Begitu Kresna mengetahui hal ini, dia pun naik pitam. Bahkan sebelum Andini kembali ke Paviliun Ayana, sekelompok prajurit sudah mengepung tempat itu dari segala arah.Komandan yang memimpin memberi hormat kepada Andini yang baru saja kembali, lalu berkata dengan suara dingin, "Atas perintah Adipati, mulai hari ini, Nona Andini akan dikurung di dalam Paviliun Ayana."Andini sudah menduganya, jadi dia sama sekali tidak terkejut. Dia hanya mengangguk dengan tenang, lalu melangkah masuk.Namun, komandan itu segera menghalangi dan menambahkan, "Adipati juga berkata, kalau Nona begitu menyukai cara mogok makan, mulai hari ini, Nona nggak diperbolehkan makan maupun minum hingga Nona mengakui kesalahan."Andini tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang. Namun, ekspresinya tetap tenang. "Aku mengerti. Aku sudah boleh masuk sekarang?"Melihat Andini yang begitu tenang, komandan itu merasa curiga. Dia mengira Andini pasti telah menyiapkan rencana untuk menghadapi hukuman ini sehingga
Andini berdiri di balik pintu halaman, menatap kolam teratai yang berada di tengah kegelapan malam.Air kolam memantulkan cahaya redup dari beberapa lentera di seberang, kecil dan rapuh, seolah-olah bisa ditelan kegelapan kapan saja. Bahkan, jembatan batu di atas kolam pun tak tersinari dengan baik.Andini menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah menuju jembatan. Angin malam yang lembut bertiup melewati telinganya, mengibaskan beberapa helai rambut di pelipisnya, tetapi tidak cukup kuat untuk menimbulkan riak di permukaan air kolam.Seketika, Andini merasa dirinya bagaikan cahaya lentera itu, bagaikan angin malam ini. Tidak peduli bagaimana dia dihancurkan, tetap tidak ada yang bisa menggoyahkan hati orang-orang yang dulu disebutnya keluarga.Menyadari hal itu, Andini tiba-tiba menunduk dan tersenyum penuh kepahitan. Pada saat ini, dia justru bersyukur atas keberadaan Dianti. Asalkan Dianti tidak makan dan minum, Kresna pasti akan khawatir!Dugaan Andini benar. Baru dua hari berlalu,
Orang yang dulu berjanji akan mengambilkan bintang dan bulan untuknya, kini berkata tidak akan pernah mengampuninya. Heh!Andini tersenyum sinis, lalu berbalik untuk lanjut mencabut rumput liar. Di balik tatapannya yang menatap ke bawah, tersembunyi kesedihan yang tak ingin diperlihatkan kepada siapa pun."Kalau Tuan Kresna benar-benar peduli pada Dianti, seharusnya lepaskan orang-orang yang nggak bersalah. Kalau terus begini, sekalipun Dianti mati kelaparan, aku masih bisa tetap hidup," kata Andini.Kemudian, dia terpikir akan sesuatu sehingga mendongak dan menatap Kresna. Kini, segala emosi telah ditekannya dengan baik sehingga hanya menyisakan kilatan kegembiraan atas penderitaan orang lain."Dianti adalah satu-satunya putrimu. Aku yakin, Tuan Kresna pasti nggak akan tega membiarkan dia mati, bukan?"Kresna sungguh berang. Melihat Andini yang begitu puas, api di hatinya semakin membara. "Bagus! Sangat bagus! Kamu kira bisa mengendalikanku dengan cara ini? Kamu terlalu meremehkan aya
Melihat lingkaran hitam di sekitar mata Andini yang cekung, Laras merasa hatinya hampir hancur.Kemudian, suara lemah Andini terdengar. "Utus orang ke Biro Adiministrasi."Laras segera mengangguk berulang kali. "Baik! Hamba akan segera mengutus orang ke sana!"Tanpa menunda waktu, Laras langsung mengutus seseorang ke sana.Kresna tampak semakin tidak sabar. "Kamu sudah mengutus orang untuk memeriksa, aku nggak mungkin menipumu! Sekarang cepat suruh adikmu makan sesuatu!"Saat itu, Kirana juga datang, diikuti oleh dua pelayan yang masing-masing membawa semangkuk bubur sarang walet.Begitu melihat Andini dan Dianti, mata Kirana dipenuhi rasa sakit yang tak bisa disembunyikan. Dia segera memberi perintah, "Cepat suapi mereka buburnya!"Dua pelayan itu langsung berlutut di hadapan Andini dan Dianti, menyendokkan bubur, lalu menyodorkannya ke bibir mereka.Namun, bibir Andini tetap tertutup rapat, sama sekali tidak mau membuka mulut. Matanya tertuju ke arah Dianti, penuh dengan ancaman ters
Abimana menatap Andini dengan penuh amarah. Seolah-olah khawatir Andini tidak mau makan, dia kembali berbicara, "Kalau kamu bisa menghabiskan makanan di ember ini, aku jamin Keluarga Adipati nggak akan mengganggu Byakta lagi!"Mendengar kata-kata Abimana, Kirana merasa hatinya seperti diremas, "Abimana! Bagaimana bisa kamu memperlakukan adikmu seperti ini? Dia sudah beberapa hari nggak makan! Bagaimana bisa kamu memaksanya makan makanan sisa?"Abimana menoleh ke arah Kirana. "Ibu, bukan aku yang kejam, tapi dia terlalu licik! Kali ini dia bisa memaksa Dianti mogok makan, entah apa yang akan dia lakukan di lain waktu! Kalian nggak boleh memercayainya lagi ...!"Sebelum kata-katanya selesai, suasana menjadi hening. Abimana merasa ada yang aneh. Bahkan, Dianti pun menghentikan suapannya dan memandang ke belakangnya dengan ketakutan bersama semua orang.Sebuah firasat buruk muncul di dalam hatinya. Tubuh Abimana menegang sebelum akhirnya dia perlahan berbalik.Di sana, entah sejak kapan, A
Kresna berbalik dan memarahi para pelayan dengan keras, "Apa kalian semua bodoh? Cepat panggil tabib kediaman untuk memeriksa Andini! Ambilkan bubur sarang walet!"Setelah itu, dia tidak berani lagi menoleh untuk melihat Andini.Laras pun mendekati Andini, mengeluarkan saputangan dan mulai mengelap tangan Andini. Air matanya terus mengalir tanpa henti, "Nona, huhu ... biar hamba bawa Nona kembali ke kamar."Andini hanya menatap Abimana dengan tenang. Dia perlahan-lahan membuka mulutnya. Suara seraknya seketika terdengar. "Semoga Tuan Abimana menepati janji tadi."Setelah hari ini, Keluarga Adipati tidak boleh mengganggu keluarga Byakta lagi!Kalimat ini membuat Abimana terkejut. Dia menatap Andini dengan bingung. "Kamu sangat menyukai Byakta?"Sampai-sampai, rela memakan seember penuh makanan sisa di depan umum demi Byakta? Apa sebenarnya yang dimiliki oleh Byakta yang membuat Andini bertindak sampai sejauh ini?Andini tidak menggubrisnya dan membiarkan Laras membawanya ke kamar. Apaka
Byakta tertegun. Andini mogok makan dan makan makanan sisa?Beberapa hari ini, Byakta sibuk mengurus masalah ayahnya. Ketika ada waktu luang, dia akan memikirkan Andini.Byakta tahu Andini pasti sangat khawatir. Menurutnya, Andini pasti tidak bisa makan dan tidur karena memikirkan ayahnya Byakta. Jadi, Byakta segera datang menemuinya.Para penjaga di Kediaman Adipati melarang Byakta masuk. Byakta juga tidak berani memanjat tembok. Dia khawatir tindakannya yang gegabah akan membuat situasi Andini bertambah sulit. Namun, dia tidak pernah menyangka bahwa Andini sampai melakukan pengorbanan sebesar ini.Byakta awalnya mengira ayahnya bisa dibebaskan karena bukti yang dia temukan cukup kuat. Namun, sekarang dia justru terkejut saat mengetahui alasan ayahnya bisa bebas. Itu karena Andini melakukan perlawanan dengan mogok makan dan makan makanan sisa!Hati Byakta terasa seperti dicabik-cabik. Byakta tidak pernah membenci dirinya seperti saat ini. Dia membenci ketidakberdayaannya. Padahal dia
Setelah masuk ke Kediaman Adipati, Byakta langsung menuju ke Paviliun Ayana. Namun, dia tetap tidak bertemu dengan Andini.Laras berdiri di luar kamar. Dia memberi hormat pada Byakta, lalu tersenyum tipis sambil berkata, "Syukurlah kalau ayahnya Wakil Jenderal Byakta baik-baik saja. Tapi, Nona Andini sudah istirahat. Mungkin nggak bisa menemui Wakil Jenderal Byakta. Silakan datang lain hari."Byakta mengernyit sembari bertanya, "Apa dia nggak mau menemuiku?"Ekspresi Laras menegang. Dia buru-buru menjawab, "Jangan berpikir seperti itu. Beberapa hari ini, Nona Andini nggak istirahat dengan baik. Nona baru bisa tidur dengan tenang setelah mendengar ayahnya Wakil Jenderal Byakta dibebaskan. Hamba benar-benar nggak tega mengganggunya."Hati Byakta tiba-tiba terasa tertekan. Dia segera mengangguk seraya bertutur, "Baiklah. Jangan ganggu dia. Biarkan dia tidur nyenyak. Kalau begitu, besok aku datang lagi ...."Setelah berbicara, Byakta berjalan mundur. Tidak disangka, Laras buru-buru memangg
Andini tahu Kirana datang untuk menghiburnya. Hanya saja, Andini malah menganggap ucapan Kirana tidak enak didengar. Semua ini takdir? Apa Kirana merasa Byakta pantas mati?Andini mengernyit, tetapi dia tidak mampu berdebat dengan mereka lagi. Andini menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku sudah putus hubungan dengan Keluarga Adipati. Apa pun yang terjadi padaku nggak ada hubungannya dengan kalian. Aku harap ke depannya kalian jangan datang lagi."Selesai bicara, Andini langsung berjalan masuk ke kediaman. Abimana marah-marah, "Andini! Jangan nggak tahu diri! Biasanya Ibu jarang keluar, dia datang karena mengkhawatirkanmu!"Langkah Andini terhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat, lalu bertanya, "Bagaimana dengan kamu?"Mendengar ucapan Andini, Abimana terdiam. Dia tidak memahami maksud Andini.Andini tiba-tiba berbalik dan lanjut bertanya seraya menatap Abimana, "Kenapa kamu datang kemari? Kamu memperhatikanku atau merasa bersalah?"Sebenarnya Andini tidak memahami satu ha
Yudha hanya ingin membawa Byakta pulang bersama keluarganya tanpa Rangga dan Andini. Mulai saat ini, para bangsawan dari ibu kota tidak berhubungan dengan Keluarga Muhadir lagi.Rangga mengangguk. Dia bisa memahami pemikiran Yudha. Tentu saja, Rangga tidak memaksakan kehendaknya.Andini juga mengerti. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ajeng dan melepaskan gelang gioknya. Andini berucap, "Aku nggak pantas terima gelang ini ...."Sebelum Andini menyelesaikan ucapannya, Ajeng menahan tangan Andini. Ajeng tampak kelelahan, tetapi dia tetap tersenyum kepada Andini dan menimpali, "Gelang ini sudah menjadi milikmu. Kalau kamu kembalikan padaku, Byakta pasti sedih."Andini memandang Ajeng dengan ekspresi kaget. Jika Ajeng masih meminta Andini menyimpan gelang ini, berarti Keluarga Muhadir masih mengakui Andini.Andini tidak menyangka sekarang Keluarga Muhadir masih menerimanya. Dia merasa sangat sedih. Andini memeluk Ajeng dengan erat. Dia merasa bersyukur dan juga bersalah.Ajen
Andini yang menyebabkan Yudha dan Ajeng kehilangan putranya. Dia juga menyebabkan Gayatri kehilangan kakaknya. Semua ini salah Andini.Tangisan Gayatri makin menjadi-jadi. Dia berujar, "Tapi, Kak Byakta pasti marah kalau lihat aku salahkan kamu ...."Ucapan Gayatri membuat hati Andini terasa sakit. Andini kewalahan melihat Gayatri yang menangis histeris.Gayatri tetap berusaha berbicara, "Sebelum pergi, kakakku bilang padaku dia nggak pernah begitu menyayangi seorang wanita selama hidupnya. Dia cuma ingin kamu aman dan bahagia. Biarpun harus mengorbankan nyawanya, dia juga rela."Gayatri menambahkan, "Andini, kakakku benar-benar mengorbankan nyawanya. Jadi, kamu harus aman dan bahagia! Kalau nggak, aku nggak akan ampuni kamu!"Ini adalah keinginan terakhir Byakta. Gayatri tidak bisa bicara lagi. Dia terus menangis. Gayatri tidak mengerti kenapa di dunia ini ada orang yang begitu bodoh hingga rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan orang lain.Namun, Gayatri tidak be
Andini tertegun. Semalam dia mendengar bandit mengatakan jika bukan karena Rangga mengutus orang untuk mengikuti Andini, mereka juga tidak akan menyangka orang yang berada di dalam peti mati adalah Byakta. Pembunuhan semalam juga tidak akan terjadi.Mungkin sekarang Andini sudah keluar dari Yolasa. Seharusnya Andini tidak menyalahkan Rangga. Bagaimanapun, Rangga hanya berniat melindungi Andini. Dia tidak menyangka semalam bandit akan muncul.Lagi pula, masalah kali ini terjadi karena bandit terlalu brutal. Mereka membantai penduduk desa, bahkan mereka tidak melepaskan bayi.Jika bukan karena masalah itu, Kaisar tidak akan buru-buru mengutus prajurit. Semua ini juga tidak akan terjadi.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Byakta dan para prajurit telah mati. Andini tidak bisa mengatakan dirinya tidak menyalahkan Rangga.Andini diam-diam menyalahkan semua orang yang berkaitan dengan masalah ini. Akan tetapi, dia tetap menyalahkan dirinya sendiri. Jadi, Andini hanya terdiam dan menunduk.Andi
Suara langkah kaki makin mendekat. Andini langsung mundur, lalu berteriak, "Jangan mendekat!"Namun, Rangga tidak menghentikan langkahnya. Andini yang panik segera mengayunkan pedangnya. Rangga tidak menyangka Andini berniat menyakitinya. Dia buru-buru mundur.Pedang Andini menggores lengan baju Rangga. Andini merasakan serangannya kurang tepat, jadi dia mengayunkan pedangnya lagi.Siapa sangka, Rangga menggenggam pergelangan tangan Andini. Sebelum Andini sempat merespons, Rangga menarik Andini ke dalam pelukannya sambil menghibur, "Jangan takut, ini aku."Andini yang hendak memberontak langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar suara Rangga. Tubuh Andini menegang. Dia bertanya, "Rangga?"Rangga menyahut, "Iya, ini aku. Sekarang kamu sudah aman."Andini hanya merasa tenang sesaat. Dia segera menyeka darah di wajahnya dengan baju Rangga, lalu mendorongnya dan bergegas berjalan ke luar hutan.Andini kaget saat melihat penutup peti terbuka. Dia buru-buru naik ke kereta kuda. Andini
Rangga hanya menghabiskan waktu sehari untuk membereskan masalah di Kabupaten Horta. Bandit yang ditangkap Rangga tidak bisa bertahan lama. Bandit langsung mengakui semuanya.Rangga juga mengancam Akbar sehingga Akbar yang ketakutan setengah mati tidak berani menutupi kebenarannya lagi. Masalah ini memang sangat rumit.Rangga menyuruh Cahya untuk menyelidiki masalah ini dengan teliti. Cahya sudah kehilangan lengan kirinya. Ke depannya dia tidak bisa berperang lagi. Jika Cahya bisa menyelesaikan masalah ini, dia bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.Biarpun hanya menjadi bupati di Kabupaten Horta, itu lebih baik daripada pulang dengan tubuh cacat dan menjadi petani.Rangga buru-buru pergi dengan menunggangi kudanya tanpa minum sedikit pun. Dia sangat panik. Sosok Andini yang pergi menjauh terus terlintas di benak Rangga. Jadi, Rangga tidak bisa menunggu lagi.Rangga terus mengejar Andini tanpa beristirahat. Begitu sampai, dia baru tahu semua orang yang diutusnya untuk melindungi And
Tenaga bandit sangat kuat. Andini merasa tangannya hampir patah. Dia berusaha menahan rasa sakit dan mencoba menggerakkan tangannya.Pedang di perut bandit juga mulai bergerak. Bandit berteriak kesakitan. Genggamannya di tangan Andini makin erat.Andini yang merasa kesakitan berteriak. Namun, teriakan Andini bukan hanya karena rasa sakit. Akhirnya, Andini berhasil memutar pedang itu.Sepertinya usus bandit itu putus, dia memuntahkan darah. Bandit itu tumbang. Andini tetap menggenggam pedang dengan erat.Wajah Andini ternodai darah sehingga dia kesulitan untuk membuka matanya. Kemudian, terdengar suara langkah kaki dan suara bandit lain lagi. "Madun! Harjo!"Andini sangat panik, tetapi dia masih bisa berpikir rasional. Andini tidak boleh terus berada di sini. Hanya saja, Andini sudah kehabisan tenaga dan tangannya terasa sakit. Bahkan, dia tidak mampu menyeka darah di wajahnya.Alhasil, Andini ditendang oleh bandit hingga terjatuh ke tanah. Bandit hendak menusuk Andini setelah melihat k
Andini terkejut saat melihat bandit yang wajahnya ternodai darah prajurit. Andini langsung mundur. Siapa sangka, dia tersandung ranting pohon dan terjatuh ke tanah.Bandit tertawa melihat kondisi Andini. Di dalam kegelapan malam, bau amis darah membuat Andini pusing.Andini yang tampak ketakutan bertanya sembari terisak, "Apa ... kamu nggak akan bunuh aku ... kalau aku ikut kamu?"Bandit makin bangga ketika melihat Andini sangat ketakutan. Dia menyahut, "Tentu saja. Yang penting kamu bersikap patuh."Andini mengangguk dan menimpali, "Aku sangat patuh. Tapi ... sepertinya aku terkilir."Bandit melihat pergelangan kaki Andini. Dia tidak curiga karena tadi Andini memang tersandung. Bandit mengamati Andini lagi. Melihat ekspresi Andini yang ketakutan, bandit menganggap Andini hanya wanita yang lemah. Andini sama sekali tidak membawa senjata, mana mungkin dia bisa membuat masalah?Bandit menghampiri Andini sambil mengangkat alis. Dia hendak memapah Andini. Sementara itu, Andini mengulurkan
Karena terkejut, prajurit itu mundur beberapa langkah ke belakang.Prajurit lain melangkah maju. Saat melihat apa yang terjadi, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Sekarang sudah masuk musim semi. Ular, serangga, dan binatang kecil lain mulai keluar mencari makan. Ini bukan masalah besar."Mendengar itu, yang lainnya pun mengangguk, lalu menyarungkan pedang mereka kembali.Andini juga menghela napas lega. Pandangannya tertuju pada kepala ular yang terpenggal di tepi jalan.Di bawah cahaya bulan, kepala ular yang kecil itu masih bergerak, seolah-olah berusaha bertahan. Entah kenapa, Andini merasa ini adalah pertanda buruk. Kegelisahan mulai merayap ke hatinya.Semoga saja semuanya akan berjalan lancar di perjalanan ini.Para prajurit sudah terbiasa dengan perjalanan panjang. Mereka hanya tidur 4 jam setiap malam, tetapi tetap memperhatikan Andini selama perjalanan.Namun, kegelisahan yang muncul malam itu terus membekas di hati Andini. Dia sama sekali tidak bisa tenang.Seakan-akan me