Laras masih belum mengerti. "Kalau dia nggak ada, gimana?"Kalau Byakta tidak ada, itu berarti Abimana sudah mengambil tindakan terhadapnya!Namun, Andini tidak mengutarakan pikirannya. Dia tidak ingin membuat Laras ikut cemas, jadi dia hanya tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Kita kembali ke kediaman dulu."Laras bergerak dengan cepat. Sesampainya di kediaman, tidak butuh waktu lama baginya untuk mengutus seseorang pergi ke Desa Mutia.Selama itu, Andini tetap menunggu di kediaman, hatinya tidak bisa tenang sedikit pun. Hingga menjelang senja, utusan yang dikirim ke Desa Mutia akhirnya kembali dengan tergesa-gesa.Andini segera bertanya, "Bagaimana? Apa kamu bertemu dengan Wakil Jenderal Byakta?"Pelayan itu menggeleng, menyerahkan kembali botol obat dalam kondisi utuh, lalu berkata, "Hamba nggak menemukan Wakil Jenderal Byakta di Desa Mutia, bahkan keluarganya juga nggak ada di sana.""Penduduk desa bilang tadi malam, orang-orang dari Biro Administrasi datang dan membawa ayahnya. Ibu d
Tawa nyaring itu menusuk telinga, membuat Byakta langsung mengepalkan tinjunya dengan erat.Andini buru-buru melangkah maju, berdiri di depannya, takut Byakta akan bertindak gegabah. Dia lantas menatap Panji dan bertanya, "Ini perbuatanmu?"Kalau bukan, bagaimana mungkin Panji tahu Byakta ada di sini dan sengaja datang untuk mentertawakannya? Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh.Panji memang cucu Rendra, tetapi dia bukan cucu utama dan tidak dianggap penting. Orang-orang di Biro Administrasi juga bukan orang bodoh, mana mungkin mereka menangkap orang sembarangan hanya demi seorang pemuda sampah seperti Panji?Kecuali, Rendra sendiri yang turun tangan. Namun, Rendra adalah sosok berpangkat tinggi dan berpengaruh. Kemungkinan besar, dia tidak akan melakukan hal seperti ini hanya demi Panji!Saat ini, Panji tersenyum lebar hingga luka di sudut bibirnya tertarik dan membuatnya meringis kesakitan. Namun, dia tetap berkata, "Aku nggak ngerti apa yang sedang kamu bicarakan. Tapi, a
Keduanya berpelukan dalam diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya Byakta berbalik dan pergi.Andini tetap berdiri di tempatnya, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Di matanya, hanya tersisa secercah ketenangan yang dingin.Saat kembali ke Kediaman Adipati, langit sudah gelap. Begitu memasuki gerbang, seorang pelayan segera memberi tahu bahwa Kresna sedang menunggunya di ruang tamu depan.Di dalam ruangan, hanya ada Kresna seorang diri. Melihat Andini datang, dia mengangkat cangkir teh di sampingnya, berpura-pura menyeruputnya sebelum akhirnya bertanya, "Kenapa pulang selarut ini? Kamu pergi ke mana?""Ke Biro Administrasi," jawab Andini dengan jujur. Pandangannya tetap lurus ke depan tanpa sedikit pun melirik Kresna.Kresna sama sekali tidak mempermasalahkan sikapnya. Dia hanya mendengus dingin. "Sebagai putri Keluarga Adipati, kamu nggak seharusnya berkeliaran sesuka hati. Nggak pantas sekali pulang selarut ini! Mulai besok, kamu tetap tinggal di rumah. Tanpa izinku, kamu ngga
Dianti benar-benar ketakutan. Dia menatap Andini dengan mata terbelalak, membiarkan air matanya mengalir tanpa henti."Kakak, aku tahu aku salah karena iri padamu hingga menyuap para pengemis itu, bahkan membuat mereka kehilangan nyawa. Tapi, aku hanya menyuruh mereka membawaku pergi. Aku nggak pernah nyangka mereka punya niat jahat. Aku sudah menyadari kesalahanku ...."Sambil berbicara, Dianti berlutut dan menangis tersedu-sedu, tampak begitu menyedihkan.Namun, Andini hanya melirik para pelayan di dalam ruangan dan berkata dengan suara dingin, "Keluar."Para pelayan itu merasa cemas jika harus meninggalkan Dianti, tetapi entah mengapa, mereka lebih takut kepada Andini.Setelah saling bertukar pandang dengan ragu, mereka akhirnya keluar dan menutup pintu di belakang mereka.Setelah pintu tertutup rapat, barulah Andini perlahan-lahan berjalan mendekati Dianti.Dianti masih tersedu-sedu. Begitu melihat Andini semakin dekat, dia secara naluriah mundur sedikit.Namun, Andini langsung mer
Mendengar kata-kata Andini, Dianti seperti sudah bisa membayangkan akhir dari hidupnya. Dia akan dicemooh oleh semua orang, dihina oleh masyarakat.Saat itu terjadi, Abimana pasti akan membencinya. Keluarga Maheswara juga akan merasa wanita yang nama baiknya telah tercemar seperti dia tidak pantas menjadi Nyonya Keluarga Maheswara.Sementara itu, Rangga ... pasti tidak akan menikahinya lagi ....Melihat mata Dianti yang terus berkedip dengan panik, ekspresi Andini semakin dingin. "Bukankah Nona Dianti takut ditinggalkan oleh Keluarga Adipati dan Rangga? Kalau kamu nggak menurutiku, aku jamin, nasibmu akan jauh lebih tragis daripada aku.""Aku akan menurut, Kak!" Tiba-tiba, Dianti memeluk kaki Andini. Tatapannya dipenuhi ketakutan. "Asalkan Kakak berbaik hati, aku pasti akan menurut. Kakak tenang saja, aku nggak akan makan ataupun minum. Apa pun yang Kakak suruh, aku pasti lakukan!"Saat mengatakan itu, ketakutan dalam hatinya semakin memuncak, hingga akhirnya dia tidak bisa menahan dir
Dianti secara naluriah meraih lengan baju Abimana, lalu mencengkeramnya erat dan bersembunyi di belakangnya.Melihat sikapnya yang ketakutan, Abimana semakin merasa iba. Dia segera berucap dengan suara rendah, "Dian, katakan saja! Kakak ada di sini, nggak akan ada yang berani menyentuhmu!"Saat mengucapkan kalimat terakhir, Abimana memelototi Andini dengan murka, seolah-olah dia adalah penjahat paling keji di dunia ini.Namun, di belakangnya, terdengar suara gemetar, "Kak Andini hanya datang untuk berbicara denganku, dia nggak menyakitiku."Mendengar itu, Abimana sontak menoleh ke arah Dianti, menunjuk kekacauan di lantai. "Dia sudah membalikkan meja, kamu masih membelanya?”Dianti mengerutkan kening dan menundukkan kepala. "Kakak melakukannya demi kebaikanku. Aku telah berbuat dosa dengan mencelakai beberapa nyawa tak bersalah. Mereka meninggal, tapi aku malah hidup dengan begitu nyaman."Setelah berkata demikian, Dianti diam-diam melirik Andini, lalu melanjutkan, "Kak, aku sudah memu
Pembunuh yang sebenarnya itu, yang dimaksud oleh Andini adalah Abimana.Abimana tentu menyadarinya. Seketika, tangannya mengepal erat. "Kamu ingin ayah Byakta selamat? Itu mudah. Putuskan saja hubunganmu dengan Byakta!""Aku nggak akan memutuskan hubungan dengannya." Andini menyahut dengan dingin. Tatapannya tertuju pada Dianti. "Nona Dianti akan menebus dosa Keluarga Adipati. Pada akhirnya, kita akan lihat apa yang lebih penting di hati Tuan Kresna, perjodohanku atau putri satu-satunya."Di mata Andini, Dianti melihat ancaman yang jelas. Menyadari maksudnya, dia buru-buru menarik lengan baju Abimana. "Kak, kalau ayah Wakil Jenderal Byakta nggak bersalah, kita nggak seharusnya menjebaknya! Kumohon, bujuklah Ayah! Selama Ayah nggak melepaskannya, aku nggak akan makan apa pun!"Mendengar perkataan itu, Abimana menjadi sangat marah. "Kamu ini! Apa kamu sudah dicuci otak olehnya?"Namun, melihat ekspresi takut Dianti, Abimana segera menyadari sesuatu. "Apa dia mengancammu sesuatu? Kenapa k
Begitu Kresna mengetahui hal ini, dia pun naik pitam. Bahkan sebelum Andini kembali ke Paviliun Ayana, sekelompok prajurit sudah mengepung tempat itu dari segala arah.Komandan yang memimpin memberi hormat kepada Andini yang baru saja kembali, lalu berkata dengan suara dingin, "Atas perintah Adipati, mulai hari ini, Nona Andini akan dikurung di dalam Paviliun Ayana."Andini sudah menduganya, jadi dia sama sekali tidak terkejut. Dia hanya mengangguk dengan tenang, lalu melangkah masuk.Namun, komandan itu segera menghalangi dan menambahkan, "Adipati juga berkata, kalau Nona begitu menyukai cara mogok makan, mulai hari ini, Nona nggak diperbolehkan makan maupun minum hingga Nona mengakui kesalahan."Andini tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang. Namun, ekspresinya tetap tenang. "Aku mengerti. Aku sudah boleh masuk sekarang?"Melihat Andini yang begitu tenang, komandan itu merasa curiga. Dia mengira Andini pasti telah menyiapkan rencana untuk menghadapi hukuman ini sehingga
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg