atau bahkan terlalu indah untuk dibayangkan seperti cerita dongeng yang tak nyata.Memiliki orang tu
Masih terang, langit pun cerah dengan gundukan awan-awan yang terlihat cantik. Tidak ada alasan untuk tetap bersedih jika melihat langit biru di sana.Namun sayang, keindahan di luar tidak bisa membawa keceriaan pada wajah dari wanita yang berdiri masam di dalam toko SunnyDay.Bia tahu alasan mengapa sahabatnya memasang wajah seperti itu. Tentu saja karena pria yang sudah mengantar dirinya ke tempat ini.“Kenapa dia yang mengantarmu?” cecar Aretha begitu Bia masuk ke dalam toko. Rasa dingin menyambut tubuhnya, setelah beberapa detik matahari menghangatkan kulitnya.Bia mengerakan dua bahunya malas. “Dia mendatangiku ke lokasi pemotretan. Aku sudah menyuruhnya kembali, tetapi--”Ting!Semua pasang mata terarah ke pintu kaca yang mendentingkan lonceng kecil toko. Dion masuk dengan melebarkan senyumannya.“Ho ... lihat, siapa ini?" sapa Aretha tidak bersahabat. Kedua tangannya terlipat di dada. "Kamu tahu 'kan, kalau dirimu tidak akan pernah bisa diterima di sini,” sinisnya.Dion menarik
“Di sini?” tanya Bia memandang sebuah papan nama apartemen. Sebagian wajahnya tertutup masker hitam.Satu setengah jam lalu, Deri datang ke toko SunnyDay untuk menjemput dirinya. Bia pun sudah menceritakan semua pada Aretha dan Dion, tentu mereka meminta Bia untuk menolak. Akan tetapi, kontrak kerjasama mengharuskan Bia mengikuti aturan perusahaan.Padahal, Dion berkata akan menanggung biaya denda pembatalan kontrak. Namun Bia menolak. Bagaimanapun, Bia belum sepenuhnya percaya pada Dion dan ia ingin mencari tahu kebenaran dari ucapan Dion Mahesa.“Ya, aku harap kamu menyukainya dan jangan sungkan untuk memberitahu aku apa pun jika ada yang membuatmu tidak nyaman.”Deri mengembangkan senyum. Pria itu masih saja bawel dan ramah kepadanya, tetapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda. Mungkin cara melihat Deri ke arahnya. Meski bibir itu tersenyum ramah, tatapan Deri seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Ini berlebihan,” akui Bia, sambil mengikuti bookernya masuk ke dalam lobi.“Tidak
“Dion masih mengikuti nona Bia.”Karina diam mendengarkan laporan dari sekretaris barunya. Menatap kesal pada foto-foto Bia yang terhampar acak di meja kerjanya. Wajah Dion saat di pantai pun ada di sana.Ini bukan pertama kali Karina mendengarkan laporan tentang Bia. Karina harus terus memantau anak ajaibnya yang selalu saja mencari cara untuk menentang aturannya.“Sekarang mereka sedang menuju ke apartemen baru nona Bia.”“Apartemen?” ulang Karina, matanya mulai terangkat menatap pria berkacamata di depannya.“Benar Nyonya. Apartemen Anasty Residence. Dari informasi, apartemen itu diberikan oleh fans nona.”“Ha, haha ....” Karina tertawa hambar. Itu tidak lucu, tetapi entah mengapa hatinya ingin tertawa mendengar informasi ini. “Aku sudah mengira anak itu bodoh, tetapi kenapa semakin jauh dariku anak itu semakin bodoh? Tidak bisa membedakan musuh atau kawan.”“Nyonya, kita harus membawa nona kembali.”Karina mendengus tidak setuju. Tangan kanannya menyambar selembar foto Bia yang me
"Senang bertemu denganmu lagi, Bia."Noah tersenyum menyapa model eksklusif Elle. Senyum yang memilukan hati, sampai Bia harus menyipitkan mata menatap teliti wajah yang terlihat kusut itu. Sepertinya Noah benar-benar sedang diperbudak dengan pekerjaan.“Pak, bapak tidak apa-apa?” tanya Bia kasihan, lalu melebarkan pintu apartemennya.“Aku masih hidup hari ini juga berkat kasih sayang dari Tuhan,” balas Noah. Entah harus merasa bersyukur atau harus mengeluhkam takdir hidupnya.Pria dengan kemeja abu-abu dan dasi marun tak terikat itu langsung mendekat ke sofa panjang, menaruh tas perlengkapan kerjanya di samping meja, lalu merebahkan diri di sana tanpa menunggu izin dari si pemilik apartemen.Benar-benar sebuah keajaiban Noah masih bisa mendatangi Bia setelah berhari-hari terus dipaksa lembur.Bia menggeleng dan menghela napas. Lihat itu, benar-benar sudah seperti rumah sendiri. Bia pun membiarkannya dan pergi ke dapur.Sudah dua hari ia menempati apartemen ini. Semua pekerjaannya dih
"Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya
Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang
“Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga
Sudah pukul sebelas malam, Bia berjalan lelah menuju lift di sana. Membuka satu persatu benda yang membuat wajahnya tersembunyi seharian ini.Masuk ke dalam lift, tangan yang menggenggam topi dan masker itu menekan angka sepuluh. Lantai di mana apartemen Bia berada. Menyandarkan punggung, Bia menghembuskan napas sambil memandang langit lift.Merasakan ayunan kotak besi yang perlahan mulai naik. Bia teringat perasaan beberapa jam lalu, melihat toko SunnyDay dengan kepala matanya sendiri benar-benar membuat hatinya perih.Toko itu masih dalam perbaikan. Kerusakan yang cukup parah menurut Bia, sampai Aretha harus mengosongkan tokonya."Kenapa kamu memilih untuk diam?" gumam Bia.Tidak habis pikir, sejak dulu Aretha lebih memilih untuk menyembunyikan masalahnya sendiri. "Lalu, apa gunanya aku?" lanjut Bia berbisik dalam hati. "Bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"Ting! Denting lift bergema, tanda bahwa Bia sudah sampai pada lantai tujuan.Melangkah lunglai ke luar, melewati satu
Rumah besar nan cantik. Bia kembali menginjakkan kakinya ke sana. Berjalan dengan tatapan mengintimidasi, panas kesal di hatinya pun kian membesar. Tidak ada keinginan dari Bia untuk meredupkannya."Nona?""Jangan ikut campur," balas Bia ketus, melewati sekretaris sekaligus pengurus mansion Sindari.Pria itu terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Bia yang tiba-tiba. Sudah pasti tidak ada yang mengira anak terusir itu akan datang secepat ini."Nona, saat ini bukan waktu yang--""Cukup. Aku tidak butuh saranmu!" potong Bia tanpa mengubah pandangan yang tertuju pada sebuah pintu kayu berukiran indah delapan meter di depannya.Melewati tempat yang menjadi kenangan atas pengusirannya dari rumah. Bia menggerutu sebal dalam hati, bahkan kepalanya tidak lelah memutar gambar-gambar kenangan kejam itu."Nona, Tuan--"Bia menghentikan kakinya tiba-tiba lalu menajamkan mata memandang pria yang juga ikut memandangnya. "Aku menghargai saranmu, tetapi aku datang ke sini bukan sebagai tamu yang ha
"Bi, apa Aretha tidak mengatakan padamu? SunnyDay dihancurkan oleh sekelompok orang tidak dikenal." Hah? Bia sontak menghentikan kaki-kakinya. Memandang lekat dua mata yang posisinya sedikit lebih tinggi. “Dihancurkan? Oleh siapa?" Bia menggeleng cepat. "Ah, maksudku, kapan kejadiannya?” tanyanya, kebingungan benar-benar sedang meneror hati dan pikirannya. “Kau ingat, malam saat kamu pindah ke apartemen? Selepas dari sana, aku mengantarkan dia kembali dan tokonya, sudah hancur berantakan.” Bia tergugu lemas. Apa ... ini, sungguhan? Bagaimana bisa ia baru mendengar hal mengejutkan ini sekarang? Kemarin Aretha mengunjunginya seolah tidak terjadi apapun, bahkan temannya itu malah menghiburnya. “Sahabat macam apa aku ini? Lagi-lagi hal buruk terjadi pada Aretha,” batin Bia. “Kamu, sudah menyelidikinya?” tanya Bia, kembali melangkahkan kakinya.
“Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga
Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang
"Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya
"Senang bertemu denganmu lagi, Bia."Noah tersenyum menyapa model eksklusif Elle. Senyum yang memilukan hati, sampai Bia harus menyipitkan mata menatap teliti wajah yang terlihat kusut itu. Sepertinya Noah benar-benar sedang diperbudak dengan pekerjaan.“Pak, bapak tidak apa-apa?” tanya Bia kasihan, lalu melebarkan pintu apartemennya.“Aku masih hidup hari ini juga berkat kasih sayang dari Tuhan,” balas Noah. Entah harus merasa bersyukur atau harus mengeluhkam takdir hidupnya.Pria dengan kemeja abu-abu dan dasi marun tak terikat itu langsung mendekat ke sofa panjang, menaruh tas perlengkapan kerjanya di samping meja, lalu merebahkan diri di sana tanpa menunggu izin dari si pemilik apartemen.Benar-benar sebuah keajaiban Noah masih bisa mendatangi Bia setelah berhari-hari terus dipaksa lembur.Bia menggeleng dan menghela napas. Lihat itu, benar-benar sudah seperti rumah sendiri. Bia pun membiarkannya dan pergi ke dapur.Sudah dua hari ia menempati apartemen ini. Semua pekerjaannya dih
“Dion masih mengikuti nona Bia.”Karina diam mendengarkan laporan dari sekretaris barunya. Menatap kesal pada foto-foto Bia yang terhampar acak di meja kerjanya. Wajah Dion saat di pantai pun ada di sana.Ini bukan pertama kali Karina mendengarkan laporan tentang Bia. Karina harus terus memantau anak ajaibnya yang selalu saja mencari cara untuk menentang aturannya.“Sekarang mereka sedang menuju ke apartemen baru nona Bia.”“Apartemen?” ulang Karina, matanya mulai terangkat menatap pria berkacamata di depannya.“Benar Nyonya. Apartemen Anasty Residence. Dari informasi, apartemen itu diberikan oleh fans nona.”“Ha, haha ....” Karina tertawa hambar. Itu tidak lucu, tetapi entah mengapa hatinya ingin tertawa mendengar informasi ini. “Aku sudah mengira anak itu bodoh, tetapi kenapa semakin jauh dariku anak itu semakin bodoh? Tidak bisa membedakan musuh atau kawan.”“Nyonya, kita harus membawa nona kembali.”Karina mendengus tidak setuju. Tangan kanannya menyambar selembar foto Bia yang me
“Di sini?” tanya Bia memandang sebuah papan nama apartemen. Sebagian wajahnya tertutup masker hitam.Satu setengah jam lalu, Deri datang ke toko SunnyDay untuk menjemput dirinya. Bia pun sudah menceritakan semua pada Aretha dan Dion, tentu mereka meminta Bia untuk menolak. Akan tetapi, kontrak kerjasama mengharuskan Bia mengikuti aturan perusahaan.Padahal, Dion berkata akan menanggung biaya denda pembatalan kontrak. Namun Bia menolak. Bagaimanapun, Bia belum sepenuhnya percaya pada Dion dan ia ingin mencari tahu kebenaran dari ucapan Dion Mahesa.“Ya, aku harap kamu menyukainya dan jangan sungkan untuk memberitahu aku apa pun jika ada yang membuatmu tidak nyaman.”Deri mengembangkan senyum. Pria itu masih saja bawel dan ramah kepadanya, tetapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda. Mungkin cara melihat Deri ke arahnya. Meski bibir itu tersenyum ramah, tatapan Deri seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Ini berlebihan,” akui Bia, sambil mengikuti bookernya masuk ke dalam lobi.“Tidak