Dianti secara naluriah meraih lengan baju Abimana, lalu mencengkeramnya erat dan bersembunyi di belakangnya.Melihat sikapnya yang ketakutan, Abimana semakin merasa iba. Dia segera berucap dengan suara rendah, "Dian, katakan saja! Kakak ada di sini, nggak akan ada yang berani menyentuhmu!"Saat mengucapkan kalimat terakhir, Abimana memelototi Andini dengan murka, seolah-olah dia adalah penjahat paling keji di dunia ini.Namun, di belakangnya, terdengar suara gemetar, "Kak Andini hanya datang untuk berbicara denganku, dia nggak menyakitiku."Mendengar itu, Abimana sontak menoleh ke arah Dianti, menunjuk kekacauan di lantai. "Dia sudah membalikkan meja, kamu masih membelanya?”Dianti mengerutkan kening dan menundukkan kepala. "Kakak melakukannya demi kebaikanku. Aku telah berbuat dosa dengan mencelakai beberapa nyawa tak bersalah. Mereka meninggal, tapi aku malah hidup dengan begitu nyaman."Setelah berkata demikian, Dianti diam-diam melirik Andini, lalu melanjutkan, "Kak, aku sudah memu
Pembunuh yang sebenarnya itu, yang dimaksud oleh Andini adalah Abimana.Abimana tentu menyadarinya. Seketika, tangannya mengepal erat. "Kamu ingin ayah Byakta selamat? Itu mudah. Putuskan saja hubunganmu dengan Byakta!""Aku nggak akan memutuskan hubungan dengannya." Andini menyahut dengan dingin. Tatapannya tertuju pada Dianti. "Nona Dianti akan menebus dosa Keluarga Adipati. Pada akhirnya, kita akan lihat apa yang lebih penting di hati Tuan Kresna, perjodohanku atau putri satu-satunya."Di mata Andini, Dianti melihat ancaman yang jelas. Menyadari maksudnya, dia buru-buru menarik lengan baju Abimana. "Kak, kalau ayah Wakil Jenderal Byakta nggak bersalah, kita nggak seharusnya menjebaknya! Kumohon, bujuklah Ayah! Selama Ayah nggak melepaskannya, aku nggak akan makan apa pun!"Mendengar perkataan itu, Abimana menjadi sangat marah. "Kamu ini! Apa kamu sudah dicuci otak olehnya?"Namun, melihat ekspresi takut Dianti, Abimana segera menyadari sesuatu. "Apa dia mengancammu sesuatu? Kenapa k
Begitu Kresna mengetahui hal ini, dia pun naik pitam. Bahkan sebelum Andini kembali ke Paviliun Ayana, sekelompok prajurit sudah mengepung tempat itu dari segala arah.Komandan yang memimpin memberi hormat kepada Andini yang baru saja kembali, lalu berkata dengan suara dingin, "Atas perintah Adipati, mulai hari ini, Nona Andini akan dikurung di dalam Paviliun Ayana."Andini sudah menduganya, jadi dia sama sekali tidak terkejut. Dia hanya mengangguk dengan tenang, lalu melangkah masuk.Namun, komandan itu segera menghalangi dan menambahkan, "Adipati juga berkata, kalau Nona begitu menyukai cara mogok makan, mulai hari ini, Nona nggak diperbolehkan makan maupun minum hingga Nona mengakui kesalahan."Andini tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang. Namun, ekspresinya tetap tenang. "Aku mengerti. Aku sudah boleh masuk sekarang?"Melihat Andini yang begitu tenang, komandan itu merasa curiga. Dia mengira Andini pasti telah menyiapkan rencana untuk menghadapi hukuman ini sehingga
Andini berdiri di balik pintu halaman, menatap kolam teratai yang berada di tengah kegelapan malam.Air kolam memantulkan cahaya redup dari beberapa lentera di seberang, kecil dan rapuh, seolah-olah bisa ditelan kegelapan kapan saja. Bahkan, jembatan batu di atas kolam pun tak tersinari dengan baik.Andini menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah menuju jembatan. Angin malam yang lembut bertiup melewati telinganya, mengibaskan beberapa helai rambut di pelipisnya, tetapi tidak cukup kuat untuk menimbulkan riak di permukaan air kolam.Seketika, Andini merasa dirinya bagaikan cahaya lentera itu, bagaikan angin malam ini. Tidak peduli bagaimana dia dihancurkan, tetap tidak ada yang bisa menggoyahkan hati orang-orang yang dulu disebutnya keluarga.Menyadari hal itu, Andini tiba-tiba menunduk dan tersenyum penuh kepahitan. Pada saat ini, dia justru bersyukur atas keberadaan Dianti. Asalkan Dianti tidak makan dan minum, Kresna pasti akan khawatir!Dugaan Andini benar. Baru dua hari berlalu,
Orang yang dulu berjanji akan mengambilkan bintang dan bulan untuknya, kini berkata tidak akan pernah mengampuninya. Heh!Andini tersenyum sinis, lalu berbalik untuk lanjut mencabut rumput liar. Di balik tatapannya yang menatap ke bawah, tersembunyi kesedihan yang tak ingin diperlihatkan kepada siapa pun."Kalau Tuan Kresna benar-benar peduli pada Dianti, seharusnya lepaskan orang-orang yang nggak bersalah. Kalau terus begini, sekalipun Dianti mati kelaparan, aku masih bisa tetap hidup," kata Andini.Kemudian, dia terpikir akan sesuatu sehingga mendongak dan menatap Kresna. Kini, segala emosi telah ditekannya dengan baik sehingga hanya menyisakan kilatan kegembiraan atas penderitaan orang lain."Dianti adalah satu-satunya putrimu. Aku yakin, Tuan Kresna pasti nggak akan tega membiarkan dia mati, bukan?"Kresna sungguh berang. Melihat Andini yang begitu puas, api di hatinya semakin membara. "Bagus! Sangat bagus! Kamu kira bisa mengendalikanku dengan cara ini? Kamu terlalu meremehkan aya
Melihat lingkaran hitam di sekitar mata Andini yang cekung, Laras merasa hatinya hampir hancur.Kemudian, suara lemah Andini terdengar. "Utus orang ke Biro Adiministrasi."Laras segera mengangguk berulang kali. "Baik! Hamba akan segera mengutus orang ke sana!"Tanpa menunda waktu, Laras langsung mengutus seseorang ke sana.Kresna tampak semakin tidak sabar. "Kamu sudah mengutus orang untuk memeriksa, aku nggak mungkin menipumu! Sekarang cepat suruh adikmu makan sesuatu!"Saat itu, Kirana juga datang, diikuti oleh dua pelayan yang masing-masing membawa semangkuk bubur sarang walet.Begitu melihat Andini dan Dianti, mata Kirana dipenuhi rasa sakit yang tak bisa disembunyikan. Dia segera memberi perintah, "Cepat suapi mereka buburnya!"Dua pelayan itu langsung berlutut di hadapan Andini dan Dianti, menyendokkan bubur, lalu menyodorkannya ke bibir mereka.Namun, bibir Andini tetap tertutup rapat, sama sekali tidak mau membuka mulut. Matanya tertuju ke arah Dianti, penuh dengan ancaman ters
Abimana menatap Andini dengan penuh amarah. Seolah-olah khawatir Andini tidak mau makan, dia kembali berbicara, "Kalau kamu bisa menghabiskan makanan di ember ini, aku jamin Keluarga Adipati nggak akan mengganggu Byakta lagi!"Mendengar kata-kata Abimana, Kirana merasa hatinya seperti diremas, "Abimana! Bagaimana bisa kamu memperlakukan adikmu seperti ini? Dia sudah beberapa hari nggak makan! Bagaimana bisa kamu memaksanya makan makanan sisa?"Abimana menoleh ke arah Kirana. "Ibu, bukan aku yang kejam, tapi dia terlalu licik! Kali ini dia bisa memaksa Dianti mogok makan, entah apa yang akan dia lakukan di lain waktu! Kalian nggak boleh memercayainya lagi ...!"Sebelum kata-katanya selesai, suasana menjadi hening. Abimana merasa ada yang aneh. Bahkan, Dianti pun menghentikan suapannya dan memandang ke belakangnya dengan ketakutan bersama semua orang.Sebuah firasat buruk muncul di dalam hatinya. Tubuh Abimana menegang sebelum akhirnya dia perlahan berbalik.Di sana, entah sejak kapan, A
Kresna berbalik dan memarahi para pelayan dengan keras, "Apa kalian semua bodoh? Cepat panggil tabib kediaman untuk memeriksa Andini! Ambilkan bubur sarang walet!"Setelah itu, dia tidak berani lagi menoleh untuk melihat Andini.Laras pun mendekati Andini, mengeluarkan saputangan dan mulai mengelap tangan Andini. Air matanya terus mengalir tanpa henti, "Nona, huhu ... biar hamba bawa Nona kembali ke kamar."Andini hanya menatap Abimana dengan tenang. Dia perlahan-lahan membuka mulutnya. Suara seraknya seketika terdengar. "Semoga Tuan Abimana menepati janji tadi."Setelah hari ini, Keluarga Adipati tidak boleh mengganggu keluarga Byakta lagi!Kalimat ini membuat Abimana terkejut. Dia menatap Andini dengan bingung. "Kamu sangat menyukai Byakta?"Sampai-sampai, rela memakan seember penuh makanan sisa di depan umum demi Byakta? Apa sebenarnya yang dimiliki oleh Byakta yang membuat Andini bertindak sampai sejauh ini?Andini tidak menggubrisnya dan membiarkan Laras membawanya ke kamar. Apaka
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg